11
Hari ke dua Diva dirawat di rumah sakit, beberapa anggota keluarga Arkan datang untuk menjenguk. Bahagia? Tentu saja. Diva tidak pernah mengharapkan dirinya selalu sakit, lalu mendapat kunjungan dari keluarga besar itu. Tapi, bukankah ia harus mengucap syukur karena dengan kecelakaan yang ia alami, keluarga besar yang selalu tampak harmonis itu datang berbondong-bondong, lalu menanyakan kabarnya dengan hangat. Rasa sakit yang dialami tubuhnya seolah lenyap tergantikan oleh kebahagiaan yang keluargan ayah angkatnya berikan.
Hanya saja, Diva sedikit merasa pusing karena Daneen tak berhenti menangisi keadaannya. Sejak tiba ke ruang rawat Diva, Daneen langsung berlari memeluk sang kakak, lalu menangis meraung-raung.
Berulang kali terlihat Arkan memutar bola mata melihat ulah Daneen yang agak berlebihan. Padahal kondisi Diva sudah tak separah ketika Arkan menemui pada hari pertama anak itu dirawat di rumah sakit sejak kemarin. Luka Diva juga sudah kering. Bahkan kata dokter, lusa Diva sudah diperbolehkan pulang.
Meski sudah dijelaskan demikian, tetap saja Daneen meraung bak orang kesurupan. Ia tak rela melihat kakak kesayangannya terbaring dengan luka di tubuh dan juga selang infus di pergelangan tangannya. Luka memar di bagian wajah sang kakak juga turut dicemaskan Daneen.
"Nanti Tak Ipa endak cantik lagiii.. Huaaaaa..."
Saat itu tak hanya Arkan yang tampak tak percaya dengan apa yang dia dengar, bahkan Dhara dan Davin juga turut melakukan hal yang sama. Hingga Davin berceletuk datar, "Anin lebay," lalu beranjak meninggalkan ranjang sang kakak. Bermain rubik jauh lebih menyenangkan daripada menonton drama ala adiknya tersebut.
Keesokan harinya, keluarga kecil Arkan masih berada di rumah sakit. Diva masih ditahan di sana hingga besok. Tapi, Dhara merasa tidak yakin dengan keputusan dokter dengan membiarkannya pulang besok. Luka Diva masih mengkhawatirkan. Anak itu masih tak bisa menggerakkan lengannya dengan leluasa. Untuk makan dan minum saja harus dibantu oleh Dhara. Apakah dengan kondisi demikian, tidak apa Diva keluar dari rumah sakit? Dhara khawatir pada anaknya. Itu saja.
"Mau minum, nggak? Susunya masih setengah, habisin semua, Va." Gelas berisi setengah air susu rasa vanila itu Dhara berikan pada Diva. Dibantu oleh sang mama, Diva berhasil menuntaskan segelas susu tersebut.
Surai hitam sang putri dirapikan. Perban yang melilit lengan sang putri diusap pelan. "Beneran dokter udah ngijinin Diva pulang besok? Kok aku nggak yakin, ya?" pertanyaan itu tertuju pada Arkan yang tengah membaringkan diri di sofa bersama Daneen di sebelahnya.
Tedengar helaan napas dari bocah gembul menyebalkan itu. Fokusnya beralih dari tablet ke arah mamanya. "Mama, nih. Endak tau telus. Pake 'aku' lagi. Pake 'mama', Mamaaa..."
Tsskkk...
Dhara bedecak sebal. Haruskah Dhara bersyukur atau tidak mengenai ketajaman telinga sang putri kecilnya itu? Dhara terpaksa harus mengesampingkan kegeliannya ketika ia menyebut dirinya sendiri dengan kata 'mama' saat bicara pada Arkan. Jika saja ia bisa muntah, mungkin ia akan muntah di hadapan Arkan saat itu juga. Sungguh menggelikan.
Sementara di sebelah Daneen, Arkan berusaha menahan tawa. Dasi yang pria itu kenakan telah miring ke mana-mana. Ia baru saja pulang dari kantor dan langsung ke rumah sakit untuk menemui anak dan istrinya di sana. Selama tiga hari ini pula, rumah sakit menjadi rumah persinggahannya selama Diva berada di sana. Jikalaupun ia pulang ke rumahnya, tak ada siapapun di rumah itu karena Dhara, Davin, dan Daneen berada di rumah sakit untuk menemani Diva.
Arkan menegakkan tubuh, kemudian menanggapi keraguan yang sempat Dhara ungkapkan. "Anisa bilang, luka Diva udah cukup membaik. Nanti kita bisa datang lagi ke rumah sakit ini jika terjadi sesuatu sama luka Diva. Yang bermasalah hanya luka di lengan Diva aja. Untuk kondisi lainnya, Diva udah jauh lebih baik."
Melihat kecemasan yang terpatri di wajah sang mama, Diva ikut meyakinkan beliau. "Iya, Ma. Diva udah cukup sehat, kok. Mama nggak usah cemaskan itu lagi."
Mengabaikan perkataan Diva, sepertinya Dhara lebih tertarik pada salah satu kata yang Arkan ucapkan beberapa saat lalu. Arkan ditatap penuh intimidasi, dan mendadak membuat bulu kuduk pria itu berdiri. "Ke...kenapa natap aku kek gitu?"
Daneen mendesis. Tablet dalam genggamannya dihentakkan kasar. Ayahnya ditatap horror. Oh, Arkan tahu apa maksud tatapan putrinya itu.
"Iyaa... Sorry... Papa khilaf. Papa ulang, ya?" Arkan berdecih pelan, lalu berdehem dan berusaha mengulang pertanyaan untuk Dhara dengan nada sangat lembut. "Mamaaa... Kenapa natap Papa kayak gitu, hm?"
Dalam hati Arkan berteriak, "PUAS?!" tertuju untuk Daneen. Setelah itu Daneen kembali memainkan tabletnya yang sempat error pasca dihentakkan.
"Dari kemarin ada yang mencurigakan dari gerak-gerik kamu."
Arkan mulai merinding. "Apa?"
"Papa manggil dokter perempuan itu kayak udah akrab dan kenal lama. Siapa dia?"
"Dokter Anisa?" Arkan memastikan. "Oh, ituu..."
"Kemalin Papa nobol sama Onty dotelnya, Ma. Anin temankan Papa. Mama jaga Tak Ipa sini." Bocah kecil itu membuat sebuah pengakuan. Sepertinya mulut manis putri kecilnya itu akan menghancurkan diri Arkan di tangan istrinya sendiri.
"O, ya?" Dhara memicing menatap Arkan. Kedua lengannya saling bertaut. Keringat dingin mulai bermunculan di akar rambut sekitar dahi pria itu. "Papa ngobrol ya, Nak? Papa ngobrolin apa?"
"Ummm..."
"Papa nanyain kondisi Diva, Ma." Arkan bergegas menyela sebelum Daneen bicara yang tidak-tidak. Ah, ia menyesal mengajak Daneen menemui dokter Anisa kemarin.
"Ini putrimu, Kan?"
Kemarin, memang benar Arkan menemui Anisa. Tapi, tujuan utama Arkan menemui Anisa adalah untuk menanyakan keadaan Diva. Hanya saja, pembicaraan mereka kian larut ketika Daneen memengaruhi Anisa untuk menunjukkan kegemasannya terhadap bocah gendut itu.
"Ah, iya. Dia putriku," jawab Arkan.
"Bukan keponakan istrimu, 'kan?"
Dokter Anisa yang gemas, sempat menoel-noel pipi Daneen dan membuat gadis kecil itu kesal. Daneen tak suka pipinya disentuh orang tak dikenalnya. Sehingga, Daneen berceletuk cukup kasar. "Danan pedang-pedang pipi Anin!" dan Anisa cukup kaget hingga menarik cepat tangannya dari wajah Daneen.
Arkan yang malu, hanya memberikan senyum yang lebih mirip ringisan pada Anisa. "Maafkan anakku, Nis. Dia nggak mau orang asing megang-megang pipinya. Dan... ini putriku, kok. Anakku dan istriku. Namanya Daneen. Salam sama dokternya, Nak."
Bukannya menuruti perkataan sang ayah, Daneen hanya memberikan dengusan tak suka. Wajahnya dialihkan ke arah lain.
Kembali Arkan merasa malu. Beruntung Anisa bisa memakluminya. Dokter wanita itu terus memberikan senyum manisnya dan semakin gemas akan tingkah polah putri dari sahabat mantan calon suaminya tersebut. "Nggak apa, Kan. Anak kecil emang begitu. Dan setelah kuperhatikan, anakmu ini sangat mirip sama kamu, ya? Tingkahnya maksudku." Anisa terkekeh setelahnya. Kenal sejak kuliah, tentu Anisa kenal betul bagaimana tingkah Arkan selama ini. Pemarah dan juga pelit luar biasa. Anisa tak tahu apakah hingga saat ini sifat pelit itu masih pria itu pelihara?
Arkan menggaruk tengkuknya. "Eheheh... Aku kecil nggak gitu, kok. Kamu bisa tanya mamaku kalo mau."
"Ck. Buat apa aku harus nanya sama mamamu kelakuan masa kecilmu? Aku yakin istrimu aja nggak nanya sampe ke sana sebelum kalian menikah. Kalo aku sampe nanya hal itu sama mamamu, apa nggak aneh?" Anisa terkekeh. "Ada-ada aja kamu."
"Yaa... kali aja kamu nggak percaya sama omonganku." Arkan menanggapi.
Anisa berdecih. "Ah, ya. Tadi saat aku mengecek kondisi Diva, aku sempat melihat istrimu. Cantik, ya. Nggak heran anak kalian secantik ini. Siapa namanya tadi, Sayang?" Anisa ingin mendengar Daneen memperkenalkan namanya sendiri.
"Onty dotel endak dengal Papa bilang nama Anin, ya? Nama Anin tuh, Aaaniiin. Anin, Ontyyy..." jawab anak itu kesal. "Papaaa... Udahan nomongnyaaa... Anin mo ke mamaaa..."
Dan Arkan terpaksa harus mengakhiri pertemuannya dengan Anisa setelah Daneen berteriak mengajaknya kembali ke ruang rawat kakaknya. Jika saja Daneen tak melakukan itu, bisa jadi Arkan akan melupakan segala urusannya di rumah sakit tersebut. Ia terlalu bahagia bertemu teman yang telah lama tak tak ditemui dan sempat kehilangan komunikasi. Sehingga, tak heran Anisa dan Arkan sering lupa waktu saat mulai mengobrol.
"Papa nobol banyaaak... Anin bosan."
Ingatan Arkan mengenai kejadian kemarin bersama Anisa dihentikan Daneen saat anak itu membuat sebuah pengakuan pada mamanya. Arkan menelan ludah.
"Oh, yaaa? Ngobrol apa aja, Sayang?" Dhara memancing putrinya bicara.
"Umm..." Daneen mengetuk dagu, berusaha mengingat-ingat. Setelah sekian detik, anak itu kemudian menjawab, "banyak, deh. Anin lupa."
Seketika itu Arkan mendesah lega. Keringat dingin yang sempat muncul, perlahan menghilang. Ia begitu bersyukur Daneen tak terlalu memperdulikan obrolannya bersama Anisa kemarin.
"Tapi Onty dotelnya pegang-pedang pipi Anin, Ma."
Oh, tidak. Daneen mempermainkan perasaan Arkan. Dasar bocah itu. Arkan mendumel di dalam hati.
"Lalu, Papa suluh dotelnya tetemu nenek."
"Ketemu nenek? Ngapain, Nak?" Dhara memunculkan senyum miring. Jika pria itu terbukti tengah mempermainkan hubungan pernikahan mereka untuk yang ke dua kalinya, hukum memotong kelamin pria itu betul-betul akan Dhara realisasikan.
Pertanyaan sang mama ditanggapi Daneen dengan gedikan bahu.
"Papa, Sayaang... Sepertinya ada yang kepengen burungnya dipotong, ya?" nada halus sarat akan ancaman itu mampu membuat Arkan menggigil kedinginan. Bagaimana ia akan membuktikan jika ia tak menjalin hubungan apapun sama dokter wanita bernama Anisa tersebut? Sepertinya ia harus meyakinkan Dhara bahwa mereka adalah teman lama yang tak sengaja dipertemukan di rumah sakit tersebut, dan kebetulan dia menjadi dokter yang menangani Diva.
"Ra, aku akan menjelaskan kekeliruan ini nanti. Tolong jangan salah paham dulu."
***
Pertama kali mengenal Dhara, Arkan sudah tahu bagaimana watak sang istri. Sifat pemarah seolah telah mendarah daging dalam diri wanita itu. Anehnya, entah kenapa Arkan malah sangat mencintai dan ketergantungan pada wanita pemarah itu? Tujuh hari dalam seminggu dan 24 jam dalam sehari, selalu saja ada kesalahan yang mampu membuat wanita hamil bayi kembarnya itu marah terhadapnya.
Jika saja Arkan hendak menghitung dosa sang istri, Arkan tak mampu menghitungnya. Arkan hanya berusaha memohon ampunan pada sang Pencipta agar menghapus segala kesalahan yang istrinya lakukan selama ini. Kurang baik apalagi sih Arkan sebagai suami?
Arkan bukan suami yang takut istri. Hanya saja, ia berusaha untuk berubah menjadi pria yang selalu menghargai seorang wanita, sebagaimana ia menghargai mamanya yang telah melahirkannya ke dunia ini. Namun, ia masih tak mampu membimbing Dhara agar menjadi wanita lemah lembut seperti mamanya. Jika ia berkata demikian, ia takut Dhara menganggap Arkan tak bisa menerima kekurangannya sebagai istri.
Hhh...
Pria itu mendesah pelan usai mengusap wajah, berdo'a pada Sang Pencipta. Arkan mungkin tak sealim kembarannya, Arsan yang telah Allah buka pintu hatinya untuk hidup di jalan yang Allah perintahkan sesuai syari'at-Nya Tapi, Arkan tak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba.
"Papaaaa... Papa manaaa??"
Panggilan dari putri kecil menggemaskannya itu membuat Arkan tergerak untuk beranjak dari atas sajadah. Ia baru saja selesai melaksanakan sholat maghrib di dalam kamar utama.
Cklek.
"Papaa... Papa ngapa?" Daneen muncul di muka pintu. Mata bulatnya dengan saksama melihat pergerakan sang ayah melepas peci dan juga sarungnya. "Papa sowat?"
"Papa habis sholat, Sayang. Anin udah sholat?"
Daneen mengangguk. "Tadi Anin sama-sama mama. Tapi, Anin tawa-tawa, Pa. Hihihii..."
Dahi Arkan berkerut. Usai meletakkan sarung dan pecinya di nakas, ia mendekati sang putri. "Kenapa sholat kok ketawa-tawa? Nggak boleh, dong. Nanti pahala sholatnya hilang. Kan sayang jadinya."
"Maap, Papaa... hihiiii... Abisnya, Aa lucuuu... itunyaa, salungnya moloot. Anin tawa jadinyaaa. Hihihiii... Tapi, tapi, habis sowat, mama malahkan Anin," cerita anak itu dengan logat dan gaya bahasa khas seorang Daneen.
Seandainya Arkan tak selalu terlambat pulang ke rumah, ia pasti akan mengimami anak dan istrinya sholat. Terkadang, untuk hal sepele seperti itupun Arkan jarang bisa melakukannya. Lantas, bagaimana ia bisa menuntut istrinya untuk bersikap lemah lembut sementara ia sendiri belum mampu menjadi imam yang baik?
"Nanti, jangan ulangi lagi, ya? Nggak boleh ketawa atau main-main kalo lagi sholat, tuh." Daneen mengangguk mantap. "Ya udah. Tadi, Danin nyari Papa buat apa?"
"Oh, iyaaa... Mama suluh makan. Ayo, Pa. Kita makan. Mama masak teyul."
"Lagi?" Arkan menghela napas. Bukan ia tak menghargai masakan sederhana yang Dhara buat, hanya saja ia mulai mual menyantap masakan yang satu itu. Tak lain dan tak bukan adalah telur ceplok berbentuk mata sapi khas seorang Dhara yang tengah mabuk karena ngidam.
Tiba di ruang makan, Arkan menarik kursi sembari mendesah pelan. Telinga sensitif Dhara langsung bereaksi. Arkan ditatap tajam. "Jangan ngeluh. Makan aja apa yang ada. Kalo mau makan makanan yang enak, cari di luar. Atau nggak, minta si dokter cantik itu yang masak. Pasti enak."
Sindiran itu telak mengenai hati Arkan. Pria itu tak berani bersuara. Semenjak mendengar pengakuan Daneen ketika di rumah sakit kala itu, Dhara selalu marah-marah terhadapnya. Salah sedikit saja, pasti Anisa dibawa-bawa. Padahal Arkan sudah berusaha menjelaskan bahwa mereka adalah teman lama yang baru bertemu kembali. Apa karena wanita itu tak punya teman, sehingga tak bisa memaklumi pertemuannya dengan Anisa?
"Ma. Udahan marah-marahnya. Kita lagi di depan makanan." Selama ini Diva hanya diam ketika mamanya terus menyudutkan ayah angkatnya seperti demikian. Tapi, kali ini ia tak bisa membiarkan mamanya bersikap seperti itu lagi. Kondisi Diva masih belum pulih benar. Baru tiga hari keluar dari rumah sakit, dan di rumah mamanya tak berhenti mengomel seperti itu, bukannya sembuh, yang ada penyakitnya semakin bertambah.
"Mama nggak marah. Cuma pengen ngingetin papa kalian aja kalo makan jangan milih-milih," sahut Dhara ketus sembari menyerahkan piring nasi ke hadapan Davin.
"Papa itu nggak komentar apa-apa, Mama yang nggak berenti ngomel. Udahan dong, Ma. Papa sama dokter Anisa itu nggak ngapa-ngapain. Diva yang jamin, karena Diva liat waktu itu." Tidak berarti Diva berusaha membela sang ayah, tapi dari apa yang Diva lihat, ayah angkat dan juga dokter Anisa memang tidak melakukan apa-apa. Mereka memang terlihat sering mengobrol, tapi hanya sebatas teman. Diva tidak melihat kemesraan apapun yang ditunjukkan dari ayah dan dokter tersebut.
Dhara tak bersuara lagi. Daneen yang biasa tak berhenti mengoceh, juga menjadi anak pendiam kala itu. Ia menyantap makanannya dalam diam, tapi tetap saja lahap. Tiga telur ceplok dihabiskan dalam sekejap. Tak heran badannya terus membengkak karena nafsu makannya tak pernah menurun.
***
"Aku tau kalian itu teman lama." Malam menjelang tidur pada malam yang sama, Dhara kembali membahas perihal kedekatan Arkan dan Anisa. Kecemburuannya belum berhasil ia lenyapkan. Katakan ia selalu bersikap kasar pada Arkan, tapi tak ia pungkiri jika ia sangat takut kehilangan pria itu dalam hidupnya. Ia tak mau kejadian tiga tahun silam terjadi lagi, dan ia tak mau kehilangan anggota keluarganya lagi usai ditinggalkan Nadhira bersama dua anak titipannya. Perasaan takut ditinggalkan itulah yang selalu menghantui Dhara, hingga Arkan harus menerima omelan darinya setiap hari.
"Tapi, Kan... Jika dua teman lama laki-laki dan perempuan itu terus berhubungan, apa nggak terlihat janggal? Kamu 'kan tau kalo kamu itu udah punya keluarga, tolong dong batasi pergaulan kalian."
Arkan naik ke atas ranjang, lalu duduk bersandar pada kepala ranjang. "Kamu takut aku direbut Anisa, ya?"
Dhara memberinya tatapan kesal. "Istri mana yang rela melihat suaminya menjalin hubungan baik dengan perempuan lain? Tentu saja pikiran akan ditinggalkan itu ada. Kamu pikir aku marah-marah gitu, aku nggak sayang sama kamu? Aku sayang sama kamu, makanya aku ngelarang kamu deket-deket sama wanita lain, meski kalian hanya teman."
"Hati-hati, Ra. Biasanya perselingkuhan itu berawal dari pertemanan, loh. Kamu jagain suami kamu, tuh. Kekepin terus dia kalo bisa." Sialnya, Dhara selalu teringat akan kata-kata menyebalkan dari Nadia kemarin. Sahabatnya itu kemarin sempat mampir ke rumahnya karena telah cukup lama mereka tak bersua. Dan Dhara sempat bercerita akan masalah yang beberapa hari itu terus menghantui pikirannya.
Mendengar kalimat pengakuan Dhara barusan, bisakah Arkan terbang sekarang? Ia bahagia mendengar kalimat itu, meski wanita itu utarakan dalam nada kesedihan bukan penuh cinta seperti yang ia harapkan. Setidaknya, Dhara masih sangat membutuhkan dirinya karena rasa sayang yang wanita itu miliki.
"Sejak aku memutuskan untuk kembali ke kamu tiga tahun lalu, aku selalu berjanji sama diriku sendiri bahwa aku nggak akan pernah mengkhianati kamu, apalagi menyakiti kamu. Sehingga apapun yang kamu lakukan ke aku, aku terima dengan penuh rasa sabar. Aku tau kamu sayang sama aku, demikian juga aku. Rasa sayang dan cinta yang selama ini aku miliki untuk kamu, lebih dari apapun di dunia ini. Dan jika karena kedekatanku dengan Anisa membuatmu sakit, aku akan menjaga jarak darinya. Aku akan menjauh dari temanku sendiri." Terdengar menyedihkan ketika Arkan mengatakan kalimat akhirnya. Tak sampai hati Dhara memaksa suaminya itu memutus hubungan silaturahim dengan Anisa. Tapi, bagaimana ia harus bersikap? Ia cemburu, sudah pasti. Apa iya dia harus mengenyahkan segala pikiran buruk yang selalu menghantuinya tersebut? Lantas, bagaimana jika kata-kata Nadia benar-benar terjadi?
Kedua mata Dhara terpejam. Terdengar lirih desah napas wanita itu. Lantas, kedua matanya kembali dibuka. "Aku hanya berdo'a agar kamu nggak mudah terpengaruh sama hasutan makhluk ke tiga saat bersama Anisa. Kamu bisa tetap menjalin pertemanan sama dia. Aku juga nggak berhak membuat kalian terputus tali silaturahim. Aku terlihat seperti orang jahat yang tega menyuruh suamiku melakukan itu."
Hening sejenak. Arkan tak menanggapi apapun perkataan Dhara barusan.
"Aku ngantuk. Kamu juga harus tidur, biar besok nggak telat ke kantor. Selamat malam." Daneen dipeluk, lalu ia memejamkan mata tanpa menunggu suaminya ikut tidur bersamanya.
***
Im baaack... kesibukan perlahan berkurang, dan mood sedang lancar. semoga tak ada drama korea lain yang bisa menggugah saya untuk terus ditonton. Karena kalau mood nonton drakor saya datang, jangan harap saya mau ngelirik wattpad. Hihihiii....
But, Drakor apa yang keren saat ini menurut kalian wahai pecinta drakor? (kalo ada). hahaha...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top