1

Dhara tak tahu jika mencari asisten rumah tangga pada masa ini cukup sulit. Bukan sulit mencari orangnya, melainkan sulit dalam mempertahankan dan sulit dalam hal kejujuran.

Beberapa minggu lalu Mbak Yuni yang sejak Daneen lahir sekitar tiga tahun lalu telah bekerja dengannya, memutuskan untuk berhenti dengan alasan bahwa ibunya sedang sakit keras dan butuh perhatian lebih. Dhara tak tahu apakah alasan tersebut memang benar adanya atau hanya sekedar alasan agar diizinkan berhenti dari pekerjaan tersebut. Padahal Dhara telah cukup nyaman dengan Mbak Yuni. Jika beliau berhenti, maka ia harus mencari asisten rumah tangga yang baru. Tentu saja ia harus menyesuaikan diri dengan yang baru dari awal kembali.

Ketika sang asisten rumah tangga telah didapatkan, pada hari ke tiga bekerja, gadis yang baru tamat SMA itu ketahuan menyelinap masuk ke dalam kamar Diva dan mengambil beberapa uang tabungan Diva. Gadis itu lupa jika di rumah tersebut terpasang CCTV di setiap sudut rumah.

Alhasil, Arkan langsung mengambil tindakan dengan memecatnya. Bahkan pihak perusahaan yang telah menampung gadis itu selama masa pelatihan turut mengeluarkannya.

Hingga sekarang, Dhara dan Arkan masih tak menemukan sang pengganti. Arkan cukup khawatir, karena saat ini istrinya tengah hamil tiga bulan dan sedang dalam masa teler. Wanita 29 tahun tersebut sama sekali tak punya tenaga. Bahkan untuk mandi saja harus dibantu Arkan. Jika tak demikian, maka Dhara tak akan pernah mandi selama hamil anak ke dua mereka ini.

Oleh karena tak mendapat asisten rumah tangga yang baru, Arkan terpaksa meminta kerja sama dari keponakan sang istri, Diva agar membantu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Hanya mencuci piring dan membereskan rumah. Mencuci pakaian mereka menggunakan jasa laundry, sementara memasak mereka lebih sering membeli. Jika mama dari Arkan tak sibuk, maka beliau akan mengiriminya makanan yang dimasak beliau sendiri. Jika sedang kepepet karena kelaparan, maka Diva akan masak sendiri walau sekedar membuat telur dadar bagi dirinya dan dua adiknya.

Pagi kala itu, Dhara terbangun ketika Arkan baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya. Wanita itu menahan rasa pusing di kepala, lalu duduk di pinggiran ranjang. Dahinya mengernyit menahan sakit.

"Nggak usah bangun kalo nggak kuat, Ra," cegah Arkan begitu Dhara hendak berdiri.

Sebenarnya, Dhara sangat tak nyaman harus terbaring sepanjang waktu tanpa melakukan apapun. Selama 26 tahun hidupnya, ia selalu menghabiskan waktu dengan bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Apalagi setelah Diva dan Davin muncul dalam kehidupannya, tuntutan ekonomi membuatnya banting tulang tanpa lelah sembari menjaga dua anak tanpa bantuan siapapun. Namun, setelah menikah dan melahirkan Daneen, kehidupan kerasnya perlahan berubah. Ia tak lagi bekerja dan hanya fokus mengurus anak dan suami.

"Aku berencana mau masak buat kalian. Tapi, badanku lemes banget. Aku nggak sanggup gini terus sampe lahiran, Kan," ujar Dhara. Wanita itu merasa tak nyaman dengan terus membiarkan anak serta suaminya tak diurus.

"Nggak usah, Ra. Nanti sarapan kami beli aja. Dan kamu mau sarapan apa pagi ini? Mumpung aku belum ke kantor."

"Bubur ayam sama telur rebus aja. Daneen beliin nasi uduk, ya? Dia suka banget sama nasi uduk," pinta Dhara.

Arkan mengangguk. "Mau mandi? Mumpung aku belum pake baju kerja, nih."

Dhara menghela napas. Tangannya diulur manja, meminta pria itu menuntunnya menuju kamar mandi.

Arkan terkekeh. Ia suka sifat manja istrinya. Jika saja bukan karena pembawaan sang janin yang manja, entah kapan Arkan bisa melihat Dhara bermanja ria terhadapnya.

"Air panas, air dingin?" tanya Arkan.

"Nggak panas nggak dingin," jawab Dhara.

Lagi-lagi Arkan terkekeh. Hidung wanita itu dicuit gemas olehnya. "Pinter."

Maka, nikmatilah kemanjaan istrimu, Arkan. Kapan lagi dirimu bisa hidup tenteram tanpa amukan Singa Betina itu?

🍼🍼🍼

Usai membantu sang istri mandi dan berpakaian, Arkan bergegas memakai pakaian kerja dan beranjak membeli sarapan bagi mereka sekeluarga. Beruntung, di depan kompleks perumahan mereka ada sebuah warung yang menjual makanan. Pria itu memutuskan membeli tiga nasi goreng udang plus telur mata sapi, bubur ayam plus telur rebus untuk Dhara, dan nasi uduk plus ayam goreng untuk Daneen. Arkan dan Dhara tak terlalu memusingkan bekal siang Diva dan Davin karena sekolah anak-anak itu menyediakan makan siang untuk para siswa.

"Danin belum bangun?" Arkan bertanya pada Diva sembari meletakkan bungkus sarapan mereka ke atas meja makan, sementara Diva menyediakan piring dan mangkuk untuk bubur.

"Belum, Pa," jawab Diva.

"Ya udah. Davin mana? Belum siap? Buruan panggil, kita sarapan bareng."

Diva mengangguk, lalu naik ke lantai dua untuk mengajak Davin turun sarapan. Sementara Diva ke lantai dua, Arkan sendiri masuk ke kamar utama untuk melihat keadaan Dhara serta Daneen. Putri kecil mereka itu sedang tak enak badan. Suhu tubuhnya agak panas, bibirnya kering, dan nafsu makannya berkurang. Anak itu tak mau makan jika tidak ada nasi uduk. Hanya ketika sakit Daneen memilih makanan, selain itu ia akan memakan apa saja yang bisa dimakan.

Tak heran di usianya yang ke 3 tahun sekarang ini, berat badannya naik drastis. Hampir 20 kg. Jika dibandingkan berat badan Davin ketika berusia 3 tahun dulu, jelas anak laki-laki itu kalah jauh. Berat Davin kala itu hanya 16 kg.

"Anin gendut," ledek Davin waktu itu.

Daneen yang tak tahu apa itu gendut, hanya menanggapi ejekan Davin dengan cengiran lebar sembari menyantap satu box es krim ukuran sedang.

"Danin belum bangun?" Arkan duduk di pinggiran ranjang, lalu menyentuh dahi sang putri. Masih hangat.

"Obatnya hampir habis. Malam nanti kita bawa periksa lagi, ya?" pinta Dhara.

Arkan mengangguk. "Iya. Sarapan udah siap. Yuk, keluar."

Arkan berusaha menuntun wanita itu untuk melangkah keluar. Kedua kaki Dhara benar-benar lemas. Seperti jeli. Tubuhnya tak lagi berisi seperti sebelumnya. Bahkan wajahnya tampak pucat pasi.

Dalam bahagia karena istrinya tak sebringas dulu, namun Arkan cukup iba melihat perjuangan sang istri saat mengandung buah hati mereka.

Ah, betapa jahatnya Arkan dulu karena sempat membiarkan Dhara mengandung Daneen seorang diri dan bahkan digugat dalam keadaan hamil. Mengingat peristiwa dahulu, Arkan tampak buruk sekali. Oleh karena itu, setelah memutuskan rujuk, Arkan berjanji pada Dhara dan dirinya sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Maka saat kehamilan Dhara sekarang, Arkan akan meladeni apa saja yang Dhara pinta.

"Mama..." Davin menyapa dengan senyuman ketika melihat ibu angkat sekaligus bibinya tersebut melangkah menuju meja makan.

Dhara balas tersenyum. Rambut putranya tersebut dirapikan, sebelum mengecup dahinya lembut. Diva melihat dan sedikit merasa cemburu. Pasalnya ia tak diperlakukan demikian.

"Ah, mungkin karena aku udah besar. Nggak mungkin maka mau melakukan itu lagi ke aku." Diva mencoba menghibur kecemburuan hatinya, lantas menyuap nasi gorengnya dengan tenang.

"Nanti selama kami nggak ada di rumah, kalo ada apa-apa, cepat telepon aku, ya?" Arkan memberi pesan pada Dhara di tengah kegiatannya menyantap nasi goreng. "Atau, mau aku suruh mama jagain kalian di sini?"

Dhara cepat menggeleng. "Nggak usah ngerepotin mama. Kami akan baik-baik aja di rumah. Lagian Danin sakit itu nggak rewel, kok. Dia lebih banyak tidur. Kalopun bangun, paling minta susu. Habis itu tidur lagi. Cukup siapin air putih biasa, air panas, botol susu sama susu Danin, handuk kecil, sama nasi uduknya di nakas. Kalo semua udah ada di nakas, aku masih bisa ngurus dia."

Keras kepala. Arkan membatin.

Satu-satunya sifat Dhara yang masih setia melekat di diri wanita itu adalah keras kepala. Arkan tak tahu kenapa istrinya tersebut sangat tak mau dibantu oleh keluarganya. Sesakit apapun Dhara, wanita itu lebih memilih melakukannya sendiri.

Arkan hanya menghela napas. Pria itu tak lagi mengatakan apapun. Nasi gorengnya disuap hingga tandas. Sebelum pergi, pria itu menyiapkan semua kebutuhan Daneen ke dalam kamar mereka. Semenjak Dhara hamil, kamar mereka seperti memiliki dapur tersendiri. Semua yang Dhara dan Daneen butuhkan tersedia di sana agar Dhara tak perlu memaksakan diri turun ke dapur.

"Ayo. Kita berangkat. Salam dulu sama mama." Diva dan Davin mengangguk. Sebelum berangkat, Diva mengumpulkan piring kotor bekas sarapan mereka. Ia akan mencucinya sepulang sekolah nanti.

"Diva berangkat dulu, Ma. Assalamu'alaikum." Diva mencium punggung tangan mamanya, dan dibalas Dhara denga mengacak kepala anak itu yang kini berlapis hijab.

"Davin juga, Ma. Mama baik-baik di rumah sama Anin, ya? Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam semua. Iya, Mama dan Danin akan baik-baik aja di rumah. Kalian tenang aja," balas Dhara.

"Nggak usah antar sampe depan, ya. Kuat nggak jalan ke kamar sendiri? Ayo, kubantu." Arkan memegang kedua pundak Dhara, mencoba membantu wanita itu berdiri dari kursi makan, lalu melangkah ke kamar.

Saat mereka memasuki kamar, Daneen menggeliat. Mata bulatnya terbuka, lalu memanggil sang ayah dengan suara pelan. Gadis kecil itu masih lemas.

Berhasil mendudukkan Dhara di pinggiran ranjang, Arkan beralih pada putri kecilnya. Dahi anak itu diraba, lalu mengecupnya. "Anin udah bangun? Papa mau berangkat kerja dulu, ya? Anin sama mama di rumah."

"Ngh... Dendong Papa." Daneen merentangkan kedua tangannya, dan mau tak mau Arkan harus menggendong anak itu walau sebentar. Tak lebih tiga menit, Daneen kembali terlelap.

"Kami berangkat. Hati-hati di rumah." Arkan berkata pelan, takut membangunkan sang putri kecil. Dahi Dhara dikecup, dan Dhara membalas dengan mencium punggung tangan Arkan.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan," balas Dhara.

Arkan mengangguk. Perlahan ia meninggalkan kamar mereka untuk segera berangkat ke tempat yang dituju.

Usai kepergian Arkan dan dua anaknya, Dhara merasa kesepian. Dulu sebelum melahirkan Daneen, ia sering menghabiskan waktu di kantor bersama para tim di divisinya. Malam harinya ia berkumpul dan tertawa bersama dua anaknya. Sekarang, tiap pagi hingga sore, ia hanya berdua bersama Daneen. Jika malam hari, Diva lebih sering berada dalam kamarnya di lantai tiga. Semakin Dhara perhatikan, Diva semakin menutup diri dari sang mama. Dhara ingin mengobrol serius bersama anak itu tapi belum punya waktu yang tepat.

Dhara mendesah. Ia mengambil remot tv, dan membiarkan tv itu menyala tanpa ditonton. Sementara dirinya lebih memilih memejamkan mata sembari memeluk tubuh kecil Daneen yang juga tengah tidur pulas.

Satu jam

Dua jam

Tiga jam...

Tidur yang pulas sekali. Dhara membuka sedikit matanya, lalu memijat pelipisnya. Ketika kedua matanya terbuka sempurna, ia baru sadar jika Daneen tak berada di sana, di sebelahnya.

Dhara bingkas duduk, hingga perutnya terasa nyeri. "Danin... Danin di mana, Nak?" panggilnya.

Sayang, panggilan yang diserukan tak mendapat jawaban.

Ingat bahwa panggilannya pasti tak akan dijawab, Dhara memutar tubuhnya. Benar saja, ia menemukan anak yang dicari tengah menyengir dengan bibir belepotan tengah bersila di lantai menyantap nasi uduk yang ayahnya beli.

Sekali lagi Dhara mendesah. Rambutnya yang tergerai diraup ke belakang. "Sayang, kalo dipanggil itu harus dijawab, ya? Jawab 'iya, Mama...' gitu. Biar Mama nggak cemas nyariin Danin."

"Anin sembunyi, Mama," jawab bocah kecil menggemaskan itu. Nasi uduk yang ayahnya beli tadi pagi itu disuap kembali. Tidak menggunakan sendok, namun dengan tangan secara langsung. Dhara yakin, Daneen tak mencuci tangan sebelum makan.

"Nggak boleh main sembunyi-sembunyi terus, Nak. Nanti Mama nggak bisa nemuin Danin. Danin mau Mama sedih, ya?"

"Sedih napa? Anin ada sini, tuh," jawabnya.

"Iya. Sekarang Anin ketemu, kalo nggak ketemu gimana?"

Daneen menyengir. Ia tak menjawab lagi setelah itu. Ibu berumur 29 tahun tersebut menggelengkan kepala. Jika Daneen telah berulah, pasti demamnya telah kebah.

"Nasinya enak, Ma. Mama bitin?" Danin bertanya. Mulutnya tak berhenti mengunyah. Nasi uduk itu telah mengambil alih nafsu perut gembulnya.

"Bukan Mama yang bikin. Papa beli di depan. Enak?"

Daneen mengangguk. "Enak. Nati beli lagi ya, Ma?"

"Iyaaa... Besok kita beli lagi."

"Yang banak?"

Tersenyum, Dhara mengiyakan. "Iya. Asal Danin cepat sembuh, Mama beliin nasi uduk yang banyak."

"Yeee..." Daneen bersorak. Kedua tangannya terangkat tinggi hingga tak sengaja mengenai gelas kaca bekas Dhara minum.

Ya ampun. Dhara lupa menyuruh Arkan membawa gelas itu ke dapur.

Tanpa bisa dicegah, gelas itu jatuh menghantam lantai. Dhara memekik, sementara Daneen tampak terkejut sejenak. "Maap, Mama. Hehehe..."

Dhara menepuk dahi. Saat ia cemas setengah mati karena mengira pecahan gelas melukai kulit tubuh putrinya, anak itu malah menyengir seolah tak terjadi apa-apa. Beruntung gelas itu sempat retak ketika jatuh, baru setelah itu gelasnya terbelah dua dan tak melukai kulit putrinya sedikitpun.

"Hati-hati, Naak. Ya Allaah..."

🍼🍼🍼

Daneen is baaacck... Siap-siap pusing akan tingkah anak Om Arkan ini, yak. Hahai.


Bab 2 bakal lanjut kalo udh 3000 votes. Hahahaha... Jahad, yah. Skali kali laaah.

Kabuuur...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top