The Jerk Twins: 21


Jangan lupa lambang pendukungnya! 💜

-----

Sorot matahari yang terang pada pagi hari ini tidak menjamin akan menerangi seluruh hati para manusia di bumi. Pagi ini dimulai dengan kepulangan Lina ke rumah keluarga Altas dengan kondisi yang sangat-sangat buruk, hanya dibalut selimut putih serta kembali dililit dengan jaket hitam milik Altas. Melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah yang sudah dia tinggal selama hampir sehari ini, kedatangannya langsung disambut dengan keterkejutan Bunda dan Ayahnya. Dion tahu, orang tuanya pasti mengkhawatirkan kondisi dirinya dan adiknya yng tidak memberi kabar selama berada diluar rumah kemarin.

"YaAllah, sayang kamu kenapa?" tanya Vega begitu khawatir. Memeluk tubuh Lina yang berada di dalam balutan selimut, wanita itu mengelus kepala Lina dengan air mata yang sudah membanjiri wajahnya.

"Lina?" tanya Ayah Altas kemudian laki-laki itu mengarahkan pandangannya pada Dion yang berdiri disamping Lina dengan tatapan yang sangat sayu penuh peyesalan. "Dion?"

Dion masih bergeming.

"Dion!" suara Ayah Altas meninggi. "Dion! Jawab Ayah apa yang terjadi? Lion juga dimana!"

Dion mengangkat kakinya perlahan mendekati Ayahnya. Masih dengan tatapan sayur tubuh laki-laki itu langsung berlutut di bawah Ayahnya.
Menundukan kepalanya dalam, Dion memegang kaki Ayahnya dan terisak di bawah sana.

"Yah, aku bukan Kakak yang baik, aku bukan Abang yang bisa lindungin adiknya. Yah, aku salah. Aku ... aku gagal jadi Kakak yang terbaik." Dion terisak dengan kepala yang menunduk menatap kaki Ayahnya.

Ayah Altas terenyuh. Hatinya terasa sakit terlebih lagi melihat kondisi Lina, keponakan yang sudah dia anggao seperti anak perempuannya sendiri sedang berdiri dihadapannya dengan penampilan yang sangat kacau.

"Aku salah. Ayah nggak berhak marah ke Lina apa lagi sama temen kumpulku, disini aku yang salah. Salahin aku, Yah. Pukul Dion, Yah! Pukul!"

Ayah Altas meraih kedua bahu Dion, membantu anaknya untuk berdiri. Dalam hitungan detik dia menarik tubuh Dion dalam dekapannya, menepuk tubuh bagian belakang anaknya untuk menguatkan.

"Kamu nggak salah. Kamu cuma hutang penjelasan sama Ayah, setelah ini ceritain semuanya sama Ayah."

Dion terisak. Laki-laki kuat seperti macan jalanan yang hari ini mengeluarkan air mata kecewanya sangat terlihat memilukan. Dion, sang penguasa jalan dan SMA Garuda menangis di dalam pelukan Ayahnya karena gagal melindungi apa yang seharusnya dia lindungi. Dion lemah, Dion hanya kuat di luar tapi hatinya sangat rapuh.

"Persis kaya kejadian Andini, Yah. Bodohnya aku terlambat."

"Kali ini kamu salah." Ayah Altas melepas pelukannya. "Kamu nggak ngabarin Ayah, kamu ceroboh bertindak sendirian. Tapi Ayah bangga kamu bisa ambil keputusan meski akhirnya harus semenyakitkan ini."

Dion kembali menabrak tubuh Ayahnya untuk dia peluk. Pelukan Ayahnya selalu menjadi penenang untuknya, Ayah yang selalu bijak sana dan selalu menerangi jalan yang penuh kegelapan di dalam hatinya.

Altas yang sedari tadi diam membeku menyaksikan kepiluan atas peristiwa pedih yang dialami satu keluarga ini perlahan maju mendekati Vega.

"Tante, lebih baik bawa Lina ke kamarnya. Kita harus fokus sama psikis Lina mulai hari ini," kata Altas hampir berbisik.

------

Lina berselonjor kaki di atas tempat tidurnya. Pandangannya kosong menatap ke arah depan, pandangannya tepat menatap tubuhnya lewat pantulan cermin yang ada. Air matanya terus saja mengalir kala ingatan bagaimana Alga mengambil semua yang ada didirinya dengan sangat tidak berperikemanusiaan. Cara Alga tersenyum menatapnya seakan haus akan nafsu, cara Alga menyentuh pipi dan seluruh tubuhnya masih teringat jelas dalam otaknya. Alga, menghancurkan hidup wanita yang selama ini tidak pernah memiliki celah kebahagiaan setelah kepergian Ayah kandungnya.

Dion masuk bersama Altas. Suara pintu buka dan tertutup seakan tidak mengusik wanita yang masih menatap kosong ke arah depan. Wanita itu seakan kehilangan seluruh raga nya, disini hanya ada tubuhnya yang tersisa namun tanpa nyawa.

"Lin ... Lina, ini Kakak," kata Dion seraya duduk di bibir kasur. Menatap Lina dengan prihatin, wanita itu terus mengeluarkan air mata yang membuat Dion semakin melemah.

"Lina," lirik Dion lagi. Dion memberanikan dirinya mendekati Lina, menyentuh tangan wanita itu namun Lina seakan tersentak saat mendapatkan sentuhan dari Dion.

Lina menarik tangannya, dia memundurkan tubuhnya hingga ujung kasur. Wajahnya berubh ketakutan dengan pandangan kosong yang dia lempar tidak tentu arah.

"Jangan! Jangan aku mohon. Jangan!" teriak Lina begitu histeris.

Dion naik ke atas kasur berusaha meraih tubuh wanita itu namun teriakan Lina semakin menjadi-jadi.

"Aku mohon jangan! Masa depanku masih panjang! Jangan sentuh aku. Pergi! Pergi!" teriak Lina lagi.

Altas menatap mata Lina yang begitu kosong. Beberapa kali dia menangkap bahwa arah mata Lina selalu mengarah ada cermin yang mungkin saja memantulkan kondisi wanita itu. Dengan segera Altas menarik selimut, menutup cermin itu agar kondisi Lina tidak semakin histeris.

Dalam hitungan detik teriakan Lina berubah menjadi suara yang sangat lirih, hampir tidak terdengar. Kondisi itu membuat Dion semakin berani mendekatkan tubuhnya lalu memeluk wanita itu dengan sangat dalam, seraya rela memindahkan rasa sakit yang ada pada wanita itu ke tubuhnya. Awalnya Lina kembali berontak, memukul dada bidang Dion dan menggerakan tubuhnya random untuk melepaskan pelukan Dion. Tapi, karena dia lelah dan pelukan Dion yang semakin mengerat membuat wanita itu menyerah memilih untuk menangis di dalam pelukan laki-laki itu.

Lima menit berlalu. Dion berusaha mengangkat tubuh Lina untuk memindahkan wanita itu keposisi yang benar agar tidurnya lebih nyaman. Wanita itu terlalu lelah menangis, terlalu banyak rasa sakit yang dia rasakan seharian ini membuat tubuhnya butuh istirahat yang cukup.
Usai merebahkan tubuh Lina, Dion menyelimuti tubuh wanita itu dengan selimut lain yang baru saja dia ambil dari lemari.

"Gue bener-bener khawatir sama kondisi dia," kata Dion seraya menatap wajah damai Lina.

Dion mendekatkan wajahnya pada Lina, lalu mengecup kening wanita itu. "Lo bisa Lin, gue selalu ada disini buat lo apapun itu keadaanya," bisik Dion tepat di telinga Lina.

Terdengar hembusan napas yang berat dari Dion dia melirik laki-laki sudah duduk di sofa yang ada di kamar Lina. Terlihat Altas mengayunkan tangannya ke udara seraya mengkode dirinya untuk mendekat. Dion mendekati Altas lalu duduk disamping laki-laki itu.

"Gue sebenernya mau ngomong ini dari kemarin, cuma karena kemarin kondisinya lebih buruk dari sekarang lebih baik gue ngomong sekarang," ucapan Altas.

"Tentang Lion yang masuk rumah sakit?" jawab Dion membuat Altas membulatkan matanya kaget.

"Lo tau dari mana?"

"Beritanya udah kesebar luas di instagram lambe turah SMA Garuda. Berita Lina juga udah kesebar, gue nggak tau siapa yang bocorin hal ini." Dion memijit keningnya yang terasa pusing. Menyenderkan kepalanya pada tumpuan sofa laki-laki kembali angkat bicara. "Ternyata rasa sakit yang tiba-tiba itu sebenernya rasa sakit Lion. Percaya atau nggak mungkin karena kita kembar, Lion kasih rasa sakitnya ke gue. Gue nggak panik dia masuk rumah sakit karena batin gue yakin dia nggak akan kenapa-napa, sebelah jiwa gue selalu ada disamping dia buat menguatkan."

"Tante Maya belum tau kondisi anaknya sekarang. Bunda sama Ayah sepakat nggak kasih tau karena takut bikin Tante Maya panik, Tante Maya lagi di Paris soalnya."

Altas mengangguk. Altas tahu betul bagaimana kondisi temannya sekarang, Dion tidak terlihat baik-baik saja di mata nya. Walaupun Dion selalu berbicara bahwa dirinya tidak apa-apa tapi tubuhnya tidak mampu berbohong jika Dion masih memikirkan sesuatu yang membuatnya cemas.

"Slamet sama Danial ada di rumah sakit nemenin Lion, ada adik gue juga disana. Anak Monster yang lain udah gue suruh pulang dari semalam. Nggak tau Davin sama Fandi kemana, terakhir dia bilang masih di kantor polisi sama Ghani."

"Gue mau egois buat kali ini aja. Gue nggak mau mentingin anak Monster demi kondisi Lina dan Lion. Terserah kalo lo atau yang lain mau anggap gue pemimpin nggak becus, gue bodo amat," ucap Dion dengan sangat putus asa. Yang ada di otaknya saat ini hanyalah tentang Lina dan Lion, hanya dua manusia itu tidak ada yang lain. "Gue bakal cari orang yang berani nusuk Lion. Gue pastiin dia nggak bakal lolos dari malaikat maut."

"Gue ngerti gimana kondisi lo. Gue sama yang lain juga bakal cari orang yang nusuk Lion."

Dion mengangguk sambil mengucapkan kata terima kasih pada Altas. Otaknya masih dipenuhi satu kemungkinan yang akan merembet pada kemungkinan lainnya, otak Dion tidak berhenti berputar memikirkan hal yang satu itu. Hatinya juga masih mengganjal, memikirkan hal yang sama seperti apa yang ada di otaknya.

"Gue ... gue cuma takut kalo Lina hamil." Dion menghembuskan napasnya kasar. Kata itu keluar dengan sendirinya, kalimat yang sedari tadi dia fikirkan.

"Kalo hal itu terjadi gue yang bakal tanggung jawab," jawab Altas dengan sangat mantap.

------

TO BE CONTINUE!!!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top