The Jerk Twins: 19
Sebelum lanjut ke cerita, kenalan dulu sama karakter 'The Jerk Twins' yuk!
W A R N I N G !
∆ Saya sebagai author hanya meminjam visual untuk karakter cerita ini. Tidak ada hak kepemilikan atau sebagainya. Semua orang bisa memakai visual ini dengan catatan tidak disalah gunakan. Jadi, kalo kalian---para pembaca 'The Jerk Twins' menemukan visual ini dicerita lain jangan mengklaim visual ini sebagai peran yang ada.
"Pembaca yang pintar adalah dia yang membaca dengan sikap bijak."
Pake kaca mata biar keliatan keren.
Jangan lupa lambang bintangnya💜
------
M
elangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan yang sudah sangat tidak layak gini itu, Dion ditemani Fandi dan Davin terus menelusuri setiap sudut bagian bangunan ini. Dari deoan hingga belakang namun mereka tidak menemukan apapun selain tembok putih yang menjadi pembatas bangunan ini dan bangunan sampingnya.
"Gue rasa mereka nggak ada di sini." Davin keluar dari salah satu ruangan di sana, bersama Fandi dia terus membuka pintu yang tertutup.
"Bangunan ini kaya udah lama tapi toiletnya masih bagus, bersih, wangi pula," kata Fandi saat membuka pintu toilet yang ada di dalam kamar yang baru sama mereka masuki.
Penasaran dengan apa yang Fandi katakan, Davin mendekat melihat seperti apa kondisi toilet yang Fandi bicarakan. Benar, kondisi toilet tersebut masih sangat rapi, bersih, dan wangi berbeda dengan beberapa toilet yang mereka temukan tadi. Kamar bahkan dapur saja terlihat sangat tidak layak huni, tapi kenapa toilet ini begitu rapi?
"Fan! Fandi! Davin!" suara teriakan terdengardari luar. Dengan segera mereka berdua keluar dan menuju sumber suara.
Dion berdiri dihalaman belakang rumah ini yang nampak dipenuhi dengan rerumputan tinggi dan semak, persis seperti bagian luar.
"Ini ada jalanan," kata Dion menunjuk setapak jalan yang terbentuk ditengah-tengah rimbunnya semak dan rerumputan. "Kalo sampe kebentuk gini berarti ada yang sering lewat, dong?"
"Bisa jadi." Davin mengangguk, lalu berjalan mengikuti arah semak itu. "Tapi lo liat sendiri ini ada tembok yang ngehalangin. Mungkin ini cuma pembatas antara bangunan ini sama bangunan sampingnya."
Fandi menggeleng, tidak menyetujui ucapan Davin. "Nggak mungkin. Kalo nggak ada yang lewat sini pasti jalanan setapak ini nggak bakalan kebentuk kaya di halaman depan. Dan, toilet tadi juga masih rapi, wangi, gue rasa ada yang sengaja gunain tempat ini."
"Bisa jadi dipake buat tempat yang nggak bener," ucap Davin kembali berjalan mendekati Dion dan Fandi.
"Lagian lokasi ini terlalu jarang pemukiman warga, lo liat sendiri bangunan jelek ini ada ditengah-tengah bangunan industri lainnya," sahut Dion. "Mungkin kita bisa cari bangunan yang mirip kaya gini dan geledah."
"Gue ke kantor polisi lagi, deh." Fandi mengambil keputusan.
"Lo demen banget ke kantor polisi padahal, mau jadi tahanan?" tanya Dion sambil terkekeh pelan.
"Enak aja lo! Cita-cita gue emang jadi polisi, tapi terurung karena gue masih suka ambil duit didompet Mamah."
"Najis. Gue kalo punya anak kaya lo langung gue pendem hidup-hidup."
Mereka jalan keluar beriringan. Langkah mereka membawa menjauh dari bangunan yang sudah tidak terpakai ini.
Disisi lain, di rumah sakit tempat Lion dirawat ponsel Altas berdering sedari tadi namun dia abaikan karena Alya masih saja menangis ditambah lagi dokter sudah memberi tahu kondisi Lion yang kritis di dalam sana.
"Ponsel lo berdering," kata Danial yang duduk di sampingnya ada Slamet juga yang menatap kosong ke depan. Laki-laki gagah nan suka marah-marah ini seakan-akan kehilangan keceriaan dan raga dalam tubuhnya setelah mendapati Lion yang terluka.
"Kak, kalo Kak Lion kenapa-napa gimana? Kalo dia mati karena nolongin Alya gimana?" Bibir Alya langsung dibungkam menggunakan jari telunjuk Altas.
Altas menggeleng. "Semuanya bakal baik-baik aja kalau kita selalu berprasangka baik pada Yang Maha Kuasa, paham?"
Alya menganggukan kepala, menyeka air mata yang membasahi pipinya lalu kembali menenggelamkan kepalanya di dalam pelukan Kakaknya yang terasa begitu menghangatkan diri dan melegakan kondisi hatinya.
Ponselnya tidak berhenti bergetar. Altas tahu itu getaran dari pesan yang masuk bukan panggilan telepon, bisa saja itu pesan dari grub yang lupa dia nonakifkan.
"Bisa nggak matiin aja hp lo? Getarannya bikin berisik," ucap Danial menyenderkan kepalanya ke dinding lalu memejamkan matanya yang terasa begitu melelahkan.
Altas meraba saku celananya, mengambil ponsel untuk sekedar melihat jam. Namun notifikasi dari aplikasi pesan online itu ada di layar ponselnya, nomor tidak di kenal bukan dari grub. Dengan segera dia membuka aplikasi tersebut melihat siapa yang mengirimnya pesan hingga banyak sekali.
Jalan Mahabara nomor 12V
Itu pesan yang Altas dapat. Hampir dua puluh notifikasi yang isinya sama, hanya alamat tidak dia ketahui dimana adanya dari nomor yang sama.
Altas melepas pelukan adiknya lalu mengarahkan layar ponselnya ke Danial, membuat temannya itu mengerutkan dahi.
"Dari?" tanya Danial.
Altas menggeleng. "Apa gue harus ke sana?"
Danial mengangkat kedua bahunya bingung. Dia memaksa otaknya untuk berfikir keras. "Lo hubungin Dion. Tanya Lina udah ketemu belum, kalau belum lo kasih tau alamat ini dan liat ke sana bareng-bareng."
Menganggukan kepalanya, Altas menatap Alya yang nampak sangat pucat. "Kamu disini jangan kemana-mana, kalo lapar atau butuh apapun bilang sama Kak Danial atau Kak Slamet. Jangan pulang selebum Kakak dateng ke sini."
"Nial, gue nitip Alya."
Tanpa rasa ragu dan tanpa berfikir dua kali Altas mengangkat kakinya pergi dari rumah sakit. Di dalam mobil dia menghubungi Dion lewat panggilan telepon.
"Lo dimana?"
"Masih dikawasan industri daerah Sriwijaya."
"Lo jangan kemana-mana gue kesana, ada yang mau gue omongin."
Mematikan sambungan teleponnya, Altas menginjak gas lebih keras lagi. Mobilnya melaju dengan cepat. Sorot jingga matahari yang sudah hampir terbenam seakan menarik mobil Altas untuk lebih cepat mengejar cahayanya. Mengambil belokan yang ada di sebelah kiri, Altas udah sampai dikawasan yang Dion maksud. Terlihat mobil Dion dari kejauhan, dengan segera dia memposisikan mobilnya di samping mobil Dion yang terparkir di depan bangunan kosong.
"Lion kemana, sih gue hubungin nggak direspon dari siang." Dion langsung bertanya saat dia baru saja keluat dari mobilnya.
Altas nampak lebih tenang mendapati pertanyaan seperti itu dari pada Fandi yang terlihat sedikit bingung untuk menjawab ucapan Dion. "Gue minta Lion dan yang lain jagain Alya. Gue sengaja nggak kasih Alya pulang ke rumah, lo tau sendiri'kan orang tua gue lagi di Spanyol."
Altas meraba ponselnya. "Gue dapet alamat ini, mau kesana?"
"Lina sempat ada di rumah tempat Permata disekap juga, cuma sebelum gue masuk ternyata Lina udah dibawa pergi duluan."
"Permata? Disekap?"
"Iya. Beruntungnya ada Raka, abangnya Permata yang nyelametin adiknya sendiri. Sekarang mereka udah pulang dan udah gue kasih peringatan jangan keluar rumah sampe Lina ketemu."
Altas menganggukan kepalanya. "Kesana pake mobil siapa?"
"Lo aja. Mobil gue biar tinggal disini."
--------
Ih, sumpah kesel banget ini nggak tau wattpadnya yang bermasalah atau koneksinya yang kurang kenceng aku udah mau up cast seluruh tokoh cuma pict fotonya muter terus jadi nggak bisa.
Yang penasaran sama cast cerita The Jerk Twins bisa lihat di media sosialku, ya.
Facebook : Coretan badai
Instagram : _adehismawati
Kalo udah liat jangan lupa komen.
Ah, satu lagi. Semisal cast ini nggak cocok dihaluan kalian plis banget jangan komentar yang nggak-nggak atau malah berhenti baca cerita ini. Kamu tinggal membayangkan mereka sesuai idola kalian, entah Taehyung, Bright, Lin Yi atau yang lainnya terserah kalian!
Salam manis untuk kalian yang manis.
TO BE CONTINUE....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top