The Jerk Twins: 17
Jangan lupa komen dan vote nya💜
Pembacaku silent readers semua hehe><
-----
Altas memeluk Alya yang masih menangis. Mengusap tubuh bagian belakang adiknya untuk menenangkan, tidak jarang pula dirinya mencium pucuk adiknya seraya berkata tidak akan terjadi apa-apa pada laki-laki yang sudah berkorban demi menyelamatkan kakaknya ini.
"Lo nggak liat siapa yang nusuk Lion?" tanya Danial. Dia duduk di depan ruang ICU bersama temannya yang lain.
Slamet menggelengkan kepala. Laki-laki itu berdiri di depan pintu ruang ICU, menempelkan keningnya tepat dipintu berharap dokter segera keluar dan memberi tahu kabar baik mengenai kondisi teman bertengkarnya.
"Dia pake masker yang nutupin mukanya. Kita nggak sempat buka masker dia karena terburu-buru bawa Lion ke rumah sakit," kata Altas. Mengusap kepala adiknya, laki-laki itu menatap mata adiknya dalam. "Dia yang nyelamatin kamu namanya Lion. Percaya sama kakak dia nggak akan kenapa-napa, Lion kuat sekuat arti namanya. Bantu temen kakak berjuang, ya? Bantu doa."
"Yang gue inget dia punya luka kecil di belakang telinga." Slamet yang dari setadi diam mulai berbicara meski suaranya seperti melirih.
Pintu terbuka. Seorang dokter bersama satu suster keluar dari dalam sana. Dokter tersebut membuka masker medis yang dia gunakan.
"Keluarga pasien?"
Semuanya berdiri, termasuk Alya.
Slamet maju paling depan. "Saya kakaknya, Dok."
Terdengar hembusan napas berat dari dokter tersebut. "Pasien banyak kekurangan darah itu yang membuat pasien kehilangan kesadarannya, saya rasa pasien juga tidak kuat menahan rasa sakit yang merobek kulit perutnya."
Satu kalimat itu benar-benar mengacaukan pikiran Slamet. Lemas rasanya mendengar ucapan dokter, ini bukan yang dia mau, yang dia mau adalah dokter berkata bahwa Lion dalam keadaan baik-baik saja meski nyatanya sangat mustahil.
"Lukanya sudah saya jahit. Nampaknya pasien memiliki tubuh yang cukup kuat membuat kemungkinan dia bertahan lumayan besar. Lionnaga Bumi Altas saya diagnosa kritis."
Tubuh Slamet runtuh begitu saja di atas lantai. Posisinya bertekuk lutut di depan sang dokter. Danial segera membantu laki-laki itu kembali berdiri, namun rasanya semua tulang di tubuh Slamet tidak mampu menopang tubuhnya.
"Lo harus kuat. Kita dukung Lion dari sini, lo jangan lemah. Kalo kita semua lemah siapa yang mau bantud Lion berjuang?" ucapan Danial.
-----
Dion mengetukan jarinya pada stir mobil. Entah udah berapa menit berlalu tapi Fandi tidak kunjung kembali. Dirinya sudah menghubungi Altas dan Slamet namun tidak dapat jawaban dari temannya membuat Dion kesal. Jam menunjukan pukul dua siang, Lion juga tidak menghubunginya sejak tadi, pesannya juga tidak dibalas bahkan tidak dibaca sama sekali.
Terlihat Fandi datang bersama dengan Davin. Sebelum keluar Dion menggunakan topi hitam kesayangannya agar wajah tampannya tidak terkena panas matahari secara keseluruhan, pun agar orang lain tidak melihat wajahnya dengan sempurna.
"Lo aman?" tanya Dion.
Kata 'aman' merupakan kode dari mereka. Bukan hanya menunjukan kodisi yang bebas dari bahaya tapi menurut merek—anak Moster 'aman' merupakan kata yang mereka artikan sebagai kondisi fisik, keadaan, bahkan kode untuk menarik mundur pasukannya kala tawuran.
Davin mengangguk, laki-laki itu berdiri di sebelah kanan Dion. "Udah baik kok gue. Ini saatnya gue balas budi karena lo udah nyelametin cewek gue waktu lalu."
"Gimana markas Blaster?" Dion kembali bertanya.
"Lagi digeledah. Polisi ditemenin sama Ghani, nanti dia bakal kontek gue kalo ada perkembangan," jawab Fandi.
Dion menganggukan kepal. "Anak Monster dibelakang rumah ini udah stanby? Kasih tau mereka kalo bisa masuk lewat belakang, sebagian ada yang tunggu di mobil gue."
"Apa nggak bahaya? Takutnya mereka punya senjata tajam bahkan buruknya pistol?" argumen Davin.
"Waktu enggak berhenti, bahaya enggak dapat dicegah," kata Dion. "Kebanyakan ngulur waktu yang ada kondisi mereka semakin nggak aman."
"Kalo gitu kita masuk lewat gerbang depan. Lo berdua tenang aja, kalo soal ngibulin orang gue paling terdepan." Fandi melenggang pergi meninggalkan Dion dan Davin yang masih berdiri dipinggir jalan.
Fandi menyebrang jalan diikuti oleh Dion dan Davin. Terdengar suara ketukan gerbang, Fandi mengetuknya dengan cara tidak sopan sangat kencang dan membuat gerbang tinggi ini seperti bergoyang.
"Gue disuruh kesini, mending lo bukan gerbang," ucap Fandi kala melihat pria dengan seragam putih biru yang dia kira adalah penjaga.
"Disuruh kesini sama siapa?" jawab pria itu galak.
Tiba-tiba Davin yang awalnya berdiri di belakang Dion maju selangkah. Dia merogoh sesuatu yang menggantung di lehernya di dalam baju. Kalung berbandul lencana polisi itu dia keluarkan, menatap satpam dengan tatapan tajam membuat pria yang sudah tidak lagi muda itu menunjukan raut wajah ketakutan.
"Masuk-masuk."
Setelah mempersilahkan mereka bertiga masuk gerbang tinggi itu kembali tertutup. Rumah besar bercat putih, air mancur di tengah-tengah taman, pun pilar besar yang menjadi penyangga bangunan ini terlihat begitu kokoh.
Fandi diam-diam mensikut perut Davin sambil berbisik. "Lo dapet kalung polisi dari mana anjir?"
"Oh, ini." Davin kembali mengeluarkan kalung lencana polisi yang dia kenakan. Dion dan Fandi menggangguk. "Beli di toko online, ini palsu." Davin terkekeh pelan.
"Kadang-kadang temen gue otaknya lancar." Dion jalan lebih dulu. Dia berdiri di depan pintu kembar berwarna cokelat tua, kemudian mengetuk pintu itu.
Sekali ketukan tidak ada jawaban dari dalam sana, hingga ketukan ketiga kalinya sama saja tidak ada jawaban. Tidak ingin terlambat dan membuang waktu lebih banyak lagi, Dion masuk ke dalam rumah tersebut yang kebetulan pintunya tidak dikunci.
"Assalamualaikum," ucapan Dion hampir berbisik. Pun dengan Fandi dan Davin yang ikut mengucapkan salam kala menginjakan kaki masuk ke dalam rumah tersebut.
"Kaya nggak ada orang," kata Fandi.
Dengan langkah sangat pelan mereka jalan beriringan menaiki tangga.
"Iya, kaya rumah kosong," sahut Davin. "Dari tadi lo di seberang jalan nggak liat ada mobil keluar? Perasaan gue nggak liat ada mobil di halaman rumah ini."
Dion menggeleng. Perlahan tapi pasti mereka sampai di lantai dua yang sama sepinya dengan lantai bawah. Kembali melangkahkan kakinya lebih jauh, Dion melihat laki-laki yang membelakangi dirinya keluar dari dalah satu kamar dengan tergesa.
"Jangan kabur tolong!" teriak laki-laki itu kemudian melangkah dengan lebar.
Dion lari mengejar laki-laki itu. Setelah Dion berlari Fandi dan Davin baru mengarahkan pandangannya lalu ikut mengejar laki-laki tersebut.
-----
TO BE CONTINUE....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top