62. Malevolence

nas's notes: hi semua! akhirnya aku update. terima kasih banyak untuk 104k views-nya!!

kan kemarin aku buka give away, ya, buat merayakan cerita ini. cuman karena aku lihat enggak ada yang ikut, jadi terpaksa aku tutup ga-nya. jujur aku sedih banget karena sampai ovt kecil, tapi enggak apa-apa, akan aku coba lagi lain kali, ya. siapa yang mau ikutan kalau aku buat give away lagiii???

oh ya, jangan lupa vomments. vote dulu sebelum baca. kalau mau baca pas offline, boleh tapi nyalakan dulu kuotanya terus vote dan matikan lagi.

terima kasih banyak dan selamat membaca <33
.



.





.

Semenjak Nicholas sadarkan diri dari koma, Nicholas langsung menjalani serangkaian pemeriksaan—dari tanda vital, neurologis, fisik, hingga evaluasi psikologis. Bahkan Ingrid hampir saja mempersiapkan dirinya jika anak lelakinya terbangun dan langsung mengucapkan beberapa kata dalam bahasa asing. Untung saja Nicholas tidak mengalami kemungkinan terburuk karena hasil pemeriksaan Nicholas setelah sadar benar-benar baik.

Malamnya, Nicholas duduk sembari melihat sahabatnya, Andrew Karel, memakan sate ayam dengan bumbu kacang sembari duduk di salah satu sofa kulit. Sekarang orang tuanya pulang ke rumah untuk bebersih sekaligus beristirahat. Jadi, Andrew akan tinggal sampai orang tua Nicholas kembali.

Karena kondisi Nicholas belum memungkinkan untuk memakan makanan yang padat seperti sate ayam, jadi Nicholas hanya menatap Andrew sembari meminum teh manis hangatnya.

"Andrew, Giandra sudah operasi atau belum?"

Andrew hanya menggelengkan kepala. Ia mengangkat kepala dari sepiring sate ayam. "Belum. Sura bilang kalau Giandra akan operasi minggu depan."

Nicholas hanya menganggukkan kepalanya. Ia menghela nafas dengan berat dan melirik pada Andrew. "Aku kira Giandra sudah operasi."

"Aku tahu kamu merindukan Giandra."

Lalu Nicholas teringat dengan barang-barangnya. "Andrew, kamu tahu di mana barang-barangku?"

"Ada di laci nakas. Ayahmu menaruhnya di sana." Andrew berujar sembari memakan sate ayamnya dengan perlahan.

Mendengar ucapan Andrew, Nicholas langsung membuka laci dari nakas samping ranjang rumah sakitnya. Ia mengambil ponsel dan jam tangan yang ia pakai pada saat kecelakaan. Iris hijau kebiruan milik Nicholas tampak berkaca-kaca begitu mengetahui bahwa jam tangan pemberian Giandra memiliki retakan pada kacanya. "Ya Allah, jam tangan ini ... bagaimana bisa retak?"

"Tentu saja bisa. Kamu, 'kan, kecelakaan." Andrew menanggapi sembari menoleh pada Nicholas.

Mata Nicholas masih memandangi jam tangan miliknya dengan kaca yang sudah retak dan, perlahan, ia mulai menangis. "Ini pemberian Giandra. Untuk ulang tahunku."

Mata Andrew sendiri hanya memandangi Nicholas dan mengusap punggungnya. Lelaki itu coba untuk menghela nafasnya sebelum menanggapi sahabatnya. "Percaya padaku, Giandra tidak peduli—ia bisa membenarkannya sendiri atau membeli baru. Yang terpenting baginya adalah kamu."

Nicholas langsung membuka ponsel. Ia melihat banyak sekali pesan masuk yang sampai pada ponselnya saat ia kecelakaan. Jemari lelaki itu membuka aplikasi WhatsApp dan melihat pesan Giandra yang masih berada di bagian atas—ia sengaja untuk menyematkan pesan dari calon istrinya itu.

August 2nd, 2026
Giandra Euphrasia:
Kakaaaaak.
Aku sudah selesai pemeriksaan, ya.
Aku akan operasi pekan depan.
I miss you sm.
Munich ini kotanya indah dan historis, namun ada sisi modernnya juga.
Bahkan aku seperti kuliah arsitektur lagi saat melihat kota ini.

August 4th, 2026
Giandra Euphrasia:
Aku patah hati.
Kakak kecelakaan.
NOOOOOOO.
Hanya saja aku tahu dari babi itu dan aku tidak percaya.
Tapi Rayan bilang kalo berita itu benar.
Aku sedih karena enggak bisa menjagamu.
Kakak tolong bertahan, ya. Aku harap semoga kakak lekas sembuh.

August 5th, 2026
Giandra Euphrasia:
Hiiii.
Apa Kakak sudah sadar?
I'm waiting for you.
I miss you sm.
Ngomong-ngomong, aku akan menjalani operasi dalam hitungan hari.
Jadi aku mengirimkanmu pesan untuk minta maaf. Aku tidak tahu apakah aku bisa melewatinya atau tidak.
Thank you ... for everything.
I love you.

Nicholas terdiam saat melihat pesan dari Giandra. Jemarinya langsung mengetik pesan dengan cepat untuk memeriksa keadaan Giandra.

Nicholas Wiradikarta:
Sayang, kamu mau kemana?
Aku baru sadar pagi ini, tapi pesanmu kayak orang mau pergi jauh?

Giandra Euphrasia:
Kak ... ?
Kamu sudah sadar?

Nicholas Wiradikarta:
Yuuuup!

Giandra Euphrasia:
Akhirnyaaaaa!!1
Belum pulang, 'kan?

Nicholas Wiradikarta:
Beluuum.
Sekarang aku sedang memandangi Andrew dan sate ayamnya yang enak itu—ia membelinya di dekat rumah sakit.
Sekarang kamu di mana?

Giandra Euphrasia:
Ahhh sate ayam :")
Di apartment Fabian. Sekarang aku sedang baca beberapa koleksinya.
Fabian dan Sura sedang pergi keluar.

Nicholas Wiradikarta:
Well ....
Aku merindukanmu.

Giandra Euphrasia:
Aku juga merindukanmu.
Aku senang sekali!

Nicholas Wiradikarta:
Kamu tidak menangis, 'kan?

Giandra Euphrasia:
Tentu saja aku menangis.
Aku merindukanmu dan mendengar kabar kecelakaanmu, tanpa sadar aku menangis saat aku pergi ke luar.

Nicholas Wiradikarta:
NOOOOO.
Kumohon bertahanlah.
Aku harus memelukmu begitu kamu pulang dari Jerman.

Giandra Euphrasia:
Yah, kalau begitu jangan peluk aku.
Bukannya Kakak cedera?

Nicholas Wiradikarta:
Cedera sedikit, tapi tidak apa-apa, Gi.
Pas kamu pulang, pasti aku sudah sembuh.
Lihat saja.

Giandra Euphrasia:
Siaaap Sayang.
Aku minta tolong, kamu jangan pergi kerja dulu.
Aku diceritain semua sama Rayan dan aku takut.

Nicholas Wiradikarta:
IYAAAAAAAAA.
Kamu juga jangan buru-buru pulang. Harus diperiksa lagi beberapa hari setelah operasi.

Giandra Euphrasia:
Iyaaa.
Aku sayang kamu.

Nicholas Wiradikarta:
Aku sayaaaaaaangggg kamu.
Duh, aku berisik, ya?
Sampai lupa aku habis koma lumayan lama.

Giandra Euphrasia:
ENGGAK APA-APA.
Peluk jauh!!
Sampai jumpa di Jakarta!

Nicholas Wiradikarta:
Peluk jauh.
Chat berakhir di aku <3

.





.





.

Jakarta, Indonesia
August 5th, 2026

Saat ini, Raka tidak bisa pulang ke rumah dan tidak bisa kabur ke luar negeri. Pikirannya saat ini adalah berinisiatif datang ke rumah ayahnya yang berada di kawasan Senopati, Jakarta Selatan.

Ayah Raka, Robert Purnomo, adalah seorang putra dari mantan presiden yang memiliki masa jabat paling lama. Keluarganya sudah lama berkuasa sebagai keluarga politik dengan pengaruh di dunia ekonomi, politik dan hiburan. Selain itu, Robert terkenal sebagai pria dengan reputasi sebagai penakluk wanita—istrinya (yang Raka panggil dengan ibun) berasal dari keluarga konglomerat baik-baik dan tidak memiliki anak. Sehingga Robert mempertahankan hubungan perselingkuhan dengan wanita yang pernah menjadi pacarnya saat remaja. Wanita simpanan yang dimaksud juga bukan perempuan biasa, tetapi putri direktur utama dari salah satu maskapai penerbangan milik negara.

Tidak memiliki anak dengan istri sah, Robert membesarkan Raka, anaknya dengan wanita simpanan, sebagai anak satu-satunya dan memberikan hak atas warisannya di masa depan. Sekarang wanita simpanan tersebut berhasil menaikkan status hidupnya secara drastis: menjadi Ibu Negara Republik Indonesia Kanista Moestadja.

Raka tak begitu suka saat pulang ke rumah ayahnya. Rumah tersebut sering menjadi tempat perselingkuhan menegangkan antara Robert dan Kanista. Dahulu Raka kerap menghabiskan banyak waktu di luar rumah hanya untuk menghindari Robert dan Kanista. Hanya saja, Raka menjilat ludahnya sendiri—Raka juga berselingkuh. Bahkan ia menggunakan kediamannya sendiri untuk berselingkuh dengan Clara.

Baru saja ia masuk ke dalam rumah dan melangkah ke ruang tengah untuk duduk. Raka lelah. Matanya tampak melihat seorang pria yang mengenakan kemeja linen putih, lalu mengobrol dengan seorang wanita yang mengenakan terusan hitam. Itu ayah dan Kanista.

"Kukira Remus benar-benar serius ingin memasukkanmu ke dalam penjara." Robert mengatakan saat melihat Raka datang dengan beberapa luka lebam.

"Remus itu orangnya pemaaf. Kalau Andhika, mungkin iya," ucap Kanista yang merespon ucapan Robert.

Mereka membahas itu lagi? Raka membatin dengan perasaaan malas dan tak menanggapi apapun.

"Sayang, aku ingin bicara sama Raka," ucap Robert saat ia melihat Raka yang melangkah masuk ke ruang tengah.

Kanista menganggukkan kepala dengan perlahan. "Ya, kita akan mengobrol lagi."

Robert dan Kanista beranjak dari sofa dan saling mencium pipi. Kanista meninggalkan ruangan dengan perlahan, tanpa melirik pada Raka. Wanita itu pergi sembari menutup pintu dan membuat ayah anak itu saling berpandang.

"Ada apa Ayah?" tanya Raka sembari duduk pada salah satu sofa.

"Kamu ada masalah apa dengan Giandra?"

Pria berusia empat puluhan awal itu tampak terkejut dengan cara Robert membuka obrolan. Ia memberikan raut wajah yang membingungkan. "Kenapa Ayah membicarakan Giandra?"

"Karena Ayah mendapatkan informasi yang menarik. Temanku di Forest Green bercerita kalau stafnya dipecat secara konyol oleh CPO atas permintaan CEO. Padahal staf tersebut memiliki kinerja yang baik dan Forest Green belum berencana untuk melakukan mass lay off. Ternyata pemecatan tersebut adalah pesanan karena yang dipecat adalah Giandra Soerjapranata."

Raka menelan air liur. Ia berekspektasi bahwa ayahnya akan memberikan ceramah setelah ia menabrak Nicholas atau tindakan Raka dalam memprovokasi perceraian Dion dan Nilam. Hanya saja, ayahnya ingin bicara pada Raka hanya untuk menceritakan Giandra.

"Tidak ingin berkomentar?" Robert bertanya.

Raka hanya mengkerutkan dahinya. Merasa tak yakin untuk menanggapi.

"Kudengar, yang membayar uang pesangon Giandra adalah seorang Wakil Menteri." Robert menambahkan. "Namanya Raka Purnomo. Apa kamu ada komentar, Raka ... Purnomo?"

"Aku hanya membantu CEO," ucap Raka perlahan.

Robert tersenyum sarkastik. "Baik sekali kamu membantu CEO untuk membayar pesangon dari karyawan yang tak ada hububgannya dengan pekerjaanmu."

Mendengar ucapan ayahnya, Raka tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia terlihat gagap dan tak dapat mengkontrol ekspresi wajahnya saat Robert berusaha untuk mengkoreknya.

"Well, melihat dari ekspresimu, sepertinya kamu dalang pemecatan Giandra dari Forest Green?" tanya Robert yang tampak melanjutkan ucapannya.

"Ayah, itu—"

"Kamu juga berencana untuk menikahi Giandra?" Robert langsung memotong ucapan Raka.

Tampaknya, semua informasi yang Robert ketahui berasal dari mulut Kanista. Hanya Kanista yang tahu soal detail-detail dari rencananya untuk memiliki Giandra. "Ayah, maksudku—"

"Ayah tidak bisa membiarkanmu, Raka." Pria berusia enam puluhan itu tampak menggelengkan kepala dengan raut tak yakin. "Kamu pikir Giandra dan Keluarganya bisa kamu injak untuk mendapatkan apa yang kamu mau?"

"Aku tidak bermaksud untuk menginjaknya. Aku sungguh ingin menikahi Giandra." Raka langsung berusaha untuk mematahkan apa yang ayahnya pikirkan atas tindakannya.

"Hanya untuk memiliki propertinya," tambah Robert dengan raut wajah datar.

Wajah Raka memerah karena ayahnya sendiri berusaha untuk membongkar dirinya. Raka mersa bahwa Robert sudah memiliki presepsi buruk karena mendengarkan ucapan Kanista. Meskipun Kanista adalah ibu kandungnya, akan tetapi Raka memiliki pandangan yang kerap bersebrangan. "Ayah, jangan percaya kata-kata Kanista. Kanista juga menginginkan properti Giandra. Bahkan ingin Giandra mati!"

Mendengar nama Kanista yang dideskripsikan secara sadis oleh Raka, Robert pun tampak ak percaya dan memilih untuk mengabaikan Raka. "Kanista? Justru Ayah lebih khawatir jika kamu melakukannya seperti yang kamu lakukan pada istrimu."

Ucapan Robert membuat Raka terdiam begitu saja. Raka yang selama ini merasa percaya diri karena pembunuhan yang ia lakukan pada istrinya benar-benar terkejut setelah mendengar ucapan dari Robert. Entah dari siapa Robert mendengar cerita tersebut, yang jelas Raka tidak bisa menerima ayahnya telah melihatnya sebagai pembunuh. "Ayah ...."

"Kamu kira Ayah tidak tahu apa yang kamu lakukan, Raka?"

Raka tak menanggapi ucapan Robert, namun Robert menghela nafas dengan pasrah. Ia membenarkan posisi duduknya dengan melipat kaki. "Keluarganya Giandra sudah berbuat banyak untuk Ayahku, Kakekmu. Jika dr. Arief Soerjapranata tidak mengoperasi Ayahku waktu itu, Ayahku akan meninggal dan digantikan dengan wakilnya—yang sudah berencana untuk menyingkirkan Ayahku dari posisinya sebagai RI 1. Sementara Prof. Arya Hadiwiryono itu selalu baik. Dia ekonom cakap berpendidikan barat yang bekerja dengan baik sebagai menteri—itulah kenapa Prof. Arya dapat bertahan. Ayahku sangat menghormati keluarga mereka dan memberikan apapun yang bisa ia berikan. Bahkan ayahku ingin memberikan banyak hal, namun mereka kerap menolak. Mereka sudah cukup dengan apa yang keluarga mereka miliki, jadi dr. Arief hanya minta ayahku untuk bernegosiasi untuk menurunkan harga dari rumah reyot yang diinginkan dr. Arief."

"Jadi rumah yang berada di Permata Hijau itu ...."

"Ya, itu ayahku yang bantu melancarkan transaksinya—membujuk pemilik rumah reyot itu untuk menjualnya dan mengamankan properti tersebut agar tidak tersentuh. Akan tetapi, dr. Arief tetap membeli rumah tersebut dengan uangnya sendiri untuk kado pernikahan Hiram dan Kirana." Robert menambahkan ceritanya yang baru saja ia jelaskan pada Raka. "Makanya saat aku tahu kamu ingin menikah dengan Giandra hanya untuk memiliki propertinya, kamu ini kurang ajar. Sama saja kamu tidak menghormati kakekmu yang berusaha untuk membalas budi hingga akhirnya dokter itu mau dibantu untuk negosiasinya."

"Intinya, jangan mencari masalah lagi. Jangan mengejar Giandra atau terobsesi untuk mengacak-acak hidupnya. Keluarga Giandra sudah baik dan setia pada ayahku." Robert melanjutkan ucapannya dan membuat Raka kesal.

"Jadi Ayah memilih untuk menjaga nama besar kakek daripada mendengar kebahagiaanku?" protes Raka dengan nada yang terdengar jengkel.

"Kalau kakeknya Giandra tidak mengoperasi ayahku dan menyelamatkan posisinya, maka kita sudah jadi orang kampung yang menyedihkan. Aku tidak bisa berbisnis dan om tantemu tidak bisa berkarier politik di sini. Sepupu-sepupumu juga tidak akan bertahan lama." Robert menegaskan ucapannya. "Lagipula, keinginanmu terdengar seperti sebuah obsesi dibandingkan kebahagiaanmu."

"Tidak Ayah. Aku benar-benar berusaha dengan rencana pernikahanku."

"Pernikahan? Setidaknya Ayah harap kamu masih punya rasa malu saat mengatakan rencana pernikahanmu itu—kamu sudah diberitakan dengan banyak sekali headline." Robert menanggapi dan matanya langsung membaca pesan anonim yang ia dapat.

+62XXXXXXXXXX
RP adalah penyebar video porno palsu untuk memprovokasi perceraian DS dan NP.

Pesan tersebut membuat Robert terkejut dan jengkel. Ia kembali melirik anak lelaki satu-satunya dengan perasaan kecewa. "Korupsi, pelaku kecelakaan, perselingkuhan, pembunuhan, zionist, hingga penyebar video porno?!" Robert melanjutkan ucapannya dengan nada yang mulai ditinggikan.

Mendengar ayahnya menyinggung video porno yang pernah ia sebar di masa lalu, Raka terlihat terkejut dan wajahnya merah. "Penyebar video porno??? AKU TIDAK MELAKUKANNYA!"

"ANAK TOLOL!"

"Mereka berusaha untuk menjatuhkan aku, Ayah. Aku akan berusaha untuk memperbaikinya."

"Mustahil. Bahkan Andhika, yang sudah tahu huru hara ini, sudah menawarkan resign dan kamu tolak. Mungkin kamu lebih suka dipecat dan dipermalukan di publik," ucap Robert yang mulai sarkastik. "Kamu sudah menimbulkan banyak sekali kerusakan di namamu, mungkin juga, nama keluarga. Benar-benar memalukan."

Ucapan Robert membuat Raka benar-benar lemas. Entah dari siapa Robert tahu semua itu, yang jelas, Raka tak dapat membantah apapun. Raka langsung berlutut di atas karpet dan memegangi tangan ayahnya. "Ayah aku minta maaf!"

"JANGAN MINTA MAAF PADAKU, SIALAN! AKU SEDARI TADI SUDAH BERUSAHA MENAHAN EMOSIKU, TAPI KAU ITU ANAK SIALAN!" bentak Robert yang kemudian menepis tangan Raka dari tangannya. "DASAR KRIMINAL!! AYAH TIDAK MEMBESARKANMU UNTUK MENJADI KRIMINAL!!!!"

"Ayah .... "

"Seharusnya Ayah saja yang memasukkanmu ke dalam penjara!" tegas Robert sembar beranjak dan meninggalkan Raka dari ruangan tersebut. "BAHKAN ANDHIKA MASIH BAIK PADAMU. IA TIDAK MEMANGGIL POLISI UNTUK MEMBAWAMU DARI RUMAHNYA!"

Raka tak menanggapi semua bentakan ayahnya. Sebelum pergi, Robert melirik Raka yang masih berlutut di atas karpet di ruang tengah. "Pergilah. Ayah tak ingin melihatmu!"

Merasa ayahnya tak membela dirinya, selaku anak, Raka pun memilih untuk berjalan ke luar rumah. Ia berencana untuk merokok sebentar sebelum pulang. Akan tetapi, Raka tak sengaja merogoh saku dan mendapatkan sebuah botol kaca kecil. Raka langsung teringat bahwa Clara memiliki racun dan Raka mencurinya dari Clara.

Jemari Raka langsung membuka segel dan membuka tutup botol tersebut. Raka menunggu sembari melirik sekitar. Kemudian, ia mempersiapkan dirinya untuk mendongakkan kepala dan mencoba untuk meminum racun tersebut. Raka terpikir agar dirinya dapat pergi dengan cepat.

Ia tidak memiliki alasan untuk bertahan. Masyarakat sudah begitu membencinya, media mencetak label baru untuknya: kriminal, dan ia sudah dijauhkan dari lingkaran terdekat yang selama ini mempercayakan dirinya. Bahkan ia tidak tahu di mana Giandra berada.

Raka memenjamkan mata sebelum meminumnya. Akan tetapi, botol kecil tersebut langsung direbut dan tutup botolnya diambil dari cengkraman tangan Raka.

"Kalau mau bunuh diri, gunakan pistol," ucap seorang wanita yang berdiri di sebelah Raka.

Lelaki itu menoleh pada suara wanita dan ia mendapati Ibu Negara yang mencoba mengagalkan percobaannya untuk mengakhiri hidupnya. Wanita itu langsung menutup botol kaca dan menaruhnya dalam tasnya. "Kanista?!"

Kanista Moestadja berusaha untuk menenangkan Raka. Mengusap punggungnya dengan perlahan. Mereka berdua hening untuk sejenak dan saling berpandangan.

"Aku punya pistol milik Andhika dan aku bisa mengambil milik ayahmu, jika kau mau. Kau mau menggunakannya?" Kanista menawari Raka.

Akan tetapi, Raka terlihat berpikir sejenak. Ia ingin menjebak Giandra dan mengacamnya agar bisa mengikat Giandra bersamanya. "Aku ingin pistol milik Giandra."

Kanista menggelengkan kepala saat mendengar ucapan Raka. "Tidak bisa. Akan terlihat konyol—setelah mati pun kamu akan dicap pencuri. Lagipula Giandra tidak ada di rumahnya selama beberapa hari ini."

"Kau tahu kemana dia?" tanya Raka.

"Oh, kau tak tahu? Dia pergi untuk operasi di Eropa. Kemungkinan angkat rahim karena penyakitnya separah itu."

Giandra operasi angkat rahim? Bagaimana bisa aku tidak tahu? Raka membatin dengan raut wajah sedih. Ia pun lemas dan duduk di salah satu anak tangga.

"Kau serius?"

"Ya. Lagipula Giandra tak akan bisa memiliki anak. Buat apa kamu mengejarnya seperti itu?" Kanista menambahkan.

Biar tahu rasa Raka itu sudah mengacaukan semuanya secara gegabah. Rasakab informasi palsu itu. Batin Kanista sembari menampilkan raut wajah biasa saja.

TBC

Published on December 12, 2024

nas's notes: WOI WKWKWKWK ini udah 2,5k words. enggak ada yang mau maki-maki apa ya???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top