61. Become Conscious

nas's notes: hii semuaa! akhirnya cerita ini berhasil achieve 102k views dan juga masuk ke reading list-nya RomansaIndonesia untuk bulan Desember 2024! terima kasih banyak <33

ini ril gan ,,,,

ini aku update setelah aku pulang dari business trip dan me time. mohon maaf.

oh iyaa! jangan lupa vomments yaa dan kalau kalian suka baca secara offline, boleh banget dinyalakan dulu paket data terus vote dan matikan lagi. boleh banget memberikan krisar berhubung ceritanya akan segera berakhir :")

terima kasih banyak yaa semua dan selamat membaca! <33

.





.





.

Jakarta, Indonesia
August 4th, 2026

"Siapa kau?!"

Raka masih berusaha untuk mencari tahu penculiknya dengan membentak orang yang memukulinya. Akan tetapi, Raka masih dapat merasakan beberapa hantaman pada tubuhnya. Raka merasa bahwa pukulan yang menghujani tubuhnya terasa terlalu keras dan kasar, sehingga ia tak dapat menahannya lebih lama.

Akhirnya pria yang sudah memberikan beberapa tinju pada Raka pun langsung membuka kain yang membungkus kepala Raka. Mata Raka tampak membesar saat ia melihat wajah Presiden Andhika Pradana.

Terutama mata Andhika yang tampak bersinar dengan iris cokelat kehitaman. Tak sadar, Andhika juga memberikan senyuman yang mengancam.

"Pak Andhika?! Bisa-bisanya kau memukulku?!?!"

Bentakan Raka membuat Andhika memutuskan untuk mendudukkan lelaki itu di salah satu sofa tunggal. Andhika benar-benar geram, namun ia lebih ingin melihat Raka tersiksa di tangannya sendiri.

"Tentu saja AKU BISA MEMUKULMU!" Andhika menegaskan ucapannya. Lagi-lagi, Andhika mencoba untuk memukul Raka setelah ia melihat orang itu dengan mata kepalanya sendiri. "Kau pikir hanya kau yang bisa jadi orang gila? AKU BISA."

Lelaki berusia empat puluhan awal itu tampak tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Apa maksudmu, Pak Andhika?!"

"Kamu, 'kan, yang menabrak Nicholas di Sudirman dengan mobil dinas Kemenparekraf?!"

Sialan, aku tidak menduga bahwa Andhika akan membahas kecelakaan Nicholas sembari menculikku. Raka membatin sembari mengkerutkan keningnya. "Jadi Pak Andhika membawaku hanya untuk ini?! TENTU SAJA BUKAN AKU!"

"JANGAN MEMBANTAH, SIALAN!" tegas Andhika sembari memberi pukulan pada Raka hingga terjatuh dari kursinya.

"AKU TIDAK MELAKUKAN APAPUN!"

Ucapan Raka barusan membuat Andhika mengambil tubuh Raka dengan mencengkram kerah kemeja dan memukulnya sekali lagi hingga Raka jatuh tersungkur di atas karpet.

"Tak hanya itu—" Andhika mencengkram kerah kemeja Raka dan menatapnya, "kamu, 'kan, yang memprovokatori Dion dan Nilam supaya mereka bercerai?"

"Aku tidak melakukan apapun yang kau katakan!"

"Masih mau mengelak lagi?!"

Raka tak percaya saat Andhika memberikan beberapa lembar print out yang berisi percakapan Raka dengan Dion lewat surel—dah sudah disunting dengan ukuran besar supaya Raka dapat langsung membacanya tanpa beralasan.

"Bahkan kau juga memeras Dion?!" Andhika melanjutkan ucapannya dengan nada tegas. 

"Salah mereka sendiri jika mereka bercerai!" Raka membalas dengan meninggikan suaranya. 

Andhika tak tahan dan ia mulai mendamprat Raka dengan tangannya sendiri.

"Oke, menurutmu perceraian antara Nilam dan Dion adalah keputusan mereka berdua. Untuk kecelakaan Nicholas, apakah itu kesalahannya juga?" tanya Andhika sembari menatap Raka dengan penuh emosi.

Pertanyaan Andhika membuat Raka berpikir panjang. "Andhika, itu .... "

"Nicholas menyebrang karena lampu penyebrangannya memberikan sinyal untuk pejalan kaki!" Andhika merespon sembari membuka ponsel miliknya untuk menunjukkan rekaman CCTV yang ia dapatkan. "Bahkan seharusnya mobilmu berhenti saat lampu merah, tetapi kau malah menabrak Nicholas dan kabur. Apa itu salah Nicholas? JAWAB AKU, RAKA!"

Lelaki itu tampak terkejut saat melihat rekaman kamera pengawas yang melihat aksinya. Raka tak percaya bahwa ia dibawa oleh Andhika hanya untuk hal-hal ini. Raka mengulang rekaman, akan tetapi Andhika menatap Raka dengan raut wajah yang memiliki banyak pertanyaan.

"Apakah kau bisa klarifikasi soal apa yang kamu lihat?" tanya Andhika yang langsung mengambil ponsel miliknya dari tangan Raka.

"Aku menabraknya."

Andhika tetap menatap Raka dengan tajam saat mendengar ucapan Raka barusan. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Secara spontan, Andhika mencoba untuk memancing Raka dengan mengulang ucapannya.

"Apa yang kau katakan?" Andhika memancing Raka untuk mengulang ucapannya.

"AKU MENABRAK ANAK ITU, SIALAN."

Mendengar Raka yang mengumpat padanya, Andhika langsung mendamprat Raka dengan beberapa pukulan hingga beberapa tetes darah keluar dari hidung Raka. "BERANINYA KAU MENGGUNAKAN KATA SIALAN UNTUK MEMANGGILKU, BANGSAT!"

"BERHENTI MEMUKULKU, PAK!"

Ia langsung berusaha untuk menepis pukulan Andhika, namun Andhika langsung melempar Raka ke sofa dan mengambil berkas yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Surat pengunduran diri Raka dari posisi Wakil Menteri.

WAKIL MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA

Kepada Yth. Presiden Republik Indonesia
Bapak Andhika Kahil Pradana
di Tempat

Tangan Raka bergetar saat membaca surat pengunduran diri yang sudah dipersiapkan oleh Andhika. Matanya membaca semua kalimat yang tertulis di surat tersebut secara perlahan. 

"Tanda tangan surat itu dan kau selesai—jangan kau hancurkan masa jabatku dengan tingkahmu itu. Akan aku buat seperti kamu yang resign baik-baik."

Mata Raka langsung melihat kolom yang sudah dipersiapkan untuk ditandatanganinya.

Hormat saya,

Raka Purnomo

"Aku tidak mau," ucap Raka sembari menaruh kembali kertas tersebut dengan kasar, "kamu memaksaku untuk mengundurkan diri dengan caramu yang sok suci itu. Benar-benar menjijikan."

"Aku sudah tahu kalau kamu tak ingin menandatanganinya. Baiklah, kau bisa mempertahankan posisimu—meskipun rakyat berusaha untuk meng-cancel dirimu dari kabinetku," ucap Andhika sembari menatap tajam wajah Raka, "asal kamu datang ke rumah sakit bersamaku dan minta maaf pada orang tua Nicholas."

Raka menghembuskan nafas dengan berat. Ia melipat kedua tangannya dan melipat kakinya dengan malas. "Aku tidak mau melakukannya—minta maaf kepada Remus Wiradikarta dan istri penutur Ibraninya itu. Aku tidak akan sud—"

Bahkan sebelum Raka menyelesaikan ucapannya, Andhika sudah menampar wajah Raka dan kembali memukul salah seorang pejabat di kabinet—yang selama ini sudah menjadi pendukung setianya dan keluarganya mempercayakan Raka kepada Andhika untuk mejadi orang yang lurus.

.



.



.

Jakarta, Indonesia
August 5th, 2026

"Ingrid, cobalah. Aku membeli ini di kafetaria."

Pagi itu, Remus terlihat menaruh sebuah kue lupis di sebuah piring kecil. Kemudian, ia menuang gula merah cair pada kue berbentuk segitiga dengan parutan kelapa. Istrinya, Ingrid, hanya melirik dan menggeleng. Lelaki itu langsung memotong sedikit dengan sendok kecil dan memakannya.

"Aku tidak ingin makan," ucap Ingrid dengan nada pelan.

Sejak Ingrid datang dari London, Remus mengamati bahwa Ingrid tak ingin makan—terutama saat melihat Nicholas kecelakaan dengan cara yang dideskripsikan oleh Rania. Bahkan Rania sudah berusaha untuk menjelaskan dengan tone normal.

"Makanlah untukku." Remus mengatakannya sembari memberikan piring kecil tersebut pada istrinya. Saat memberikan piring tersebut, Remus menatap dalam iris hijau kebiruan milik Ingrid. "Kumohon."

"Um, baiklah." Ingrid menerima piring kecil berisi kue lupis yang sudah dimakan sedikit oleh Remus. Memotong kue itu menjadi potongan kecil dan memakannya dengan perlahan. "Enak."

Lelaki itu tersenyum dan melirik pada anak lelakinya yang masih belum sadarkan diri. "Saat Nini dirawat, aku begitu mencemaskan ibuku. Kemudian Nicky menyadari itu dan Nicky mengajakku untuk membeli cemilan di kafetaria. Dia memintaku untuk membelikannya pastel, bakwan, hingga kue lupis. Serta, saat aku bertemu dengan Hiram di rumah sakit, Kirana dan Gi membawakan kami jajanan pasar dari kafetaria itu. Memang mereka terkenal dengan jajanan pasar yang enak, namun aku ingat sekali kejadiannya."

Ingrid mendengar penuturan Remus soal jajanan pasar di rumah sakit. Ia begitu asyik mendengarkan sembari mengambil potongan lainnya dari kue lupis itu dan memakannya secara perlahan. "Well, aku akan menghabiskannya. Ini enak sekali. Terima kasih, Remus."

"Thank you, My Love. Akan aku belikan lagi jika kamu mau."

Setelah Ingrid menyelesaikan makannya dan meminum teh yang sempat dibuat oleh Remus, mereka saling berpandangan. Pikiran Remus tampak mencari cara untuk menyampaikan kabar dari Rayan.

"Rayan baru saja mengabari kalau Giandra sudah tahu soal kecelakaan Nicky," ujar Remus dengan nada pelan.

"Ya Allah. Kalaupun Giandra sudah tahu ... Giandra tahu dari siapa?"

Remus menganggukkan kepala. "Bagaimanapun Giandra akan tahu, akan tetapi yang memberitahunya lebih dulu adalah Raka—yang berpura-pura prihatin."

"Raka bermain menjadi teman yang prihatin, ya." Ingrid mengatakannya dengan perlahan. Ia tersenyum sinis. "Rasanya aku ingin mematahkan kakinya. Muka dua itu."

"Hiram memang tidak pernah salah saat melihatnya—Raka memang bukan orang baik," ujar Remus. Ia teringat dengan ucapan sahabatnya saat ia baru mengenal Raka dan Hiram pernah mengingatkannya dulu.

Kemudian Remus memandangi Nicholas. Mereka merindukan Nicholas—dari penuturan bahasa asingnya, pribadinya yang hangat, hingga senyumannya. Remus melihat Nicholas, akan tetapi ia menyadari bahwa mata milik Nicholas sudah mulai terbuka dengan perlahan. "Uh, Ingrid. Bisakah aku minta tolong untuk panggilkan dokter? Tampaknya Nicholas sudah sadar."

Ingrid langsung memencet bel yang berada di samping ranjang yang digunakan Nicholas. "Sudah." Ingrid merespon sembari memandangi Nicholas dengan mata hijau kebiruannya yang melihat orang tuanya. "Willkommen zurück, Nicky."

TBC

Published on December 8, 2024

nas's notes: ini enggak ada yang ikutan give away aku, ya? sedih :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top