6. The Wedding Party
nas's notes: meskipun aku belum melihat ceritaku direkomendasikan, namun aku tetap terbuka jika ada pembaca yang ingin membagian cerita ini ke pembaca baru (aku lebih aktif di twitter terus suka muncul di wattpadmenfess_ wkwk) dan aku terbuka untuk review. overall, aku suka memantau apa saja yang ramai di dunia kepenulisan.
kindly untuk follow akun twitter/x aku di gemeinschweft dan ikuti thread yang ada di twitter untuk info update-nya yaa!
sebelum baca boleh vote terlebih dahulu. kalau kalian bacanya secara offline, boleh nyalain paket datanya, vote, dan matikan lagi, ya.
terima kasih banyak dan selamat membaca <3
.
.
.
Jakarta, Indonesia
March 28, 2026
Karena mendapati Keluarga Jusuf mengundangnya (dan kehadirannya turut dinantikan), Giandra berencana untuk setor muka pada Mba Alya dan keluarga, mencicipi beberapa gubukan, dan pindah lokasi—tentu saja Nicholas sudah memberikan ide untuk mampir ke SCBD atau Blok M lalu menghabiskan waktu bersama hingga malam.
Kakak dari pengantin sendiri adalah menantu presiden (dan menjadi menantu kesayangan presiden) yakni Alya Jusuf. Sebelum menjadi menantu presiden dan melepas kehidupannya, Alya merupakan seorang aktris, finalis GADIS Sampul, dan berasal dari keluarga pengusaha besar di Semarang. Karier keaktrisannya sudah cemerlang sejak debut di layar lebar dan dikenal sebagai aktris kesayangan warganet Indonesia—karena terbebas dari skandal. Namun, ibu mertuanya selalu berusaha untuk meredam eksistensi Alya (meskipun usahanya gagal karena Alya malah mendapat simpati dari warganet, bahkan ada warganet yang meminta Alya untuk bercerai dibandingkan dikaitkan dengan Ibu Negara yang terobsesi dengan perhatian itu.)
Pesta pernikahan yang digelar di salah satu hotel mewah di Jakarta Pusat turut dihadiri oleh Presiden RI dan para pejabat, para pelaku usaha besar di Indonesia, selebriti, dan teman-teman terkasih dari kedua pengantin. Rupanya vendor pengantin sukses menyulap salah satu hall yang dimiliki oleh hotel mewah tersebut dengan dekorasi berkonsep tradisional Jawa yang penuh dengan warna bold dan ragam bunga eksotis yang berhasil menarik perhatian Giandra.
Sementara Giandra ditarik oleh Alya untuk mengobrol dengan orang-orang yang dikenalnya, Nicholas berdiri sembari memandangi para tamu yang berlalu lalang. Ia sudah melihat beberapa orang yang familiar dan ia juga mengenalnya, termasuk bosnya sendiri. Nicholas juga membatin kalau hotel ini sebenarnya bagus, namun sangat disayangkan bahwa ia harus melewati pusat perbelanjaan mewah sebagai akses masuk ke hall hotel—yang menurutnya sangat tidak praktis.
"Nicholas Wiradikarta!"
Tampak seorang pria berusia tiga puluhan akhir mencoba untuk menyapa Nicholas dan mulai berdiri di sebelahnya. Pria itu tampak mengenakan batik warna cokelat tua, celana bahan, dan kacamata khasnya. Tak lupa, penampilan pria tersebut juga jauh lebih clean. Nicholas menoleh dan menyadari bahwa pria itu adalah Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Raka Purnomo.
"Hai, Pak Raka," sapa Nicholas dengan nada ramah. Nada template yang ia pergunakan jika bertemu dengan para senior atau sesepuh yang bekerja di instansi. Sudah jelas tokoh inspiratif anak muda Indonesia turut menampakkan batang hidungnya di acara ini.
Raka merasa kacamatanya agak turun dan ia menaikkannya dengan cara mengangkat bagian tengah dari kacamatanya. "Mas Nicholas datang sama siapa? Sama keluarga, kah?"
Nicholas menggeleng. "Tidak, saya datang sebagai plus-one dari penulis best seller."
"Siapa?"
"Giandra Euphrasia. Penulis yang menerbitkan bukunya di Amerika Serikat."
Pandangan kedua laki-laki itu tertuju pada sosok perempuan berkebaya yang sedang mengobrol dengan teman-teman konglomerat glamornya seperti Aqsad Idris dan Shadira Salih. Raka pun kembali menoleh pada Nicholas. Tampaknya Raka tidak peduli dengan topik seputar tulisan fiksi, terutama karya yang ditulis oleh Giandra, namun pria itu mulai terpikir untuk mencari pertanyaan lain. "Well, kamu ini pacarnya Giandra atau apa?"
"Saya orang terdekatnya," ucap Nicholas dengan nada yang percaya diri dan membuat Raka sedikit terintimidasi.
Mendengar jawaban Nicholas, tampaknya ia bingung mendeskripsikan hubungan dekat antara Nicholas dan Giandra. Sebenarnya juga, Raka merasa lega karena ia tak perlu mengkhawatirkan hal lain. "Kalau begitu, apa saya bisa meminta nomor teleponnya darimu?"
"Hai, Nicholas!"
Seorang pria berumur lima puluhan yang tampak bergabung dalam pembicaraan berhasil memotong percakapan antara Nicholas dengan Raka. Pria tersebut adalah Wishnu Layendra, seorang bankir, pengusaha, dan politisi yang sebelumnya pernah menjabat sebagai menteri di kabinet Pak Andhika (dan juga loyalist sejak kampanye pencalonan Pak Andhika). "Saya bertemu dengan ayahmu saat kunjungan ke New York minggu lalu."
"Ya, saya melihatnya dari akun Instagram-mu, Pak Wishnu." Nicholas memilih untuk meladeni pembicaraan dengan Pak Wishnu dan mengabaikan Raka. "Apa kabar, Pak Wishnu?"
"Kabarku baik!" Wishnu membalas dengan nada antusias. "Kamu datang bersama keponakan Pak Andhika, ya? Kalian tampak dekat dan serasi sekali. Saya juga mengatakan hal yang sama pada Giandra dan anak itu hanya ber—'ooooh ya?' saja."
Raka merasa keberadaannya diabaikan oleh Nicholas dan Pak Wishnu. Lelaki itu langsung menaikkan bagian tengah kacamata dengan jemarinya secara spontan, terpikir untuk memotong pembicaraan di antara dua pria. "Hai, Pak Wishnu."
"Hai, Raka. Bagaimana keadaan istrimu?" tanya Pak Wishnu dengan nada datar. "Kamu bisa mendapat rumor perceraian atau perselingkuhan jika tidak memunculkan istrimu ke publik—kariermu masih panjang, siapa tahu kamu menjadi Kandidat Wakil Presiden untuk Pemilu nanti dan istrimu bisa mendongkrak elektabilitasmu."
Pak Raka jelas sudah punya istri, namun baru saja aku mendengar lelaki ini meminta nomor Giandra sama aku? Apa, sih, maksudnya? Nicholas membatin sembari mengerutkan dahinya.
"Dia masih sakit."
"Pengobatan istri Pak Raka belum ada peningkatan, ya?" tanya salah seorang pengacara yang merangkap sebagai anggota keluarga konglomerat kretek, Aqsad Idris, yang tiba-tiba bergabung dalam percakapan para pria. "Sudah tiga tahun ini, orang tuaku selalu ingin menjenguk istri Pak Raka. Sayangnya, sekretarismu selalu menolak rencana kunjungan mereka."
Setelah mendengar protes dari Aqsad dan tentu didengar oleh Pak Wishnu dan Nicholas, Raka merasa tidak enak dan tangannya agak sedikit berkeringat.
"Apa ada sesuatu yang salah?" tanya Aqsad sembari memberikan tatapan mata samping.
Pengacara ini benar-benar mencoba untuk membongkarku depan Wishnu Layendra dan Nicholas Wiradikarta. Sangat memalukan. Raka membatin dan kembali mengusap tangannya yang semakin dingin. "Mohon maaf Mas Aqsad dan sampaikan juga permintaan maafku untuk orang tuamu."
Aqsad hanya menghela nafasnya lalu mencoba untuk menahan dirinya dari perkataan tidak mengenakan lainnya yang terucap.
.
.
.
Dari balik bilik naratama, terdapat Nicholas yang mengobrol bersama Menteri Luar Negeri di salah satu meja bundar. Sedangkan di meja lainnya, terdapat Alya terlihat duduk bersama Giandra dan Rayan.
Raut wajah Alya sudah menggambarkan betapa lelah dirinya saat menyapa para tamu. Alhasil, Alya memilih untuk meninggalkan suaminya, Akbar, yang masih menyapa beberapa pejabat dan pengusaha yang datang ke resepsi.
Sebenarnya Giandra dan sepupu-sepupunya lain sama saja. Bisa dikatakan juga, Giandra lebih dekat dengan sepupu dari keluarga mom—yang bahkan ia tidak punya siapapun dari keluarga dad. Dad anak tunggal seperti dirinya, sehingga melihat Giandra yang masih dibesarkan dengan kedua orang tua yang memperhatikannya adalah hal yang patut ia syukuri. Setidaknya, orang tuanya tidak meninggalkannya saat kecil seperti sepupu Pradana-nya yang ditinggal oleh ibu kandung dan dipertemukan dengan ibu tiri yang terlalu banyak mengatur.
Namun, publik kerap mengasihani Giandra karena dia yatim piatu dan mensyukuri sepupu Pradana yang dibesarkan oleh Ibu Negara—walaupun sebenarnya tidak begitu. Giandra masih diperhatikan oleh para kakek neneknya. Rumahnya dengan orang tua mom sangat dekat dan Giandra mengunjunginya setiap akhir pekan, sementara ayah dari dad masih senang ke Indonesia untuk bertemu atau mengirimi Giandra tiket ke Singapura—sembari membelikan hal-hal menyenangkan yang tidak ada di Indonesia.
"Kenapa Ibu enggak datang?" tanya Giandra, tanpa melempar tatapan pada Rayan.
Rayan mengerutkan kening saat mendengar pertanyaan Giandra. "Ibu siapa?"
"Ibu kamu."
"Ibuku meninggal."
"Itu Mamamu."
Sepupu terdekatnya, Rayan, melirik Giandra sembari menghela napas. Tampaknya ia sudah meladeni beberapa orang yang memberikan Rayan pertanyaan yang serupa.
Absennya Kanista Moestadja, Ibu Negara, tampaknya menjadi pembicaraan beberapa tamu (dan kemungkinan menjadi bahan oleh tamu yang membayar informasi itu ke wartawan infotainment). Bahkan Rayan sempat mendengar beberapa orang yang mulai mengkaitkan absennya Kanista dengan perlakuan Kanista terhadap Alya.
"Dia sakit." Rayan menjawab pertanyaan Giandra dengan singkat. "Ibu bilang begitu sama Nilam. Saat Ayah dan aku melihat kondisinya, wajah Ibu belum pulih dari botox. Benar-benar merah, bengkak, dan memar di beberapa bagian wajahnya."
Giandra mengangguk mengerti. "Dia benar-benar sakit."
"Ibu Negara botox lagi?"
Tanpa jeda untuk menoleh, Giandra menyadari bahwa sumber suara itu berasal dari mulut Aqsad Idris. Lelaki yang sudah lama berteman dekat dengan Giandra itu langsung mengambil kursi untuk duduk persis di samping Giandra.
Aqsad langsung mengerutkan keningnya. "Bu Kanista terlalu berusaha untuk menyaingi Bu Rania, sesama Indonesian yang terkenal sempurna. Padahal Bu Kanista sendiri juga tidak bisa menyaingi Bu Ingrid yang cantik, kaya, ramah, dan lulusan Oxford itu."
"Aku tadi menyapa Bu Rania dan mengobrol sebentar. Beliau cantik dan ramah sekali." Akhirnya Alya membuka mulutnya. "Untungnya Ibu Negara tidak hadir. Kalau sampai ada, nanti pernikahan adikku berubah menjadi battlefield untuk dua orang itu."
Mereka semua tertawa.
"Paling pas pulang Ibu langsung ngedumel dan menambahkan sumpah serapah pada perkataannya." Rayan menambahkan. Lelaki itu tampak menoleh pada Giandra. "Ngomong-ngomong, orangtua asuhmu yang di Jakarta sama New York apa kabar, Gi?"
Giandra melirik dan tertawa ringan. Wanita itu tahu bahwa sepupunya sedang bercanda. Tampaknya merujuk pada dua orang yang sedari tadi disebutkan dalam pembicaraan. "Kabar mereka baik. Aku sempat bertemu Aunty Rania dan menelepon Aunty Ingrid. Benar-benar menyenangkan."
"Salam untuk Aunty Ingrid." Aqsad berujar. Terdengar seperti asal ceplos.
"Sebaiknya kamu sampaikan saja langsung ke anak lelakinya," balas Giandra sembari melirik ke arah Nicholas yang mengobrol dengan atasannya di salah satu meja naratama, "tuh."
TBC
Published on July 18, 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top