59. Teksnachricht
nas's notes: hi semua! akhirnya aku update lagi. terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah rajin vomments cerita ini dan mempromosikan ke teman-teman reader yang lain ... karena cerita ini sudah memasuki 98k views! yuk semangat menuju 2k views lagi biar bisa reach 100k views!! <33
ini karena aku sudah update lebih sering, bolehkah aku meminta vote dan comment?? :"D
kalau kalian suka baca offline, gapapa, tapi tolong vote dulu. boleh vote juga wp ini dan juga akun twt/x aku di (at) gemeinschweft supaya kalian bisa mendapatkan info update menjelang cerita ini berakhir.
iyaa akun twt/x aku yang inii! (maaf header-nya terkesan sombong, aku akan mencari header lagi yang lebih cocok)
terima kasih banyak dan selamat membaca!
✮⋆˙
Munich, Germany
August 3, 2026
"Intinya jangan beritahu sepupuku dan pacarmu soal detail yang aku ceritakan padamu. Aku memberitahu karena kupikir seseorang harus ada yang menjelaskan pada mereka—jika mereka tahu dari orang lain."
"Baiklah, Rayan."
Jemari milik Fabian Hafiyyan langsung mematikan telepon dengan raut wajah datar. Ia menaruh ponselnya di atas meja. Ia menghempaskan tubuhnya dengan duduk di sofa. Saat Sura dan Giandra memutuskan untuk datang ke Munich, Fabian meminta mereka untuk tinggal di apartment mewah dua kamar di Neuhausen-Nymphenburg. Sementara itu, Fabian memutuskan untuk pergi untuk tidur di rumah orang tuanya yang berada di Mauerkircherstrasse, Bogenhausen.
Sebenarnya, tidak juga, karena Fabian lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit dan tidur di resident lounge.
"Lama sekali, kamu menelepon siapa?" tanya Sura sembari melipat kedua tangan di depan perutnya.
"Sepupunya Giandra," ucap Fabian sembari tersenyum antusias, "he miss me."
Sura menaikkan alisnya dengan tak yakin. "Hanya itu? Tampaknya lama sekali?"
"Dia menanyakan kondisi Giandra."
"Selama itu?" Giandra bertanya. Menampilkan raut wajah yang tampak tak percaya. "Tampaknya serius sekali."
"Ya, aku juga melihat ekspresimu seserius itu." Sura menambahkan dan menoleh pada Fabian. Menjeda ucapannya. "Eh, sebenarnya aku belum pernah bertemu Rayan."
Fabian menaikkan salah satu alisnya. "Benarkah? Kupikir kalian bertemu di acara pertunangan Kak Nicky dan Giandra?"
"Sura datang lebih awal dan berpamitan, Rayan datang setelah acara. Aku juga tak ingin memperkenalkan mereka," ucap Giandra yang mencoba untuk meluruskan.
"Kenapa begitu?" tanya Fabian heran.
"Kamu saja yang memperkenalkan mereka—Rayan temanmu dan Sura pacarmu."
Sura menoleh pada Fabian. "Aku sering menanyakan seperti apa Rayan, yang sering kamu ceritakan itu, pada Giandra."
"Baiklah, Sura. Akan aku kenalkan kamu dengan pria yang aku ceritakan setiap menit itu jika aku ke Jakarta." Fabian menanggapi dan tertawa kecil.
Giandra pun meminum teh dari cangkir dan memakan beberapa potong biskuit yang Fabian bawa dari Mauerkircherstrasse 15—kediaman keluarga dr. Hafiyyan. Sekarang sepasang iris cokelat milik Giandra tampak melihat Sura yang terlihat cantik dan bahagia. Akhirnya Giandra melihat Sura yang lebih manja saat bersama Fabian. Sepasang kekasih itu hanya tersenyum dan bergandengan tangan saat duduk bersama di sofa dan, tak sengaja, Giandra memberikan sorot pandang apakah-ini-sungguhan?
Karena Sura sering menceritakan hubungannya dengan Fabian, Giandra mengingat detail yang diperlukan tentang Fabian, orang yang jarang ia lihat secara langsung. Terutama saat Sura menceritakan Fabian padanya dan agar tetap memahami konteks. Fabian Hafiyyan sendiri adalah seorang Jerman berdarah Indonesia yang saat ini menjadi residen dokter bedah umum tahun kedua. Lelaki itu juga generasi keempat dari jaringan hotel dan resor besar internasional yang berpusat di Munich.
Lucunya, Fabian lahir tiga hari setelah Giandra dan memiliki koleksi buku karya Julian Ramadhan. dari sinilah Giandra mengerti kenapa Fabian dan sepupunya Rayan begitu nyambung.
"Uh, lebih baik kalian berikan aku saran kegiatan sembari menunggu operasiku di minggu depan." Giandra bertanya pada Sura dan Fabian. "Tentu saja selain membaca karyanya Julian Ramadhan edisi Jerman milik Fabian."
"Kapan kamu akan kembali ke rumah sakit, Gi?" Fabian bertanya dan tampak memikirkan sesuatu.
"Aku akan kembali ke rumah sakit di akhir pekan."
Fabian pun mengangguk dan memikirkan saran yang menurutnya ideal. "Aku tidak bisa menyarankan untuk pergi ke tempat jauh, tapi aku bisa sarankan kalian untuk duduk di Englischer Garten, kesukaanku, dan Maximillanstrasse."
✮⋆˙
Munich, Germany
August 4, 2026
Giandra memutuskan untuk pergi ke Maximillanstrasse untuk mencari kopi dan kue. Maximillanstraße merupakan jalan termahal, bahkan dikenal sebagai salah satu jalan kerajaan di Munich, yang memuat beberapa galeri, museum, dan taman yang menakjubkan, tak ketinggalan juga, beberapa butik mewah dan jaringan hotel internasional juga membuka cabang mereka di jalan ini. Mata Giandra tampak menikmati jalanan yang didominasi oleh gedung bergaya arsitektur Renaissance dan English Gothic.
Jalan yang mengambil nama dari Raja Maximillan II dari Bavaria tampak menarik untuk dikunjungi saat berada di Munich, meskipun tak memiliki niatan untuk berbelanja.
Ia membawa Sunshine Protector karya Julian Ramadhan untuk ia habiskan bersama secangkir cappucino dan sepotong peach tart. Kedai kopi yang dikunjunginya tak terlalu ramai karena Giandra datang di sore hari. Kemudian ada seorang remaja perempuan berusia sembilan belas tahun yang menghampiri mejanya.
"Giandra Soerjapranata?"
Saat mendengar remaja itu memanggil namanya, Giandra menoleh dan tersenyum. "Ya, dengan saya sendiri?"
Remaja itu tak bisa menyembunyikan raut wajah antusiasnya saat ia melihat Giandra. "Ya Tuhan. Akhirnya aku bertemu denganmu lagi setelah terakhir melihatmu di Olimpiade Paris 2024. Aku penggemarmu!"
Mendengar kata 'Olimpiade Paris 2024', Giandra mendapati bahwa penggemar tersebut melihatnya saat ia bertanding di Olimpiade dua tahun silam. "Haii! Apakah kamu berasal dari Italia?"
"Benar, aku dari Turin. Aku juga membaca beberapa karyamu—kesukaanku The Favourite! Kebetulan aku membawa cetakan Italia dari karyamu." Remaja tersebut mencoba merogoh tasnya dan menunjukan sampul buku The Favourite yang diterjemahkan dan dicetak di Italia.
"Ah, telingaku tidak salah," gumam Giandra dan mereka tertawa, "Terima kasih banyak sudah membaca karyaku dan menyapaku. Sampulnya indah sekali dan kamu sangat menikmatinya, ya—banyak sticky notes di sini."
"Terima kasih, Giandra. Aku senang sekali saat membacanya. Apakah aku boleh bertanya?" tanya remaja perempuan pada Giandra.
"Tentu saja boleh."
"Apakah kamu akan berencana untuk kembali? Entah ke LA 2028 atau menerbitkan karya baru?" tanya remaja perempuan itu dengan antusias.
"Untuk LA 2028, aku belum tahu. Meskipun aku sudah mengumumkan pensiun, tapi aku masih melihat nanti. Untuk karya terbaruku, mungkin."
"Apakah itu romansa?"
Giandra mengangguk dan terpikir untuk menggoda penggemarnya dengan memberikan sedikit bocoran. "Tentu! Ini pertama kalinya, jadi aku akan menulis tentang jatuh cinta untuk pertama kali dengan orang terdekat."
Remaja muda itu tampak terkejut dan antusias saat mendengar sedikit bocoran untuk karya Giandra selanjutnya. "Menarik sekali! Aku akan menantikan kemunculanmu—entah sebagai atlet menembak atau penulis!"
"Terima kasih banyak untuk antusiasnya terhadap proyek yang aku lakukan. Aku akan melakukan yang terbaik."
"Kamu selalu melakukan yang terbaik. Dua medali emas Olimpiade yang kamu peroleh sebagai atlet menembak dan buku-bukumu yang selalu menjadi best seller. Aku harap kamu akan melakukan hal luar biasa lainnya di masa depan."
Mendengar kata-kata baik dari remaja perempuan, mata Giandra pun sedikit berkaca-kaca. Ia berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis. Ia sadar bahwa Giandra masih memegang buku terbitan Italia. "Terima kasih banyak. Bolehkah aku menulis sesuatu di halaman depannya?"
"Boleh! Aku juga ingin meminta tanda tangan dan fotomu." ucap remaja perempuan itu dengan nada senang. "Namaku Silvia."
"Hai Silvia, namaku Giandra." Giandra membalas sembari tertawa pelan. Tangannya mencatat sesuatu pada halaman depan dan menandatanganinya. Giandra tersenyum dengan penuh rasa syukur.
Setelah Giandra menghabiskan bacaan dan hidangan pencuci mulut, ia mulai membuka layar ponsel dan melihat seisi media sosial. Setelah ia sampai di Jerman hingga sekarang, Giandra tidak membuka media sosial karena lelah dan harus menjalani serangkaian pemeriksaan sebelum menjalani operasi di minggu depan.
Akan tetapi, ia melihat ada beberapa orang yang menghubunginya dengan pesan bernada prihatin. Giandra menaikkan alisnya dengan ragu sebelum ia menekan salah satu pesan tersebut.
+62814XXXXXXX:
Giandra ini Mas Raka. Maaf saya menghubungimu dengan nomor baru karena saya tidak dapat mengunjungi rumahmu. Kamu tidak ada di rumah, ya? Sebenarnya saya ingin menyampaikan kabar kalau Nicholas mengalami kecelakaan di Sudirman. Saya turut prihatin dengan apa yang dialami oleh Nicholas. Saya juga berdoa semoga Nicholas segera pulih dan pelaku kecelakaan bisa ditemukan.
Giandra hanya mengernyitkan dahinya saat membaca pesan dari Raka Purnomo. Ia berusaha mencerna setiap kata yang disampaikan dari lelaki yang menghubunginya dengan nomor baru. Kecelakaan apa? Kak Nicky kenapa?
Pikiran Giandra mulai kalang kabut karena tidak ada satupun orang yang menghubunginya. Bahkan Giandra juga berasumsi bahwa Sura juga tidak tahu. Sangat jelas dari raut wajah Sura yang sepanjang hari terlihat senang.
Akan tetapi, karena pengirimnya adalah Raka Purnomo, Giandra tak ingin langsung percaya dengan pesan dari lelaki itu. Untuk memvalidasi keraguannya, Giandra langsung memeriksa pesan dari beberapa kontak yang ia kenal.
Hamdi Hassan:
Hai Giandra. Kamu sudah sampai di Jerman? Jadi Nicholas kecelakaan. Tabrak lari, namun ia sudah ditangani. Hanya saja Nicholas butuh waktu untuk penyembuhan. Jangan khawatirkan dia.
Shadira Salih:
Giandra, Aku turut prihatin atas kecelakaan yang menimpa Nicholas. Aku mengetahuinya dari Hamdi dan banyak media yang mengkonfrimasi. Semoga kasusnya bisa terselesaikan dan pelaku tabrak larinya bisa ditemukan.
Saat membaca pesan lainnya dari Hamdi dan Shadira, Giandra langsung membatin saat membaca pesan. Dengan cepat, Giandra langsung kembali ke pesan dari Raka untuk menangkap layar pesan dari Raka, yang menurutnya aneh. Kemudian, jemarinya mencari kontak sepupunya, Rayan, untuk menghubunginya melalui WhatsApp.
Giandra Euphrasia:
Rayan, Kak Nicky kenapa?
Rayan Pradana:
Kenapa Giandra?
Giandra Euphrasia:
Ada yang kamu sembunyikan dari aku?
Rayan Pradana:
Tidak. Aku tidak menyembunyikan apapun.
Giandra Euphrasia:
Kamu tidak akan berani menyembunyikan apapun dariku.
Aku mendapatkan chat ini dari Raka melalui nomor barunya.
Cepat jelaskan apa yang terjadi dengan Kak Nicky.
Rayan Pradana:
Wah, ternyata dia ganti nomor dan menghubungimu, Gi.
Oke, aku menyerah.
Jadi Mas Nicholas kecelakaan dan pelaku penabrakannya itu Raka.
Giandra Euphrasia:
RAKA PELAKU APA?
TBC
Published on November 30, 2024
nas's notes: terima kasih banyak sudah baca cerita ini. btw aku drop bonusan yaah
✮⋆˙
Jakarta, Indonesia
August 3, 2026
Raka Purnomo belum tahu kalau Andhika Pradana sudah mempersiapkan kejutan untuknya.
Lelaki itu masih tersenyum sumringah saat supir pribadi (dari ayahnya) mengantarkan dirinya menuju bandara. Tampaknya, melihat situasi saat ini yang sangat kacau, Raka berencana untuk kabur ke Singapura. Lelaki itu tidak mengatakan kepada siapapun selain ayahnya, Robert Purnomo.
Tentu saja Robert sudah tahu kalau anak laki-lakinya akan berulah seperti sekarang. Apalagi jika Raka berulah sembari melibatkan beberapa keluarga figur publik top Indonesia, benar-benar membuat Robert muak dan mengatur perjalanan Raka ke Singapura dengan dalih untuk berobat. Lagipula, selagi surat pencekalan (dari instansi manapun) belum keluar, seharusnya Raka masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri dengan terbang ke negeri tetangga.
Bermodalkan ponsel kedua dengan nomor baru, Raka mengirim pesan terkait kecelakaan yang menimpa Nicholas kepada Giandra. Semata-mata hanya untuk menjadi pahlawan kesiangan dan bermain menjadi teman yang prihatin. Raka tersenyum puas saat mengetahui Giandra sudah membaca pesannya. Mata lelaki berusia 40-an awal itu memandangi jalan tol yang mengantarkannya menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Kemudian Raka merasakan ponsel satunya lagi berdering di saku jasnya dan mengambil ponsel tersebut. Ternyata, orang yang menghubungi Raka dari sambungan telepon adalah pengacaranya.
"Selamat siang!" Raka mengangkat telepon dengan nada ramah.
"Selamat siang, Pak Raka. Baru saja saya mendapat pemberitahuan kalau nama Pak Raka sudah masuk ke dalam daftar pencekalan." Pengacara tersebut menanggapi sambungan telepon.
"Oh, dari mana saja?" Raka bertanya dengan nada yakin. Seolah-olah ia sudah tahu.
"Kejagung, Kapolri, dan KPK. Untuk kasus korupsi tambang Riau, Forest Green, dan ...."
Raka membenarkan posisi kacamata hitamnya. "Menabrak Nicholas Wiradikarta."
"Hah ... Bapak seriusan?" Nada bicara pengacara itu terdengar pasrah dan lemas setelah mendengar pengakuan Raka bak orang yang habis memenangkan trofi. Tidak percaya dengan pendengarannya setelah mendengar ucapan Raka, kini pengacara itu langsung menanyai keberadaan kliennya. "Sekarang Pak Raka di mana?"
"Saya sudah mau sampai bandara." Raka membalas dengan nada mengejek. "Kamu terlambat!"
Pengacara itu langsung mengela napas. Nada bicaranya benar-benar menggambarkan perasaannya yang sudah muak saat menghadapi kliennya yang satu ini."Pak, sudahlah. Kalau Pak Raka masih mencoba menginjakkan kaki di bandara, Pak Raka bisa langsung ditahan di tempat sama petugas imigrasi. Sangat memalukan jika sampai ke media, Pak. Langsung putar balik sekarang juga, ya!"
Raka mengangkat kacamata hitamnya. Ia melonggarkan kerah kemejanya dan memikirkan kebohongan yang sudah ia persiapkan. "Saya harus keluar, Pak. Saya mau berobat di Singapura."
"Tidak bisa, Pak. Situasi malah semakin memburuk jika Pak Raka memilih untuk melarikan diri." Pengacara itu berujar dan merendahkan nada suaranya dari sambungan telepon. "Tadi, saya dengar dari petugas tiga instansi itu, kalau mereka memproses surat pencekalan Pak Raka atas permintaan Pak Andhika. Langsung."
Andhika Pradana? Jadi pencekalan ini karena kamu, Pak? Benar-benar kelewatan. Raka membatin. Raut wajahnya terlihat tak percaya dan ia hampir saja ingin memukul sofa dari mobil sedannya.
"Saya serius, Pak." Pengacara itu melanjutkan perkaaannya.
Mau tidak mau, lebih baik Raka mengalah dibandingkan harus tertangkap oleh petugas imigrasi saat ia baru menginjakkan kakinya di bandara. "Iya, saya tahu. Baiklah. Terima kasih infonya."
"Terima kasih, Pak Raka." Pengacara itu membalas dan menutup telepon.
Lagi-lagi, demi keselamatan dirinya sendiri, Raka berbicara dengan supirnya agar mencari jalan untuk kembali ke rumah. "Batalkan. Kita tidak jadi ke bandara dan putar balik ke rumah. Saya baru tahu kalau saya sudah dapat surat pencekalan. Ini benar-benar kacau."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top