53. Leave-Taking

nas's notes: akhirnya aku update lagi. terima kasih banyak teman-teman yang sudah mampir dan berkenan untuk mempromosikan cerita ini. semoga kalian sehat selalu. terima kasih juga untuk 91k views-nya, yaaa! :"D

jangan lupa vomments dan juga kalau kalian suka baca offline, bisa nyalakan dulu paket datanya terus vote dan matikan lagi yaaa. oiyaaa ada beberapa part yang votenya enggak achieve, aku boleh minta tolong untuk teman-teman yang belum vote di part sebelumnya bisa vote lagi yaaa? mohon bantuannya, yaaa <33

terima kasih banyak dan selamat membacaa!

.




.





.

Jakarta, Indonesia
July 30th, 2026

"Giandra, supir Bu Frida sudah datang."

Mba Yaya menghampiri Giandra yang masih duduk di sofa yang berada di kamar orang tuanya. Tadi, iris cokelatnya tampak memandang pekarangan yang penuh dengan hamparan rumput hijau. Dahulu Giandra kecil bermain ayunan yang tergantung di salah satu pohon besar yang ada di pekarangan rumahnya.

Sekarang, ia melirik kembali arloji yang ia kenalan dan seharusnya Giandra sudah bergegas menuju lantai bawah.

"Aku sudah menurunkan koperku di bawah. Boleh minta tolong dimasukan dulu ke bagasi mobil? Aku masih membutuhkan tujuh menit sebelum pergi," ucap Giandra dengan lugas.

"Baik, Non Gi."

Mba Yaya pun menuruni tangga untuk bertemu dengan supir yang bekerja untuk kediaman Bu Frida. Giandra hanya membawa satu koper besar dari Rimowa dan satu tas berukuran besar berwarna cokelat dari Tod's untuk kepergiannya ke Jerman (yang menurunya tidak ada apa-apanya dibandingkan Sura yang membawa satu koper besar, satu koper kabin, dan tas besar—toh Sura akan menghabiskan banyak waktu di tanah Eropa).

Giandra tak membawa banyak barang—ia membawa pakaian yang nyaman, ballerina flat shoes, parfum tonka beans dan amber berukuran kecil, tas fendi baguette berwarna cokelat, George (boneka beruang Jellycat dari Nicholas), buku catatan, dan iPad yang berisi koleksi buku elektronik kesukaannya.

Lagi-lagi, Giandra harus meninggalkan rumahnya. Rumah yang sudah menemani orang tuanya sejak awal pernikahan mereka yang penuh cinta. Rumah yang awalnya juga menjadi tempat liburannya saat ia masih sekolah di Melbourne dan Helsinki. Sebuah tempat nyaman yang menjadi sorotan publik karena menjadi kediaman dari gold medalist Olimpiade Tokyo 2020 dan Olimpiade Paris 2024. Rumah yang dirawat secara konsisten oleh Mba Yaya dan menjadi tempat perlindungan untuk Rayan dari huru hara kenegaraan di kediaman pribadi ayahnya. Serta menjadi alasan kenapa Raka Purnomo menginginkan Giandra sebagai istri dan Kanista Moestadja menginginkan kematian Giandra hanya untuk memperebutkan rumah ini.

"Pulanglah," ujar Mba Yaya perlahan.

"Aku akan pulang cepat."

Mba Yaya mulai menyadari bahwa Giandra memberikan tatapan yang agak lama. Sebenarnya ia takut saat melihat Giandra melihatnya dengan cara seperti itu dan Mba Yaya mencoba untuk mengarahkan pandangannya ke arah lain. "Jangan melihatku seperti itu. Nanti malam Mas Rayan akan datang dari Yogyakarta."

Wanita muda itu menganggukkan kepala. Ia sudah diberitahu bahwa Rayan akan menginap secara rutin (dan lelaki itu menyayangkan bahwa ia tidak dapat mengantar Giandra karena ada pekerjaan mendesak) dan Giandra juga mengizinkan Mba Yaya untuk berlibur atau tinggal di rumah mama agar bisa mengobrol dengan para pembantu yang sudah lama bekerja dengan mama. Sayangnya, Mba Yaya memilih untuk tinggal dan menonton serial barat bersama Rayan dari kediaman Permata Hijau.

"Aku pergi dulu, ya."

Akhirnya Giandra berpamitan dengan Mba Yaya dan masuk ke dalam mobil pabrikan Jerman. Supir tersebut mulai melajukan kendaraan dengan perlahan dari kediaman Giandra. Tentu saja wanita muda itu tampak sudah lama mengenal supir yang sudah lama bekerja untuk rumah mama (dan hafal dengan kebutuhan atasannya).

"Mama tidak mengatakan apapun?" tanya Giandra pada supir yang mulai menghentikan kendaraannya di lampu merah.

"Ah, beliau menitipkan pesan untukmu." Supir tersebut merogoh dashboard depan dan memberikan sepucuk surat untuk Giandra. "Ibu mengatakan agar Nona membacanya selama perjalanan."

Giandra menerima amplop tebal berwarna cokelat. Jemarinya mencoba untuk membuka perekat yang menempel pada amplop tersebut. Telinga supir tersebut tampak mendengar suara kuku yang berusaha untuk membuka amplop dengan cara mengkelopek bagian yang menempel.

"Maksud Ibu, Nona bisa bacanya nanti kalau sudah berada di pesawat. Lagipula saya juga masih membawa mobil, nanti Nona pusing." Supir tersebut melanjutkan ucapannya dan kembali mengendarai kendaraan saat lampu kembali berwarna hijau.

"Benar juga," ucap Giandra sembari menaruh kembali amplop tersebut ke dalam tas besarnya, "bagaimanapun, terima kasih dan tolong perhatikan Mama Frida untukku."

"Siap Nona." Supir tersebut menanggapi dengan sopan dan melajukan kendaraan menuju jalan tol yang melewati bandara.

Saat melewati jalan tol, mata Giandra pun melirik ke arah kaca. Pikirannya teringat dengan obrolannya dengan orang tuanya. Saat itu, ia dan orang tuanya harus kembali ke Melbourne, Australia, di usianya yang ke lima tahun, setelah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berlibur.

"Wiiiiii."

Giandra kecil yang duduk di car seat berwarna hitam. Orang tuanya kerap membawa car seat tersebut karena ketatnya aturan penggunaan car seat di Australia. Tangan anak perempuan itu memegang air mineral yang berada dalam tumblr warna biru dengan sedotan.

"Apa kita bisa kembali ke sini?" tanya Giandra saat ia memandangi langit Jakarta yang terlihat cerah.

"Ke Jakarta?" tanya Kirana.

"Yuuup!"

Hiram pun mengangguk dan menoleh ke bangku belakang tempat Giandra duduk bersama mom. "Bisaaaa. Kapanpun yang kamu mau. Kita bisa liburan musim panas di Jakarta."

"Okay!" Giandra kecil merespon dengan perasaan senang. "Bilang Papa jangan buang ayunannya."

Lelaki itu tertawa lembut. "Iyaaa akan dad sampaikan."

Wanita muda itu berusaha untuk menahan dirinya dari tersenyum sendiri saat melihat pemandangan dari kaca mobil. Kemudian, ia terpikir untuk merogoh ponselnya hanya untuk forward email yang diberikan oleh Sekretaris Raka kepada Rayan. Ia langsung menghubungi Rayan lewat WhatsApp.

Giandra Euphrasia:
Karena ada hal yang berkaitan dengan keluargamu, jadi boleh cek forward dari email-ku, ya.

Rayan Pradana:
APAAN????
Giandra Euphrasia:
Baca aja udah.

Rayan Pradana:
Wah ....
WAH.
Jadi Nilam sama Dion mau cerai itu karena hasutan Raka?
Pantas saja alasan cerainya tidak jelas.
Bahkan pengacaranya saja merasa rencana perceraian mereka janggal.

Giandra Euphrasia:
Masih banyak lagi.

Rayan Pradana:
Well, pemecatanmu itu kerjaan dia juga?
Bahkan setelah dipecat pun dia masih mengejarmu?
Dia juga membayar buzzer untuk menyerang ayah?

Giandra Euphrasia:
Yup.
Mau kamu urus sendiri atau gimana, yang terpenting aku sudah menitipkan Sekretaris ke Hamdi dan Aqsad.
Oh, aku titip rumah, ya.
Tolong temani mama juga buat ke rumah sakit.
Terima kasih banyaaaaaak.

Rayan Pradana:
Iyaaaa gampang.
Yang penting operasi dulu.
Cepat pulang.
Salam juga buat Fabian dan Sura.

.





.





.

"Apa kamu sudah membawa lidah kucing dan kue kacang untuk Fabian?"

Sura melirik lagi tas yang berisi jinjingan yang akan ia bawa ke kabin secara hati-hati. Ia mengerti bahwa kekasih dokternya, dr. Fabian Haffiyan, sudah lama menginginkan lidah kucing dan kue kacang dari salah satu toko kue mewah di Jakarta. Artinya, dalam pertemuannya kali ini, Sura harus membawakan pria itu dua kue kering yang menjadi kesukaan Fabian. "Sudah!"

Sembari menunggu Giandra, Nicholas dan Sura pun duduk di salah satu bangku panjang yang berada dekat counter check in. Lelaki itu langsung membuka tas hitam dan memasukkan amplop kaku berwarna hitam ke dalam tas jinjing Sura. "Untuk membeli Lindt."

Sebenarnya ia terkejut dan mencoba untuk mengambil kembali amplop tersebut dan mencoba untuk mengembalikan kepada kakaknya. "That's too much!"

"Sura." Nicholas memanggil nama adiknya dan menahan agar adiknya tidak mengembalikan amplop tersebut padanya. "Bitte. Kamu akan membutuhkannya."

Wanita muda itu akhirnya menyerah dan memasukkan kembali amplop tersebut ke dalam tas. "Danke."

Mereka berdua pun masih memantau sekitar. Berharap Giandra akan datang lebih cepat. Sebenarnya, mereka akan berangkat lebih sore, namun mereka mewanti-wanti agar tidak terjebak dengan antrian di counter check in, pemeriksaan berlapis-lapis, hingga masuk ke pesawat. "Akhirnya kamu merasakan apa yang aku rasakan saat harus menjalani hubungan jarak jauh dengan Fabian."

Ucapan Sura di tengah-tengah keheningan mereka tampak membuyarkan lamunan Nicholas. "Memang, sih, tetapi ini, 'kan, sebentar saja." Nicholas menanggapi secara spontan. Ia berusaha untuk menahan dirinya dari rasa khawatir. "Andaikan aku bisa bergabung, tetapi Giandra memberikan aku pekerjaan."

"Itulah yang Giandra maksud. Supaya Kakak tidak mengambil cuti dan menyusul ke Munich."

"Well, hanya saja Giandra selalu merasa tak enak jika aku ingin menggunakan cutiku untuk menemaninya. Padahal aku juga bingung menggunakan cutiku untuk apa—meskipun aku ingin sekali untuk cuti," ucap Nicholas yang mulai menanggapi ucapan adiknya.

"Etos kerja Giandra juga bagus. Makanya ia merasa keberatan jika ada orang yang ingin menggunakan cutinya hanya untuk dirinya," balas Sura dengan perlahan, "ah, Giandra juga ingin tahu soal Karlsruhe dan aku berencana untuk mengajaknya ke sana!"

Tentu saja Nicholas ingat bahwa ia pernah membagikan sedikit hint soal Karlsruhe sama Giandra. Lelaki itu sudah merencanakan bagaimana ia akan menceritakan sebuah kota yang merupakan bagian dari asal usul keluarganya. "Uh, Sura, aku berjanji untuk mengajaknya setelah kondisinya membaik—aku berhutang pada Giandra untuk mengajaknya melakukan city tour di Karlsruhe."

"Baiklah. Aku akan mengajaknya ke tempat lain."

Mereka berdua pun terdiam. Tak saling memandang, namun hanya melihat ke sudut lain dari bandara. Sura melihat lututnya sendiri dan Nicholas melirik ke arah toko roti. Ia terpikir untuk membelikan adiknya dan Giandra kue sebelum mereka masuk ke gate.

"Giandra akan sembuh, kok, Kak," ucap Sura dengan perlahan dan secara tiba-tiba.

Nicholas pun hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Jam tangan yang ia ingat sebagai kado ulang tahun dari Giandra yang sudah ia dambakan. Lelaki itu mencoba untuk mengontrol raut wajahnya.

"Aku harap. Akan tetapi, tolong perhatikan Giandra untukku," pinta Nicholas saat memandang mata adiknya.

Saat Nicholas memandangi adiknya, Sura hanya tertawa kecil dan memahami betapa cemas kakaknya itu. "Kamu tidak mengkhawatirkan aku?" tanya Sura lembut.

"Aku sudah mengirim pesan pada Fabian. Mungkin ia akan menceritakannya saat kamu sudah sampai Munich."

TBC

Published on November 19, 2024

nas's notes: butuh 40 votes untuk part ini dan beberapa chapter sebelum update. boleh dipromosikan juga. terimakasihhh :"D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top