51. The Pearl Necklace

nas's notes: hiii semua akhirnya aku update lagi. terima kasih yaa teman-teman reader yang sudah mampir ke cerita ini. semoga kalian sehat dan bahagia selaluu <3

oh yaaaa guys! aku rilis konten dan boleh banget yaa dikunjungin :"D tautannya ada di link eksternal atau cari di media twitter/x aku juga adaaa! ayooo guys berkunjung yaaah supaya aku senang <33

yang suka baca secara offline, boleh nyalakan dulu paket data terus vote dan matikan lagi. jangan lupa vomments. apalagi part-part yang belum ... karena sepi banget cuy :(( terus juga kalian kalau mau promosi cerita ini ... please aku welcome bgttt!!! aku suka respon dan bacain review (jika ada). but, aku tidak apap-apa kalo kalian mau ulas ceritaku. bahkan aku nungguinnnn! :"D

terima kasih dan selamat membaca <33

.


.


.

Jakarta, Indonesia
End of July 2026

Giandra telah menyelesaikan semua part dari cerita romansa pertamanya. Meskipun Giandra sudah lama menulis, namun inilah karya romansa pertamanya. Ia merasa lega serta puas dengan karyanya—ia bisa menulis romansa saat ia mulai melihat Nicholas sebagai seseorang yang ia cinta dan menjadi tunangannya.

Ia juga sudah selesai mencicil kegiatan bebersih dari kamar orang tuanya. Kamar tersebut sudah lebih sering ia singgahi. Entah untuk tidur siang, mencoba pakaian mom yang sesuai seleranya, atau nonton film. Mba Yaya mengaku kualahan dengan Giandra yang kerap berpindah kamar, namun ia juga senang bahwa kamar utama di rumah tersebut sudah terlihat lebih hidup.

"Apakah kamu akan pindah ke kamar ini setelah menikah?" Frida, Nenek Giandra, bertanya saat melihat kamar utama yang sudah begitu bersih.

Wanita muda itu mengangguk. "Aku ingat saat mom kerap mengatakan bahwa aku harus menempati kamar ini karena mom dan dad ingin menghabiskan masa tua di Australia."

"Pada akhirnya properti di Alam Sutera itu hanya dijadikan tempat tinggal untuk orang lain." Frida menyinggung kediaman Giandra lainnya yang saat ini sudah dikontrakkan. "Kamu tidak berakhir dengan Hamdi Hassan, tetapi lelaki itu tinggal di rumahmu."

"Setidaknya Bang Hamdi membayar uang sewa, Mama." Giandra menanggapi dengan pelan. "Ia tidak ingin menjadi lajang dan tinggal dengan orang tuanya. Bahkan ia menemukan jodohnya setelah tinggal beberapa bulan di Alam Sutera."

"Good for him!" Frida membalas sembari duduk di sofa hijau yang berada dalam kamar utama. Ia menaruh Hermès Birkin berwarna hitam di atas meja marmer bundar samping sofa. Tas tersebut sudah terlalu sering dipakai, sehingga Frida dapat menjangkau barang-barangnya dengan mudah.

Mata wanita tua pun tampak melirik pergelangan tangan dan jemari Giandra. Karena Giandra berada di rumah, ia tak perlu repot untuk mengenakan jam tangan, namun ia hanya mengenakan cincin berlian—cincin pertunangannya dengan Nicholas dan cincin yang diperoleh mom saat dilamar oleh dad.

"Kamu tidak membeli perhiasan?" tanya Frida dengan nada prihatin.

Giandra hanya menggeleng. "Semua perhiasan mom sudah cukup untukku. Lagipula aku hanya mengenakan cincin Cartier milik mom saja untuk daily—sama dengan yang digunakan mom sebelum meninggal. Ditambah dengan cincin pemberian Nicholas."

"Tidak ada uang saku, 'kah?" Frida bertanya dengan nada khawatir. Matanya tampak melirik Giandra yang (menurutnya) lebih kurus. "Pantas kamu terlihat kurus dan kerap memakai baju yang sama. Aku tersinggung melihatmu seperti ini."

Wanita muda itu tampak terkejut dan ia mendenyitkan dahinya. Meskipun kondisinya tak baik, Giandra merasa masih tidak apa-apa dan tidak memiliki masalah apapun soal bentuk tubuhnya. "Bukan begitu, Mama—"

"Diam," beliau memotong ucapan Giandra sebelum menyelesaikan jawabannya. Tangannya mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna ungu berukuran panjang dari tasnya. Kemudian, Frida langsung menyerahkan kotak tersebut pada Giandra, "untukmu. Tolong pastikan kamu memakainya dengan kebayamu itu."

Giandra terlihat memperlihatkan raut wajah penuh pertanyaan dan membuka kotak dengan luaran kain beludru tersebut. Ekspresi wajahnya tak dapat mempercayai matanya melihat kalung mutiara yang dulu ia tanyakan pada mom. Kalung mutiara berwarna putih tulang yang tersusun atas tiga untaian dan terdapat pengait dari berlian—Giandra ingat bahwa ia pernah terpesona dengan mutiara tersebut saat mom mengenakannya dengan gaun hitam panjang.

"I remember your mom telling me about your excitement about seeing my pearl necklace. Now, it's yours and I want you to keep it."

Mom menceritakan aku pada mama. She wishes I could wear those pearls one day and mama still remember that. Giandra membatin sembari tersenyum saat melihat kalung mutiara tersebut. Jemarinya mencoba untuk menyentuh bagian tengah dari mutiara yang melekat pada ingatan masa kecilnya.

"Can I?" tanya Giandra yang mencoba untuk lebih meyakinkan.

"Please. You're my beautiful baby, and you got the taste from your lovely parents—it fits you."

"Thank you, Mama," ucap Giandra dengan perasaan penuh kebahagiaan.

"Tolong setelah ini jangan berpenampilan sederhana. Setidaknya untuk dirimu sendiri dan Nicky," ujar Frida yang mengambil kalung mutiara tersebut dan mengenakannya pada leher cucu perempuannya, "aku ingat saat Kirana masih kecil, ia melihatku dengan mata berbinar saat aku bersiap untuk pergi dengan ayahnya."

Melihat tiga untaian kalung mutiara yang sudah terpasang dengan sempurna di lehernya, mata Giandra tampak berkaca-kaca. Ia tampak senang dan tersenyum puas,

"Do you have something to tell me about this lovely collection?" tanya Giandra sembari menyentuh kalung mutiara yang sudah terpasang pada lehernya.

Mendengar Giandra yang bertanya soal cerita dari kalung ini, Frida hanya mendenyitkan keningnya. "This is my most sentimental piece—the second sentimental after my humble wedding ring. Your Papa bought it after he asked what I wanted as a gift and I said 'pearls would be nice for me', then he returned with three strands of pearls. He thinks I'm a royal or something."

"But you're!"

Frida hanya tersenyum sopan dan berusaha untuk mengendalikan dirinya. "No, I'm not."

Tak melanjutkan pembahasan soal mama, Giandra pun masih antusias dengan mutiara yang terpasang. Ia tampak penasaran siapa yang mengenakan kalung mutiara semewah dan seindah ini. "Lalu, siapa saja yang pernah memakai mutiara ini?"

"Anak-anakku memakainya saat menikah. Awalnya Hayu yang memakainya dan kemudian adik-adiknya melihat kalung itu sangatlah cantik. Sehingga mereka ingin mengenakannya juga di pernikahan mereka. Unfortunately, my youngest daughter has never worn this at her wedding since she died young."

Mama dan cucu perempuan kesayangan tampak saling berpandang. Frida tak dapat melanjutkan ucapannya saat ia menyinggung soal mendang putri bungsunya, sementara Giandra berusaha untuk mencari respon yang tepat.

"You missed her, Aunty Anindya, don't you?" tanya Giandra yang tampak memecah keheningan.

Tampaknya Giandra tak yakin. Setidaknya ia berusaha untuk memahami sudut pandang dari ibu yang ditinggalkan oleh anaknya. Frida pun kembali menoleh dan mengambil tangan Giandra.

"Anindya," panggil Frida dengan perlahan.

"Ya, Mama?"

"Happy to know I can call you Anindya."

"Your answer it's like mom," ucap Giandra sembari tertawa kecil dan memandangi Frida yang memandanginya dengan senyuman.

"Kirana always adore her younger sister, but ... I'm serious. Ia terlahir dengan hati yang baik. Benar-benar persis sepertimu. Aku terkejut dan bahagia saat tahu kamu benar-benar mirip dengannya—secara penampilan dan sifat. I also miss your mom. She and Anindya are made up as siblings and it's beautiful. It's different from when I see Hayu and Raya. They're very competitive and hard working." Frida menjelaskan sembari terdiam sejenak dan melirik alorjinya.

"Ada apa, Ma?" tanya Giandra.

"Tidak apa-apa, My Dear," ucap Frida yang kemudian matanya menoleh pada meja, "Nicholas mencarimu."

Kedua iris Giandra tampak menoleh pada ponsel yang ia letakkan. Layarnya tampak menyala secara otomatis saat notifikasi baru masuk ke ponselnya. Ia melihat notifikasi dari pria yang akan ia nikahi dalam waktu dekat.

WhatsApp
Nicholas Wiradikarta
I have some news. My boss let me go overseas to study, but she felt it wasn't right.
Can we talk after working hours? I need some insight from my future wife.
I'll bring some cakes.

Isi pesan tersebut memperlihatkan bahwa Giandra tampak terkejut. Ia berpikir sejenak. Giandra tahu persis bahwa Nicholas meninginkan approval untuk melakukan tugas belajar. Sayangnya, saat wanita muda itu membaca isi pesan, Giandra merasa bahwa Nicholas tampak tak yakin.

Giandra Euphrasia:
Sure, My Dear. Please come.
Kurasa aku bisa membantu untuk ini.

TBC

Published on November 11, 2024

nas's notes: AAAA UDAH PART 51 AJA. ayo semangat bentar lagi selesai bentar lagi 100k views!! :"D

nas's notes at November 20th, 2024: judulnya kepanjangan jadi aku potong. anyway, ini ada part bonus yang sudah lama aku keep. jadi aku share di sini. tolong yaaa diberikan feedback atau yang sebelum-sebelumnya belum vote, tolong vote. terimakasih & enjoy!

.


.


.

Melbourne, Australia
2010

"Mom, what are those?"

Giandra memandangi Kirana yang terlihat mengenakan gaun hitam panjang tanpa lengan. Tangannya mengambil kalung mutiara tiga tingkat dengan pengait berlian. Giandra pernah melihat Queen Elizabeth II dari Inggris mengenakan kalung mutiara yang sama persis dan, secara tidak terduga, ia baru tahu bahwa mom mengenakan kalung mutiara serupa di leher jenjangnya.

"A pearl necklace," jawab Kirana secara perlahan.

"Yeah, I know that's a pearl necklace—but, It's yours?"

Pertanyaan Giandra pun membuat Kirana langsung menoleh. Ia mencoba untuk memperlihatkan kalung tersebut kepada Giandra agar dapat terlihat lebih jelas.

"That's not mine, My Dear Anindya. It's my family heirloom, a three-strand pearl necklace. It belongs to my mother—she got it from my father when he worked as a minister in the cabinet. 'I borrowed it' from my mother for the anniversary dinner with your dad."

Mendengar jawaban dari Kirana, Giandra pun menganggukkan kepalanya perlahan. "So Mama owns the necklaces ...."

"Yeah. My sisters and I wear them for our wedding—except for My Baby Sister Anindya who died before she married," gumam Kirana sembari memainkan ujung kalung mutiara tersebut.

Penjelasan Kirana benar-benar menggambarkan bahwa perhiasan tersebut memang dimaksudkan untuk dikenakan oleh mom dan keempat anaknya untuk acara besar. Kalung mutiara tersebut benar-benar mewah dan Giandra masih mengagumi kecantikan mutiara itu.

"It's pretty."

"It is."

"Very exquisite." Lagi-lagi Giandra masih memuji kalung tersebut. "Apakah setelah mom selesai mengenakannya, aku boleh mencoba?"

"Kamu masih terlalu muda untuk mengenakannya."

"Ah. But dad let me wear those diamonds from Graff."

Mereka berdua tahu bahwa dad, Hiram, membiarkan Giandra memilih perhiasannya sendiri. Terkadang dari Graff, Cartier, Harry Winston, atau pembuat perhiasan terbaik di dunia lainnya di dunia. Justru dengan Hiram yang membiarkan putri tunggalnya belajar memakai perhiasan sejak kecil, membuat Giandra memiliki standar terbaik dalam memilih perhiasannya.

"Yeah he did, but it's special. We wear them for our wedding or special occasion. It fits more when you wear them at Akad."

"So, I should be married to wear them?" tanya Giandra yang tampaknya sudah menangkap maksud dari Kirana.

Jawaban dari Giandra tentu saja membuat Kirana terkekeh. Sebenarnya Giandra tidak harus menikah untuk mengenakan mutiara tersebut, namun kalung mutiara itu sudah lama identik dengan apa yang dikenakan Hadiwiryono bersaudari sebagai perhiasan pernikahan dari keluarga. "It depends, My Dear. If you listen to your Mama, she will let you wear those for your wedding—and it will belong to you one day."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top