46. The Fraudsters

nas's notes: hii semuaa! akhirnya cerita ini bisa achieve di angka 63k views! terima kasih banyak yaa kalian sudah membaca cerita ini.

jangan lupa vomments. yang suka baca secara offline, bisa dinyalakan dulu kuotanya, vote, terus matikan lagi.

aku mencicil ini pas habis business trip, masih kerasa cape bgt, tapi akhirnya race week lagi! (yaaay)

terima kasih banyak dan selamat membaca!

.

.

.

Jakarta, Indonesia
July 10th, 2026

Raka tampak sedang mengamati gelang milik Giandra. Ia coba memikirkan apa yang dipikirkan oleh Giandra saat menyematkan beberapa pendants yang tergantung pada gelang tersebut. Dari lubuk hatinya, Raka masih berusaha untuk memiliki Giandra. Ia hanya ingin Giandra melihatnya sebagai orang yang bertanggungjawab dan setia.

Tak menemukan jawaban, Raka pun kembali menyimpan gelang tersebut pada sakunya dan merogoh dompet. Ia memutuskan untuk mengambil gelas teh kosong dan menuangkan teh hangat dari teko. Jemarinya membuka dompet untuk mengeluarkan sekantung plastik kecil berisi obat tidur yang sudah dihancurkan menjadi serbuk putih. Obat tidur yang ia peroleh dari Clara akan dipergunakan untuk membuat Giandra tidur, lalu membawanya pergi.

Atau mungkin, Raka tidak menargetkan Giandra.

"Gelangku hilang!"

Nicholas terlihat memperhatikan gelang yang hilang dari pergelangan tangan Giandra. Gelang kesayangannya yang dikenakan untuk hari atau hal spesial. Tentu saja, Giandra menjadi lebih cemas. "Apa kamu ingat terakhir kamu taruh di mana?" tanya Nicholas.

Raka melihat Nicholas dan terpikir untuk menargetkan Nicholas juga. Hanya saja, ia hanya memegang secangkir teh dan melirik dengan penuh kepastian.

"Aku tak melepaskannya. Bahkan jam tanganku saja masih terpasang." Giandra tetap kekeh dan ia melihat pada sepupunya, Rayan, yang berdiri bersama mereka. "Rayan, bolehkah aku minta tolong padamu untuk melihat dan mengamankan gelangku? Siapa tahu ada yang menemukannya."

Baru saja mengirimkan pesan, Rayan langsung mendongakkan kepala dari layar ponselnya. Ia melihat Giandra dengan raut wajahnya yang tampak cemas. "Gelang apa?"

"My Pandora bracelet!"

"Ooh, that bracelet!"

"Kamu melihatnya?"

"Sayangnya tidak," gumam Rayan sembari menggelengkan kepala perlahan, "namun, jangan khawatir. Aku akan membantumu untuk menemukannya kembali."

Raka mencoba berjalan mendekati mereka bertiga. Ia melangkah dengan perlahan dan melirik secara natural. Telinganya masih mendengar apa saja yang sedang dibicarakan.

Jika aku berikan minuman ini pada Nicholas, aku bisa menyandera anak itu. Jika aku berikan pada Giandra, aku bisa membawanya ke rumahku. Aku bisa membuat skenario untuk membawa ke rumah sakit. Raka membatin sembari tersenyum licik.

Saat Raka hendak memberikan minuman tersebut pada Nicholas, tak sengaja, Kanista menyenggol Raka hingga minuman tersebut tumpah mengenai bagian perut Nicholas dan Rayan.

Sontak, mereka terkejut. Kanista benar-benar memberikan ekspresi kagetnya. "Ya Allah, kalian tidak apa-apa?"

Sialan, apa-apaan Nyonya Tua ini? Haruskah dia menyenggolku dan teh yang aku bawa? Raka membatin dengan kesal. Ia tak dapat memberikan tanggapan begitu melihat cangkir teh yang ia bawah sudah terjatuh dan pecah berkeping-keping di lantai.

"Tidak apa-apa!" Rayan menjawab dengan tegas.

"Saya minta maaf. Saya tidak sengaja menyenggol Raka yang ingin menghampiri kalian." Kanista berujar dengan nada yang khawatir.

"Kalian harus ganti baju," ucap Giandra yang melihat kedua lelaki yang masih tak memberikan ekspresi apapun.

"Aku harus ganti baju. Mas, kamu mau ganti baju di kamarku?" tawar Rayan pada Nicholas.

Nicholas masih memperhatikan bagian atas kemeja yang kena tumpahan teh. Beruntungnya, ia tidak mendapat tumpahan yang lebih banyak dibandingkan Rayan. Hanya saja, Nicholas perlu mengganti kemejanya karena ia tak nyaman. "Tidak usah. Aku bawa baju ganti di mobilku."

Akhirnya Giandra dan Nicholas memutuskan untuk berpamitan. Rayan pun memilih untuk bergegas menuju kamar, sehingga menyisakan Kanista dan Raka yang masih bersama di tempat tersebut. Kanista menarik paksa Raka menuju salah satu lorong menuju ruang baca kecil.

"Jika kamu ingin membuat perkara, jangan di rumahku!" tegas Kanista sembari membuang tangan Raka.

"Memangnya ini rumahmu?" Raka membalikkan ucapan Kanista, lalu ia memajukan tubuhnya ke Kanista. "Aku ingatkan, kediaman ini sudah ada sejak Pak Andhika masih menikah dengan Bu Hayu."

"Hayu memang memenangkan hati Andhika, namun akulah yang berhasil menjadi ibu negara. Aku yang membesarkan anak-anak Hayu!"

"Kamu sangat memperdulikan anak-anak tirimu, bahkan menikahkan mereka dengan pasangan yang pantas."

"Sekarang, apa masalahmu?"

"Aku hanya ingin menikah dengan Giandra."

"Andhika tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" tegas Kanista sembari berusaha mengontrol nada bicaranya. "lagipula Giandra akan mati."

"Selalu saja kamu berpikir optimis bahwa Giandra akan mati. Padahal akan sangat menguntungkan jika aku menikah dengan Giandra. Setidaknya, aku akan memiliki keluarga yang baik dan utuh jika bersama Giandra."

"Nilam bahkan mengatakan bahwa aku adalah anak haram." Raka melanjutkan ucapannya dengan ekspresi jengkel.

Kanista tersenyum licik saat mendengar Raka memprotes soal ucapan Nilam yang, menurut lelaki itu, cukup kelewatan. "Nilam memang tak sopan, namun dia benar. Kamu memang anak haram. Setidaknya ... kamu mendapatkan kehidupan yang baik."

Lelaki berusia empat puluhan itu menoleh dengan perasaan jengkel yang tak dapat terbendung dari raut wajahnya. Ia mencoba untuk mengendalikan nafasnya dan merogoh saku untuk mengambil sebatang rokok dan korek api. Baru saja Raka mengigit ujung rokoknya, Kanista mengambil korek tersebut dari tangan Raka dengan cepat.

"Jangan merokok," tegur Kanista."

"Fuck."

Mata Raka tampak melirik sekitar. Begitu ia menyadari bahwa sekitarnya tak ada orang, ia baru ingin melanjutkan ucapannya. "Ya, kehidupan yang baik itu dibayar tunai dengan perundungan yang kudapat dari anak dan cucu presiden yang lain. Aku tak ingin anakku mengalami hal yang sama karena aku masih bisa memilih ibu untuk anakku."

Wanita itu hanya menggelengkan kepala dengan perasaan tak yakin. "Anakmu juga tidak bisa memilih ayahnya—yang bahkan menjaga dirinya sendiri saja tidak bisa karena pernah memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup."

"It's because you chose your new family over me and ayah!"

Sadar bahwa suara Raka terlalu kencang, Kanista berusaha untuk membuat lelaki itu diam dengan melotot. Raka berusaha untuk mengatur nafas lalu melihat Kanista dengan kesal dengan ekspresi tak percaya.

"Ayahmu yang meminta aku untuk menikah dengan Andhika," ucap Kanista dengan nada pelan dan tetap menegaskan alasannya.

"You always bring up ayah to justify your marriage with your husband!"

"Kamu tidak mengerti!"

"Berhenti! Berhenti!"

Saat Raka mencoba untuk menjauh dari Kanista, wanita dengan pakaian serba gelap itu tampak berusaha mengejar dan meraih bahu lelaki itu.

"Bersyukurlah!" Kanista membentak Raka sembari mengguncang tubuh lelaki itu. "Meskipun kamu bukan anak dari istri sah ayahmu, namun kamu adalah anak laki-laki. Kamu tetap mewarisi kekayaan ayahmu. Bahkan istri sah ayahmu begitu menyukaimu ... Bersyukurlah!"

"Sialan, aku bersyukur karena istri sah ayah adalah wanita terhormat. Karena beliau, aku ingin punya istri yang dari keluarga baik-baik, berpendidikan, lebih muda, dan cantik. Ayah dan Ibun pasti sangat ingin aku menikah dengan perempuan seperti Giandra." Raka mengucapkan harapannya sembari beranda-andai.

Mendengar ucapan Raka, Kanista tampak tersinggung dan jengkel. Kini, ia merasa marah saat mendengar Raka menyebut istri sah dari kekasih lamanya sejak ia remaja. "Bahkan kamu memanggil orang mati itu dengan Ibun?" tanya Kanista sembari menatap mata Raka.

"Setidaknya aku masih bisa menghormatinya daripadamu—pendidikan dan sifatnya asli, tidak palsu sepertimu," balas Raka dengan nada mencibir.

Meskipun Raka masih berusaha untuk mencibirnya, Kanista berusaha untuk mengingatkan Raka tentang asal usul eksistensinya. "Darah dan daging siapa yang ada di tubuhmu itu!"

"Memang kita berbagi banyak hal. Meskipun begitu, kamu tidak pernah ada di semua momenku karena kamu sudah memilih."

Wajah Kanista memerah karena jengkel. Ia tak percaya bahwa darah dagingnya sendiri, yang selama ini ia coba posisikan dengan baik dengan kuasanya, mencoba untuk menusuknya. Wanita tersebut mencoba untuk mengatur nafas karena argumen ini benar-benar menghabiskan energinya.

"Ingat, Raka, kalau aku tidak menikah dengan Andhika, kamu tidak akan mendapat privilege dan menjadi bagian dari kabinetnya—yang bahkan ayahmu tidak bisa lakukan. Hanya saja, aku mohon, jangan bikin Andhika marah dengan menyenggol Giandra atau Nicholas."

"Aku tahu bahwa suami sialanmu itu akan memotongku. Peduli setan, aku akan menikah dan membuat Giandra hamil anakku."

"Aku tidak akan sudi memiliki dia sebagai menantuku!" Kanista berkata dengan kasar dan membuat Raka tak dapat membalas. "Aku ibu kandungmu, sialan!"

Saat Kanista menegaskan pernyataannya, mereka berdua hanya saling bertatapan dan diam. Raka berusaha untuk memaki dirinya sendiri dan menendang bagian bawah dari salah satu sofa yang ada di dekatnya.

Raka mengaku lelah dan duduk dengan malas di salah satu sofa. "Aku tidak butuh restu dari wanita yang membuangku. Aku akan menikahi Giandra."

"Aku akan bunuh Giandra jika kamu tetap melakukannya!"

"Jangan sentuh calon istriku dengan tangan kotormu!" bentak Raka yang langsung berdiri dan mencoba untuk menatap wajah Kanista dengan penuh ancaman. "Kita memang sama-sama menginginkan rumah itu, namun kita memiliki cara yang berbeda untuk mendapatkannya."

"Sialan! Sialan!" Kanista membalas dengan bentakan dan menunjuk Raka untk menantangnya. "Kalau kamu tetap ingin menikahi perempuan sialan itu, akan kuberitahu semuanya—korupsi, gratifikasi, zionist supporter, pencurian aset, manipulasi, penyalahgunaan kekuasaan, perselingkuhan, bahkan pembunuhan terhadap istri pertamamu. Aku tahu semuanya!"

"Silahkan. Aku akan menambahkan kalau kamu kembali berzina dengan ayah, bahkan setelah kamu menikah dengan Andhika. Aku juga akan memberitahu kalau kamu menipu riwayat universitas, memanipulasi pendukungmu, menyingkirkan orang yang tidak kamu suka dari kabinet, membuang anakmu, bahkan membunuh banyak orang yang akan menganggu rencanamu. I do not have any respect for you after you killed ibun and you still cheated with ayah after killing her."

"Bahkan kamu membunuh Hiram dan Kirana. Jika suamiku tahu, kamu akan habis."

"But you did the rest—you paid someone to crash their malfunctioning car!"

Tak sadar, perbincangan sejak tadi sudah direkam oleh Rayan melalui ponsel pintar miliknya dan Nilam sudah mendengarkan banyak hal dari ucapan mereka. Kini, Rayan dan Nilam berusaha untuk menahan diri dari merespon dengan kencang karena mereka berdiri dari balik pintu yang menghubungkan ruang baca kecil dengan lorong.

"Jadi benar ucapanmu—Raka adalah anak haram Ibu?" Rayan mengkonfrimasi kata-kata Nilam tempo hari dengan perlahan. "Berarti penglihatan Om Hiram dan Giandra soal ibu dan Raka bukan orang baik ... benar?"

Sementara Nilam, yang tampaknya sudah tahu sejak lama, kini ia sudah mendapatkan pembuktian serta keyakinan untuk memberitahu ayah dan Akbar. "Kita berdua sudah tahu banyak hal. Sekarang kita pikirkan cara memberitahu ayah dan Mas Akbar soal eksistensi para penipu ini."

Rayan merasa tak yakin bahwa mereka harus segera memberitahu ini kepada ayah. Ia masih ingin melihat kejutan terbaru dari hubungan Raka dan Kanista. "Kurasa kita harus tahan dulu. Aku khawatir ibu sudah melakukan penipuan yang lebih besar daripada ini dengan target yang lebih luas—seperti rakyat Indonesia."

TBC

Published on October 19, 2024

nas's notes: terima kasih sudah baca part ini! maaf banget emang bikin shik shack shock :")))

jadi gini kronologinya: ayah sama kanista ini berhubungan pas muda > raka lahir tahun 1985 dan langsung dikasih ke ayah > kanista nikah sama andhika tahun 2005 & ortu gi ketemu raka yang mau s word.

soal raka yang z word ini pernah disebut di bonus part di part 14 karena diketahui sama hamdi (yang hampir mau difitnah).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top