45. Timepiece

nas's notes: HAAAAI SEMUAAAA! cerita ini sudah memasuki 61k views dan semoga kalian dapat menikmati cerita ini, ya.

jangan lupa vomments. kalau kalian suka baca offline, bisa nyalakan kuotanya dulu dan vote. baru habis itu dimatikan lagi kuotanya. yang belum pernah vomments part sebelumnya juga boleh banget. siapa tahu terlewat karena di aku juga jomplang banget angkanya.

kalau kalian butuh apa-apa, kayak curhat atau ngobol, atau bahas tulisan aku juga boleh banget kontak aku di twitter (at) gemeinschweft (di-follow juga boleh banget) atau kirim tellonym aku (linknya ada di bio wp, cocok untuk warga yang suka kirim pesan anonim).

p.s. aku kangen jawab-jawab tellonym.

p.s.s. aku nulis part ini sambil ketiduran dua kali HAHAHAHA T^T

terima kasih banyak dan selamat membaca!

.





.





.

Jakarta, Indonesia
July 10th, 2026

"Apakah ada sesuatu yang spesial di hari ini?"

Nicholas bertanya saat Giandra masuk ke mobil pada pukul setengah tujuh malam. Giandra baru menyadari bahwa Nicholas sedang mengenakan gelang dengan pendants yang ia kenakan. Lelaki itu tahu pasti bahwa Giandra mengenakan gelang tersebut di hari spesial. Hanya saja, Nicholas tampak tak tahu apakah ada kejadian spesial apa yang membuat Giandra senang.

"Ah, aku sedang ingin mengenakannya." Giandra mengatakannya sembari tersenyum manis.

"Sangat menggemaskan," puji lelaki itu sembari tersenyum.

Secara spontan, Giandra menoleh pada gelang yang ia kenakan bersama dengan jam tangan miliknya. "My pendants and chain?"

"You, My Love." Nicholas memuji dengan nada lembut. "You have a good eye for everything, jadi apapun yang kamu pilih untuk dikenakan, pasti akan bagus. Tentu saja karena kamu juga percaya diri."

Melihat calon istrinya yang tersenyum dengan perasaan senang, Nicholas langsung mengambil tangan Giandra dan mengecup punggung tangan wanita muda itu dengan lembut. Giandra yang melihat Nicholas mencium tangannya pun tertawa kecil dengan pipi yang merona. Seketika Giandra teringat dengan hadiah yang sudah ia persiapkan untuk Nicholas.

"Aku punya sesuatu—aku teringat denganmu saat melihatnya." Giandra tampak teringat saat mengatakan ucapannya. Tangannya mencoba untuk merogoh tas dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah. "Happy birthday, Nicholas Wiradikarta."

Lelaki itu tak dapat berekspresi saat Giandra menyodorkan kotak berwarna merah khas Cartier. sebagai hadiah ulang tahun untuknya. "Bukalah!"

Dengan perlahan, Nicholas membuka kotak tersebut dengan jemarinya. Iris hijau kebiruannya tampak terkejut saat melihat isi dari kotak tersebut adalah sebuah Cartier Tank—arloji yang sudah lama ia inginkan. Bukannya senang, Nicholas malah memberikan ekspresi yang berbeda.

"Giandra, terima kasih banyak, tetapi ini—"

"Tolong terimalah. Ini tidak sebanding dengan semua hal yang sudah Kak Nicky lakukan untuk tulisanku dan, juga, aku. Saat aku membelinya, aku sudah yakin untuk membeli model ini untukmu dan SA-nya juga menyakinkan aku. Aku sangat senang!" potong Giandra dengan perasaan antusias. Ia tahu bahwa Nicholas mencoba untuk menolaknya.

"Sekarang aku tahu kenapa kamu begitu senang hari ini," ucap Nicholas sembari mengambil jam tangan dari kotak tersebut. Ia melepas Apple Watch dan mengantonginya di celana. Kemudian Nicholas mengenakan jam tangan sembari tersenyum senang. Ia kembali melihat wajah Giandra, "aku akan menjaganya dengan baik. Terima kasih, Giandra."

Wanita muda itu hanya menganggukkan kepala dengan perasaan yakin. "Aku tahu kalau jamnya akan cocok pada tanganmu," ucap Giandra sembari mengusap tangan Nicholas dengan lembut. Mata kecokelatan milik Giandra pun memandangi jam tangan yang telah terpasang dengan sempurna di pergelangan tangan kiri Nicholas.

Lelaki itu tampak bersiap untuk pergi menuju tempat tujuan, namun ia melirik ke arah Giandra. Nicholas langsung berinisiatif memasangkan sabuk pengaman untuk Giandra, yang tampak lupa untuk mengenakannya. Wajah Giandra tampak memerah saat Nicholas berada satu senti di depannya, namun tak kembali duduk di bangku pengemudi.

Jantung Giandra berdetak kencang. Ia langsung mengambil wajah Nicholas dan mencium bibirnya dengan lembut. Lelaki itu langsung membalas ciuman Giandra dan menjeda kecupan mereka dengan suara nafas yang tak beraturan.

Tak sengaja, Giandra menaruh tangannya pada lutut Nicholas dan wajah lelaki itu semakin memerah. Perlakukan Giandra membuat lelaki itu tak dapat mengucapkan sepatah kalimat untuk merespon atau melarang calon istrinya. Akhirnya, Ia berinisiatif untuk mengambil tangan Giandra untuk mencium punggung tangan dengan lembut.

"Ayo kita pergi, Sayang."

Nicholas sudah terlalu banyak mengkhawatirkan kondisiku. Sebenarnya aku merasa bersalah karena memberitahunya, namun aku tidak ingin membuat Nicholas cemas—karena tak tahu apapun atau terlambat mengetahui apa yang aku alami. Aku berusaha untuk melibatkan Nicholas sebagai pasanganku. Giandra membatin dan matanya langsung memperhatikan Nicholas yang sudah membawa mobil sedannya itu.

.





.





.

Sementara itu, kediaman pribadi Andhika Pradana yang berlokasi di Kawasan Menteng tampak ramai dengan para tamu. Orang-orang yang menghadiri pesta tersebut adalah keluarga, pejabat, pengusaha, hingga orang-orang yang mereka suka. Tak ada sesuatu yang menjadi pencapaian untuk dirayakan, namun Pak Andhika dan istri kedua, Kanista, mengadakan pesta ini dengan senang dan sukarela—hanya untuk bersilahturahmi.

Beberapa tamu tampak memakan makanan yang telah disajikan dan asyik mengobrol satu sama lain. Namun, anak-anak Pradana pun tampak berbincang banyak hal sembari duduk di ruang tengah bersama Raka Purnomo.

Mata Raka sedari tadi mencari hal yang menarik dari acara ini. Sayangnya ia tidak menemukan sesuatu yang membuatnya bertahan. Lelaki itu mencoba untuk menarik nafas. "Apakah Giandra akan datang?"

Telinga Akbar menangkap pertanyaan dari mulut Raka. Ia langsung menggelengkan kepala. "Kurasa tidak. Dia terlalu sibuk."

"Bukankah Giandra sudah dipecat?" tanya Raka yang memberikan ekspresi wajah pura-pura tak tahu. "Aku mendengarnya dari kolegaku di Forest Green."

"Foresta Green buat Giandra, tuh, kecil. Hanya untuk orang yang ingin mengisi waktu luang dengan gaji yang sebenarnya, bagi Giandra, hanya ... recehan." Akbar menanggapi ucapan Raka. "Teman-temanku yang kerja di HP saja membahas pemecatan Giandra karena aneh. Minimal mereka harus menyusun skenario fitnah terlebih dahulu—walau karmanya akan berjalan ke mereka juga."

"'Kan pemecatan tak harus selalu ribut atau ramai di media sosial. Forest Green sendiri saja pernah melakukan mass lay off di masa pandemi untuk merampingkan perusahaan." Raka menambahkan.

"Lay off juga ada alasannya. Apalagi, menurut temanku, Giandra memiliki performa kinerja paling prima."

Nilam, si anak bungsu, tak menanggapi apapun dan memilih untuk minum teh. Sementara Rayan, masih berusaha untuk menjaga dirinya dari tindakan sembrono saat memberikan reaksi (tentu saja, memutar mata dengan sebal juga termasuk)

"Ah, paling ada biang keroknya. Sabotage." Rayan langsung memotong ucapan Akbar dan Raka. Kedua pria itu tampak menyimak Rayan yang seketika memberikan kutipan konspiratif. "Giandra di umur semuda itu saja bisa dapat posisi dan proyek yang bagus. Semua orang pasti iri."

Ucapan Rayan barusan berhasil membuat Raka tak dapat memberikan respon apapun. Ia berusaha untuk mengendalikan ekspresinya agar tak terbaca.

"Tampaknya semua orang kecuali aku. Aku, 'kan, dokter. Kenapa aku harus iri dengan Giandra?" lanjut Rayan sembari beranjak dari sofa dan memberikan senyuman licik kepada Raka. "Aku harus keluar. Sepupuku sudah datang bersama tunangannya."

Melihat Rayan yang beranjak, Akbar pun ikut berdiri dari sofa. Matanya tampak melihat beberapa tamu yang baru saja datang. Tandanya ialah Akbar harus menemani orang tua dan Alya untuk menyapa para tamu. "Aku juga harus pergi untuk menyapa para tamu."

Dua kakak beradik itu sudah berjalan meninggalkan Raka dan Nilam yang masih berada di ruang tengah. Wanita muda dengan rambut panjang legamnya hanya tersenyum sopan. "Jadi, rumor itu benar? Mas Raka pergi dengan Clara?"

Pria itu tampak tak menduga bahwa Nilam membahas rumor percintaannya dengan Clara Antonia. Bahkan rumor ini semakin dikuatkan dengan postingan Clara yang menunjukkan keberadaannya melalui barang yang selalu ia bawa jika berpergian: sebuah koper Rimowa berukuran kecil dengan bag tag yang dipesan secara spesial.

Saking spesialnya, mudah sekali bagi para warganet untuk mengetahui bahwa Clara sedang pergi bersama Raka Purnomo.

"Meskipun rumor itu benar, mereka tidak akan percaya." Raka mencoba meyakinkan diri dengan ucapannya.

Wanita muda itu menaikkan alisnya dan tampak bertanya-tanya. "Kenapa?"

"Dunia entertain yang ditinggali Clara selama ini benar-benar membuat wanita itu tak menarik, bahkan terlalu kampungan. Sedangkan kamu," ucap lelaki itu terputus sembari mengusap bahu Nilam dengan lembut, "kamu begitu berkelas dan menarik. Sayangnya, Dion terlalu sering mengabaikanmu."

"Aku mendengar kalau selama ini kamu sudah memantau Giandra."

Hampir saja jantung Raka lepas saat Nilam memberikan satu kali tembakan lewat ucapannya. Ia tak pernah mengatakan apapun soal Giandra, namun Nilam, dengan sengaja, membeberkan apa yang ia ketahui. "Kata siapa?" Raka malah berbalik bertanya untuk mengkonfrimasi.

"Banyak. Mas Raka tak perlu tahu siapa siapa saja nama itu."

Mendengar jawaban yang tak menentu itu, Raka hanya tersenyum. "Siapa yang tidak tertarik dengan Giandra?"

Balasan Raka membuat mereka berdua tak melanjutkan percakapan. Nilam dapat mengambil kesimpulan bahwa omongan yang disebarkan dari beberapa mulut yang ia kenal memang benar.

"Ya, tapi ayah langsung mengamati sepupuku setelah mendengar Mas Raka yang sudah lama mengamati Giandra." Nilam membalas dan ia langsung mendekatkan tubuhnya pada Raka. "Mas Raka, akan aku berikan sebuah fakta. Ayahku lebih takut dengan sepupuku daripada kakekmu—apalagi kamu, 'kan, anak haram."

Lelaki itu hanya tersenyum saat mendengar ucapan Nilam. Ia tak kaget, namun Raka benar-benar tersinggung. Ia harus menyembunyikan ekspresi jengkelnya dan kembali menempel pada Nilam.

Jika pelacur kecil ini bukan anak presiden dan sepupu dari calon istriku, sudah aku habisi dia sedetik setelah ia menyelesaikan ucapannya itu. Raka membatin dengan wajahnya yang terlihat merah.

TBC

Published on October 16, 2024

nas's notes: hiii terima kasih yaa sudah mampir! akan ada bonus, jadi ... lihat ya!

.






.







.

"Mas Nicholas jam tanganmu bagus!" Rayan memuji saat matanya melirik ke arah Cartier Tank yang dipakai oleh Nicholas. Saat ini, Rayan dan Nicholas tampak sedang mengobrol di ruang baca kecil. "Beli di luar negeri atau koleksi lama keluargamu?"

Secara spontan, Nicholas langsung melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan. "Cartier Tank ini dari Giandra. Baru saja ia memberikannya sebagai kado ulang tahunku." Nicholas mengatakannya sembari tersenyum. "Giandra mengenalku dengan baik. Bahkan ia tahu jam tangan yang cocok denganku."

Rayan pun terkejut dan langsung melihat lagi jam tangan yang dipakai oleh Nicholas. "Sungguh, kamu cocok dengan jam tangan seperti ini, Mas. Cocok untuk dijadikan sebagai jam kerja."

"Ya, aku berencana untuk mengenakannya sebagai jam daily-ku," ucap Nicholas dengan perasaan senang.

Sebelum berpindah topik, Rayan pun memastikan sekelilingnya tak ada orang. Setelah memastikan sekitarnya dalam kondisi aman, Rayan baru mengutarakan apa yang sudah ia pikirkan beberapa hari ini. "Ngomong-ngomong, ayahku mencemaskan Giandra."

"Kenapa Pak Andhika mencemaskan Giandra?"

"Raka ini selalu berusaha untuk mendekati Giandra. Dia berencana untuk membeli rumah yang sekarang ditinggali oleh Giandra sejak lama, hanya saja, Giandra tidak akan mau pindah. Jadi Raka kerap berbuat nekat dengan mendekati Giandra. Ia ingin menikahi dan mencari cara supaya rencananya itu berhasil."

"Jadi motif utamanya karena rumah?"

"Benar, dan juga, karena Raka tidak punya anak dari istri pertamanya. Ia ingin memiliki anak dari Giandra sembari hidup bahagia di rumah itu."

Nicholas memberikan reaksi jijik saat mendengar kalimat yang diutarakan oleh Rayan. Ia teringat dengan alasan Raka memintanya untuk membatalkan rencana pernikahan dengan dalih kalau Nicholas tak dapat membahagiakan Giandra dengan gajinya.

"Raka benar-benar konyol." Rayan melanjutkan ucapannya. "Dahulu ayahku begitu memperhatikannya, sekarang ayahku berencana ingin memotongnya."

Ucapan Rayan itulah yang secara tak sengaja terdengar oleh seorang lelaki yang berjalan di lorong luar ruang baca itu. Raka Purnomo menghentikan langkahnya dan mengepalkan tangan dengan jengkel.

Dokter sialan dan keluarganya berencana untuk memotongku setelah semua yang keluargaku lakukan untuk mereka? Bahkan Rayan brengsek ini berani membicarakan aku DEPAN Nicholas? Benar-benar keluarga bangsat. Raka membatin dengan emosi dan menundukkan wajahnya. Sayangnya, saat ia menundukkan wajah, ia melihat sebuah gelang terjatuh di lantai.

Raka ingat bahwa gelang dengan pendants tersebut adalah gelang yang tadi dikenakan oleh Giandra. Dengan cepat, Raka langsung mengambil gelang tersebut dan mengantunginya ke dalam kantung celana. Lelaki itu langsung pergi meninggalkan lorong untuk kembali berbincang dengan tamu lainnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top