42. Repose

nas's notes: guys hiii! aku update part 42 dan, semoga, dimudahkan untuk menulis sampai akhir. oh ya, sembari baca boleh sambil vomment, ya, enggak harus review panjang lebar, tetapi kalian bisa berkomentar apapun di ceritaku :"D

aku doakan semoga teman-teman reader yang vote, comment, dan membantu mempromosikan agar mendapatkan rejeki yang menjadi berkah untuk diri sendiri dan sekitar.

yang suka baca secara offline, bisa nyalakan dulu paketan datanya bentar, vote, terus matikan lagi dan baca. boleh follow wp aku atau twt/x aku (gemeinschweft) biar kalau ada update, kalian bisa mendapatkan notifikasi secara cepat.

terus juga habis ti ini, aku mau nulis cerita dengan tema marriage tapi fc-nya oscar piastri sama yeri, tapi lihat aja ....

tapi, sejujurnya, kayaknya aku lagi tidak bersemangat untuk update. entah kenapa, tapi aku sedih dan cape juga. hmmmm gimana ya

meskipun begitu, terima kasih banyak dan selamat membaca!

.





.





.

Aqsad Idris:
Kak Gi.
Kamu benar-benar dipecat dari Forest Green?
Kamu dibicarakan sama rekan-rekanku di HP.

Giandra Euphrasia:
Yaaaa!
Aku terkejut jika berita pemecatanku tersebar begitu cepat sampai ke telinga para pegawai Hassan & Pandjaitan.

Aqsad Idris:
Tentu saja!
Orang pemecatan Kak Gi BENAR-BENAR EDAN.
Kenapa Kak Gi enggak menuntut CPO?

Giandra Euphrasia:
Karena biang keroknya bukan CPO.
Dan aku tidak apa-apa, Sad. Mungkin aku harus istirahat sejenak dan membiarkan orang yang lebih kompeten untuk mengisi posisiku.
Setidaknya mereka membayar uang kompensasi.

Aqsad Idris:
Untuk orang yang menjadikan pekerjaan di start-up sebagai sampingan, Kak Gi memang gila.
Apa yang Kak Gi lakukan setelah ini?

Giandra Euphrasia:
Aku akan menulis cerita baru.

Aqsad Idris:
Hanya itu?

Giandra Euphrasia:
Aku akan melakukan banyak hal atau pergi keluar negeri sesukaku. Sekarang aku bebas.

Aqsad Idris:
Syukurlah Kak Gi sudah memiliki rencana.
Jangan lupa aktifin 'Open To Work' di Linkedin.

Giandra Euphrasia:
Sudah aku lakukan setelah aku dipecat.

Aqsad Idris:
Luar biasa.
.





.





.

Singapura
July 9th, 2026

Begitu Giandra menyelesaikan pemeriksaannya di salah satu rumah sakit besar di Singapura, Giandra memilih untuk menghabiskan waktu dengan duduk di lobi rumah sakit. Ia duduk sendirian di salah satu kursi sembari melihat para petugas medis, pasien, serta keluarga dan teman-teman yang berjalan dengan beragam macam perasaan di lobi tersebut. Ternyata, hasil pembelian tiket pesawat jam tiga pagi berbuah hasil.

Sebenarnya, hasil pemeriksaan Giandra tak sebaik apa yang ia perkirakan—bahkan dokter sudah menyarankan Giandra untuk melakukan operasi secepatnya sebelum tumor berkembang lebih ganas.

Tak seperti kebanyakan orang yang duduk sembari membuka ponsel pintar, Giandra hanya duduk dengan tatapan kosong yang mengarah pada lantai khas rumah sakit yang tidak menggunakan material marmer. Ayahnya, Hiram, pernah bercerita bahwa lantai rumah sakit menggunakan vinyl khusus dan setiap ruangan di rumah sakit pasti menggunakan jenis vinyl yang berbeda—tergantung dengan kegunaan dari salah satu ruangan di rumah sakit.

Pada akhirnya, Giandra tak memfokuskan diri pada lantai vinyl atau hasil diagnosa penyakitnya, namun ia membuka ponselnya seperti pasien lain yang sedang menunggu giliran. Isi notifikasi ponselnya tak banyak, hanya saja ia melihat notifikasi pesan dari grandpapa.

Messages
Grandpapa
Anindya, maaf tadi grandpapa tidak bisa menemanimu lebih lama. Masih ada jadwal operasi.
Bersantailah atau istirahat. Sampai jumpa nanti malam.

Grandpapa, dr. Arif Soerjapranata, seorang dokter bedah yang sudah lama bekerja di Singapura jarang mendapat kunjungan dari keluarga satu-satunya yang masih hidup. Sayangnya, saat Giandra mengunjungi Singapura untuk keperluan medis, Arif tak dapat menemani cucunya lebih lama karena ada operasi lain yang sudah terjadwal, namun Arif berjanji akan mengajak Giandra untuk mentraktir makan malam.

Pada akhirnya, Giandra berencana untuk berjalan menuju Orchard Road dan melihat-lihat hal menarik yang bisa ia belanjakan. Sebenarnya ia belum sempat membelikan sesuatu untuk dijadikan sebagai hadiah ulang tahun Nicholas. Lelaki itu tak masalah, hanya saja Giandra ingin membelikan penyunting yang akan ia nikahi sebuah hadiah yang pantas. Nicholas sudah lama menjadi penyuntingnya Giandra dan, bahkan, pekerjaannya terhadap karya-karyanya Giandra pun sangat totalitas.

Wanita muda itu ingat bahwa Nicholas kerap mengenakan jam tangan dari IWC Schaffhausen (dibelikan nini karena mau dan lolos rekruitmen pegawai Kemlu), Patek Philippe (sekitar tahun 1950-an, koleksi lawas jid yang diwariskan pada Nicholas), dan Apple Watch (lelaki itu membelinya untuk lari, jalan cepat, dan menghitung detak jantung).

Giandra terpikir bahwa Nicholas akan cocok untuk mengenakan Cartier Tank, terutama karena lelaki itu sering kali mengenakan kemeja dengan tangan tergulung. Bayangan tersebut tampak menyenangkan hingga ia memutuskan untuk mampir ke ION Orchard sebentar.

"Kak Giandra!"

Telinganya menangkap suara yang tampak familiar, lalu ia mencoba untuk menoleh dan mendapati Aqsad Idris yang tak sengaja berpapasan. Aqsad terlihat santai, bersahaja, dan terlihat membawa tentengan menarik dari Diptyque.

Hampir saja jantungku lepas. Giandra berkata pada dirinya sendiri dan mencoba mengatur nafasnya sebelum menyapa teman dekatnya itu. "Haaaai, Aqsad!"

Pandangan Aqsad tampak terfokus pada Giandra yang berpenampilan rapi dengan kemeja dan celana bahan. Tak lupa, wanita muda itu terlihat membawa Fendi Baguette lawas dengan gantungan kunci beruang dari Jellycat. "Sedang apa Kak Gi di Singapura?"

"Mengunjungi Grandpapa—ia praktik di Mount E. Bagaimana denganmu? Kenapa kamu tiba-tiba tertarik dengan parfum?"

"Ah, aku selalu lupa kakek Kak Gi juga seorang dokter," gumam Aqsad dan matanya, secara refleks, melirik ke arah paper bag dari Diptyque, "aku mengambil cuti, Kak. Hanya saja, Mas Hamdi memintaku untuk membelikan titipannya."

"Kutebak, Do Son?" gumam Giandra yang tampak berasumsi Hamdi meminta Aqsad untuk membelikan varian Do Son—yang tercium dominan bunga putih dan musk.

"Ilio. Mas Hamdi memintaku untuk membelikan parfum kesukaan Shadira. Aku semakin percaya bahwa mereka akan menikah," ungkap Aqsad yang menyebutkan parfum yang memiliki wangi segar ala Mediterania dengan pir, bergamot, hingga melati itu.

"Mungkin itu firasatmu saja karena sudah terlalu sering mendengar berita percintaan atasanmu yang tidak jelas itu." Giandra merespon dan melirik ke arah jam tangannya. Ia harus bergegas. "Aku harus pergi ... belanja, ya, aku ke sini untuk belanja. Dah Aqsad!"

Melihat Giandra yang terlihat berjalan beberapa langkah, Aqsad langsung meninggikan suaranya. "Kabari aku jika Kak Gi ada waktu kosong."

"Kabari saja kamu di mana. Aku masih punya banyak waktu luang—aku, 'kan, pengangguran!" ujar Giandra sembari terkekeh dengan suara yang agak dinaikkan.

.





.





.

Jakarta, Indonesia
July 9th, 2026

"Apa kamu melihat Nicholas?"

Setelah menyelesaikan makan siangnya bersama adik tingkatnya di daerah Pecenongan, Andreyka Alatas datang ke salah satu ruangan tempatnya bekerja sembari menenteng plastik putih berisi kopi. Ia bertanya terkait keberadaan Nicholas pada salah satu anak magang yang duduk di meja pojok.

Setelah rapatnya selesai, Nicholas mengatakan pada Andreyka bahwa ia ingin makan siang sendiri dan menitipkan kopi—Andreyka tak dapat hidup dengan segelas kopi, sehingga ia kerap keluar dari kantor hanya untuk membeli kopi.

Tanpa ragu, anak magang itu menggelengkan kepalanya. "Mungkin masih di musholla, Mas?"

Lelaki muda itu tampak tak yakin. Matanya melirik ke arah jam yang menunjukkan waktu jam dua siang. "Entahlah, tetapi Nicky tidak membunuh jam kosong dengan berlama-lama di musholla."

"Ada apa, Mas?"

Seorang pegawai lainnya, Gibran S. Mahendra, baru saja datang dari musholla, tampak mencoba untuk mengikuti percakapan antara Andreyka dengan anak magang. Telinganya tampak menangkap kekhawatiran dari kalimatnya Andreyka.

"Gibran, apa kamu melihat Nicholas saat kamu pergi dari musholla?" tanya Andreyka dengan raut wajah khawatir.

Sayangnya Gibran juga menggelengkan kepala. "Tadi iya, Mas. Aku lihat Mas Nicholas di musholla. Cuman habis itu, aku tertidur dan bablas sampai jam dua."

"Anjir." Andreyka secara spontan mengeluarkan umpatan dan anak magang pun mendenyitkan dahi dengan heran.

"Lagipula, 'kan, kita enggak ada kerjaan lagi. Rapat tadi saja kebablasan makan waktu istirahat. Sudah di-chat?"

"Sudah, Bran," jawab Andreyka sembari membuka ponselnya, "Nicky tahu aku pergi makan siang dengan adik tingkatku di Kemenparekraf dan ia minta dibelikan kopi. Dia juga membelikanmu."

"Ah, aku tahu," gumam Gibran, "biarkan saja, Mas. Aku rasa Mas Nicholas ada urusan mendadak, tapi lupa mengabari."

Gibran langsung mengambil kopi dari tangan Andreyka. Ia berinisiatif untuk mengambil sticky notes dan pena dari meja anak magang. Ia langsung menulis:

Punya Nicky.
Jangan diminum!

Kemudian, lelaki muda itu menempelkan sticky notes tersebut pada kopi yang dipesan untuk Nicholas. "Taruh saja kopinya di kulkas."

"Taruh sendiri, lah, Gibran," respon Andreyka sembari berjalan meninggalkan Gibran dan anak magang, "Nicky sudah mentraktir, aku yang pergi ke tokonya, dan yang kamu lakukan adalah menyimpan kopinya sampai orangnya datang."

TBC

Published on October 6, 2024

nas's notes: aku post update, tapi aku lagi burn out. kalau mau marah-marah secara anonim ke tellonym aja. linknya ada di bio aku atau link eksternal di part ini yaaa☝🏻

oiya aku ada part bonus di bawah ini. thank you!!

.


.


.

Setelah pergi dari musholla, Nicholas Wiradikarta memang tidak berjalan ke arah ruangan tempatnya bekerja, namun ia langsung melangkah ke parkiran dan masuk ke mobilnya. Ia tidak berencana untuk pergi ke luar dan duduk diam dari mobilnya. Ia menyalakan mesin mobil, pendingin udara, dan menurunkan sedikit kaca mobil.

Nicholas ingat bahwa ia tidak begitu berselera untuk makan apapun, tetapi ia memesan kopi dari Andreyka. Tentu saja ia juga membayarkan kopi untuk Andreyka dan Gibran. Ia senang melakukannya. Sejujurnya, kepalanya pusing dan ia tak dapat memenjamkan mata di area gedung. Alasan yang tepat untuk pergi ke parkiran dan menyendiri.

Ia mengkhawatirkan Giandra dan kekhawatirannya itu membuat kepalanya sakit dan menangis sendiri. Sejak tadi, Giandra belum mengabari apapun atau menaruh foto di Snapgram-nya. Belum satu hari, namun Nicholas sudah mengkhawatirkannya dan tak ada berita apapun soal Singapura. Mata Nicholas pun terfokus pada sebuah notifikasi ponsel yang dikirimkan pada pukul tiga sore.

WhatsApp
Andreyka Alatas
Ini gila, tetapi aku harus spill sesuatu.
Aku habis ketemu sama adik tingkatku yang kerja untuk Raka Purnomo dan ia mengatakan kalau bosnya itu pergi sama Clara Antonia.

Lelaki muda itu tampak mendenyitkan dahinya sendiri. Ia memutuskan untuk membuka ponselnya untuk membalas pesan tersebut.

Nicholas Wiradikarta:
Secara terang-terangan? Gila.
Apa mereka pergi ke Senopati? Sampai dibela-belain pergi saat hari kerja bersama selingkuhannya itu.
Jika aku menjadi sekretarisnya, aku akan mengambil cuti.

Andreyka Alatas:
Tidak, lah.
Ke Singapura.
Netizen juga melihat mereka di bandara dan heboh.
Mereka sibuk membicarakan Raka dan Clara ini.

Nicholas Wiradikarta:
Di antara semua negara, kenapa orang-orang memilih untuk pergi ke Singapura.
Sialan.

Andreyka Alatas:
Karena waktu tempuh dua jam dan banyak pilihan wisata yang menyenangkan.
Ada apa, Nicky?

Nicholas Wiradikarta:
Sepertinya aku butuh pulang cepat.
Apakah Pak Bos ada di ruangan?

Andreyka Alatas:
Tentu saja, kamu terlihat tak baik-baik saja dari sebelum jam istirahat.
Beliau belum datang, tapi sekretarisnya mengatakan kalau beliau sedang dalam perjalanan.
Jangan lupa ambil tas dan, juga, kopimu di kulkas.

Nicholas Wiradikarta:
Great!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top