41. Cause Wonder

nas's notes: akhirnya kita sampai di bulan oktober 2024, dan memasuki part 41 yang gemas (dan jumlah kata yang lumayan banyak). hanya saja, kayaknya habis drop bonus di part 39 dan 40, aku mau nyicil untuk cerita baru dan revisi cerita ini dengan perlahan, deh. entahlah, ini juga baru rencana.

terus udah 52k views ... terima kasih teman-teman yang sudah berkunjung!! yuk boleh dipromosikan lagi ke teman-teman atau readers lain yaaa!! <3

jangan lupa untuk vomments. kalau suka baca sambil offline, bisa dinyalakan dulu kuotanya, vote, terus matikan lagi ya.

oiya karena ini jumlah katanya hampir 2k, boleh minta tolong untuk dipromosikan yaaa! boleh ke base atau grup fb. asal jangan grup jual beli hewan 😭🙏🏻

terima kasih dan selamat membaca! <33

.






.






.

Jakarta, Indonesia
July 8th, 2024

Nicholas Wiradikarta's 29th birthday

10:18 PM
Begitu Nicholas dan Giandra selesai makan malam dan puas menyantap tiramisu, mereka langsung bergegas ke rumah Giandra. Karena mobil Giandra sedang dipinjam mama, Nicholas pun langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Sebenarnya garasi tersebut dapat memuat dua mobil, hanya saja Giandra hanya memiliki satu mobil berwarna putih yakni Mercedes-Benz C-Class 200 pabrikan tahun 2024.

Nicholas sangat menyayangi mobilnya, yang sama-sama pabrikan Mercedes-Benz, hanya saja, dia sangat memperhatikan mobilnya dan selalu merawatnya. Lelaki itu percaya bahwa mobil pabrikan Eropa membutuhkan perawatan secara ekstra agar mesinnya tetap dalam kondisi prima. Bahkan ia tidak percaya Giandra bisa membawa mobil miliknya (meskipun dengan kursi pengemudi yang sengaja dimajukan).

Meskipun mesin mobil sudah dimatikan sejak enam menit yang lalu, Nicholas masih saja belum beranjak dan memandangi Giandra yang masih duduk di kursi penumpang samping sembari membuka ponsel pintar miliknya. "Kamu tidak mau turun?" tanya Nicholas heran.

"Aku baru ingat kalau Mba Yaya mengambil cuti sampai Jumat malam," ucap Giandra saat ia membuka ponselnya.

"Kenapa, Giandra? Kamu tidak bisa menggunakan mesin cuci?" goda Nicholas sembari tersenyum jahil.

"Enak saja! Aku bisa menggunakan mesin cuci. Jangan konyol—aku pernah tinggal sendirian di Bandung," ucap Giandra sembari menaruh ponselnya pada tas berukuran kecil, "aku akan sendirian sampai Jumat."

Tangan Nicholas pun langsung mengusap bahu Giandra dengan perlahan. "Tidak apa-apa! Aku akan berusaha untuk berkunjung hanya untuk menemanimu sampai kamu tidur."

"Jangan. Aku khawatir akan merepotkan Kakak," pinta Giandra dengan nada pelan, "ah, ya, kita harus turun. Jangan takut, rumahku tidak ada siapa-siapa selain kita."

Mendengar ucapan Giandra yang, lagi-lagi, berusaha untuk meyakinkan Nicholas pun membuat lelaki itu menelan air liurnya dan mengekori Giandra yang keluar terlebih dahulu dari mobil. Begitu memasuki rumah, Giandra menarik Nicholas untuk berjalan menuju kamarnya.

Sekarang wajah lelaki itu jauh lebih merah dibandingkan biasanya. Giandra mencoba untuk merayunya secara mengejutkan di umurnya yang baru dua puluh sembilan tahun.

10.47 PM
Setelah Nicholas menyelesaikan agenda mandi malamnya, ia langsung mengenakan memakai pakaian tidurnya—sebuah kaus putih berbahan katun dengan celana berwarna merah, yang ia bawa dari rumah. Jemarinya terlihat menyemprotkan parfum dengan wangi dari melati dan kacang tonka, lalu mencium kembali untuk memastikan apakah wanginya akan menganggu penciuman Giandra atau tidak.

Saat lelaki itu sudah menyelesaikan kegiatan bebersihnya, ia langsung menemani Giandra yang sudah duduk di ranjang dan sedang membaca sebuah buku yang baru ia beli beberapa hari yang lalu.

"Kak Nicky, ayo bergabung denganku—naik ke atas ranjangku." Giandra mengajak Nicholas untuk naik ke atas ranjangnya dan menepuk salah satu sisi yang kosong.

Lelaki muda itu menyetujui dan langsung naik ke atas tempat tidur Giandra dengan perasaan sungkan. Ia mencoba menyusun bantal berdekatan dengan dipan dan menyandarkan tubuhnya. Giandra langsung menaruh bukunya di nakas samping ranjang lalu mematikan lampu kamar. Penerangan yang tersisa hanyalah lampu meja dengan pencahayaan yang hangat. Dengan perlahan, wanita muda itu mencoba untuk menyandarkan tubuhnya pada dadanya Nicholas.

Selagi ia bersama Nicholas, tiba-tiba, Giandra memikirkan sesuatu yang menarik perhatiannya sejak lama dan ia baru menanyakan ini saat mereka bertunangan."I have a silly question."

"Silly or not, I'm excited to listen and answer your questions," balas Nicholas dengan perasaan antusias, "apa pertanyaanmu, Sayangku."

"Nama Nicholas pada namamu adalah nama depan jid—yang tidak pernah ia pakai, Kak Nicky juga menyebutkan kalau Hanan adalah namamu dari Bahasa Arab, yang juga, sama seperti Bahasa Ibrani. Bagaimana dengan Albert?" tanya Giandra secara perlahan. Ternyata meskipun Giandra sudah mengenal Nicholas sejak lama, namun Giandra tak pernah bertanya soal nama Albert yang tersemat pada nama lengkap Nicholas.

"That's not a silly question, My Dear. Bahkan aku sangat menantikan pertanyaan ini." Nicholas merespon dengan nada lembut dan tampak mengerti dengan rasa penasarannya Giandra terhadap namanya. "The name 'Albert' it was belong to my maternal great-grandfather, Albert Ehrlich. Dahulu, nama Albert adalah namanya kakek buyutku dan bunda ingin aku mengingatnya. Bahkan nenek buyutku merasa seperti melihat suami pertamanya lahir kembali saat melihatku."

Wanita muda itu tampak menyimak dengan baik saat Nicholas membagikan cerita dibalik nama ketiganya yang selalu disembunyikan. "Banyak keluarga kerajaan Inggris yang diberikan nama Albert, setelah suami dari Ratu Victoria yakni Pangeran Albert." Giandra menambahkan.

"Kamu benar! Aku juga mendengar dari pamanku, Onkel Peter, kalau aku memang diberi nama Albert dan dijadikan sebagai nama ketiga—seperti Raja George VI dari Inggris yang memiliki nama Albert sebagai nama kecilnya." Nicholas melanjutkan penjelasannya terkait namanya.

"Sayangnya, selama hidupku, jarang ada orang yang memanggilku dengan Albert," imbuh Nicholas.

Mata cokelat wanita muda itu tampak mencoba untuk menoleh pada lelaki yang sudah mendekap tubuhnya. "Menurutku, Kakak juga cocok jika dipanggil Albert."

Mendengar pendapat Giandra, Nicholas pun setuju dan mengangguk mengerti. Menjeda sebentar sembari memikirkan namanya sendiri. Sebenarnya Nicholas bersyukur karena orang tuanya memberikannya nama yang baik dan bermakna untuknya. Bahkan ia kerap melupakan namanya.

"Sebenarnya bunda ingin mencarikan nama Ibrani untukku dan bertanya pada pamanku, yang menurutku taat, hanya saja jid tidak setuju—alhasil, ayahku menyarankan untuk memberikan aku nama Hanan untuk menengahi keinginan bunda dan jid."

"Kutebak, sebenarnya ayah yang ingin menambahkan nama Hanan di namamu?" Giandra menebak dan Nicholas menanggapi dengan sekali anggukkan kepala.

"Benar. Ayah mengambil jalan tengah yang membuatku, dengan mudahnya, masuk Amerika Serikat berkat namaku yang sulit ditebak asal muasalnya."

Giandra terkekeh saat mendengar tanggapan dari Nicholas. "'Kan memang ayah bunda orangnya visioner."

11:13 PM
"Lantas bagaimana denganmu, My Little Miss Anindya?" Nicholas bertanya pada Giandra sembari mengusap ujung kepala perempuan itu dengan perlahan. "Aku kerap mendengar bahwa para kakek nenekmu memanggilmu dengan Anindya. Terkadang ayah juga tak sadar sudah memanggilmu dengan Anindya."

Selama Nicholas mengenal Giandra, telinganya tak sengaja menangkap bagaimana keluarganya memanggil Giandra dengan nama ketiga. Bahkan sejak kecil, ia juga mendengar ayahnya, Remus, juga memanggil putri dari sahabatnya dengan Anindya. Meskipun sekarang Remus banyak menyebut Giandra dengan nama pertamanya, terkadang ayahnya tak sadar menyebutkan 'Anindya' saat bersamanya.

"Anindya itu dari nama bibiku yang paling kecil dan yang meninggal lebih dahulu. Urutannya ialah Hayu—ibundanya Rayan, Raya, Kirana, dan Anindya. Aku tidak tahu banyak soal bibiku ini karena ia meninggal muda sebelum aku lahir. Namun, Mama Frida meminta mom untuk menyematkan nama Anindya. Alasannya karena saat aku lahir, beliau teringat dengan bibiku dan mom dekat sama adiknya." Giandra bercerita dengan perlahan sembari memainkan jemari Nicholas secara tak sengaja. "Semua orang tidak pernah memanggilku Anindya karena semua orang mengenalku dengan Giandra dan sering kali disalahpahami sebagai laki-laki. Meskipun nama Anindya juga sebenarnya ... nama laki-laki. Kurasa, secara tak sadar, orang tuaku memiliki obsesi dengan pemberian nama maskulin untuk anak perempuan."

"Kamu harus tahu kalau Hanan di deretan nama-nama Arab juga termasuk nama yang bernuansa feminim." Nicholas menambahkan sembari memperhatikan mata Giandra yang nenurutnya terlihat lebih cantik.

Mereka berdua pun saling tertawa dengan perlahan saat saling menceritakan soal fakta dibalik nama yang menjadi identitas personal dan professional. Mereka saling menjeda ucapan satu sama lain dengan mempersiapkan posisi tidur. Giandra mulai mendekatkan tubuhnya ke dalam dekapan tubuh Nicholas.

"Sayangnya, setelah dad dan mom meninggal, makin sedikit keluarga yang memanggilku dengan Anindya. Bahkan ayahmu saja tidak merujuk aku sebagai Anindya seperti sebelumnya. Namun, terkadang aku sedih karena aku teringat cara orang tuaku memanggilku dengan nama ketigaku itu." Giandra melanjutkan ucapannya. "Saat aku dewasa, Mba Yaya yang mejagaku dan ia memperhatikan kalau aku terlihat seperti bibiku—tertarik dengan banyak hal dan menjadi ahli. Selain itu, menurutnya, aku dan bibiku juga cantik. Cantik dengan pembawaan yang wibawa dan anggun."

Telinga lelaki itu tampak menangkap kalimat yang diucapkan oleh Giandra. Deskripsi menyenangkan untuk memuji dirinya sendiri. Nicholas pun memang setuju dan mengangkat sudut bibirnya untuk membuat senyuman. "Mba Yaya benar saat ia mengatakan bahwa kamu terlihat berwibawa dan anggun. Aku juga melihat kecantikanmu yang begitu terpancar saat kamu sedang sibuk mengerjakan tulisanmu dan fokus membidik target dengan pistolmu."

Saat Nicholas mendeskripsikan dirinya yang, juga, terlihat keren saat menembak, Giandra pun tersadarkan. Semenjak ia naik jabatan, ia sudah tidak latihan menembak lagi. Meskipun Giandra sudah tidak melakukannya secara serius, akan tetapi Giandra membutukan jeda untuk memegang kembali pistolnya itu.

"Aku akan mengajakmu lain waktu. Sudah lama aku tidak menembak."

"Asyik!" sontak Nicholas dengan perasaan senang, namun ia mengecilkan nadanya—yang membuat Giandra menyadari bahwa respon Nicholas sangatlah lucu.

11:36 PM
Saat ini, Nicholas mencoba untuk mendekap Giandra dalam pelukannya. Ia tampak mencoba untuk mencium kepala Giandra dan mengusap rambut wanita itu. Rambut yang telah dikeringkan itu sangatlah halus, sehingga Nicholas mengusap beberapa helai rambut Giandra dan tak ingin melepaskannya. "Apa kamu merindukan orang tuamu?"

Wanita itu langsung melepas pelukan dan berusaha untuk melihat wajah Nicholas. Pertanyaan lelaki itu membuat Giandra terdiam sejenak dan kemudian mulai merespon dengan nada lirihnya. "Selalu. Bahkan aku selalu bermimpi untuk pergi bersama orang tuaku."

Iris mata hijau kebiruan milik Nicholas tampak memandangi Giandra yang memperlihatkan matanya yang mulai berkaca-kaca. Tangan lelaki itu berusaha untuk mengusap pipi dengan perlahan. "Oh My Baby."

Kedua iris kecokelatan Giandra pun sudah terlanjur basah karena tergenang oleh air matanya sendiri. Ia begitu merindukan orang tuanya dan mudah tersentuh, bahkan teringat, saat seseorang mulai menanyakan soal dirinya atau keadaannya sepeninggal orang tua. "Aku sedih karena mereka enggak sempat lihat semua hal yang aku capai. Padahal mereka yang selalu ada dan melakukan semua hal untukku."

"Bahkan mereka belum lihat kamu, anak sahabat mereka, yang memintaku untuk menikahinya," lanjut Giandra sembari menahan isak tangisnya.

Saat mendengar isak tangisan Giandra, Nicholas tampak berusaha untuk menenangkan Giandra. Pertanyaannya barusan membuatnya berpikir lebih lama—ia merasa bersalah dengan Giandra karena sudah menanyakan hal tersebut.

"Aku minta maaf karena pertanyaanku membuatmu sedih karena teingat dengan orang tuamu. Kamu sudah bekerja keras sejauh ini dan kamu teringat bagaimana orang tuamu mengusahakanmu, apapun caranya, supaya kamu bisa berdiri sendiri—lihatlah, kamu sudah tumbuh dengan baik sebagai dirimu sendiri." Nicholas mengatakan sembari berusaha untuk menenangkan Giandra dari tangisannya yang menjadi-jadi. Tangannya kembali mengusap punggung Giandra dan memasangkan selimutnya hingga menutupi keseluruhan tubuh wanita muda itu.

"Terima kasih Giandra kamu sudah bertahan dan tumbuh dengan baik. Dad dan mom pasti bangga sama kamu."

Tadinya Giandra berusaha untuk mengendalikan air matanya sendiri, sekarang ia membiarkan tangisannya mengalir saat mendengar ucapan hangat dari bibir lelaki itu.

July 9th, 2026

12:16 AM
Hari sudah berganti dan mereka berdua masih bertahan untuk saling berbincang ringan. Sekarang mereka membicarakan soal apa saja yang dilakukan selama tinggal di luar negeri dan apa yang paling mereka ingat dari negara yang mereka singgah saat mereka kecil.

"Aku merasa bahwa beberapa hari ini jauh lebih bebas. Bahkan aku jauh lebih santai dan bisa bersamamu tanpa harus membuka laptop untuk bekerja," ucap Giandra yang tampaknya kembali membuka obrolan.

Nicholas mengangguk setuju. Lelaki muda itu tampak sudah menyadari bahwa, sepanjang hari, Giandra tidak pergi ke kantor atau membuka laptopnya saat mereka bersama atau mengangkat telepon dari Farhan yang kerap menanyakan beberapa hal. Awalnya Nicholas berpikir bahwa Giandra sedang mengambil cuti, namun tampaknya tidak seperti itu.

"Tahu enggak karena apa?"

"Karena apa?"

"Aku dipecat."

Hampir saja Nicholas tak dapat merespon apapun saat Giandra memberikan jawabannya. Bahkan Nicholas terpikir kalau Giandra akan bertahan lama di Forest Green atau resign terlebih dahulu—karena dianggap memiliki kegiatan dan pemasukan lain yang dapat mempertanggungjawabkan kesehatan mentalnya. Hanya saja, pemecatan ini secara tidak terduga karena secara performa, Giandra tampak apik (ini menurut penuturan Giandra) dan tidak terganggu saat Giandra naik jabatan.

"Aku tidak tahu alasan kenapa aku dipecat—bahkan aku tidak melakukan kesalahan apapun." Giandra melanjutkan ucapannya dengan nada yang terdengar jengkel.

"Bagaimana bisa kamu dipecat? Bukankah kamu baru naik jabatan dan, juga, performamu selama ini juga baik-baik saja." Nicholas merespon dengan perasaan terkejut. Ia menjeda ucapannya untuk memikirkan beberapa kemungkinan yang terdengar masuk akal. "Apakah ada yang menyabotase pemecatanmu?"

"Raka Purnomo yang melakukannya. Aku tidak memfitnah, bahkan sekretarisnya sendiri yang mengatakan padaku karena ia menemukan bukti dari perbuatan kotor orang itu."

"Aku tidak percaya—dia sudah melangkah terlalu jauh." Nicholas menanggapi dengan perasaan tak percaya. Ia tak mengira bahwa Raka akan melangkah sejauh itu untuk mengobrak abrik Giandra. "Tampaknya dia membuat Forest Green memecatmu karena aku. Aku menolak untuk menuruti permintaannya beberapa kali."

Wanita itu menoleh penasaran. "Permintaan apa?"

"Raka memintaku untuk mendekatkan dia padamu, serta, membatalkan rencana pernikahanku denganmu."

Penjelasan Nicholas itu tentu saja membuat Giandra tampak terkejut. Benar-benar terkejut bukan main. Bahkan, pikiran Giandra berusaha untuk mencocokkan dengan sikon yang dimana ia ditinggal oleh Nicholas untuk menemui Raka di kediaman lelaki itu.

"Aku baru tahu ..., " respon Giandra dengan perasaan terkejut.

"Aku minta maaf karena sudah ... kamu dipecat ... karena aku ...," ucap Nicholas dengan nada yang terbata-bata karena berusaha untuk menahan air yang akan keluar dari air matanya. Sementara, Giandra tetap berusaha untuk menenangkan Nicholas yang akhirnya menangis.

"Sayang, enggak apa-apa."

"Padahal aku tahu kamu menikmati pekerjaanmu di Forest Green."

Untuk menenangkan Nicholas dan perasaan bersalah lelaki itu (yang dikhawatirkan) akan mengganggu Nicholas, Giandra memilih untuk mengambil tangan lelaki tersebut dan merasakan apa yang dirasa oleh "Memang pekerjaanku yang itu penting untukku, namun sekarang sudah tidak penting lagi—aku bisa lanjut menulis ceritaku atau mencari pekerjaan lain atau lanjut jadi atlet lagi. Aku bisa kerja yang lain, yang penting aku tetap menikah dengan pria yang sudah aku inginkan sejak lama."

12:37 AM
"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

Setelah memastikan Giandra yang sudah berada dalam pelukan dan mengusap punggung wanita itu, Nicholas menoleh dan berusaha membaca ekspresi yang terlihat muncul wajah wanita muda itu. Sayangnya, pikirannya tertangkap bahwa ada hal yang mengalihkan Giandra.

"Setelah dipecat, aku bisa ke rumah sakit untuk memeriksakan tubuhku. Aku merasa tak baik-baik saja," ujar Giandra sembari menghela nafasnya, "aku punya tumor dan tampaknya ini serius. Well, aku dipecat dan punya tumor—baru saja awal Juli, namun aku sudah mendapatkan banyak kejutan."

Mendengar ucapan Giandra tersebut, Nicholas tak dapat merespon apapun. Ia benar-benar terkejut bukan main. Ia langsung mencoba untuk meemperhatikan Giandra bicara—sebelum memotongnya begitu saja.

"Aku mengatakan semua ini karena aku sayaaaang sekali sama Kakak. Aku akan baik-baik saja—aku akan mendapatkan pekerjaan baru, aku akan sembuh, lalu kamu bisa menikah denganku sembari merayuku sampai pagi, dan aku akan punya anak perempuan yang mirip dengan ayahnya."

TBC

Published on October 3, 2024

nas's notes: terima kasih sudah mampir! ini bonusnya yaa!

.

.

.

Pagi harinya, Giandra mengantarkan Nicholas sampai ke pintu depan. Sebelum mereka membuka pintu, Giandra tampak menahan pergelangan tangan lelaki itu dan mencium pipinya dengan cepat.

"Nanti siang, aku pergi ke Singapura. Aku akan minta pendapat grandpapa soal penyakitku dan apa tindakannya."

"Secepat itu?" gumam Nicholas dengan perasaan heran. Nicholas berpikir bahwa Giandra tertidur bersamanya.

"Sebelum kamu bangun di pukul lima, aku bangun di pukul tiga dan langsung memesan tiket pesawat. Setelah itu, aku tidur lagi."

"Aku akan menyusulmu ke Singapura." Nicholas menegaskan ucapannya dan Giandra memotong respon lelaki itu dengan cepat.

"Tidak usah, Kak Nicky. Aku tidak ingin kamu kurang istirahat karena aku."

"Sekali lagi kamu katakan itu, akan aku korbankan waktu istirahatku untuk memantaumu," lirih lelaki itu dengan nada pelan, "bawakan aku kabar baik."

Giandra langsung mendekati Nicholas untuk memberikan lelaki itu pelukan. Nicholas belum ingin jalan menuju kantor dan masih ingin bersama kekasih hatinya itu. Tak sengaja, munculah seorang lelaki yang keluar dari kamar tidur tamu lantai pertama—yang secara mengejutkan, terlihat seorang wanita yang mengikuti sosok Rayan keluar dari kamar dengan ekspresi terkejut.

"Giandra? Kamu sakit apa?" tanya Rayan yang tampak khawatir—hampir saja membuat Giandra tertangkap basah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top