39. At Liberty

nas's notes: hiii akhirnya kita sudah sampai di part 39. yang belum mampir ke extra part di part 34 dan 36 boleh mampir dulu, ya.

jangan lupa vomment yaa! kalau suka baca secara offline, bisa nyalakan dulu paket data dan vote terus matikan lagi.

jujur, awalnya pesimis, ya. cuman kok ... aku merasa target 50k views sebelum september berakhir itu mungkin? kali tiba-tiba meledak atau ada yang mempromosikan :"))) minimal 45k views dulu, deh.

terima kasih banyak dan selamat membaca!

.


.


.

Jakarta, Indonesia
July 7th, 2026

Karena sudah resmi menjadi pengangguran, Giandra tak perlu mengawali harinay dengan membuka laptop di pagi hari. Bahkan ia bisa berangkat rumah sakit lebih awal hanya untuk memeriksa kondisinya. Tujuannya adalah pergi menuju rumah sakit elit yang berada di kawasan Pondok Indah.

Sembari menunggu, Giandra memikirkan agenda selanjutnya. Ia sempat terpikir untuk pergi ke PIM demi membeli buku, namun ia juga ingin pergi ke salon untuk memotong rambutnya. Sudah lama Giandra tidak merapikan potongan rambutnya yang mulai acak-acakan tak beraturan.

Setelah beberapa jam pemeriksaan, Giandra dapat menyelesaikan rangkaian pemeriksaan dan berencana untuk pergi ke PIM. Sebelum itu, ia harus melangkahkan kakinya menuju konter administrasi untuk menyelesaikan proses administrasi. Sayangnya, saat ia baru saja ia menerima amplop pelunasan dari petugas administrasi, Giandra tak sengaja berpapasan dengan Ibu Negara Kanista Moestadja yang berjalan diikuti oleh seorang ajudan.

"Selamat siang, Bu Kanista," ucap Giandra saat ia tak sengaja melihat Kanista yang pergi dengan pakaian serba hitam dan kacamata Versace-nya yang menarik perhatian.

"Selamat siang, Giandra. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Kanista yang tampak penasaran. Semoga anak ini mendapat diagnosa penyakit berat yang tidak bisa disembuhkan dan meninggal, jadi aku bisa membeli rumah Permata Hijau dari keluarganya. Kanista membatin.

Pasti dia membatin saat melihat kehadiranku di rumah sakit sembari mengharapkan kapan aku akan mati. Giandra juga membatin saat melihat Kanista memandanginya dengan perasaan kasihan. "Aku datang untuk MCU."

"MCU apa? Kamu, 'kan, sudah dipecat. Tidak perlu, lah, kamu mengikuti MCU segala," ucap Kanista spontan yang membuat Giandra terdiam, "aku tidak salah, 'kan? Lagipula aku mendapat info bahwa kamu memang dipecat."

Giandra hanya tersenyum sopan saat mendengar bahwa Kanista sudah mendapatkan berita terkait pemecatannya dari Forest Green. Tampaknya Giandra langsung tahu dari mulu siapa Kanista memperoleh kabar tersebut. "Menarik bahwa kamu sudah mendapatkan informasi soal pemecatanku. Aku MCU untuk diriku sendiri."

Wanita tua itu memilih untuk menghiraukan ucapan Giandra dan terpikir bahwa ia akan mengadakan acara di hari Jumat. Kanista pun berencana untuk mengundang Giandra hanya untuk mendapat konfrimasi bahwa Giandra tak hadir karena terlalu malu untuk muncul setelah pemecatannya. Bukan acara yang formal, melainkan acara santai yang diadakan pada hari Jumat.

"Datanglah ke rumah. Pamanmu mengadakan acara," ucap Kanista sembari melepas kacamata hitamnya, "kabari Alya jika kamu ingin datang."

Mendengar Kanista mengundangnya, Giandra pun menoleh. Ia merasa heran saat istri kedua dari pamannya ini berbaik hati untuk mengundangnya ke acara santai keluarga RI 1 di Menteng. "Boleh saja. Akan aku lihat jadwalku terlebih dahulu. Untuk ukuran pengangguran, jadwalku sama saja penuhnya seperti saat aku masih menjadi pegawai."

"Baru saja menjadi pengangguran, tapi kamu sombong sekali," sindir Kanista.

Tanggapan Kanista pun membuat Giandra tertarik dan berjalan mendekati Kanista. Ia mulai menatap sembari tersenyum seperti orang yang berusaha untuk menyindir. "Meskipun sudah menjadi pengangguran, aku harus tetap berkegiatan supaya tidak mengalami post power syndrome. Bu Kanista juga harus membiasakan diri ... siapa tahu Bu Kanista tidak menjadi Ibu Negara lagi dan tidak bisa datang ke klinik untuk treatment rutinan ...."

Mata Giandra pun tampak memandangi wajah Kanista yang sejak tadi sudah menarik perhatiannya. Bibir wanita muda itu hanya tersenyum licik saat melihat perubahan drastis pada beberapa titik, termasuk dagu kanista. "Kutebak, Bu Kanista habis suntik botox?"

Sialan, anak kecil ini tahu aku baru saja melakukan suntik botox. Aku melakukannya karena Andhika kelewatan dan masyarakat menyoroti betapa cantiknya istri Presiden Prancis saat kunjungannya ke Indonesia. Kanista membatin dengan perasaan jengkel. Matanya kembali melirik pada Giandra dengan perasaan kesal. Wajahnya malah memerah.

.



.




.

"Sayang, aku harus pulang. Pakaian gantiku ada di rumah."

Nicholas tampak mengobrol dengan Giandra sembari merebahkan tubuh di atas karpet yang berada di studio lantai bawah. Giandra hanya terlentang dan memainkan rambut brunette milik calon suaminya yang kepalanya sedang bertumpu pada bantal (yang ia ambil dari kamar tidurnya). Hari ini tidak ada Mba Yaya atau Rayan, yang datang secara tiba-tiba ke rumahnya, sehingga Giandra dapat menghabiskan waktu lebih lama untuk menjadi lebih manja dengan lelaki itu.

"Kakak bisa memakai pakaian Rayan," balas Giandra yang terlihat santai.

"Aku lebih tinggi dari Rayan, tetapi sepupumu itu memiliki bahu yang lebar." Nicholas menanggapi sembari memainkan rambut Giandra yang terlihat berbeda. "Kamu habis memotong rambutmu?"

Wanita muda itu menganggukkan kepalanya saat mendengar Nicholas mengalihkan pembicaraan dengan pembahasan rambutnya. "Ya, aku memotongnya sedikit tadi sore. Bagaimana?"

"Kamu cantik sekali. Potongannya tampak cocok denganmu," puji Nicholas sembari mengambil tangan Giandra dan mencium punggung tangannya. 

Giandra membalas dengan menatap calon suaminya dengan tatapan dalam. "Terima kasih, Dear."

Setelah itu, iris hijau kebiruan milik lelaki muda tampak masih memandangi Giandra. "Rebahkan tubuhmu dan sandarkan kepalamu di lenganku. Aku ingin memelukmu sebentar sebelum aku pulang."

Mendengar Nicholas meminta Giandra untuk ikut merebahkan tubuhnya, ia pun mencoba mengikuti lelaki itu. Hanya saja, ia merasa aneh saat harus menjadikan lengan Nicholas sebagai bantal untuk kepalanya. Kemudian, Nicholas langsung meraih tubuh Giandra dengan satu tangan dan mendekapnya dalam pelukannya.

"Apa kamu nyaman?" tanya Nicholas pada Giandra yang berada dalam dekapannya dan memandangi wajah cantik calon istrinya itu.

"Nyaman, namun lengan atas Kakak tidak kesakitan?"

"Tentu saja tidak. Bahkan kamu tidur di atas tubuhku pun aku tidak apa-apa," balas Nicholas dengan nada pelan sembari mengecup kening Giandra dengan lembut, "nanti, saat kita sudah menikah, aku akan mendekapmu sampai pagi. Untuk sekarang, aku akan pulang ke rumahku."

Giandra mengangguk pelan dan langsung memeluk tubuh Nicholas dengan erat. Saat ini, Giandra tak ingin memberitahu apa yang ia alami selama beberapa hari setelah pertunangannya dengan Nicholas. Ia berusaha untuk menahannya terlebih dahulu dan akan mengatakannya nanti di waktu yang tepat. "Kakak Nicky."

"Iyaaa, Cantikku?" respon Nicholas dengan nada lembut.

"Kalau aku menulis adegan dewasa di ceritaku, apakah Kak Nicky setuju?"

Pertanyaan Giandra barusan membuat Nicholas tersenyum kecil. "Aku setuju, asalkan kamu sudah melakukannya dengan penyuntingmu."

"Penyuntingku, 'kan, suamiku sendiri." Giandra bergumam dan tertawa kecil. "Untuk sekarang memang masih calon, namun kamu akan menjadi suamiku, Nicholas Wiradikarta."

Pikiran Nicholas pun langsung terbayang dengan perkataan Raka yang masih menganggunya. Ia tidak percaya bahwa ada lelaki lain, yang sebenarnya bukan siapa-siapa, bisa meminta Nicholas untuk membatalkan rencana pernikahan dengan Giandra. Menyatakan cinta kepada Giandra adalah mimpinya sejak lama, apalagi menjadikan Giandra sebagai calon istrinya.

Sebenarnya Nicholas khawatir jika Raka akan bertindak lebih jauh untuk mendapatkan apa yang pria tua itu inginkan. Yang ingin Nicholas lakukan ialah menjaga Giandra seperti janjinya.

"I love you, Giandra. Always."

Mendengar Nicholas berkata secara spontan dengan nada yang tak biasa, Giandra langsung menoleh dan menatap wajah Nicholas. "Ada apa, Kakak? Nadamu tampak khawatir."

Ia sadar bahwa kata-katanya barusan membuat Giandra mengkhawatirkannya. Tangannya langsung mengusap kepala Giandra dengan perlahan. "Aku sayang kamu, Giandra. Apapun yang terjadi, kita akan menikah dalam waktu dekat dan akan selalu bersama."

Untuk menenangkannya, Giandra mencoba untuk meraih jemari Nicholas dan menggenggamnya dengan erat. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun Giandra mencoba untuk tidak mengkoreknya saat ini. "I love you, Nicky."

"Aku hanya ingin menikah dan punya anak denganmu, Nicholas." Giandra melanjutkan ucapannya dan kemudian mengecup pipi Nicholas dengan lembut. "Kita akan selalu bersama."

TBC

Published on September 28, 2024

nas's notes: aku akan publish extra part, namun nanti, ya. akan aku tag lagi seperti biasa :"D

terima kasih sudah mampir <33

nas's notes on January 13, 2025: aku publish extra part, ayo baca yaa!

.



.



.

"Pagi ini aku bertemu dengan Giandra di rumah sakit. Tampaknya dia sedih sekali karena dipecat oleh kantornya."

Kanista Moestadja duduk bersama Nilam, Akbar, dan Andhika di ruang tengah dari kediaman pribadi mereka. Kanista baru pulang malam ini setelah kemarin menginap di tempat orang tuanya.

"Oh, ya?" sahut Akbar dengan perasaan santai. "Ibu dengar dari siapa?"

Wanita tua itu langsung gelagapan saat Akbar menanyai informasi yang sebenarnya belum banyak diketahu oleh orang lain. "Ada ... ADA ORDAL IBU DI SANA."

Akbar, yang sebenarnya tak yakin, hanya mengangguk kepalanya dengan perlahan. "Aku tidak terkejut saat Giandra dipecat secara konyol oleh Forest Green, tetapi Giandra terlihat baik-baik saja. Kurasa dia sudah berdamai dengan semua kejadian itu."

"Apakah pemecatannya semenyakitkan itu hingga dia harus ke rumah sakit?" 

Saat mendengarkan pembicaraan antara Akbar dan Kanista, Nilam hanya menoleh tak tertarik, tetapi Kanista tampak konyol. Memang mereka baru ditinggal sehari oleh ibu tirinya, tetapi sekarang, Kanista langsung terlihat seperti orang yang berbeda. Hanya saja, Kanista memilih untuk membahas sepupunya yang malang dibandingkan membahas apa yang dilakukannya.

"Tidak ada hubungannya orang baru dipecat sama ke rumah sakit. Justru Giandra ada waktu kosong setelah dipecat—selama ini dia sibuk sekali, makanya habis dipecat langsung ke rumah sakit." Nilam merespon dengan nada dingin dan menyampaikan pendapatnya yang teramat logis. 

Respon Nilam membuat anggota keluarga yang berada di ruang tengah malah terdiam. Andhika, yang tadinya hanya sibuk dengan ponsel, langsung melirik untuk melihat perubahan pada wajah Kanista yang diungkit oleh Nilam. 

"Dibandingkan memikirkan Giandra dan waktu luangnya, aku lebih tertarik untuk memperhatikan wajahmu." Andhika menanggapi sembari masih memandangi wajah istri keduanya. Tampak Andhika mencari tahu dimana Kanista menyembunyikan semua kerutan itu.

Kanista menoleh dengan terkejut. "Maaf?"

"Kamu suntik botox lagi?"

Saat Andhika langsung menodongnya dengan satu pertanyaa, Kanista tidak langsung merespon. Akan tetapi, Andhika dan anak-anaknya sudah memandangi Kanista untuk mendengarkan jawaban dari mulut wanita tua itu. "Ya, aku melakukan treatment dan suntik di bagian wajahku."

Mendengar jawaban Kanista, Andhika hanya menganggukkan kepala. "Oh, menarik. Untuk sementara jangan keluar rumah dan muncul di publik. Batalkan schedule-mu."

"Baiklah."

Akhirnya Andhika dan Akbar memutuskan untuk beranjak, tetapi Nilam langsung menoleh pada Kanista. Wanita muda itu mendekatkan wajahnya dan tersenyum jahil. "Jangan khawatir, hasil botox-mu memang bagus. Aku akan meminta nama dokternya darimu, untuk ibu temanku!"

Dibandingkan merespon Nilam, Kanista memilih untuk diam. Setelah Andhika, Akbar, dan Nilam berpamitan, ruang tengah langsung menjadi sepi. Wanita itu langsung merogoh ponselnya dari tas high end-nya dan mengetik pesan pada aplikasi WhatsApp.

Kanista Moestadja:
Terima kasih banyak untuk rekomendasi dan jajannya. Aku menyukai hasilnya. Love you.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top