35. The Engagement Day

nas's notes: hi semuaaaa! terima kasih banyak sudah mampir dan mohon bantuannya untuk meninggalkan vomment.

terima kasih juga untuk supportnya karena cerita ini mendapat rank yang bagus untuk beberapa tagarku! semoga bisa mendapat rank yang bagus di tagar lainnya. :"D

jika kalian biasa baca offline, boleh dinyalakan dulu paket datanya terus vote dan dimatikan lagi. boleh juga dipromosikan atau merekomendasikan ke readers jika sesuai dengan permintaan. idk entah kenapa aku merasa promosi sekarang agak sulit, ya. tapi aku harus semangat (bisa ... bisa ngap-ngapan mengejar target).

terima kasih banyak dan selamat membaca!

Jakarta, Indonesia
July 4th, 2026

The Engagement Day of Giandra Soerjapranata and Nicholas Wiradikarta

"Teh Sura, bukankah seharusnya kamu datang bersama keluargamu? Kenapa kamu malah di sini?"

Aqsad Idris yang baru saja datang ke kamar Giandra dan melihat Sura yang sudah rapi mengenakan terusan hitam. Lelaki muda itu tampak membawakan paper bag berisi roti gandum srikaya dengan mentega buatan koki keluarganya. Giandra sudah dirias sejak pagi dan sekarang Sura mendengarkan pesan Bu Frida untuk mengawasi Giandra.

"Aku datang untuk melihat Giandra mengenakan kebaya dan melihatnya pertama kali—tentu saja untuk mendahului kakakku," ucap Sura sembari tersenyum. Kemudian ia duduk di sebelah Giandra dan membantu wanita muda itu untuk membukakan bekal yang dibawakan oleh Aqsad, "Mba Yaya tampak repot mempersiapkan ruang bawah bersama Bu Frida dan Mba Alya."

Aqsad menganggukkan kepala. Meskipun ia telah diberitahu bahwa acaranya akan biasa-bisa saja, namun Giandra meminta rumahnya dirapikan dan didekor dengan beberapa pilihan bunga kesukaan. Tuan rumah terlihat sangat antusias karena ia jarang mendapati rumahnya dikunjungi banyak orang.

Jemari Sura sudah mengambil tisu dan mengambil salah satu potong roti untuk disuapi ke Giandra. Aqsad pun hanya mengkerutkan dahinya. "Kenapa Teh Sura yang menyuapi Giandra?" tanya Aqsad heran.

"Giandra harus minum obat, namun ia belum sarapan. Sejak tadi ia hanya minum teh manis saja. Mba Yaya sudah memijat bahu dan kakinya sebelum ia turun untuk mengawasi persiapan."

Lelaki muda itu terlihat mencemaskan Giandra. Raut wajahnya tampak mencari apa yang salah dari gerak gerik tubuh pemilik rumah. "Kak Gi, kamu tidak apa-apa, 'kan?"

Giandra hanya menganggukkan kepala. Ia merebahkan tubuhnya di kursi dan memangku boneka beruang yang dibelikan oleh Nicky. Hidungnya menangkap wangi dari boneka beruang yang sudah ia semprotkan parfum pir dan jeruk bergamot yang segar. "Aku hanya butuh istirahat sebentar karena aku bangun terlalu pagi. Aku akan makan, minum obatku, dan tidur sebentar. Aqsad, terima kasih untuk rotinya."

"Sebenarnya Kak Gi nervous, bukan?" Aqsad memancing Giandra yang membuat Sura melirik pada lelaki muda itu. 

"Tidak, aku tidak nervous," ucap Giandra dengan nada pelan yang kemudian mencoba untuk menghela nafas.

Telinganya menangkap suara Giandra yang terdengar pelan dan Aqsad menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu ... kamu memang membutuhkan istirahat, Kak Gi. Bahkan semenjak naik jabatan pun kamu semakin menjadi orang gila dengan tidak mendapat tambahan lembur."

Mengabaikan ucapan Aqsad soal kepenatannya saat ini, Giandra pun mencoba untuk tidur sembari duduk. "Aku akan bangun tiga puluh menit lagi dan jika aku tidak bangun juga, tolong cubit tanganku," ucap Giandra yang berusaha untuk memenjamkan mata sembari memeluk boneka beruangnya.

.


.


.

Acara pertunangan yang diadakan di rumah Giandra pun bukan acara yang besar. Bahkan Giandra tidak membuka tenda di pekarangan rumahnya karena tamunya hanya bisa dihitung jari. Tak semua keluarga dan teman diundang dan yang diundang pun belum tentu datang. Giandra dan Nicholas memilih untuk melibatkan orang terdekat (dan bisa dipercaya) yang datang ke acara lamaran mereka.

Sayangnya, keluarga terdekat mereka di luar negeri pun tak dapat hadir karena pekerjaan, sehingga banyak tamu yang tak dapat membuat perjalanan. Sebenarnya tidak masalah untuk Giandra dan Nicholas, hanya saja orang-orang merasa tak enak dan hanya menghubungi lewat telepon.

"Sayang, kamu tidak apa-apa?"

Giandra langsung mengatur ekspresi wajahnya. Ia melirik saat Nicholas masuk ke ruang studio lantai bawah. Giandra sudah tiga puluh menit tidak berada di luar bersama para tamu.

"Tidak apa-apa! Aku baru saja dihubungi oleh beberapa keluargaku. Bahkan papaku, Pak Arya, meneleponku dari Australia dan berbicara lama sekali," balas Giandra sembari memandangi mata Nicholas.

"Kamu sedih," ucap Nicholas saat mengambil tangan Giandra dan mengusap punggung tangannya, "dan tanganmu dingin. Ada apa, Sayang?"

Tampaknya, Nicholas menyadari bahwa ada yang tidak beres dari ekspresinya Giandra saat ini. Sepanjang acara yang sebenarnya jauh lebih santai, Giandra masih terlihat ceria dan senang. 

"Aku terkejut karena acara pernikahan kita dipercepat. Awal Oktober? Aku tidak percaya!" Giandra mengatakannya sembari mengambil tangan Nicholas dan memainkannya. "Aku masih ada waktu untuk menunggu kedatangan sepupuku di Helsinki. Kamu juga masih bisa mengundang keluarga dan temanmu di London, 'kan?"

Nicholas menganggukkan kepalanya. Matanya pun terfokuskan untuk melihat ekspresi wajah Giandra. Secara spontan, ia membentangkan tangan dan meminta Giandra untuk memeluknya erat. Lelaki muda itu langsung membalas pelukan erat yang diberikan oleh seorang wanita muda yang sudah menjadi tunangannya itu.

Mereka tampak menikmati pelukan dan saling berbisik. "Kita akan berpelukan terus?" tanya Giandra.

"Apa yang kamu katakan, Sayang?" gumam Nicholas yang tampak pura-pura tak mendengar ucapan Giandra.

Wanita muda itu hanya terkekeh dan mendongakkan wajahnya untuk melihat Nicholas. "Kita pelukan saja? Seperti ini?"

Saat kedua pasangan itu masih berpelukkan satu sama lain, seorang lelaki muda langsung masuk ke ruangan dan melotot ke arah mereka. Giandra langsung melepaskan pelukannya dari tubuh Nicholas saat melihat sepupunya, Rayan, datang tanpa mengetuk pintu.

"Apa sebaiknya pintunya aku kunci dari luar?" tawar Rayan sembari mengkerutkan dahinya. "Tampaknya kalian asik sekali."

Mendengar tawaran Rayan, Giandra terlihat panik dan langsung menarik Rayan untuk menjauh dari pintu. Tangannya langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam. "Kamu mencariku. Katakan saja, ada apa?" tanya Giandra yang bisa membaca raut wajah Rayan.

"Ini pertanyaan penting," ucap Rayan terputus, "siapa perempuan yang memakai pakaian yang memperlihatkan bahunya itu? Yang rambutnya hitam bergelombang?"

Mendengar ucapan Rayan, Nicholas dan Giandra saling memberikan pandangan. Mereka tampak memikirkan siapa wanita yang dimaksud oleh Rayan. Lalu, Giandra tersadar siapa wanita yang dideskripsikan oleh sepupunya itu.

"Ah, itu Tanisha Hassan!"

Mendengar jawaban Giandra. Rayan mengkerutkan dahinya. Ia tampak tak familiar dengan keluarga pejabat dari kabinet ayahnya karena ia terlalu sibuk untuk bersosialisasi (dulu, sekarang Rayan sudah berusaha untuk berkontribusi sebagai anak presiden). "Tanisha ini siapanya Keluarga Hassan? Apakah dia sepupu Hamdi dan Dianti Hassan?" tanya Rayan yang tampak ragu.

"Kakaknya." Giandra mengkoreksi ucapan Rayan. "Tentu saja kamu tidak tahu, Rayan. Sama sepertimu dan Nicky yang ada dan tiada dalam keluarga, Tanisha juga anak tengah. Ia menghabiskan banyak waktunya di Eropa dengan menjadi mekanik untuk salah satu perusahaan otomotif mewah. Of course, she is my favorite woman in engineer."

"Ada apa?" tanya Nicholas yang tampak penasaran.

"Kurasa aku menemukan calon istriku," ucap Rayan sembari tersenyum dengan perasaan bahagia.

Mendengar ucapan Rayan, Giandra hanya tersenyum. Ia mengusap bahu sepupunya dengan perlahan dan meremas lembut untuk memberikannya semangat. "Good luck, Rayan. Semoga ibu tirimu berkenan. Tentu saja setelah Ibu Kanista menolak Kanaya Sukmaranta dan Shadira Salih, pilihanmu sudah terbatas."

"Ngomong-ngomong," potong Nicholas dengan mata yang terlihat memandangi jendela, "aku melihat orang yang sejak tadi berdiri di depan rumah. Ia memakai jaket kulit. Tunggu, sepertinya aku familiar .... "

"Astaga, siapa lagi." Giandra menanggapi dan ia ikut memandangi jendela. Ia tak melihat apapun, namun ia berhasil menangkap pemandangan seorang lelaki yang tampak familiar. "Sial, itu kaki tangan Raka Purnomo."

TBC

Published on September 21, 2024

nas's notes: mohon maaf updateku rada kurang karena sebenarnya aku tidak dalam kondisi yang baik. terima kasih sudah mampir, yaaa :(

nas's notes at September 22, 2024: aku berikan bonus part, ya! 

.


.


.

Sudah tiga puluh menit lebih Raka duduk di kursi belakang dari sedan yang disupiri oleh ajudan. Ia berencana untuk mengunjungi kediaman Giandra. Sayangnya, ia mendapati pemandangan yang menarik perhatiannya yaitu: mobil RI 1 yang terparkir di depan rumah Giandra.

Beberapa pria yang bekerja sebagai Paspampres pun sudah bersiap sedari tadi untuk berjaga di depan rumah. Raka pun meminta ajudannya untuk keluar rumah dan menanyakan apa yang sedang terjadi di kediaman tersebut. Asumsi Raka adalah bahwa Giandra sedang mengadakan acara besar, namun ia tidak mendengar apapun dari luar pagar rumah.

Ajudannya kembali dari luar rumah dan memberikan Raka sebuah jawaban. "Acara keluarga biasa, Pak."

Raka menaikkan alis. "Apa kamu yakin?"

"Bapak mau bicara langsung dengan mereka?" Ajudan tersebut menawarkan, namun Raka tampak sudah menyerah. Ia meminta pria yang bekerja sebagai kaki tangannya itu untuk masuk ke mobil. 

Akhirnya Raka menyudahi pengamatannya dan meminta ajudannya untuk mengantarkannya ke salah satu gedung apartment mewah yang berada di tengah kota. Dengan informasi yang diberikan oleh sekretarisnya seputar pekerjaan Giandra yang dikumpulkan sejak beberapa bulan sebelumnya, Raka pun memiliki inisatif untuk membuat janji temu dengan CEO dari Forest Green. 

Beberapa menit kemudian, seorang ART dari penghuni apartmen CEO tersebut terlihat menuangkan teh hangat ke dalam cangkir yang berada di hadapan Raka. Mereka terlihat akrab karena, baik Raka dan CEO Forest Green, sudah melakukan obrolan menarik selama beberapa bulan ini. Raka menaruh dukungan pada Forest Green untuk melakukan partnership terkait dengan industri pariwisata. Raka tahu bahwa Forest Green sendiri sudah ekspansi ke pasar pariwisata seperti penjualan tiket pesawat dan kereta hingga penjualan tiket atraksi melalui platform tersebut.

"Terima kasih banyak Pak Raka sudah membantu Forest Green untuk memperluas jangkauan bisnis seperti halnya bisnis pariwisata," ucap pria yang duduk berhadapan dengan Raka dan memberikan raut wajah antusias, "terutama peran Pak Raka ... benar-benar berhasil memberikan support yang besar untuk start up ini."

"Bapak tahu, 'kan, kalau saya dengan senang hati akan memberikan dukungan terhadap start up yang dibangun oleh warga kita. Dominasi Tangerine Orange, kompetitor asing, yang membuka bisnis di Indonesia memang gila, namun perluasan jangkauan Forest Green ke bisnis perjalanan wisata inilah yang tidak dapat dilakukan oleh kompetitor kalian." Raka memberikan pandangannya yang membuat kedua lelaki itu tertawa puas.

CEO tersebut tampak memikirkan sesuatu. Ia tersenyum begitu sudah mendapatkan ide yang terlintas di kepalanya. "Senang mendengarnya. Sebagai tanda terima kasih dari saya, apakah ada hal yang Pak Raka inginkan? Mungkin Pak Raka ingin melakukan perjalanan ke luar negeri dengan jet pribadi saya? Akan saya tanggung untuk biaya perjalanan Bapak."

Mendengar penawaran dari pria tersebut, Raka memiliki sesuatu yang menarik. Ia bisa saja mengatur perjalanannya di lain waktu, bahkan sesuka hatinya, namun ia memiliki ide cemerlang dan berharap CEO tersebut akan mengabulkan keinginannya. "Bisa saja Bapak. Terima kasih banyak, Pak, untuk tawaran baiknya. Hanya saja, saya memiliki keinginan lain."

"Jika boleh tahu, apa keinginan Pak Raka?" tanya CEO itu dengan raut wajah antusias. "Saya akan dengan senang hati untuk mengabulkannya."

"Saya memiliki kenalan yang akan senang hati menjadi bagian dari karya anak bangsa. Ia sudah lama berkarya di luar negeri dan ia ingin sekali pulang. Saya tahu betul bahwa ia ingin bekerja di Forest Green. Sayangnya, posisi tersebut masih terisi." Raka menjawab pertanyaan CEO tersebut dengan yakin. Beruntungnya, Raka sudah menyiapkan orang dengan posisi dan pengalaman serupa, bahkan lebih baik, sebelum menaruh tawaran ini kepada CEO. "Saya harap Bapak bisa mengerti apa maksud saya."

Mendengar ucapan Raka, CEO tersebut terlihat antusias. "Apakah dia lulusan Ivy League?"

Raka menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Bahkan pencapaian dan portfolio-nya benar-benar mengesankan."

"Tampak menarik. Pak Raka sudah tahu posisi yang pas untuk orang itu?" tanya CEO sembari menaruh perhatian dengan perkataan Raka. "Siapa tahu dia sudah mengincar posisi tersebut. Mengingat dia selalu ingin bekerja di Forest Green."

"Posisinya Giandra Soerjapranata akan cocok untuknya. Background-nya tampak lebih baik dibandingkan Giandra," jawab Raka dengan nada pelan dan ia menjeda perkataannya, "can you do that ... for me? Fired Giandra Soerjapranata? I will be paid for the compensation ... Just let me know if you're willing to do that."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top