34. The Night Before

nas's notes: akhirnya sudah mencapai 34k views WKWKWKWKWK KOCAK BISA GA YA 50K VIEWS SEBELUM AKHIR BULAN???? merinding betul aku ngebayanginnya, tapi aku yakin aku bisa. tar tau-tau ada yang mampir aja wkwkwk T^T

jangan lupa vote dan comment. kalau suka baca offline bisa nyalain dulu kuotanya dan vomments terus matikan lagi. boleh juga dipromosikan ke pembaca lain jika dirasa cerita ini menarik.

terima kasih banyak dan selamat membaca!

(draft sambil melihat piastri dan russell podium di baku)

.


.


.

Nicholas Wiradikarta:
Besok aku lamaran.

Andrew Karel:
Terus?

Nicholas Wiradikarta:
'Kan aku sudah kirim undangannya lewat email.
Aku konfrimasi juga lewat WA habis aku kirim undangan ke email kamu.

Andrew Karel:
Ok.

Nicholas Wiradikarta:
Jangan ok ok aja.
Tolong kamu datang juga.

Andrew Karel:
Ya Allah.
Aku harus datang, kah, Nicky?

Nicholas Wiradikarta:
Tadinya mau makan-makan keluarga aja, sih.
Cuman aku masih ingat kamu, ya.
Apalagi pas aku cerita ke Giandra.
Giandra bilang, "Mas Andrew ajak juga ke acara kita, ya!"
Tuh, kamu saja diingat sama Giandra.

Andrew Karel:
IYA IYA AKU DATANG.
Demi Giandra.

Nicholas Wiradikarta:
KAMU TUH TEMAN DEKATKU, ANDREW.

Andrew Karel:
IYA DEMI KAMU JUGA SAYANG.
LOVE YOU.
Heran aku yang kasih tips, tapi kamu yang lamaran duluan.
Kalau butuh volunteer untuk gimmick lamaran, aku siap.

Nicholas Wiradikarta:
Kamu duduk manis aja terus makan soalnya kita enggak ada rencana untuk gimmick lamaran.

Andrew Karel:
Yaaaaaaah.
Tidak asyik.

Nicholas Wiradikarta:
Dru.

Andrew Karel:
Iyaaa besok aku datang. Apa lagi?

Nicholas Wiradikarta:
Aku tahu, tapi aku mau ngomong ini juga.
Sebenarnya aku deg-degan karena besok aku lamaran.
Aku enggak bisa tidur.
Takut bablas juga karena kesiangan.

Andrew Karel:
Aku bangunin kamu jam empat pagi, deh.
Pasang mode sleep-nya sampai jam empat aja.
Biar bisa aku telepon.

Nicholas Wiradikarta:
Yang ada kamu yang bablas kesiangan.

Andrew Karel:
Seriusan Nicky. Jam empat pagi aku mau telepon kekasih aku di US.
Ini benaran.

Nicholas Wiradikarta:
Alright, Dru. Thank you!
Aku telepon Gi dulu, okei.

Andrew Karel:
Dasar. Sudah pasti kalian saling berdebar karena acara besok.


Begitu Nicholas mengakhiri chat-nya dengan Andrew, ia langsung melirik ke arah jam yang terlihat pada ujung kiri ponsel yang menunjukkan pukul delapan. Belum terlalu malam untuk menghubungi Giandra. Hanya saja, Nicholas merasa Giandra sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya setelah mendapat kenaikan jabatan. Terutama ia dengar bahwa dua sebelum acara lamarannya, lebih tepatnya kemarin, Giandra masih pulang lebih malam.

Lelaki itu pun langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang telah dirapikan sejak pagi. Ia mencoba untuk menelepon Giandra, namun tampaknya Giandra tak menjawab. Tak butuh waktu lama, Giandra langsung mengirimnya pesan melalui WhatsApp.


Giandra Euphrasia:
Sayang!
Maaf aku nyalain mode DND, jadi notif teleponmu mati.

Nicholas Wiradikarta:
Apa kamu baik-baik saja?

Giandra Euphrasia:
Iyaaa aku baik-baik saja.
Aku baru selesai bebersih dan persiapan untuk tidur.
Aku harus bangun pagi untuk merias.
Kak. Aku enggak bisa tidur.

Nicholas Wiradikarta:
Enggak apa-apa, Sayang.
Kamu deg-degan, ya?

Giandra Euphrasia:
Iyaa, Kakak.
Aku habis pulang langsung masuk kamar dan bengong.
Kayak ... tiba-tiba mikirin apa lagi.
Belum lamaran aja udah bengong terus deg-degan gini.
Apalagi nikah nanti.

Nicholas Wiradikarta:
Sayang aku juga.
Enggak apa-apaaa.
Aku juga cerita ke Andrew kalau aku deg-degan.

Giandra Euphrasia:
'Kan.
Tolong habis lamaran ingatkan aku untuk pelukan.
Kangen banget.

Nicholas Wiradikarta:
AKU BARU MAU NGOMONG.
IYA AYO BESOK KITA PELUKAN.
Tapi kalau udah sepi aja.
Aku baru ingat!

Giandra Euphrasia:
Iyaa Kakakku.
Kenapaaa?

Nicholas Wiradikarta:
Aku pesan lukisan dan lukisannya baru sampai minggu ini dari Seoul.
Besok aku bawa sebagai salah satu hadiah lamaran dariku untukmu.

Giandra Euphrasia:
Unexpected.
Aku tidak sabar!
Kamu selalu mengejutkan aku, ya.

Nicholas Wiradikarta:
Aku tahu kamu akan mengatakannya.
Karena aku belum membukanya, jadi besok kita lihat sama-sama, oke?

Giandra Euphrasia:
Well noted, Love.

Nicholas Wiradikarta:
Siapp!
Sekarang kita tidur, ya.
See you tomorrow, Sayangku.

Giandra Euphrasia:
Good night, Sayang.
Umm tapi sekarang masih jam delapan.

Nicholas Wiradikarta:
Enggak apa-apaaa.
Good night, Anak kecil.
Love love love you.

Giandra Euphrasia:
Love you so much, Baby.

Nicholas Wiradikarta:
Sayangku, kira-kira Oscar Piastri bisa meraih WDC dalam berapa tahun lagi, enggak, ya?

Giandra Euphrasia:
Ya Allah sebuah pertanyaan yang bikin aku melek lagi.
Bisaaaa, tapi saingannya sama George Russell.

Nicholas Wiradikarta:
Okeee.
Terus ada lagi.
Kapan kamu mau naskahan lagi?

Giandra Euphrasia:
Enggak keliatan tulisannya blurry.

Nicholas Wiradikarta:
Kapan kamu lanjut naskahan lagi, Sayangkuuuu?

Giandra Euphrasia:
Habis ini. Janji.

Nicholas Wiradikarta:
Beneran ya.
Habis ini bisa cicil naskah romance-nya itu.
Jangan godain penyuntingnya terus.

Giandra Euphrasia:
Enggak kebaca chat terakhirnya apa.
Oke, akan aku godain editor-ku.

Nicholas Wiradikarta:
Heh, chat aku isinya tidak begitu.

Giandra Euphrasia:
Tapi Kak Nicky.

Nicholas Wiradikarta:
Yaaa Sayangku?

Giandra Euphrasia:
Terima kasih, ya, sudah mau menemani aku nulis sejak aku belum debut. Udah menemani aku juga saat aku mengalami ups and downs.
Tolong Kak Nicky terus jadi editor-ku untuk selamanya.
Maaf aku suka membebani Kakak sama hal-hal recehan, apalagi kalau Kakak dengar ideku.
Mataku berkaca-kaca jadi aku bersungguh-sungguh mengatakannya.

Nicholas Wiradikarta:
Giandra Sayang.
Aku akan terus menjadi penyuntingmu untuk selamaaaaanya.
Kamu tahu apa yang paling aku suka saat menjadi editormu?
Aku suka mendengarkan saat kamu membicarakan ide-idemu saat kamu menulis ceritamu.
Di situlah aku merasa kalau keberadaanku memang dibutuhkan sama kamu.
Aku juga berkaca-kaca saat membaca dan mengetik ini.
Sekarang tolong libatkan aku dan bagikan bebanmu padaku, Giandra.

Giandra Euphrasia:
Kakak, sekarang aku nangis.

Nicholas Wiradikarta:
SAYAAAANGGGGG.
Aku ke rumah kamu, ya.

Giandra Euphrasia:
TOLONG JANGAN.
Sumpah ini udah enggak apa-apa dan air mataku udah kering.
Besok kita ketemu lagi, kok.
Besok kita senang-senang aja, ya, Kakak.

Nicholas Wiradikarta:
Benar?

Giandra Euphrasia:
Iyaaaa, Kakak Nicky.
See you tomorrow, My Love.

Nicholas Wiradikarta:
See you, My Dear.
I love you so much.


Nicholas pun mengisi ulang ponselnya dan menaruh gawai di nakas samping ranjang. Ia tersenyum sebelum mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidurnya. Pancaran sinar berwarna biru itulah berhasil membuatnya terlelap lebih cepat. Tangannya menarik selimut dan mencium wangi lavender dari semprotan linen yang biasa digunakan. Iris hijau kebiruannya tampak berusaha untuk terlelap lebih cepat.

Lagi-lagi, matanya melihat kemeja batik berwarna biru yang telah disetrika dan tergantung pada pegangan pintu lemarinya. Ia biasa menggantung pakaian yang akan ia pakai besok. Bahkan ia sudah mempersiapkan sepatu dan jam yang akan ia kenakan untuk mempermanis penampilannya di hari spesial.

Telinganya pun menangkap suara ketukan pintu. Ia sudah menduga bahwa bundanya, Ingrid, sudah datang beberapa jam yang lalu dan masuk ke kamarnya. Mata Ingrid hanya melihat Nicholas yang sudah tertidur dan menaruh sebutir vitamin di atas piring kecil serta segelas air mineral di samping nakas ranjang. Tangan wanita tua itu langsung mengusap helaian rambut cokelat gelap milik anak lelakinya.

Melihat Nicholas yang tidur cepat, pasti sebenarnya Nicholas sudah terlalu banyak berdebar untuk harinya besok. Mengingatkan aku saat aku dihadapkan dengan hari pertunanganku dulu dengan ayahnya. Ingrid membatin saat melihat wajah putra satu-satunya yang sebenarnya menyerupai dirinya.

"Jangan lupa minum vitaminnya dan good night, Nicky." Ingrid berkata dengan pelan lalu tersenyum. Ia beranjak untuk meninggalkan Nicholas yang mencoba untuk terlelap di balik selimutnya.

Begitu Ingrid menutup pintu kamar, Nicholas yang hanya pura-pura tertidur pun langsung terbangun dan meminum vitamin yang disediakan oleh bundanya. Ia kembali tertidur sembari mencoba untuk bermimpi indah bersama Giandra.

TBC

Published on September 15, 2024

nas's notes: ini juga ada part bonusnya. tapi aku kabarin nanti, yaa!

nas's notes on September 25th, 2024: kocak bgt baru bisa publish part bonus sekarang. TAPI INI BAKAL JEDER JEDER JADI WAJIB BACA OK OK????

.


.


.

Giandra Euphrasia:
Mba Yaya, maaf apa Mba Yaya masih bangun?

Mba Yaya:
Non Gi terbangun?

Giandra Euphrasia: 
Aku terbangun karena terpikir mangga dan apel.
Sebenarnya aku memang lapar.
Apa aku boleh minta tolong kupasin mangga dan apel?

Mba Yaya:
Tunggu sebentar, Non.

Sebenarnya Giandra belum tidur. Ia masih merasa gelisah dan ia menyempatkan diri untuk membaca jurnal milik mom. Jurnal yang ia simpan setelah membereskan kamar orang tuanya belum ia baca sama sekali sejak ditemukan oleh Giandra. Sebenarnya proses pembersihan kamar utama tersebut belum selesai, namun Giandra memutuskan untuk melakukannya secara perlahan di waktu kosong. Wanita muda itu duduk di sofa kamarnya dan membaca beberapa halaman yang membuatnya tertarik. 

Enam menit kemudian, Mba Yaya mengetuk pintu dan masuk ke kamar Giandra. Tampak Mba Yaya menambahkan stroberi dan potongan persik di piring yang berisi buah potong yang diminta oleh Giandra.

"Aku baru tahu kalau ada stroberi dan persik?" tanya Giandra saat melihat Mba Yaya menambahkan stroberi dan persik di piringnya. "Apakah ini dari mama?"

Mba Yaya mengangguk. "Bu Frida yang membawakannya untukmu."

"Terima kasih Mba Yaya!" 

Wanita muda itu mulai mengambil garpu buah dan memakan potongan mangga yang sudah dipotong dadu. Saat mom masih hidup, mom akan memotong buah tersebut secara langsung dihadapan putri tunggalnya.

"Nervous?" Mba Yaya bertanya saat menyadari raut wajah Giandra yang tampak sedikit cemas.

"Just hungry," jawab Giandra yang kini memakan buah apelnya.

"Pelan-pelan, Non." Mba Yaya mengingatkan dan pikirannya pun teringat dengan percakapan saat neneknya Giandra, Bu Frida, berkunjung ke rumah. "Ngomong-ngomong, Non, saat Bu Frida datang membawakan beberapa buah, beliau bercerita bahwa dulu ada orang berusia dua puluhan awal yang ditolong oleh orang tuamu."

"Oh ya? Mba Yaya, ayo ceritakan!" pinta Giandra penuh rasa penasaran.

"Lelaki itu kerap berkeliling untuk melihat rumah ini. Penampilannya seperti orang berada—hanya saja gerak geriknya memang mencurigakan. Dia kerap datang di sore hari dan aku berasumsi bahwa ia sudah lama melihat rumah ini. Bahkan supir Keluarga Hassan pun tahu dan menyadari bahwa lelaki itu datang saat pemilik rumah pulang ke Jakarta. Suatu hari, lelaki itu ditemukan oleh orang tuamu dan dia hampir mengakhiri hidupnya beberapa meter dari rumah."

"Pamanmu, Pak Andhika, mengenali lelaki tersebut dan menjemput untuk diantarkan ke rumah keluarganya. Aku mengingatnya karena aku yang melihat lelaki muda itu saat menyajikan teh." Mba Yaya melanjutkan ucapannya dan Giandra mendengarkan cerita Mba Yaya sembari memakan buah potong. "Dahulu lelaki itu terlihat sedih dan frustasi. Sekarang menjelma bagaikan setan setelah hidup jauh lebih lama."

Jakarta, Indonesia
Summer 2005

Hiram Soerjapranata, pemilik rumah, menemui Andhika Pradana, pebisnis yang menjadi iparnya, yang baru saja sampai di rumahnya dengan langkah terburu-buru. Begitu ia menerima telepon dari Hiram, Andhika langsung bergegas untuk menjemput seorang lelaki muda yang berencana untuk mengakhiri hidupnya beberapa meter dari rumah. Bahkan Andhika sendiri tak dapat mempercayai penglihatannya saat melihat anak lelaki itu adalah Raka muda.

Raka Purnomo, yang saat itu baru saja pulang dari Singapura, tampak frustasi dan memutuskan untuk tidak lebih sering berada di kediamannya. Kirana memilih untuk tidak bertanya apapun dan membiarkan Raka di ruang tamu. Mata Raka hanya melihat sekeliling rumah dan melihat semuanya tampak bagus saat pertama kali. Setidaknya, melihat rumah dari orang yang menyelamatkannya benar-benar menghibur perasaannya.

"Pak Andhika, bagaimana Bapak bisa ada di sini?" tanya Raka dengan nada pelan saat melihat Andhika datang untuk menjemputnya.

"Aku bisa datang karena iparku menelepon," ucap Andhika sembari melirik ke arah Kirana dan Hiram yang memandangi mereka berdua, "yuk kita pulang."

"Aku tidak ingin pulang ke rumah keluargaku," celetuk Raka saat Andhika menatap matanya, "apa aku boleh ke rumahmu saja?" 

Andhika pun mengangguk dengan setuju. Mereka pun berpamitan dengan Hiram dan Kirana dan pergi menuju kediaman Andhika yang berada di Menteng. Andhika sendiri mengendarai mobil sedannya dan mata Raka pun memandang luar rumah. 

"Bagaimana bisa iparmu memiliki rumah sebagus itu ...," tanya Raka dengan pandangan mata yang tetap menatap jalan.

"Pak Hiram adalah arsitek dan keluarganya sangat kaya. Makanya Pak Hiram bisa tinggal di Permata Hijau. Rumahnya memang bagus, meskipun sedikit reyot, jadi mereka melakukan sedikit renovasi, termasuk pekarangannya. Nah, istrinya, Kirana, yang mengerjakan pekarangannya. Kirana sendiri arsitek lanskap dan putri menteri yang menjabat di kabinet pada akhir delapan puluhan." Andhika bercerita sembari menyetir. Ia menyadari bahwa Raka tak memberikan ekspresi apapun. "Aku banyak bercerita, ya?"

"Pantas saja rumahnya seperti ... hidup," balas Raka dengan singkat.

Raka pun tak banyak menganggapi ucapan Andhika lebih lanjut. Selama ini Raka selalu melihat rumah itu dari luar dan, sekarang, ia sudah masuk ke dalam rumah tersebut. Rumah yang sudah lama ia dambakan sejak muda dan ia semakin jatuh cinta dengan rumah tersebut. Raka sendiri selalu ingin tinggal bersama kedua orang tuanya—seperti apa yang ia bayangkan saat ibunya kerap memintanya untuk menunggu sembari berusaha lebih keras. 

Jika orang tuanya tak bisa tinggal bersamanya, maka keturunannya harus tinggal bersamanya di rumah yang hangat dan besar itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top