32. Indignation

nas's notes: HAAAAI AKHIRNYA AKU UPDATE LAGI! sekarang sudah 32 part dan maaf banget aku kurang banyak update seperti bulan sebelumnya karena jadwalku padaaaat sekali :(( aku usahakan juga yaa.

karena aku update, aku boleh minta tolong bantuan vomments-nya nggak ya? sama aku minta tolong untuk promosikan ceritaku jika kalian sempat.

btw aku punya two tweets fiction gi, nicky, dan sura yang spicy dan konyol (ss postingan ada di bawah). boleh mampir lewat link eksternal yang tertaut di part ini dan diramaikan dengan qrt kalian, ya!

kalo kalian suka baca cerita ini secara offline, boleh dinyalakan dulu paket datanya terus vomments dan kemudian matikan lagi.

terima kasih banyak dan selamat baca, xx.

Jakarta, Indonesia
End of June 2026

Saat Nicholas mengantarkan Giandra, mata mereka melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam dari pabrikan Jepang yang terparkir persis di depan kediaman wanita muda itu. Mata mereka tampak melihat sosok lelaki yang turun lalu menatap Nicholas dan Giandra yang masih duduk di dalam mobil. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan kunjungan mendadak terkesan janggal bagi Giandra.

"Apa dia datang dengan pemberitahuan?" Nicholas bertanya pada Giandra.

Giandra pun menggelengkan kepala. Meskipun Giandra tidak akan menyimpan kontrak lelaki tersebut, Ia tidak mendapat pemberitahuan apapun melalui ponselnya. "Tidak."

Lelaki tersebut berdiri di depan pintu kursi depan yang diduduki Giandra dan mengetuk pintu. Giandra pun membuka kaca dan melihat Raka Purnomo, secara mengejutkan, mendekatkan wajahnya persis dekat kaca yang ia buka.

"Bisa bicara sebentar?" tanya Raka yang terlihat membungkukkan tubuhnya.

Giandra dan Nicholas pun turun dari mobil yang mereka tumpangi. "Bicara dari sini saja, Raka. Ada apa?" Kini Giandra berbalik bertanya pada lelaki tersebut.

"Aku ingin bicara sesuatu secara privat di mobilku. Ayo ikut denganku."

"Di sini saja." Giandra menjawab dan melihat sekeliling kediamannya yang sebenarnya tak sepi. Hanya saja, para tetangganya memilih untuk istirahat di kediaman mereka dibandingkan melirik tetangga kiri kanan. "Ada apa, Raka?"

Raka mematung. Matanya melirik ke jemari Giandra yang tersemat cincin berlian yang terlihat seperti cincin pertunangan. Penglihatannya tak salah, cincin tersebut merupakan desain klasik dari Cartier. Sialan, Nicholas sudah melamar Giandra lebih dahulu? Raka membatin dengan waut wajah yang tampak sedang menahan perasaan jengkelnya.

Sebelum datang, tentu saja Raka sudah membawa sesuatu yang akan menarik perhatian Giandra. Setidaknya, ia ingin agar Giandra lebih sering bertemu dengannya karena informasi langsung dari mulutnya.

"Aku tahu siapa orang yang membuat kecelakaan yang menewaskan orang tuamu," ujar Raka yang tampak menatap Giandra dengan dalam, "aku ingin bicara denganmu soal itu secara pribadi."

Giandra pun menghela nafas. Seujurnya ia sudah tidak begitu peduli lagi dengan kecelakaan lalu lintas tahun 2018 itu. Toh, sekarang Giandra sudah mengikhlaskan kepergian orang tuanya. Bahkan wanita muda itu sudah menghabiskan beberapa tahun untuk menerima kematian orang tuanya dan Giandra pernah berpikir bahwa semua itu salahnya. Mendengar Raka mengungkit dan, bahkan jika benar, memiliki bukti yang mengarah ke pelaku, Giandra tidak begitu tertarik.

"Sayangnya aku tidak tertarik," jawab Giandra yang menatap mata Raka dengan tajam, "aku sudah tidak mau melihat masa lalu lagi."

"Aku rasa kamu perlu mengetahuinya, Gi—Mas peduli sama kamu."

Raka terlihat sangat memaksa dan membuat Giandra benar-benar muak. Menyadari bahwa Raka mencoba untuk menaruh tangannya pada bahu Giandra, Nicholas pun langsung menepis tangan lelaki itu dengan kasar sebelum satu jentik jemari Raka menyentuh bahu Giandra.

"Pak, tolong jangan asal pegang bahu orang lain," tegur Nicholas sembari membuang tangan Raka secara perlahan, "terutama bahu calon istri saya."

Mendengar Nicholas menegur Raka seperti itu, Giandra langsung berani menautkan tangannya pada jemari tangan Nicholas dan menatap Raka dengan tajam.

"Giandra? Kamu tidak salah memilih calon suami?" ujar Raka dengan nada agak menyindir dan tertawa mengejek (yang disengaja). "Carilah calon suami yang bisa kamu banggakan di depan keluargamu—bukannya seorang kacung menteri."

Karena sudah tersinggung dengan ucapan Raka yang ditujukan kepadanya dan Nicholas, Giandra langsung memukul kepala Raka dengan tas Chanel klasik warna hitam dengan keras. Nicholas terkejut dan langsung menahan Giandra untuk tidak memukul raka untuk kesekian kalinya. Beruntungnya, Raka tidak mendapat luka di kepalanya. Giandra sudah terlanjur kesal karena mendengarkan ucapan Raka yang terkesan kosong—hanya untuk merendahkan calon suaminya.

"Jangan menghina calon suamiku seperti itu. Kamu sendiri juga Wamen—kacung presiden," protes Giandra yang langsung menatap Raka dengan dingin.

Begitu Giandra menyelesaikan pertemuannya dengan Raka, ia langsung melengos masuk ke rumah. Nicholas pun menatap Raka dengan rasa prihatin. "Pak, pulanglah," ujar Nicholas yang tak direspon oleh Raka.

Raka tak menanggapi ucapan Nicholas, namun Giandra menoleh untuk mengambil tangan Nicholas dan menariknya untuk masuk ke dalam rumahnya. Terlihat bahwa Giandra sudah tidak mau melihat mata Raka lagi. "Ayo, Sayang."

Mereka pun masuk ke kediaman Giandra dan duduk di sofa ruang tengah. Giandra langsung bersandar di tubuh Nicholas dan mengambil tangan pria tersebut untuk merangkul tubuhnya. Lelaki itu menyadari bahwa setelah bertemu dengan Raka, Giandra terlihat lebih manja, namun wajahnya tampak kesal.

"Kamu enggak apa-apa, Sayang?" tanya Nicholas sembari mengusap bahu Giandra dengan perlahan. Kemudian ia mengecup bahu perempuan muda itu dengan kecupan lembut.

Saat merasakan kecupan lelaki itu mendarat pada bahunya, Giandra tampak menoleh ke arah lain dan matanya berkaca-kaca. "Aku marah. Jangan biarkan orang itu menghinamu. Aku marah. Kakak kerja juga hasil sendiri, bukan karena dibantu sama uncle."

"Ayah." Nicholas mengkoreksi ucapan Giandra.

"Iyaaa Ayah." Giandra menatap Nicholas sembari menatap matanya dengan lembut. "Aku sendiri tidak bisa terima saat aku mendengarkan penghinaan seperti itu dari mulutnya dia, Kak."

Sebenarnya, raut wajahnya Giandra masih terlihat kesal dan Nicholas menyadarinya. Lelaki itu langsung mendekap tubuh Giandra dengan erat.  "Aku tidak apa-apa, Sayang. Aku sudah mengalami banyak hal," balas Nicholas sembari mengecup kening Giandra, "jangan khawatirkan aku, Sayang."

Mendengar Nicholas yang berusaha untuk menenangkannya, Giandra pun masih tampak gelisah (sekarang agak berkurang) dan memilih untuk bersandar pada sofa dan tubuhnya Nicholas. Sebenarnya Giandra sendiri masih membatin bahwa Raka tampaknya sudah kelewatan dengan ucapannya. Bahkan berani-beraninya Raka berbicara dengan tone menghina di depannya.

Hinaan Raka tersebut sudah sepantasnya mendapatkan pukulan tambahan dari Giandra—jika Nicholas tidak menahannya.

"Namun, Giandra, aku mendengar bahwa Raka memiliki informasi soal kecelakaan orang tuamu. Kenapa kamu tidak penasaran soal informasinya?" tanya Nicholas sembari mengusap helaian rambut yang menghalangi wajah Giandra, "setidaknya kamu bisa mendengarkannya lebih dulu."

Sudah ia duga bahwa Nicholas akan bertanya soal informasi yang ingin disampaikan oleh Raka. Giandra sendiri memang sudah move on, namun sebenarnya ia tidak tertarik—karena Giandra tahu bahwa orang tuanya akan meninggal di waktu yang bersamaan.

Giandra pun memilih untuk menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Aku tidak tertarik. Kalaupun benar ada pelakunya, para kakek nenekku tidak membiarkan aku untuk mengetahuinya."

TBC

Published on September 13, 2024

nas's notes: akhirnya sudah 32k views!!

kalau ada yang nanya soal cincin yang dipakai Giandra dan Raka nyangkanya cincin pertunangan, bisa cek di part 2 saat Nicky dan Sura lagi ngobrol di chat yaaa!

terus juga ... ini aku kasih bonus, ya. biar semakin rame dan ribut :D

.

.

.

Begitu pulang dari kediaman Giandra pada pukul sembilan malam, Raka Purnomo langsung masuk ke kamar dan menghancurkan vas bunga yang tergeletak di kamarnya. Clara Antonia, wanita yang saat ini lebih banyak menemani lelaki itu, langsung menghampiri Raka yang sekarang sudah menghancurkan cermin di kamar ganti.

"Ada apa, Raka?" tanya Clara sembari menahan Raka untuk menghancurkan kaca lainnya.

"Giandra memukulku karena aku menghina lelaki sialan itu dengan sebutan kacung."

Clara hanya menggeleng heran begitu telinganya mendengar pernyataan dari mulut pejabat yang dekat dengan Presiden itu. "Kamu sendiri juga kacung Presiden."

"Perempuan anjing," bentak Raka dengan kesal dan membenturkan tubuh Clara ke tembok, "kamu mau aku cekek, hah?!"

"Coba saja kalau kamu berani, tua bangka bangsat!" balas Clara yang lehernya sudah dicengkram oleh Raka dan tertawa menyindir. "Seharusnya kalau kamu kesal, kamu hanya butuh bersetubuh denganku. Bukannya menghancurkan rumahmu."

Mengabaikan ucapan Clara, Raka pun langsung menciumi Clara dengan penuh nafsu. Menyalurkan amarah melalui kecupan panas dengan seorang wanita muda yang ia pelihara. Clara selalu mendukung semua rencana kejinya dan memuaskan hasratnya dengan memberi makan egonya.

Raka masih menciumi bibir Clara dan mulai membayangkan Giandra, wanita yang ia dambakan, akan menjadi penurut dan penggoda. Hanya saja, Giandra tidak akan membuka kesempatan untuk Raka mengejarnya secara natural sampai kapanpun.

"Raka, aku sebenarnya punya obat tidur. Coba kamu pakai untuk membawa perempuan itu ke rumahmu." Clara mengusulkan rencana gila di tengah-tengah ciuman mereka. Dengan nafas yang terjeda, wanita itu menatap Raka dengan dalam.

Pria itu terlihat memikirkan saran dari Clara. Menurutnya cukup gila, namun memberikan kesempatan untuk Raka agar bisa menghabiskan waktu bersama Giandra dengan mengurung wanita yang ia cinta di rumahnya.

"Dengan situasi sekarang, akan sulit untuk mengajaknya bertemu denganku. Bahkan ia menolak untuk bicara denganku," sahut Raka dan pikirannya sedang memikirkan sebuah rencana. Agak mencolok, namun setidaknya akan lebih baik jika dicoba dahulu, "ah, sialan, kita lanjutkan nanti. Should we fuck?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top