30. Threatening Remark
nas's notes: GUYS DID I ACHIEVE MY 31K VIEWS????? DAN PERINGKAT 3 DI TAG COMEDY????
((comedy in english maksudnya))
Alhamdulillah terima kasih banyak yaa kalian sudah mampir dan juga baca ceritaku.
Jangan lupa vote dan comments. Kalau kalian suka baca offline, jangan lupa dinyalakan dulu kuotanya dan vomments terus matikan lagi yaaa.
jika kalian suka sama cerita ini, apakah aku boleh minta tolong agar cerita ini dipromosikan ke teman-teman readers? kalau mau di-gatekeep juga tidak apa-apa. but aku akan senang jika melihat menfess dari teman-teman soal cerita ini.
terima kasih banyak dan selamat membaca! <3
p.s. ini aku nyicil draft habis pulang fancon red velvet tanggal 7 sept hihi
.
.
.
Jakarta, Indonesia
End of June 2026
Akbar Pradana mengundang Raka Purnomo untuk menghadiri makan malam di kediaman pribadi sang ayah. Acara yang dihelat dari sebuah kediaman mewah di kawasan Menteng tersebut bukanlan acara yang besar, namun tamu yang datang adalah orang-orang besar yang mengerikan. Beberapa di antara mereka adalah menteri di kabinet ayahnya, rekan bisnis, dan orang besar dengan reputasi baik (dan penampilan menarik) di Indonesia.
Remus Wiradikarta termasuk tamu (dan satu-satunya) dari kategori terakhir. Beliau juga menjadi orang yang diundang secara langsung oleh Andhika Pradana, Presiden Indonesia saat ini, untuk datang ke acaranya.
Setelah bercakap dengan Menkopolhukam Marco Hassan dan Wishnu Layendra, Remus pun diminta untuk mengobrol dengan Andhika dari ruang kerjanya. Para tamu yang hadir pun tidak menyadari Andhika dan Remus yang tiba-tiba menghilang dari acara dan, tanpa sungkan, melanjutkan perbincangan dengan kawanannya atau mencicipi ragam pencuci mulut tradisional.
Ruang kerja pribadi Andhika pun bukanlah ruang kerja yang mewah, namun akses yang dimiliki benar-benar unik. Untuk mencapai ruangan tersebut, mereka hanya mencari lorong yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang keluarga pribadi dan lorong tersebut mengarah ke ke ruang baca kecil (yang sebenarnya dibuat untuk Rayan, namun Rayan lebih suka 'mengungsi' ke rumah neneknya). Di ruang baca kecil itulah terdapat dua daun pintu yang terhubung dengan ruang kerja pribadi sang kepala negara.
"Jadi Bapak akan berada di Indonesia dalam waktu singkat?" tanya Andhika dengan perasaan tak percaya.
Ya, tentu saja. Aku kesini, 'kan, hanya untuk mengultinatium Nicholas dan merencanakan pernikahan Nicholas dengan Giandra. Menunggu Nicholas yang bergerak terlebih dahulu rasanya lama sekali. Remus membatin dan kemudian ia menganggukkan kepalanya dengan pasti. "Ya, Bapak, dan saya akan kembali lagi pada bulan Juli."
Andhika pun mencoba untuk membangun topik lainnya. Ia ingat bahwa, anak tengahnya, Rayan, pernah minta dijodohkan dengan Sura, anak perempuan Remus yang paling kecil, dan Rayan sendri memilih untuk fokus dengan studinya sebagai residen spesialis bedah saraf di Yogyakarta (walau sebenarnya Keluarga Wiradikarta-lah yang menolak perjodohan tersebut). "Sebenarnya saya menyayangkan bahwa anak laki-laki saya tidak dapat berjodoh dengan anak perempuan Pak Remus," ucap Andhika sembari duduk dengan mengangkat kaki dan bertumpu pada salah satu lututnya.
Lagi-lagi Andhika mengungkit ini. Seharusnya dia MENYADARI kalau keluargaku, apalagi nini, tidak ingin Sura memiliki ibu mertua seperti istri keduamu. Melihat Kanista memperlakukan Alya, membuatku berdenyit hampir sinting. Batin Remus sembari tertawa kecil untuk mencairkan suasana yang hampir tegang. "Bapak dan Rayan kalah cepat—anak saya sudah menjalin hubungan dengan sahabatnya."
"Saya mengerti. Bagaimana dengan Nicholas?"
"Dia baik-baik saja," jawab Remus yang tampak tak mengkhawatirkan apapun.
"Tidak, maksudku," ucap Andhika yang terputus, "Nicholas ini ... belum ada kekasih?"
Sebenarnya, Andhika tidak serta merta langsung mempercayai ucapan istrinya mengenai hubungan asmara Nicholas dengan Giandra, salah satu keponakannya yang lebih berprestasi (dan memiliki citra yang baik dibandingkan dengan anak-anaknya). Hanya saja, Andhika masih menginginkan informasi lebih valid—terutama, ayah mereka, Remus Wiradikarta dan Hiram Soerjapranata adalah orang kesukaan Andhika.
"Sudah ada, Pak. Hanya saja mereka masih proses untuk membuat acara lamarannya."
Mendengar tanggapan dari Remus, tampaknya pernyataan Kanista tempo hari memang benar. Ia mencoba untuk langsung menembak jawaban dibandingkan memutar-mutar.
"Apa benar calonnya Nicholas ini Giandra Soerjapranata? Keponakanku?!" sambar Andhika dengan perasaan senang. Raut wajahnya terlihat penasaran untuk mengkonfirmasi kebenaran (meskipun dari mulut ular istri keduanya itu).
Mendengar reaksi Andhika yang tampak antusias dan penasaran, Remus pun tersenyum puas dan mengangguk. "Mereka sudah siap untuk melangkah lebih jauh."
Pikiran Andhika langsung membayangkan betapa kuatnya pertalian dua keluarga tersebut. Raut wajahnya tampak sumringah. "Selamat, Pak!"
Mendengar kedua pria itu tampak berbincang hangat, membuat telinga Raka terasa panas. Ia menyadari bahwa Andhika dan Remus tak bergabung dalam pembicaraan para gurita bisnis membuat Raka berasumsi bahwa mereka sedang berbicara di ruang kerja pribadi. Hanya saja, Raka mendengar obrolan tersebut dari balik pintu.
Ternyata Nicholas dan Giandra-ku sudah merencanakan pernikahan? Tampaknya aku sudah harus bermain agresif dan nekat untuk mendapatkan Giandra. Menjadikan anak itu hanya milikku seorang. Raka membatin sembari menjauhkan telinganya dari daun pintu. Ia tampak sedang memikirkan rencana jahat dalam pikirannya.
Raka sendiri masih asyik mendengar obrolan antara Andhika dengan Remus, namun sayangnya Raka tak sadar bahwa ada seorang wanita tua yang sudah menarik tangannya. Wanita tersebut menarik secara paksa untuk menjauh dari perpustakaan kecil tersebut.
"Apa yang kamu lakukan?!" tanya Kanista, Ibu Negara, yang mengkonfrontasi Raka setelah membawanya menuju salah satu ruangan yang tak ada keberadaan tamu.
"Menguping," ucap Raka dengan senyuman liciknya.
Kanista tak habis pikir dengan ucapan lelaki yang ada dihadapannya. Mereka berdua memang sudah lama mengenal, namun ia melihat apa yang dilakukan Raka saat ini, yang dirasa, sudah melewati batas. "Kamu ... berani-beraninya menguping pembicaraan suamiku!"
"Memangnya Pak Andhika menganggapmu sebagai istrinya?" ujar Raka yang tampak menantang dan memancing amarah yang sudah lama ditampung oleh Kanista.
"Meskipun Pak Andhika tidak pernah menginginkanku, apalagi memiliki anak dariku, tetapi aku sudah melangkah sejauh ini untuk menjadi ibu negara—terima kasih untuk orang tuaku dan keluarganya Puan, tentu saja dukunku yang hebat itu."
Raka mendenyitkan dahi saat Kanista menyebut nama seorang dukun yang ia rasa akan mengacak-acak rencananya. "Puan bisa bekerja lebih baik untuk melayanimu. Sementara ia membuat rencanaku menjadi kacau."
"Memangnya apa rencanamu?" tanya Kanista yang tampak penasaran.
Harus mereka akui, Kanista dan Raka sama-sama memiliki cara yang sama untuk menyingkirkan orang yang tidak mereka suka atau orang yang sekiranya akan menghalangi jalan mereka.
"Aku ingin menikah dengan Giandra," ucap Raka dengan nada pelan, "aku mencintainya dan ingin memiliki keluarga dengan Giandra."
Raut wajah Kanista tentu saja terkejut. Wanita itu mencoba untuk mengenggam tangan Raka dengan erat. "Tidak boleh. Pokoknya jangan Giandra. Aku sarankan kamu untuk mendekati Nilam Pradana—ia akan bercerai dari suaminya. Bisa juga dengan siapapun, asalkan jangan sama Giandra."
Raka tahu pasti bahwa Akbar juga kerap menyodorkan Nilam atau menceritakan masalah yang dialami oleh Nilam. Sayangnya, Raka tidak pernah tertarik karena ia sendiri sudah memfokuskan diri untuk memandang Giandra seorang.
"Tidak apa-apa kamu melarangku—aku juga tidak peduli. Tujuan hidupku adalah memiliki Giandra, mempunyai anak, dan hidup bahagia di rumahnya." Raka mengatakannya dengan tegas dan melepas tangan Kanista yang mencengkram tangannya.
Melihat punggung Raka yang berjalan meninggalkannya, Kanista terpikir untuk mengancam Raka. "Aku akan membunuh Giandra!"
Mendengar ucapannya Kanista yang berada ancaman, Raka langsung berbalik dan menghampiri Kanista dengan kesal. "Kalau sampai kau berani membunuh Giandra, aku tidak akan berhubungan denganmu lagi! Akan aku beritahu semua perbuatanmu kepada suamimu!"
"Coba saja kalau berani—kamu juga berani mencelakai dan membunuh istrimu sendiri. Lebih baik aku yang bunuh Giandra daripada kamu yang melakukan hal yang sama!" Kanista berbalik membentak dan menahan untuk tidak berteriak dan menggampar Raka di tempat.
"Aku tidak akan membunuh Giandra! Aku akan melindungi Giandra dari orang jahat sepertimu!" bentak Raka sembari meremas bahu Kanista dengan kasar.
Tak sadar oleh Kanista dan Raka, percakapan tersebut sudah didengar secara tidak sengaja oleh seorang dokter muda yang sedang mencari ayahnya—yang kemudian menyembunyikan diri di belakang sofa saat Kanista menarik paksa Raka dari perpustakaan mungil tersebut.
Melihat dua orang itu pergi begitu saja, tangannya langsung mematikan alat perekam yang ia nyalakan dari ponselnya.
TBC
Published on September 8, 2024
nas's notes: EH BENERAN 31K VIEWS???? WKWKWKWK THANK YOUUUUU! alhamdulillah views aku naik drastis, jadi aku drop bonusannya. ya
tapi kayaknya aku mau drop beberapa bonusan di-part-part lain yang sepi, deh. nanti aku berkabar lagi yaaa!
.
.
.
Raka masih merasa jengkel dengan Kanista. Ia berjalan menuju area yang dijadikan tempat acara untuk berbaur dengan tamu lainnya, namun ia teralihkan dengan Nilam yang baru saja datang seorang diri. Raka menyadari bahwa ia tampak familiar dengan pakaian yang dikenakan oleh Nilam.
"Hai Nilam, bajumu bagus."
"Hai Mas Raka." Nilam membalas dengan sopan. Jarang ada orang yang memuji penampilannya membuat Nilam merasa senang. "Terima kasih Mas."
Mata Raka tak salah. Ini baju yang ia belikan untuk Giandra dan sudah dikenakan oleh Giandra saat makan malam bersamanya. Ingatannya masih lekat kalau setelan tersebut adalah koleksi terbatas dan Giandra mengenakan setelan tersebut jauh lebih baik.
"Kamu beli dimana?" tanya Raka penasaran.
Nilam pun tertawa karena tak biasa Raka menanyakan hal semacam ini. "Aku membeli setelan ini preloved di online platform. Bahkan aku berhasil merebutnya dari stylist yang bekerja untuk para CEO."
Mendengar jawaban Raka, ia mengangguk mengerti. Tampaknya Giandra tak menyimpan pakaian tersebut dan memilih untuk menjualnya. "Cocok untukmu, Nilam. Kamu menemukan harta karun."
"Senang mendengarnya," balas Nilam sembari tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong, Giandra tidak ke sini, ya?" tanya Raka pada Nilam. Lelaki itu berasumsi bahwa Giandra akan datang ke acara pamannya. Lagi-lagi, ia tidak melihat wanita tersebut.
"Ah, Mas, ayahku sudah mengundangnya, namun ia tak dapat datang karena semakin sibuk," jawab Nilam dengan nada pelan, "sepupuku itu baru saja naik jabatan di Forest Green."
Respon dari Nilam itulah membuat Raka menganggukkan kepalanya. Kemudian ia merangkul bahu Nilam dan mengajak wanita muda itu untuk mengambil minuman. Setelah itu mereka berbincang di ruang tengah tentang banyak hal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top