27. Shoulder Kiss
nas's notes: hi again!
untuk part ini, kurasa memang lebih menyala karena sudah agak-agak smut. boleh melampirkan reaksi apa saja dan jangan lupa untuk vomments. jika senang baca secara offline, boleh menyalakan kuota terlebih dahulu dan vote lalu matikan lagi.
jika kalian menemukan bahwa cerita ini menarik, boleh juga menyebarkan atau mempromosikan cerita ini ke pembaca lain. :"D
terima kasih dan selamat membaca! xx
Jakarta, Indonesia
Mid-June 2026
Nicholas mematikan mesin mobilnya begitu mereka berdua sampai depan rumah Giandra di Permata Hijau. Meskipun jalanan depan rumah Giandra luas, namun tidak terlalu banyak kendaraan yang melintas. Lampu jalan depan rumah pun bersinar terang dan, tampaknya, mereka belum ingin turun dari sedan berwarna hitam.
"Enggak mau mampir dulu ke rumah?" Giandra menawarkan lelaki itu untuk berkunjung. Namun, Nicholas memilih untuk merespon dengan menggelengkan kepala.
"Nanti ada Mba Yaya sama Rayan." Nicholas bergumam dengan wajahnya yang agak merah. "Aku sungkan jika berdua di rumahmu."
"Kalau di mobil memangnya Kakak enggak malu?"
Ucapan Giandra itulah yang membuat Nicholas hampir saja menjadi patung. Jantung lelaki itu berdetak lebih kencang dan lebih kencang saat Giandra mulai mendekatkan tubuhnya. Penciuman Giandra menangkap aroma musk dan hazelnut dari tubuh Nicholas yang membuatnya, secara spontan, tersenyum senang.
"Giandra, please."
"Kakak sudah menyatakan perasaan dan kita sudah bertunangan beberapa jam yang lalu," gumam Giandra sembari menunjukkan wajahnya yang agak jengkel, "panggil aku dengan panggilan sayangmu."
Mendengar permintaan Giandra, lelaki muda itu hanya tersenyum dan menatap sepasang iris kecokelatan tersebut dengan dalam. "My Dear, please."
"Ayo turun. Rumahku kosong—Mba Yaya lagi ke kota sebelah dan Rayan lagi di rumah mama. Serta ... akulah yang memiliki kediaman ini," ucap Giandra sembari memainkan ujung jari Nicholas, "yuk kita ciuman lebih lama lagi, My Love. Mungkin setelah ini aku bisa mendapatkan satu chapter beserta revisi setelah berciuman denganmu."
Mendengar ucapan Giandra barusan, Nicholas pun hanya menyeringai. "Atau tidak. Karena, sudah pasti, kamu asyik menciumi dan menggoda editormu ... jadi chapter tersebut tidak kamu kerjakan."
Setelah Nicholas mengiyakan tawaran dari Giandra, akhirnya mereka melangkahkan kaki untuk masuk ke rumah. Wanita muda itu tampak menarik tangan lelaki bertubuh tinggi untuk masuk ke studio lantai bawah—tempat Giandra mengerjakan tulisan dan hobi melukisnya yang tak banyak orang tahu (atau sebelumnya menjadi studio tempat mendiang orang tuanya Giandra mengerjakan pekerjaan mereka). Tentu saja Nicholas familiar dengan ruangan ini dan Giandra menyalakan pendingin udara.
"Tunggu sebentar," ucap Giandra yang berlari dan menutup pintu ruangan tersebut.
Wanita itu tampak meninggalkan Nicholas untuk pergi ke kamarnya. Lelaki itu tampak bertanya-tanya dalam pikirannya. Enam menit kemudian, Giandra kembali dengan terusan warna merah muda dengan panjang di bawah lutut. Bagian atas terusan tersebut memperlihatkan bahu dan tengkuk leher Giandra secara sempurna.
Lelaki itu tampak tak mengedip begitu melihat Giandra yang tampak mempesona dan terlihat 'sudah siap' untuk menghabiskan waktu bersama. Bahkan Nicholas tak sadar bahwa ia menelan air liurnya. "Mmm ... kamu mengganti pakaianmu?"
"Aku ingin berciuman dengan pakaian yang cantik dan nyaman." Giandra menjawab sembari tersenyum dengan penuh antusiasme. "Siapa tahu, kamu mencium dan memelukku lebih lama dari sebelumnya?"
Lelaki menganggukan kepalanya dan merasa bahwa mereka akan menghabiskan waktu lebih lama. Ia langsung melepas sweater biru tua yang ia kenakan dan, secara spontan, membuka dua kancing atas kemeja putih dengan jemarinya. Tangannya tampak menarik tangan wanita muda itu untuk duduk di atas pangkuannya. Begitu Giandra duduk di atas pangkuannya, Nicholas langsung mendekap tubuh wanita itu dalam tubuhnya.
"Kamu cantik sekali, Sayangku," puji Nicholas sembari memeluk tubuh Giandra dalam pelukannya. Jantung mereka jauh lebih berdebar dari sebelumnya. Kemudian Giandra tampak menyandarkan kepalanya pada bahu Nicholas.
"Thank you, My Love."
Nicholas menatap mata Giandra dengan dalam dan mencium bahu Giandra yang terekspos dari terusanya. Begitu lelaki itu mulai menciumi bahunya, Giandra merasakan suatu kenyamanan. Setidaknya apa yang dilakukan oleh Nicholas ini jauh lebih baik dibandingkan saat Raka menyentuh bahunya saat berbicara.
Ia ingat bahwa kecupan pada bahu mengisyaratkan bahwa lelaki itu memilikinya. Serta juga menunjukkan kepedulian dan keberpihakan terhadap pemilik bahu. Kecupan berkali-kali dari Nicholas pada bahu Giandra pun membuat wajahnya memerah. "Aku menginginkannya—saat kamu mencium bahuku."
Mendengar ucapan Giandra, Nicholas langsung mengangkat wajahnya. "Kamu suka bahumu aku cium seperti ini?"
"Iya."
"Pakai terusan tanpa lengan saat bersamaku—nanti aku bawakan cardiganku." Nicholas menanggapi yang disambut oleh anggukan Giandra.
Lagi-lagi, iris hijau kebiruan lelaki itu langsung berpindah untuk memandangi wajah Giandra, terutama bibir, dan langsung menyentuh bibir dengan ibu jarinya. Karena sudah tak sabar, Nicholas langsung mencium bibir Giandra dengan perlahan dan menopang bagian belakang leher wanita muda itu dengan tangannya.
Baru beberapa kali kecupan, lelaki itu menarik bibirnya dan menjeda dengan nafas. Reaksi tersebut membuat Giandra tampak kebingungan.
"Kenapa?" Giandra bertanya dan Nicholas kembali menatap matanya.
"Bibirmu manis, Sayang. Aku akan memakan pencuci mulutku malam ini," ucap Nicholas sembari mendekatkan hidungnya dan menyentuh hidung wanita muda itu dengan perlahan, "habis ini tidak usah naskahan, ya. Aku mau makan dessert-ku. Aku lapar."
Giandra pun mengangguk menurut dan mencubit lembut pipi kemerahan itu dengan tangannya. Ia tersenyum secara spontan dan menunjukkan deretan giginya. "Enak ya, Sayang? Makan lagi, ya?"
Tanpa balasan, Nicholas langsung memakan kembali hidangan pencuci mulutnya yaitu bibirnya Giandra—yang kini sudah terlihat merah seperti stroberi.
.
.
.
Begitu sampai rumah, Nicholas langsung memasuki ruang kerja ayahnya. Sebelum ia pergi menyusul orang tuanya dan Giandra, ia singgah terlebih dahulu untuk duduk. Maka dari itu, Nicholas berasumsi bahwa kotak cincinnya terjatuh di ruang kerja yang berada di lantai bawah tersebut.
"Akhirnya aku bisa menyatakan perasaanku dan Giandra menerima lamaranku! Aku senang banget!!!" ucap Nicholas yang berbicara dengan dirinya sendiri sembari menutup pintu kayu.
TEK!
"Kamu baru pulang?"
Sontak Nicholas langsung terkejut begitu ia melihat lampu meja kerja ayahnya menyala. Jantungnya serasa ingin lepas dari raga tubuhnya. Matanya langsung menyorot ke sosok tubuh tinggi yang duduk di kursi kerjanya yang berlapiskan kulit berwarna hitam legam.
"Remus—maksudku, Ayah! Ayah mengejutkanku!" sontak Nicholas yang menampakkan raut wajahnya yang cukup terkejut.
Sang ayah, Remus, langsung beranjak dan mempersilahkan anak lelakinya untuk duduk di ruangan kerjanya."Yes Nicholas, Please have a seat. I want to have a little chat with you."
Nicholas langsung duduk di meja bundar dengan tiga buah kursi kayu yang berada di ruang kerja ayahnya. Remus kerap menaruh buku di meja bundar dari kayu jati itu dan ia memindahkan beberapa tumpukkan buku tersebut ke meja lainnya yang dekat dengan tembok. Sementara mata Nicholas melihat lukisan awan berukuran besar yang didominasi oleh warna abu-abu dan putih. Lukisan tersebut tergantung di tembok belakang meja kerja sang ayah.
"Ada apa, Ayah?"
Sebelum duduk bersama Nicholas, Remus langsung merogoh kantung celananya dan memberikan kotak kulit berwarna biru tua pada anak lelakinya. "Bagaimana bisa kamu melamar, namun kamu tidak membawa cincin. Kamu meninggalkan ini di ruanganku."
Dugaannya tak meleset. Nicholas langsung membuka kotak tersebut dan melihat cincin yang ia beli di Inggris itu masih berada di dalam kotak. Ia memperlihatkan raut wajahnya yang merasa lega.
"Dear, Nicky sudah pulang?"
"Yes, My Love. Come and sit with us."
Mendengar suara lembut istrinya dari balik pintu, Remus langsung memanggil istrinya untuk duduk bersama mereka berdua. Ingrid, yang baru saja masuk, langsung mengambil posisi duduk. Wanita itu menyadari bahwa anak laki-lakinya tampak senang.
"That's ... the engagement ring from Harry Winston?" Ingrid bertanya begitu ia melihat kotak kulit berwarna biru tua di atas meja bundar.
Nicholas menganggukkan kepalanya dan tersenyum senang saat melihat sang bunda. "Yes, Bunda."
"You have a taste." Ingrid memuji sembari tersenyum puas.
"Thank you."
Sang ayah pun hanya tersenyum dan memandangi anak lelakinya. Ia menyayangkan bahwa Nicholas sudah melamar Giandra lebih dahulu dan akan lebih baik jika mereka mengadakan acara untuk merayakan lamarannya. "Nicky, kamu sama Giandra lamarannya ngulang lagi, ya. Kita belum lihat dan Giandra belum mendapatkan cincinnya. Buat acaranya bulan depan saja."
Lelaki muda itupun hanya menganggukkan kepalanya. Sebelum ia menjawab, ia tak sengaja menggoyangkan kursinya dan terjatuh dengan posisi miring. Remus tak dapat bereaksi, namun Ingrid langsung memeriksa kondisi anak lelakinya yang sebenarnya tidak apa-apa. Hanya saja, sang bunda sudah terlanjur kaget melihat anaknya jatuh secara tiba-tiba.
TBC
Published on 31th August 2024
nas's notes: hi, happy 18k and 2k votes! terima kasih sudah berkunjung, jadi aku berikan bonus, yaa!
.
.
.
Jakarta, Indonesia
Mid-June 2026
One day before the confessions.
"Kamu, tuh, kalau mau ciuman setelah confess, harus lebih dominan, Nicky!"
Andrew memberikan saran kepada Nicholas saat mereka sedang menonton Latihan Bebas Pertama dari Formula One di kediaman Andrew. Lagi-lagi, saat Andrew melihat Max Verstappen mengejar Oscar Piastri dan George Russell di sirkuit, membuat perasaan lelaki itu jauh lebih berapi-api.
Mata Nicholas juga memandangi tontonannya, namun ia melirik ke arah Andrew untuk bertanya. "Apa aku harus memancing Gi?"
"YAAAAA!" Andrew merespon dengan tatapan mata yang menatap Carlos Sainz yang sudah mendahului Max Verstappen. "Ya, maksudku ... ya, Nicky. Kamu harus mendominasi Gi saat berciuman. Makanya aku rasa kamu jangan ciuman di mobil lagi, deh."
Nicholas hanya bereaksi bingung saat mendengar jawaban Andrew. Sayangnya lelaki itu sudah terlanjut emosi saat mobil yang dibawa oleh Lando Norris sudah bersinggungan dengan mobil pembalap kesayangannya.
"Aduh," ucap Nicholas spontan dengan tatapan terkejut.
"Gini, Nicky, tubuhmu tinggi. Memangnya kamu tidak mau mencium Gi sembari memangku dan mendekapnya?" Andrew berkata dan memberikan Nicholas sebuah ide di kepalanya. "Kalau badanku tinggi sepuluh senti sepertimu, akan aku dekap pacarku. Apalagi pacarku lebih mungil dari Giandra."
"Memangnya siapa pacarmu?" tanya Nicholas yang tampak ragu. Andrew belum menceritakan apapun soal siapa pacarnya.
"Ada penyanyi viral nomor satu di Spotify," jawab Andrew dengan nada yakin. Sayangnya, sahabatnya sendiri hanya menaikkan alisnya karena merasa tak yakin.
"Tentu saja kamu sedang berkhayal."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top