22. Congregate

nas's notes: ini part totalnya 1,9k words. tolong diramaikan dengan beragam bahasa hewan atau hujatan andalan kalian. jangan lupa vote dan comment. yang bacanya offline, boleh nyalain dulu paketnya terus vomment dan matikan lagi.

terima kasih dan selamat membaca!! <33

Jakarta, Indonesia
Early June 2026

"Baiklah, nanti aku telepon lagi. Jangan sedih, ya."

Seorang lelaki bersurai hitam tampak mematikan ponsel pintar seusai menyelesaikan panggilan. Nicholas yang baru saja menerima es teh manis dari pelayan pun langsung menyorotkan pandangan pada teman lelaki tersebut. "Andreyka, kenapa?"

Lelaki yang dipanggil Andreyka tersebut tersadar saat Nicholas memanggil namanya. Jemarinya tampak mengambil sedotan plastik dan membuka pembungkus. Saat ini, mereka sengaja pergi agak jauh dari kantor untuk makan siang di Jalan Sabang. Jalan satu arah tersebut terkenal dengan ragam kuliner khas ibu kota, baik kuliner legendaris maupun kuliner viral, dan mereka berdua memutuskan untuk mampir di salah satu kedai yang menjual mie goreng.

"Ini adik tingkatku yang kerja di Kemenparekraf. Sekretarisnya Raka Purnomo yang pernah menanyakan nomormu itu, Nicky. Sekarang dia butuh uang untuk bayar uang kuliah adiknya yang kuliah di FK. Sementara kemarin uang adiknya dipakai sama mamanya buat bayar ...."

"Biaya pesta adat saudaranya," sambung Nicholas yang tampak asal bunyi.

"Hutang judi omnya." Andreyka meluruskan tanggapan temannya yang membuat Nicholas bereaksi terkejut dan melotot. "Kasian, padahal adiknya sudah ambil freelance dan jadi affiliate."

Nicholas menerima mie goreng dari seorang pelayan. Ia mengambil sambal, acar rawit, dan kecap manis, untuk memeriahkan penampilan dari mie goreng yang ia pesan. Mendengar cerita Andreyka, Nicholas pun mengkerutkan dahinya dan terlihat prihatin. "Ya Allah. Sekarang gimana adik tingkatmu?"

"Sekarang mereka berdua mau cari dana cepat dulu karena adiknya sudah harus bayar UKT. Tadinya adik tingkatku ini mau meminjam uang sama aku, cuman keuanganku juga lagi seret."

"Semoga adik tingkatmu tiba-tiba dapat rejeki, ya." Nicholas berujar setelah mengambil sesuap mie goreng dan memakannya dengan perasaan senang. "Ngomong-ngomong, mie goreng di sini enak, deh."

Andreyka mengangguk setuju dan memakan mie goreng bagiannya yang sudah ia tambahkan dengan saus sambal. "Benar, 'kan?! Aku mendapat rekomendasi kedai ini dari temanku yang bekerja di PUPR."

"Memang rekomendasi kuliner PNS enaknya bukan main."

.


.


.

+62814XXXXXXXX:
Giandra, ini Mas Raka.
Jam tujuh nanti, Mas jemput kamu di rumah, ya.
Kamu, 'kan, hari ini WFH.
Pakai baju yang mas belikan buat kamu, ya.

Giandra Euphrasia:
Iya, Pak Raka.

+62814XXXXXXX:
See you, Giandra.

Lagi-lagi, Giandra sudah menarik nafas sebelum ia mengakhiri pekerjaannya. Baru saja Giandra menutup laptop, ia sudah mendapat pesan dari Raka. Seharusnya kamu mendoakan istrimu, Raka. Bukannya mengajak orang untuk makan denganmu. Sialan, aku meladenimu agar kamu berhenti. Wanita beriris cokelat tampak membatin dan keluar dari kamar untuk mencari Mba Yaya.

"Mba Yaya, nanti kalau ada orang yang mencari untuk menjemput. Tolong jangan buka pintu. Aku siap-siap dulu."

Wanita berusia pertengahan abad tersebut hanya menganggukkan kepalanya perlahan. "Ya, Non Gi. Mba kabarkan saja jika tamu Non sudah sampai."

Secepat mungkin Giandra membuka kotak dan mengambil baju yang dibelikan oleh Raka. Ia melihat di cermin dan menyadari bahwa ukurannya pas, namun sebenarnya pakaian yang dipilih oleh pria tersebut bukanlah pakaian yang masuk ke selera Giandra. Terlebih, saat ia kenakan,  rok tersebut terlalu pendek, padahal kakinya begitu jenjang.

Tak ambil pusing, Giandra mempersiapkan penampilannya dengan menambahkan riasan sederhana pada wajah dan mempersiapkan rambutnya yang tidak begitu panjang. Parfum yang ia pilih adalah parfum yang biasa Giandra gunakan untuk pergi ke kantor.

"Non, Gi. Sudah ada orang yang menjemputmu." Mba Yaya menyampaikan pesan dari pengamatan melalui jendela dan Giandra langsung mengambil Chanel Classic Flap berwarna hitam dari atas ranjang.

"Terima kasih, Mba Yaya." Giandra membalas sembari berjalan menuju pintu depan kediamannya. Matanya menangkap sebuah sedan pabrikan Jerman dengan plat hitam (Giandra hampir berasumsi ia akan dijemput dengan mobil plat merah).

Jemari wanita tersebut langsung membuka WhatsApp dan mengirim shared location yang ia nyalakan selama delapan jam.

Giandra Euphrasia:
Aqsad, mohon maaf, tapi aku nitip shared location-ku sama kamu, ya. Aku harus pergi.

Aqsad Idris:
Aman, Kak Gi.
Pergi sama siapa?

Giandra Euphrasia:
Raka Purnomo.

Aqsad Idris:
Anjing.
Tanah makam istrinya belum kering, tapi udah ajak anak perempuan pergi sama dia.
Bawa pistol, Kak.

Giandra Euphrasia:
Sad, aku pernah menjadi atlet menembak. Bukan pembunuh bayaran.

Aqsad Idris:
Aku pantau, Kak. Tolong ke toilet sebentar kalau kamu mau menghubungiku untuk minta bantuan.
And, Kak Gi, watch your drink.

Setelah setengah jam perjalanan, sampailah Giandra dan Raka di salah satu restoran di tengah ibu kota. Restoran yang pintu aksesnya terletak di parkiran sebuah gedung perkantoran disebut sebagai restoran yang memiliki menu dan tempat yang terbaik, namun Giandra tampak tak tertarik.

Raka dan Giandra duduk di meja dalam ruang makan pribadi, sementara sekretaris Raka duduk di luar dan melihat tamu-tamu lain yang sedang menyantap makan malam khas barat.

Wanita dengan riasan sederhana itupun mendenyitkan dahinya dan meminum kopi yang ia pesan. Lagi-lagi ia membatin dengan perasaan yang penuh dengan beban. Ya Allah kenapa aku harus bekerja dengan pria bangsat ini. Dia sudah menjual kesedihannya di publik dan sekarang dia akan mengobral kesedihannya kepada Giandra. Semoga Giandra bisa selamat dari pria itu.

Begitu makanan yang dipesan oleh Raka sudah datang, Giandra pun menampilkan wajah yang terlihat sudah kehilangan nafsu makan sejak ia menerima ajakan Raka. Sebenarnya Giandra menerima undangan Raka dengan maksud agar Raka berhenti menghubunginya. Sayangnya, sekarang Giandra tampak menyesal dan ia terpikir untuk memesan sayap ayam dengan bubuk keju untuk disantap bersama Mba Yaya.

"Sebelumnya, turut berduka cita untuk istrinya Pak Raka." Giandra membuka obrolan sembari menatap Raka yang tampak memandanginya. "Ah, aku mengetahuinya dari Aunty Rania."

Raka mulai menatap Giandra dengan matanya yang berbinar. Sementara Giandra melirik ke arah lain. Lelaki itupun langsung mencoba untuk memegang punggung tangan wanita yang duduk dihadapannya. "Terima kasih Giandra, kamu baik sekali."

Sayangnya, Giandra langsung menarik tangannya sebelum tangan lelaki itu menangkap telapak tangan Giandra. "Well, maaf kalau aku boleh tahu, apakah istri Pak Raka memiliki penyakit atau memang mengalami kecelakaan?"

"Tolong panggil aku dengan Mas, Giandra," pinta Raka sembari tersenyum melas dan suara pelan, "Mas Raka."

Mendengar permintaan Raka tersebut membuat telinga Giandra tampak memanas. Menurutnya, Raka bisa disebut dengan Pak karena Giandra masih menghormati Raka sebagai salah satu wakil menteri di kabinet saat ini dan merupakan political mentee dari pamannya, Andhika Pradana. Sayangnya, Giandra harus mengendalikan diri karena ia tidak ingin dilihat sebagai orang yang tidak sopan (dan menjaga diri supaya tidak diserang oleh para front pembela Raka).

"Iya, Raka."

Ini aku tidak sopan, kah, memanggil orang yang lebih tua dengan nama?  batin Giandra pada dirinya sendiri. Mata wanita tersebut tampak memandangi reaksi Raka yang tampak tak marah dengan tanggapannya.

"Kembali ke pertanyaanmu, Giandra," ujar Raka sembari menahan dirinya dari tangisan dan nafasnya yang sesak saat membicarakan kematian istrinya, "istriku kecelakaan saat bertemu dengan mantan kekasihnya. Saat itu, banyak yang menyebutkan bahwa dia berselingkuh, namun aku berusaha untuk melindungi istriku dari semua rumor yang tidak benar itu. Aku meluangkan waktu untuk merawat istriku, meskipun kemungkinan hidupnya memang kecil. Setelah kematiannya, aku sangat sedih karena aku menikah dan hidup bersamanya sejak nol. Baru saat ini aku memberanikan diri untuk mengajakmu keluar dan menceritakan apa yang aku alami."

Wanita muda itu mendengarkan dan tampak prihatin dengan jawaban dari Raka. Setidaknya ia berusaha untuk menaruh empati karena pamannya, Andhika, juga ditinggal pergi oleh istri pertamanya alias bibinya Giandra. "Maaf, aku tidak sopan karena menyinggung kesedihanmu."

Raka pun menganggukan kepalanya perlahan dan, lagi-lagi, mengambil tangan Giandra untuk mendramatisir suasana. Saat Giandra ingin menarik tangannya lagi, Raka pun menahan tangan wanita tersebut. "Kamu tidak perlu minta maaf, Giandra. Justru aku yang terima kasih karena kamu mau mendengarkan aku. Kamu baik sekali ... dan juga cantik."

"Terima kasih, Raka ... untuk bajunya."

Lelaki itu tampak tersenyum puas saat mendengar ucapan Giandra, yang seakan-akan, sudah mengapresiasi apa yang Raka lakukan. Sorot mata Giandra pun tak sadar melihat Raka yang mulai memindahkan posisi duduknya agar ia bisa duduk di sebelah Giandra. "Saya senang bisa bertemu dengan orang yang tepat setelah beberapa hari ini ... merasa kosong."

Kenapa dia HARUS pindah tempat duduk, sih? Giandra langsung membatin saat menyadari tubuh besar Raka sudah duduk di sebelahnya. Mata Raka pun memandangi Giandra yang sorot mata wanita itu hanya memperhatikan jemari tangannya.

"Apakah kamu senang akhirnya bisa bertemu denganku lagi, Giandra?" tanya Raka dengan suaranya yang dalam. Kemudian ia mendekatkan wajahnya kepada telinga Giandra dan berbisik. "Aku senang akhirnya kita bisa berdua seperti saat ini, Giandra."

Mom, Dad, aku mau pulang saja. Giandra lagi-lagi membatin dengan perasaan takut. Ia menyembunyikan ketakutannya dan mengingat kembali bahwa sebenarnya ia menerima ajakan Raka hanya untuk menghentikan lelaki tersebut dan memperingatkannya agar tidak terlalu jauh. "Raka, kamu baik sekali, sayangnya aku tidak bisa lebih sering bertemu atau menanggapimu. Aku harus menjalani hidupku sendiri ...."

Berani-beraninya kamu menolakku. Apakah kamu habis mendengar hasutan dari Aqsad Idris bocah-pengacara-sialan atau Nicholas Wiradikarta diplomat-polos-bodoh itu soal aku? batin Raka yang tampak berusaha mengendalikan diri setelah mendengar ucapan Giandra yang terdengar seperti penolakan untuk lelaki itu.

Tangan Raka langsung memegang kedua bahu Giandra dan mencoba untuk menatap wanita itu secara mendalam. "Aku hanya ingin menjadi teman baik untukmu, Giandra. Kamu anak yang baik, tulus, dan bukan orang yang palsu. Aku menyukai orang yang karakternya sepertimu. Bahkan jika kamu butuh bantuanku, aku bisa membantumu secara maksimal ... kamu hanya perlu mengabari Mas Raka dan aku akan menyelesaikannya untukmu, Anak Cantik."

Bisikan lelaki itu terdengar menjijikan bagi telinga Giandra dan ia mencoba untuk menepis tangan lelaki itu dari bahunya. "Tidak, Raka. Aku masih bisa melakukan urusanku sendiri. Aku harus pergi ke kamar kecil."

Melihat Giandra yang pergi ke kamar kecil sembari membawa tasnya, Raka pun langsung tersenyum penuh kemenangan. Hatinya puas saat melihat Giandra terlihat takut dan berusaha menghindari kontak mata hingga sentuhan tangannya. Lelaki itu langsung mengambil ponsel miliknya dan mencari nomor seseorang yang ia pikirkan saat ini.

"Clara, Sayangku, jam sepuluh malam nanti tolong ke rumahku. Aku sangat merindukan keberadaanmu di ranjangku."

TBC

Published on August 18th, 2024

nas's notes: aku nulis ginian tapi udah misuh dan serasa otw kena asam lambung GARA-GARA NULIS RAKA ANJ INI.

karena aku ingin menuntaskan emosi ini dalam satu part, aku kasih bonus karena cerita ini sudah 12k. jadi tolong, yang kemarin-kemarin belum comment atau vote part sebelumnya, boleh dilakukan sebagai bentuk apresiasi kalian untuk aku, ya!

terima kasih banyak <33

.


.


.

Saat Giandra memasuki kamar kecil dari restoran tersebut. Ia langsung menutup bagian penutup kloset dan duduk di atas kloset duduk tersebut. Dadanya terasa sesak dan, sejujurnya, Giandra benar-benar berusaha untuk menahan dirinya dari menangis atau menghina lelaki itu.

Ia datang ke kamar kecil untuk mengatur nafas dan menahan matanya agar tidak menangis. Setidaknya ia harus menangis sesampainya ia di rumah. Pikiran Giandra tidak bisa mencerna apa yang diinginkan oleh Raka, namun tampak janggal karena Raka mencoba untuk menggunakan mendiang istrinya dalam upaya menarik simpati dan rasa kasihannya.

"Ma, kasihan adek ... uang UKT-nya Mama pakai untuk bayar hutang judol-nya om. Sekarang adek bingung mau cari pinjaman ke mana lagi dan kakak juga pusing cari pinjaman. Setidaknya Mama ngerti, lah, kalau adek masih kuliah. Memangnya om sendiri bakal ganti uangnya adek apa? Apalagi sebentar lagi adek mau bayaran UKT. Mau cuti kuliah juga harus bayar setengahnya ... sudahlah, Mama tidak usah membela adikmu itu. Mama tidak kasihan apa sama anak mama?"

Giandra menangkap percakapan telepon dari seseorang yang menelepon dari luar bilik kamar mandi. Ia mengeringkan matanya dan mencoba untuk keluar dari bilik kamar mandi. Sayangnya, wanita yang ia temui, dan menjadi satu-satunya wanita yang ia lihat, adalah sekretarisnya Raka.

Wanita itu tampak gelisah begitu melihat Giandra keluar dari bilik kamar mandi, namun Giandra sendiri hanya membilas tangannya dan mengambil lipstik dari Chanel Classic Flap Bag-nya. Tampaknya Giandra memiliki ide yang bagus.

"Setelah ini kamu langsung pulang, 'kan?" Giandra bertanya setelah mengenakan lipstiknya.

Menyadari ia diajak bicara oleh Giandra, wanita itu hanya menganggukkan kepala dengan perlahan. Hati sekretaris itu masih terkejut karena Giandra bicara padanya dan, juga, penulis kesukaannya menyadari eksistensinya.

"Setelah ini, tolong datanglah ke rumahku. Ada yang ingin aku sampaikan," pinta Giandra dengan nada lembutnya dan dilanjutkan dengan mengenakan parfum dari botol sampel, "pastikan bosmu tidak tahu."

Menyadari bahwa Giandra meminta ia untuk datang setelah agenda ini, ia menganggukan kepalanya dengan yakin. "Iya, tentu saja aku akan datang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top