2. The Editor

London, UK
Early 2026

Setelah pulang dari shul dan mendapat pencerahan dari obrolannya dengan beberapa teman, Peter Hirschmann membuka pintu rumahnya yang berada di Victoria Road. Iris birunya tampak menemukan pemandangan istrinya yang modis, Patricia Gellert, dan keponakannya yang bersahaja, Nicholas Wiradikarta, yang asyik memakan tiramisu sembari bergosip dari ruang makan.

Lelaki itu sedang memiliki agenda perjalanan dinas ke Inggris dan menyempatkan diri untuk mengunjungi keluarga dari bundanya yang memang bermukim di London. Khusus untuk hari ini, Nicholas mengunjungi paman dan bibinya yang merupakan sepupu (dan keluarga terdekat) dari bunda. Patricia, insinyur dan penanggungjawab atas usaha keluarga, tentu saja dapat meluangkan waktunya di hari Minggu siang karena ia akan pergi ibadah di sore hari, namun tidak dengan Peter, seorang pengacara selebritis, yang terbiasa untuk pergi beribadah di pagi hari. Jika bertanya soal Nicholas, tentu saja ia sudah melakukan ibadahnya dari kamar hotelnya sebelum datang ke kediaman paman bibinya ini.

"Kamu sudah mengunjungi jid dan omi-mu?" tanya Peter dengan nada agak tinggi sembari menaruh outer-nya di lemari penyimpanan dekat pintu depan. Ia berjalan mendekati istri dan keponakan lelakinya.

"Sudah!" Nicholas membalas pertanyaan pamannya sembari melihat lelaki berusia paruh baya yang hidup dengan penampilan menarik dan karier yang mengasyikkan—seperti anggota keluarga yang lain. "Kemarin aku makan malam bersama di Kensington sekaligus mengutarakan keinginanku."

Patricia menatap Nicholas dengan antusias. Ia memiliki asumsi bahwa keponakannya sebentar lagi akan mendapatkan penempatan di salah satu negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. "Apa? Kamu akan pindah negara untuk penempatanmu?"

Pertanyaan Patricia pun membuat Peter menggelengkan kepala. Menurutnya, Nicholas tidak perlu repot-repot berbicara secara langsung hanya untuk mengabari kepindahannya ke salah satu negara yang akan menjadi mandatnya kelak. "Pat, kurasa tidak. Kalau anak ini akan pindah, dia bisa mengabari kita lewat pesan."

Lelaki itu hanya tersenyum sumringah. "Onkel, kamu benar. Aku mengatakan dengan langsung karena aku ingin menikah."

Kedua suami istri tersebut saling bertukar pandang. Selama ini mereka hanya mendengar berita Sura, adik Nicholas, yang berpacaran dengan konglomerat hotel dari Munich dan Hanneli, mendiang kakak Nicholas, yang berpacaran dengan lelaki beda agama (dan ditinggal nikah) lalu dijodohkan dengan konglomerat media dari Jakarta (tidak berlanjut karena Hanneli sudah meninggal). Bahkan mereka hampir mengira Nicholas tidak memiliki hasrat untuk menjalin hubungan dengan perempuan. "Sorry, but you didn't even introduce your girlfriend to us."

"Ya, aku memang tidak memperkenalkan perempuan manapun karena aku tidak punya pacar, namun aku tahu siapa wanita yang akan aku nikahi."

"Maaf Nicholas, apakah kamu ikut perjodohan atau semacamnya?" tanya Peter penasaran dan berasumsi bahwa Nicholas mengirimkan daftar riwayat hidupnya ke mak comblang.

Peter pernah menonton salah satu program perjodohan di saluran streaming. Menurut Peter, banyak hal yang patut dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk mengikuti perjodohan. Apalagi Peter datang dari keluarga yang hampir semua anggota keluarganya dijodohkan dengan keluarga yang menjalani ibadah dan kebiasaan yang sama (hampir semua karena Peter keluar dari komunitas dan menikah dengan teman kuliahnya, Pat).

 Apapun motif utama dari orang-orang yang mengikuti perjodohan, tidak semua orang cocok dengan konsep perjodohan. Setidaknya itulah yang Peter pikirkan setelah melihat orang di komunitasnya dijodohkan. 

"Aku tidak ada waktu untuk ikut perjodohan, Onkel." Lelaki itu membalas pertanyaan pamannya. "Karena aku sudah yakin dengan wanita ini dan aku sudah mengenalnya sejak lama."

Jika tak salah ingat, Nicholas ini memang dekat dengan salah satu perempuan. Seorang penulis yang namanya cukup besar di Amerika Serikat, tetapi perempuan ini hebat. 

"Kamu kenal penulis ini dari siapa?" tanya Peter yang berusaha untuk mengkorek informasi.

Nicholas yang belum mengatakan apapun soal identitas calon istrinya hanya bisa menampilkan ekspresi terkejut. "Bagaimana bisa Onkel tahu kalau calonku juga seorang penulis?"

Peter tersenyum jahil. Ia menyadari dirinya keceplosan. "Kau tahu, lah, aku ini pengacara hebat. Ayo beritahu aku, kamu mengenal perempuan ini dari siapa?"

Lelaki muda itu tampak tak habis pikir dengan jawaban pamannya dan ia hanya bisa menghela nafasnya. "Sura adalah sahabatnya, namun ayahku juga bersahabat dengan mendiang ayahnya sejak sama-sama kuliah di Oxford."

Patricia pun tak mendapat arah dari percakapan ini dan mengambil buku dengan sampul putih tulang. Buku tersebut adalah cetakan Amerika Serikat dari The Portfolio yang ditulis oleh Giandra Euphrasia. Patricia membaca buku tersebut karena rekomendasi dari temannya saat mengunjungi Davos. Karena sesuai dengan tipe bacaannya, Patricia berencana untuk menyelesaikannya besok (ia sudah membacanya selama semingguan ini).

Iris hijau kebiruan milik Nicholas langsung familiar dengan buku yang dibaca oleh bibinya dan langsung mengambilnya dari tangan Pat. Dengan antusias, Nicholas langsung membuka beberapa lembar kertas menuju bagian author yang berada di bagian belakang.

Author
Giandra Euphrasia Anindyaswari Soerjapranata lahir dan besar di Melbourne dan sempat menempuh pendidikan di Bandung dan Helsinki. Sekarang memilih Jakarta sebagai tempatnya untuk menetap. Penulis dari tiga bestseller internasional, A Grain of Salt, Somebody, dan The Favourite yang diterjemahkan ke dua puluh bahasa.

"Ini calon istriku!" ucap Nicholas sembari menunjukkan foto penulis yang tercetak pada halaman tersebut. "Cantik, 'kan!"

Jemari Nicholas menunjuk foto hitam putih seorang wanita. Wajah wanita itu memiliki kecantikan dengan fitur yang kaya; mata besar, rambut ikal yang panjang, tulang hidung tinggi, dan pipi khas yang terlihat saat tersenyum. Foto yang secara tidak langsung memberikan pandangan bahwa penulis buku ini terlihat indah dan hidup dengan baik. 

Mendengar ucapan keponakannya itu, Peter dan Patricia kembali bertukar pandang dan bingung. Seolah-olah mereka memang sepakat kalau Nicholas tampak seperti lelaki yang delusional dengan seseorang yang akan dinikahinya. "Tadi aku ketemu teman pengacaraku di shul dan dia juga cerita kalau anaknya mendadak delusional jika ditanya soal pasangan. Kasihan umurnya masih dua puluhan awal."

Patricia mengabaikan cerita suaminya dan melihat foto penulis dari buku yang ia sukai akhir-akhir ini. "Ini benar, 'kan, Nicky?" tanya Patricia untuk memastikan.

Lelaki muda tersebut merasakan bahwa paman dan bibinya meragukannya, bahkan hampir saja dirinya terlihat seperti seseorang yang delusional. "Tunggu, aku sama Giandra memang saling kenal." Nicholas membuka halaman buku tersebut ke bagian Acknowledgements dan menunjukkan satu baris kalimat paling atas dengan mata hijau kebiruannya yang berkaca-kaca. "Lihat, ada namaku!"

Acknowledgments
Thank you and kudos to my editor, Nicholas Wiradikarta.

"Giandra saja menyebutkan namamu sebagai penyuntingnya," gumam Peter begitu matanya melihat halaman tersebut.

"Peter," panggil Patricia dan wanita tersebut tampak menghela napasnya, "kamu tidak salah, Nicky. Kalau kamu memang menginginkannya, kamu harus lebih berusaha. Minimal agar namamu masuk bagian persembahan atau ada kata-kata 'my husband'-nya di acknowledgments-nya. Julian Ramadhan dari buku pertama sampai sekarang saja masih menyebutkan nama istrinya yang kerap membantunya dalam mengerjakan ilustrasinya."

"Ya, Pat, kamu benar! Bahkan aku selalu menyukai ilustrasinya Charlotte!" Peter menyahut perkataan istrinya dengan girang. Mata birunya melirik pada keponakannya yang sudah menghabiskan tiramisunya. "Kamu harus lebih berusaha, Nicky!"

Nicholas menganggukan kepalanya dan menyadari bahwa seorang Asisten Rumah Tangga sudah mengangkat piring dari hadapannya. Peter pun beranjak sejenak untuk pergi ke dapur.

Sementara Patricia sendiri memutar lengannya dan matanya melirik ke jam tangan lawas yang ia kenakan—menandakan bahwa Patricia masih memiliki beberapa jam tersisa sebelum pergi ke tempat ibadahnya yang tak jauh dari kediamannya. "Tampaknya aku sudah harus pergi, Nicky Sayang. Senang bertemu denganmu!"

"Baiiiik Aunty. Terima kasih untuk waktu dan tiramisunya."

"Ah, Peter! Jangan lupa babka dan chocolate chip cookies untuk Nicky dan Sura!" Lagi-lagi Patricia pun memanggil suaminya yang sudah pergi ke dapur, yang ternyata untuk mengambil kudapan kesukaan keponakannya itu, dan tante keponakan itu kembali saling bertukar pandang. 

"Sebelum pergi menuju rumah Tuhan, aku ingin mampir ke Foyles. Aku sudah memesan beberapa bacaan baru dari Giandra Euphrasia. Aku mulai kecanduan dengan tulisan perempuan ningrat ini—sekilas mengingatkan aku dengan Julian Ramadhan."

.


.



.

Setelah berpamitan dan menerima sebuah tote bag yang berisi kudapan manis buatan paman dan bibinya, Nicholas berjalan kaki menuju destinasi selanjutnya. Lelaki itu langsung membuka ponselnya dan mengetik pesan kepada adiknya, Sura, yang tinggal di Jakarta melalui aplikasi WhatsApp.

Nicholas Wiradikarta:
Adeeeeek
Tolong infokan aku ukuran jari manisnya Giandra

Nayantara Sura:
Delapan

Nicholas Wiradikarta:
Bagaimana kamu bisa tahu secepat itu?

Nayantara Sura:
Aku sedang makan dengannya dan Giandra sedang mengenakan cincin dari mom-nya
Jangan lupa kudapanku dari Onkel Peter!

Nicholas Wiradikarta:
Terima kasih!

TBC

Published on June 23th, 2024

nas's notes: kalau kalian berpikir mereka bertiga adalah keluarga yang hidup bersama dalam perbedaan agama, kalian benar.

Aku mengerjakan ini sembari menonton Spain GP dan noticed kalo besok udah Senin<///3 Apakah aku boleh minta vote dan komennya? Terima kasih sudah mampir yaaah <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top