6. Penyelamatan

Author note:
-Rra_Chan Nih, BestBoi mu in action sesuai janjiku. ^_^
-yosh_44 Cinnamon Roll mu nih...

.

On with the story...

.

Taufan dan Blaze sudah kembali berada dibalik semak pepohonan yang berhadapan langsung dengan bagian depan pondok berdinding kayu yang dijadikan markas para pemburu haram itu.

Dengan bantuan Taufan, Blaze berhasil memanjat dinding pondok itu dan sempat menengok kedalam melalui lubang ventilasi.

Didalam pondok berdinding kayu itulah Blaze berhasil menemukan kedua saudaranya, Halilintar beserta Thorn yang disekap oleh para pemburu haram yang menculik mereka berdua.

Melalui lubang ventilasi itu pula Blaze menjatuhkan pisau lipat miliknya sebagai alat bagi Halilintar untuk melepaskan diri.

Setelah yakin bahwa upaya Halilintar melepaskan diri itu berhasil barulah Blaze memanjat turun dari atas pundak Taufan dan undur diri dari bagian belakang pondok kayu itu.

Keduanya kembali masuk kedalam hutan untuk bersembunyi sebelum memutari pondok itu sampai kembali berada berhadapan dengan bagian depan pondok berbahan kayu itu.

"Nah ... kita harus buat apa kak?" tanya Blaze yang kini berjongkok dibalik semak pepohonan selagi terus mengawasi gerak-gerik penghuni pondok itu.

"Ada dua orang didalam pondok itu. Kemungkinan mereka boss dari komplotan pemburu haram ini" Secara umum Taufan menyimpulkan situasi keseluruhan mereka. "Halilintar juga masih berada di dalam ..."

"Kita harus memancing mereka berdua keluar, minimal kita memberi waktu buat Halilintar bergerak. Kita ada tiga orang, lawan kita cuma dua." Taufan mencoba membuat rencana untuk menyelamatkan Halilintar dan terutama Thorn.

Blaze mengerenyitkan dahi. "Kak Ufan lupa kalau mereka punya senjata api?" ucap Blaze yang keberatan dengan rencana kakaknya. "Yang ada kita jadi ikutan diculik!"

"Kamu ada rencana lain yang lebih baik?" tanya Taufan dengan nada sinis. "Silahkan kalau ada ..."

Blaze memutar kedua bola matanya keatas namun ia memilih untuk tidak menanggapi kelakuan kakaknya itu. "Begini," Blaze berdehem, "Bagaimana kalau dimulai dari Kak Hali? Pisau lipatku ada di Kak Hali, bisa dipakai untuk melumpuhkan salah seorang dari pemburu itu ... Begitu salah satu dari mereka lumpuh barulah kita masuk."

Taufan terdiam ketika memikirkan rencana Blaze yang memberikan resiko tambahan pada Halilintar dan kemungkinan besar Thorn.

Taufan kurang setuju dengan resiko yang dibebankan pada Halilintar. Selain dengan adanya Thorn yang tidak bisa berbuat apa-apa bersama Halilintar, Taufan juga ragu apakah Halilintar masih cukup kuat melakukkan perlawanan.

Kondisi Thorn yang terkapar karena infeksi pasti tidak bisa diharapkan untuk bertarung, apalagi Thorn tidak punya dasar beladiri.

Sedangkan Halilintar walaupun jago beladiri, belum sempat beristirahat atau memulihkan tenaganya yang terkuras selama ia disekap. Apalagi Halilintar baru saja terbebas dari ikatan tali yang praktis melumpuhkannya selama hampir sehari semalam dan membuatnya jauh lebih lemah daripada biasanya.

"Kamu tahu 'kan Blaze, kalau Kak Hali itu baru saja lepas setelah diikat hampir sehari-semalam lamanya," keluh Taufan dengan menghela napas panjang. "Kita sendiri juga tahu 'kan seperti apa rasanya? Apalagi kita berdua pernah dipasung Gempa ... sering malah."

Perkataan Taufan itu membuat Blaze langsung meneguk ludah karena ia tahu seperti apa rasanya berada dalam keadaan terikat tidak bisa bergerak dalam jangka waktu yang lama. "Tapi ... cuma itu cara yang mungkin, Kak ..."

"Tapi terlalu berbahaya kalau kita masuk kedalam ... Lebih baik kita pancing mereka keluar." Taufan menawarkan alternatif yang lebih aman meskipun tetap saja beresiko. "Biar aku yang jadi umpan. Kupancing orang yang terakhir itu keluar ..."

"Dan aku yang melawannya?" Blaze langsung menyambung ucapan Taufan. "Ngga sebaiknya Kak Taufan saja yang melawan orang itu? Karateku masih jauh dibawah Kak Hali. Lebih baik kamu yang Dan dua Kendo yang melawan orang itu, kak."

Taufan langsung menganggukkan kepalanya. "Ya, mungkin lebih baik begitu. Biar aku dan Hali yang melawan pemburu haram yang terakhir ... Kamu, Blaze ... tugasmu membawa Thorn keluar."

"Oke. Sekarang kita beritahu Kak Hali dulu mengenai rencana kita."

Dengan rencana yang sudah tersusun Taufan dan Blaze lembali memutari pondok berbahan kayu itu dengan bersembunyi dibalik lebatnya semak dan pepohonan.

Cara yang sama diulang kembali untuk memanjat dinding pondok itu untuk mencapai lubang ventilasi yang terdapat didekat atap pondok berbahan kayu dimana Halilintar dan Thorn masih disekap. Hanya saja kali ini Taufan yang memanjat keatas pundak Blaze.

"Hey, Hali, Thorn," bisik Taufan ketika ia menyembulkan kepalanya dibalik lubang ventilasi.

Halilintar tengah mengusap dan mengkompres kening Thorn langsung menoleh kearah lubang ventilasi ketika ia mendengar suara cempreng yang sangat dikenalnya. "Taufan," gumam Halilintar selagi berdiri dan meninggalkan Thorn yang tengah tertidur pulas. "Thorn masih tidur, demamnya agak berkurang sih," bisiknya lagi seraya berjalan mendekati lubang ventilasi dimana Taufan berada.

"Syukurlah kalau Thorn bisa istirahat." Taufan berbisik balik. "Hey, Hali ... Kira-kira kamu masih sanggup berkelahi? Rencanaku, kamu mengalihkan perhatian mereka, syukur-syukur kalau bisa melumpuhkan salah satu dari mereka ... Nanti aku dan Blaze menyerbu lewat depan."

Halilintar menengok kearah pintu ruangan tempatnya disekap yang dikunci dari luar. "Begitu ya ...," gumamnya dengan suara yang pelan dan tidak terdengar sampai ke pendengaran Taufan. "Lalu Thorn?" Tanya remaja bernetra merah darah itu sembari menengok kearah adiknya yang terlihat berada dibalik lubang ventilasi.

"Blaze yang mengurus Thorn," ucap Taufan seraya menyelipkan sebuah parang lewat lubang ventilasi.

Kedua kelopak mata Halilintar melebar ketika ia melihat parang yang tengah diselipkan oleh Taufan. Seringai setan remaja bernetra merah itu merekah lebar pada wajahnya. "Bagus ... Akan kubuat mereka menyesal telah menculik aku," desis Halilintar. Terbayang kembali dalam ingatannya akan apa yang terjadi padanya selama satu harian terakhir ini.

Tersadar dari pingsan dengan sakit kepala yang berdenyut-denyut hanya untuk menemukan badan, lengan dan tangan yang terikat kuat. Tidak ada harapan untuk melepaskan diri karena simpul tali ikatan yang diberi lem power glue dan tidak mungkin dilepas lagi.

Perasaan tanpa harapan lolos yang benar-benar membuat seorang Halilintar merasa tidak berdaya sama sekali. Seumur hidupnya belum pernah Halilintar terpuruk lemah sampai menangis dan meratapi nasibnya, apalagi terpaksa disaksikan oleh adik-adiknya.

Apalagi kedua adiknya, Solar dan Thorn, yang seharusnya dibela oleh Halilintar oleh itu tidak jauh berbeda dengannya sendiri. Solar yang masih kecil, diikat dan disekap dengan cara yang menyakitkan, belum lagi Thorn yang masih diikat juga walaupun terluka parah.

Kini alat dan sarana untuk membalaskan semua itu terpampang didepan matanya. Sebuah parang yang tengah diselipkan melalui lubang ventilasi oleh Taufan.

"Lempar ke tumpukan rumput itu, Fan," bisik Halilintar seraya menunjuk kearah tumpukan rumput kering di dekat Thorn.

Taufan mengangguk dan melemparkan parang yang masih berada dalam sarungnya itu kearah yang ditunjuk oleh Halilintar.

Tidak ada suara yang terdengar ketika parang itu mendarat diatas tumpukan rumput kering.

"Oke, Taufan," ucap Halilintar sembari menatap adiknya yang disebut namanya. "Kamu akan tahu kapan harus menyerang jika terjadi keributan disini ..."

"Oke, Hali ... Semoga berhasil." Taufan tersenyum kecil sebelum kepalanya menghilang dari lubang ventilasi.

Baru saja Halilintar hendak membalikkan badannya ketika Thorn memanggil namanya.

"Tadi ... Kak Ufan?" tanya Thorn seraya berusaha untuk duduk. Dengan tangan kanannya, Thorn berusaha untuk menopang bobot tubuhnya karena tangan luka menganga pada lengan kirinya membuat keseluruhan tangan kirinya tidak bisa digunakan.

"Ya, Thorn," jawab Halilintar sembari berjalan mendekati parang yang dilemparkan oleh Taufan. Dengan hati-hati Halilintar mencabut parang itu dari sarungnya. "Bersiaplah, Thorn ... Kita akan pulang."

"Ha?"

"Taufan dan Blaze menunggu kita diluar ... Aku akan mengurus GagaNaz dan BoraRa bersama Taufan. Nanti Blaze yang akan membawamu keluar." Secara singkat Halilintar menjelaskan rencana untuk melarikan diri rekayasa Taufan kepada Thorn. "Apapun yang terjadi, Thorn ... jangan panik. Tetap disini, mengerti?"

Thorn langsung menganggukkan kepalanya. "Ya Kak ... Aku mengerti."

"Bagus. Nah, sekarang kembalilah berbaring," ucap Halilintar yang mengambil seutas tali yang sudah terputus dan tadinya digunakan untuk mengikatnya. Tali itu diletakkan Halilintar diatas pergelangan tangan Thorn, seakan adiknya itu masih terikat.

Setelah yakin dengan persiapannya, Halilintar menempelkan badannya serapat mungkin didekat pintu yang terkunci. Ia memejamkan kedua matanya sejenak dan menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri sebelum memulai aksinya.

Dengan sekuat tenaga Halilintar menendangi pintu yang terkunci dari luar itu dengan telapak kakinya. Gagang parangnya pun ia gunakan untuk menggedor pintu yang terkunci itu. "BUKA PINTUNYA! KELUARKAN AKU!" teriak Halilintar.

"DIAM KAU SETAN!" Terdengar suara GagaNaz membentak balik.

Semakin keras tendangan dan pukulan gagang parang kepada pintu yang terkunci itu. "PENGECUT! KUTUBUSUK!" pekik Halilintar sekuat paru-parunya mampu mendorong udara melalui pita suaranya. "BUAYA LAPAR! COPET MURAHAN! BIAWAK PANUAN!"

Thorn yang mendengar makian kakaknya itu langsung menggigit bagian bawah bibirnya yang berkedut-kedut menahan tertawa. Ia tidak pernah tahu kalau kakaknya yang satu itu begitu pintarnya merangkai kata-kata karena Halilintar termasuk yang paling pendiam kalau dirumah, hanya bicara seperlunya saja.

"BUKA PINTUNYA! LAWAN AKU SINI!" Halilintar berteriak lagi yang diyakininya terdengar sampai keluar pondok berdinding kayu itu. "KEPITING REBUS!"

"KAU BENAR-BENAR MINTA DIHAJAR, BOCAH!" Kembali suara GagaNaz tedengar, namun kali ini diiringi suara derak lantai kayu yang sudah pasti akibat dari langkah pemburu haram berbadan besar itu.

Halilintar langsung menempelkan dirinya setipis mungkin pada dinding ruangan tempatnya disekap ketika ia mendengar suara kunci pintu yang tengah dibuka. "KEMARI KAU TOPAN GELEDEK SIAL!" teriaknya lagi. Parang yang berada dalam genggamannya sudah disilangkan melintang melewati badannya. Seperti pegas yang menyimpan energi potensial, Halilintar mengencangkan seluruh otot lengan kanannya dan bersiap untuk menebaskan parangnya.

Pintu ruangan tempat Halilintar dan Thorn disekap itu terbuka.

GagaNaz melangkah masuk kedalam ruangan itu tanpa menyadari dirinya telah termakan umpan jebakan Halilintar. Tepat ketika GagaNaz sudah melangkahkan kaki, terdengarlah suara keributan diluar pondok.

Taufan dan Blaze sudah memulai aksi mereka untuk mengalihkan perhatian. Suara keributan yang mereka timbulkan membuat GagaNaz langsung berbalik badan

"KAU?!" Tidak ada kata-kata yang sempat terucap oleh GagaNaz lagi ketika ia membalikkan badannya dan melihat Halilintar yang bersenjatakan sebuah parang.

Memanfaatkan kelengahan lawannya, Halilintar langsung mengayunkan parang miliknya.

Tidak ada keraguan sedikitpun terlintas di benak Halilintar ketika ia mengayunkan parang miliknya kearah bawah tubuh lawannya, lebih tepatnya kedua kaki GagaNaz yang tidak terlindung.

Bilah tajam parang itu mengiris dalam sampai mengenai tulang kaki pemburu haram itu.

"AAAGHHHH SETAN ALAS!" GagaNaz menjerit kesakitan ketika kakinya terluka dalam oleh sabetan parang dari Halilintar. Pemburu haram itu langsung terhuyung dan jatuh tersungkur sembari memegangi luka pada kakinya itu.

"DIAM!" bentak Halilintar seraya mengayunkan kakinya keatas, hampir melewati kepalanya sendiri. Dengan sekuat tenaga, Halilintar menghujamkan tumit kakinya yang berbalut sepatu kearah kepala GagaNaz yang sudah jatuh tersungkur.

Satu hentakan tumit Halilintar yang deras dan tepat itu cukup untuk melumpuhkan GagaNaz yang langsung tidak sadarkan diri.

"Hebat Kak Hali!" pekik Thorn yang melihat aksi kakaknya itu.

Halilintar menyeret GagaNaz keluar dari ruangan tempatnya disekap. Kunci yang masih menempel pada lubangnya langsung dicabut oleh Halilintar dan diberikan kepada Thorn. "Kamu kunci pintunya, Tunggu sampai Blaze datang, mengerti? Aku harus membantu Taufan melawan BoraRa."

Thorn langsung berdiri. Langkahnya sedikit terhuyung karena kepalanya terasa pusing akibat demamnya. "Aku ... mengerti," ucap Thorn seraya menggelengkan kepalanya dengan cepat dengan harapan pandangan netra hijau tuanya lebih cepat terfokus.

Halilintar langsung membalikkan badannya dan berlari meninggalkan ruangan dimana Thorn berada untuk keluar dari pondok kayu terkutuk itu.

"Hati-hati, Kak ...," gumam Thorn ketika ia menutup pintu ruangan tempatnya berada dan mengunci pintunya.

.

.

.

BoraRa, pimpinan komplotan pemburu haram itu terlihat tanpa keraguan walaupun harus menghadapi lawannya yang bersenjatakan parang. Tubuh besar dan kekarnya kali ini tertutup sebuah jaket bercorak kamuflase militer dan membuat lawannya kali itu kesulitan menilai kekuatannya.

Lawan BoraRa kali itu adalah Taufan, remaja yang identik dengan korban penculikannya baru-baru ini.

"Jadi kalian semua itu bersaudara kembar... Cukup menarik." Sebuah seringai sinis menghiasi wajah BoraRa yang penuh dengan luka-luka akibat pertarungan.

Taufan menolak terpancing untuk menjawab balik. Hanya bibirnya saja yang terlihat gemetaran ditengah perasaannya yang campur aduk saat itu. Sorotan tajam netra biru safirnya yang menjadi jawaban atas komentar BoraRa yang tengah menodongkan sepucuk pistol kearahnya.

"Ayo, letakkan parangmu anak manis ... Jangan persulit dirimu," bujuk BoraRa seraya terkekeh kecil. Sepucuk pistol berukuran besar pun terlihat kecil dalam genggaman tangannya yang besar. Pistol itu terarah kepada lawannya yang bernetra biru safir itu.

Taufan meneguk ludahnya. Walaupun tidak mengenal senjata api , ia cukup paham apa yang akan terjadi apabila peluru yang berada dalam pistol itu mengenai dirinya. "Jahanam ...," desis Taufan seraya menancapkan parangnya kedalam tanah didekat kakinya.

"Angkat tanganmu ... Kemarilah. Jangan malu-malu nak."

Dengan berat hati dan dibawah todongan senjata api yang mengancam nyawanya, Taufan menuruti perintah BoraRa.

Taufan mengangkat tangannya dan meletakannya dibelakang kepalanya. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya dan mendekati BoraRa.

"Jauh lebih penurut dari kakak sialmu itu," ucap BoraRa seraya menurunkan sepucuk senjata api yang berada dalam genggaman tangannya. Pikirnya kemenangan sudah digenggam, dan ia telah mendapatkan sebuah obyek untuk dijualnya

Namun pada saat itulah BoraRa diserang. Bukan oleh Taufan yang berada didepannya, melainkan oleh Halilintar yang sedari tadi mendekatinya dengan berjinjit dan tanpa bersuara.

Halilintar menyerang BoraRa secara diam-diam. Parang yang berada dalam genggamannya diosisikan terbalik. sisi tumpulnya diayunkan sekuat tenaga kearah senjata api yang dipegang BoraRa.

Rangka pstol yang ditetak dengan parang oleh Halilintar langsung terpatah. Senjata api yang tidak ada gunanya lagi itupun langsung terlepas dari tangan BoraRa.

"BAGUS HALI!" pekik Taufan. Remaja bernetra biru safir itu langsung melangkah mundur dan mencabut parang miliknya yang tadi ditancapkannya ke tanah.

Halilintar tidak membuang kesempatan berharganya yang sudah berhasil melucuti senjata lawan. Dengan gerakan cepat, Halilintar membalikkan posisi parang yang digenggamnya. Kini bilah tajam parang itu sudah kembali pada posisi yang seharusnya.

"HABISLAH KAU!" Dengan teriakan penuh dendam, Halilintar mengayunkan parangnya kearah BoraRa.

Alangkah terkejutnya Halilintar ketika serangannya menemui udara hampa.

"Kurang cepat ..." BoraRa berhasil menghindari serangan Halilintar. Bahkan ia sudah berdiri selangkah mundur dari posisinya yang semula sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya yang teracung.

Gantian Taufan yang merangsek maju. Parangnya digenggam erat diatas kepalanya selagi ia berlari cepat, memperkecil jaraknya dengan BoraRa.

Pada saat yang bersamaan, Halilintar yang telah pulih dari shock karena terkejutnya ikutan menyerang walaupun dari posisi yang kurang baik.

BoraRa lebih dahulu menghindari serangan Halilintar sebelum mengambil langkah kearah samping untuk menghindari ayunan parang dari Taufan.

"Si-sial, dia gesit juga!" kutuk Taufan yang kini berada disamping Halilintar.

"Aku belum menyerang ...," desis BoraRa, merendahkan kedua lawannya. Ia menyelipkan tangannya kedalam jaket kamuflase militer yang dikenakannya melalui bagian bawahnya. Dari balik jaketnya, BoraRa mengeluarkan sebilah belati tua yang ukurannya lebih kecil daripada parang yang dipakai Taufan atau Halilintar.

Bukan ukurannya yang menggentarkan hati Taufan dan Halilintar, namun bentuk bilah belati itu yang dikikir seperti mata gergaji. Sebuah desain yang disengaja untuk menimbulkan luka parah pada korbannya.

"Bersiaplah kalian berdua ..." BoraRa memposisikan bilah belatinya terbalik dengan ujung tajamnya berada dekat jari kelingkingnya. Sejenak ia terdiam seakan mengukur kemampuan kedua remaja kakak-beradik yang menjadi lawannya.

Sementara itu ...

Blaze yang sedari tadi bersembunyi dibalik semak dan pepohonan mulai bergerak. Ia berjalan mendekati pondok kayu itu dari samping, berupaya untuk tidak terlihat oleh BoraRa yang tengah meladeni Halilintar dan Taufan.

Blaze menempelkan tubuhnya serapat mengkin pada dinding kayu pondok yang dijadikan markas pemburu haram itu. Sedikit mungkin ia menyembulkan kepalanya ketika mengamati situasi pertarungan BoraRa melawan Halilintar dan Taufan.

Setelah yakin bahwa perhatian BoraRa telah sepenuhnya tertuju pada Taufan dan Halilintar barulah Blaze bergerak masuk kedalam pondok berbahan kayu itu.

Blaze sempat bergidik ketika melihat salah seorang pemburu haram yang kakinya bersimbah darah dan dalam keadaan tidak sadarkan diri. "Pasti perbuatan Kak Hali," gumam Blaze seorang diri.

Dengan hati-hati Blaze memutari pemburu haram yang masih pingsan itu dan berjalan menuju sebuah pintu yang dilihatnya dalam keadaan tertutup.

Blaze mengetuk pintu yang tertutup itu. "Thorn?!" panggilnya dengan suara yang agak keras. "Ini aku, Blaze!"

Setelah Blaze menyebutkan namanya barulah ia mendengar derit kunci pintu yang diputar membuka.

"THORN!" pekik Blaze ketika melihat adik kembarnya yang baru saja membuka pintu.

"Blaze ...," gumam Thorn dengan sebuah senyuman yang terkembang pada wajahnya.

Blaze langsung memeluk adiknya itu erat-erat. Belum pernah Blaze merasakan kebahagiaan seperti sekarang ini. Menemukan kembali adiknya yang paling ia sayangi dan paling dekat dengannya. Blaze dan Thorn tidak pernah harus terpisah dengan cara yang sungguh menyakitkan seperti itu dan dalam waktu yang cukup lama.

"Blaze ... kamu datang juga ...," ucap Thorn seraya menumpukan dagu pada pundak kakaknya yang lahir berselisih hitungan menit saja dengan dirinya. "Aku ... sudah putus asa ... Kupikir aku akan mati disini ...," lirih Thorn yang enggan dilepaskan dari pelukan Blaze.

"Sudah, sudah," bisik Blaze seraya mendekap adiknya yang mulai sesegukan. "Aku disini untuk kamu, Thorn," ucapnya lagi dengan suara yang lembut untuk menenangkan Thorn yang sesegukan tersedu-sedu dan berlinang air mata.

Beberapa saat lamanya Thorn membiarkan dirinya dipeluk oleh Blaze. Sudah lama sekali rasanya Thorn tidak merasakan sentuhan hangat penuh kasih sayang walaupun baru satu hari saja ia diculik dan disekap.

"Ayo ... pulang... Blaze ... Thorn ngga mau disini," ucap Thorn ketika Blaze melonggarkan pelukannya.

"Ayo." Blaze melepaskan Thorn dari pelukannya. "Kamu bisa jalan sendiri atau mau kugendong?"

Wajah Thorn sedikit merona setelah ia mendengar tawaran Blaze. "Ngga ... aku ... masih bisa jalan sendiri." Thorn menolak seraya menggelengkan kepalanya.

Walaupun begitu Blaze tetap bersikeras menuntun Thorn yang langkahnya masih terlihat tidak stabil dan terhuyung-huyung.

"MATI KAU BORARA!" Teriakan Halilintar kembali terdengar yang membuat Blaze dan Thorn terkejut. Keduanya langsung menengok keluar melalui pintu pondok yang berbahan kayu itu.

Terlihat Halilintar sedang mengayunkan parangnya kearah BoraRa yang terlihat lengah.

Anehnya tidak terlihat ketakutan pada wajah dedengkot pemburu haram yang diserang Halilintar.

Bahkan ketika bilah tajam parang Halilintar mendarat pada tangan BoraRa yang sengaja digunakan untuk melindungi dirinya.

"A-astaga ... apa yang ...?" Halilintar tercengang dan terbelalak. Bilah tajam parangnya hanya sedikit menggores jaket lengan panjang bermotif kamuflase militer yang dikenakan BoraRa.

Ayunan parang sekuat tenaga dari Halilintar itu seharusnya lebih dari cukup untuk menimbulkan luka dalam. Namun kali ini hanya jaket yang dikenakan BoraRa yang sedikit tersobek.

Lebih aneh lagi adalah benda keras yang dirasakan Halilintar pada gagang parang miliknya ketika bilahnya menyentuh tangan BoraRa.

"Siapa namamu? BoBoiBoy Halilintar?" BoraRa terkekeh ketika musuhnya yang terkejut itu melangkah mundur. "Melempem seranganmu itu."

Dari bagian tangan jaket BoraRa yang tersobek itu Halilintar melihat potongan lembaran kecil logam yang tersusun rapih. Barulah Halilintar mengerti kenapa lawannya kali itu tidak gentar menghadapi dirinya beserta Taufan.

"Taufan, dia pakai baju pelindung! Jaketnya itu ada logamnya!" sahut Halilintar yang kembali memasang kuda-kuda bertarungnya.

"Sial!" kutuk Taufan selagi mendecih kesal. "Sudah, ayo kita serang lagi. Nanti juga jaketnya hancur."

"MEEEENN!" Pekik Taufan yang kembali menyerang BoraRa dari sisi sebelah kiri. Parangnya digenggam dengan dua tangan dan dibawa melewati kepalanya seperti yang selama ini ia pelajari dari ekstrakurikuler Kendo di sekolah.

"URRRAAAA!" Halilintar langsung ikut menyerang, mendampingi adiknya di sebelah kanan.

Kali ini BoraRa tidak lagi bertahan saja.

Meremehkan tebasan parang kedua kakak-beradik kembar itu, BoraRa melancarkan pukulan tangan kanannya yang berisikan belati. Pukulan itu diarahkan kepada lawannya yang bernetra merah darah.

Kedua kelopak mata Halilintar terbelalak lebar. Waktu terasa berjalan sangat lambat baginya ketika tangan BoraRa yang memegang belati menghampirinya

Dalam kondisi fisiknya yang tidak sempurna karena telah sehari semalam tanpa istirahat dalam tersekap, Halilintar hanya sempat meliukkan badannya untuk menghindar dari serangan. Pukulan BoraRa tidak mengenai badannya, namun tidak halnya dengan bilah belati yang digenggam BoraRa

"AHHH!" Jerit kesakitan Halilintar pecah membahana ketika belati milik BoraRa yang bilahnya dikikir seperti gergaji itu menggores dalam pada bagian lengan kanan, dada, dan terus sampai ke lengan kiri

Bilah tajam belati itu menggores badan dan lengan Halilintar. Sementara dekik-dekik seperti gergaji pada bilah belati milik BoraRa itu memperlebar dan memperdalam luka pada dada remaja yang bernetra merah darah itu.

"HALILINTARR!" jerit Taufan yang melihat kakaknya yang berdiri limbung dan tengah memegangi dadanya yang terluka dan mengucurkan darah.

Parang di tangan Halilintar langsung terjatuh karena luka pada kedua lengannya membuat tangannya lemah seketika. Setelah parang menyusul pemiliknya yang jatuh tersungkur menahan sakitnya luka yang melintang dari lengan kanan ke lengan kiri berikut dadanya

"HUAAAA!" jerit Halilintar ditengah rasa sakit yang tak tertahankan. Luka pada kedua lengannya praktis melumpuhkannya. Kedua tangannya tidak bisa digerakkan sama sekali dan ia hanya bisa menggelepar-geleparkan kedua kakinya seperti seekor ikan yang diangkat dari air.

"HUAA! AAHH! SAKITT!" teriak Halilintar yang masih menggelepar-gelepar diatas tanah. Kedua tangannya benar-benar tidak bisa digerakkan. Kalaupun ia mencoba menggerakkan tangannya itu, rasa sakit luar biasa langsung berdenyut kencang pada luka sobek besar pada tubuhnya.

"Sekarang giliran KAU!" hardik BoraRa seraya menunjuk Taufan dengan belati miliknya. Dengan langkah tenang dan tidak terburu-buru BoraRa menghampiri lawannya yang kedua.

Taufan meneguk ludahnya ketika BoraRa menghampiri dirinya yang sedang mencoba menolong Halilintar.

"Hadapi ... dia. Jangan ... pikirkan aku!" desis Halilintar ditengah kedua rahangnya yang mengatup erat menahan pedihnya luka pada tubuhnya.

"Tapi, lukamu itu ..."

"Aku ... oke ... urus ... BoraRa"

Taufan tahu bahwa ucapan Halilintar itu adalah bohong belaka. Apalagi darah yang menetes dari luka yang menganga di dada kakaknya yang bernetra merah darah itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Taufan mengambil parang yang tadinya digunakan oleh Halilintar dan dijadikannya sebagai senjata tambahan pada tangan kirinya. Dengan dua bilah parang tergenggam, Taufan melangkah maju mendekati BoraRa.

Raut wajah Taufan kaku dan tegang ketika dirinya semakin dekat dengan lawannya.

Sebaliknya senyum sinis BoraRa semakin lebar ketika lawannya semakin mendekat.

Setelah merasa jaraknya cukup dekat barulah Taufan menyerang. Dimulai dengan sebuah sabetan parang dari tangan kanannya yang langsung diterima oleh BoraRa dengan mudahnya dengan tangannya yang terlindung jaket berlapis logamnya.

Namun Taufan tidak menyerah begitu saja. Tanpa memeberi jeda, ia langsung mengayunkan parang ditangan kirinya dan mengincar titik yang sama pada tangan BoraRa.

Sabetan demi sabetan kedua parang ditangan Taufan secara bertubi-tubi menghujami kedua tangan BoraRa. Perlahan mulai terlihat kerusakan pada bagian tangan dari jaket kamuflase militer yang dikenakan pemburu haram itu.

Namun menyerang seperti itu menghabiskan banyak tenaga tanpa membuahkan hasil.

Serangan Taufan berangsur melemah dan berkurang kekuatannya sebaliknya, BoraRa bahkan belum menunjukkan tanda-tanda lelah. Ditengah kelelahannya, pertahanan Taufan lengah dan kelengahan itu dimanfaatkan BoraRa yang melancarkan serangan pada bagian kepala Taufan.

"AAH!" Taufan memekik kesakitan ketika ujung belati milik BoraRa menyenggol pipinya. Masih beruntung hanya ujung tajamnya yang menggores pipi remaja yang bernetra biru safir itu, bilah belati yang bergerigi itu hanya nyaris menggores bagian wajahnya yang lain.

Dengan punggung tangannya Taufan menyeka darah yang menetes di pipinya. Lukanya yang terkena keringatnya sendiri itu terasa perih.

Namun luka secuil itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Halilintar yang hanya terkapar diatas tanah tanpa bisa menggerakkan kedua tangannya.

Sejenak Taufan memandangi kakaknya yang tidak berdaya itu. Kedua tangan dan lengan Halilintar terbujur lurus begitu saja. Ujung jari-jarinya terlihat gemetaran seakan hendak bergerak namun tidak mampu. Namun yang membuat jantung Taufan serasa diremas-remas adalah air mata yang mengalir bebas tanpa terbendung dari sudut netra merah darah Halilintar.

"AWASS!" bentak Halilintar ditengah sesegukan lirihnya yang menahan sakit.

BoraRa mengambil kesempatan pada saat Taufan lengah.

Kedua kelopak mata Taufan merekah selebar-lebarnya ketika ia melihat belati milik Borara menghampiri dirinya. Terlambat sudah baginya untuk menghindar.

"KAK TAUFAN!"

Bukan sebuah tusukan di dada yang dirasakan oleh Taufan, melainkan sebuah dorongan kuat pada lengannya. Seseorang telah mendorongnya sampai terjatuh dan terhindar dari tusukan belati berbilah gergaji milik BoraRa itu.

Dari posisinya yang sudah terjatuh di tanah, barulah Taufan bisa melihat siapa yang telah menyelamatkan nyawanya.

Orang yang menyelamatkan nyawa Taufan itu kini berdiri pada posisi dimana sebelumnya Taufan berada dan menerima serangan belati BoraRa tepat pada perutnya.

"JANGAAAAAN!" Teriakan Taufan dan Halilintar pecah hampir bersamaan ketika melihat apa yang baru saja terjadi.

.

.

.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top