Chapter 27: Niall-Lilo
"Diam. Tutup mulutmu, dan jangan bergerak. Ini aku."
Sebuah tangan membekap mulutku rapat-rapat. Nafasnya menyapu bersih leher kananku. Degup jantungku semakin tak karuan. Apa setelah membunuh Louis, dia akan membunuhku juga?
Tangan besarnya masih tidak berkutik dari mulutku. Aku ingin memberontak, tapi kedua tanganku ditahan oleh tangan yang satunya. Jika aku boleh minta satu keajaiban pada Tuhan, aku ingin Louis hidup kembali saat ini juga dan menyelamatkanku. Aku tahu itu impossible.
Aku memejamkan mataku kuat-kuat. Menunggu sebuah pistol menodong kepalaku atau pisau yang siap ditaruh di leherku.
"Kita harus lari!"
Tiba-tiba saja tangan kuatnya itu menarikku keluar dari kamar ini. Mataku terarah pada tempatku berdiri tadi. Tepat setelah aku beranjak dari sana, sebuah pisau langsung menancap di dinding. Tunggu. Kenapa dia malah menyelamatkanku? Aku memutar kepalaku pada pria tinggi berpakaian putih. Rambut spike? Blonde?
"NIALL!" seruku dengan masih berlari mengikutinya keluar rumah sakit. Niall hanya melirikku sekilas sambil menempelkan telunjuk tangan satunya ke mulut tipisnya.
"Dia mengawasimu sejak tadi dan mengejarmu!"
Niall yang sejak tadi berlari menyusul Lilo, tidak kuat masuk ke gedung rumah sakit. Nafasnya sudah benar-benar habis dan tak bisa dipaksakan. Dia membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya. Mencoba untuk mengatur nafas kembali.
Tepat saat itu juga, matanya tidak sengaja melihat seorang pria besar yang bersembunyi di balik semak. Seolah memperhatikan Lilo. Bahkan dia mengintip sampai ke jendela kamar rawat Louis.
Awalnya, Niall tidak terlalu menganggap itu serius. Tapi saat pria itu mengeluarkan foto Lilo dari sakunya, serta tangan yang satunya menyentuh sebuah pisau yang terikat di sisi pinggangnya, membuat Niall yakin kalau dia sedang mengawasi Lilo dan harus cepat menolong gadis itu.
Aku kembali menatap ke belakang. God, seorang laki-laki besar yang ku yakin tingginya melebihi 190 cm, mengejar kami berdua dengan penuh kebencian di matanya.
"Niall! Lari lebih cepat huwaa!" Aku mendorong tubuh Niall agar berlari lebih cepat.
**Author's Pov**
Krieett..
Seorang pria paruh baya membuka pintu besi yang sudah agak berkarat tersebut. Berjalan beberapa langkah dan berhenti di depan sebuah meja kayu antik. Dia berdiri tegap dan mengistirahatkan kedua kaki serta tangannya di belakang,
"Dylan sedang berusaha mengejarnya sekarang" ucapnya pada seseorang dibalik kursi bersandaran tinggi. Ia memutar kursi dan menghadapnya. Ditaruhnya kedua kaki diatas meja.
"Sendirian?"
"Ya"
"Tidak. Suruh Tom dan Riley membantunya." Ia memandangi arloji berwarna metalik yang melekat di pergelangan tangan kirinya, "Terus lapor bagaimana kelanjutannya padaku."
"Baiklah" Dia berbalik dan berjalan ke arah pintu. Keluar kemudian menutupnya.
Ia mengulum senyum licik dan mengeluarkan anak panah kecil dari sebuah permainan panahan.
"Aku ingin kau ikut merasakannya."
Lalu menghempaskannya dan kena tepat pada foto Lilo yang tertempel pada papan sasaran berbentuk lingkaran.
"Disitu! Cepat!" Niall menarik tangan Lilo ke sebuah gang kecil nan sempit diantara 2 gedung bertingkat besar. Mereka berjongkok dan merunduk di samping tempat sampah. Sembari bersembunyi, mereka berdua mencoba untuk mengatur nafas yang masih terengah-engah.
Lilo menoleh dan menatap mata Niall saat lelaki blonde itu menyeka keringat Lilo yang bercucuran di sekitar dahi juga pelipis, "Kau kelelahan ya.." tanyanya lembut.
"Niall.."
Niall tertunduk sedih dan menyesal. Mata birunya kemudian kembali menatap Lilo, "Aku turut berduka ya.." Ia mengusap sudut matanya dengan ibu jari. Mencegat air mata yang siap mengalir. Bagaimana pun juga, Niall manusia. Dia bisa menangis dan masih punya perasaan, "Padahal Louis orang yang baik. Terlalu cepat untuk pergi.." Ia menatap bibir Lilo, "Ku harap kau bisa tegar" Kemudian kembali pada matanya.
Lilo memperhatikan satu tetes air mata Niall yang jatuh. Baru kali ini dia melihat Niall menangis. Tanpa berkata apapun, ia memeluk dan mendekapnya erat, menggenggam tangannya, serta memberi ciuman di pipi agar lebih tenang. Niall balas memeluknya dan mengecup puncak kepala Lilo seraya membelainya.
"Jangan menangis, Lo.."
"Tidak! Seharusnya kau yang jangan menangis." Lilo makin mempererat pelukannya. "Baru kali ini aku melihatmu menangis, dan aku tak ingin melihatnya lebih banyak lagi."
~Braaak..
"Hey-hoo~" Niall tiba-tiba datang dan menggebrak meja Lilo memecah lamunannya.
"Ah, bikin kaget saja!" Ia melepas sikutnya yang daritadi berada di atas meja.
Niall hanya terkekeh kemudian memperhatikan layar laptop Lilo, "Sedang apa? Kau tidak mengerjakan tugasnya?"
"Daydreaming"
"Haha.. sedang galau ya?" Lilo tertawa renyah dan kembali bertopang dagu, "Oh ya, Louis kemana?"
"Maka itu Niall," Ia memutar kedua bola matanya sejenak. "Dia tidak masuk dan kau tahu kan aku sangat bodoh dalam pelajaran Bahasa Rusia" lanjutnya.
Niall memanggut mengerti, "Mau ku bantu? Atau mau ku buatkan?"
"Tak usah repot-repot, aku akan ke perpustakaan dekat rumah saja pulang nanti"
Sekali lagi ia hanya mengangguk. Sampai akhirnya Liam Payne, teman sekelompok Niall, memanggilnya.
"Hey, Horan pirang! Jangan pacaran terus! Kita harus bekerja!" Laki-laki berambut coklat itu menimpuknya dengan pulpen. Niall menyeringai dan memainkan alisnya seraya melempar balik pulpen itu.
"Ops, gotta go, Lo! Bye Haha"~
"Terimakasih Niall karena kau bersedia menemaniku dan terus disampingku saat Louis tidak ada. Itu membuatku lumayan tenang karena ada kau."
~"Niall" Lilo kembali angkat suara. Mata Niall masih fokus pada kantung snack yang ia bawa, "Kau.. sudah tahu kalau Louis.. punya pacar?" Niall menoleh Lilo dengan cepat dan membelalakan kedua matanya.
"Serius?"
"M-hm"
Dia menaruh snack di pangkuannya dan kemudian menjabat tangan Lilo, "Selamat Lo! Selamat! Kau akhirnya mendapatkannya!"
"Ti--tidak!!" Lilo kembali menarik tangannya. "Bukan aku!" Matanya justru makin membesar. Seolah tak percaya dengan 2 kata terakhir yang diucapkannya.
"Serius? Lalu siapa?"
"Err.. ada. Dia cantik, baik, dan shopaholic. Aku mengenalnya. Baru sih" Lilo menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal. Ia tertunduk dan berusaha untuk mengulum senyum tipis, "Lucy Oliver"
Niall seperti berpikir sejenak kemudian mendekat dan langsung merangkulnya. Merapatkan masing sisi kepala mereka, "Lo, kau baik-baik saja dengan itu? I'm afraid you--"
"Hey, I'm fine! I'm alright! Don't be worry Haha.. ha" Lilo berusaha untuk meyakinkan Niall dan menghibur dirinya sendiri, "Lagipula, menurutku mereka cocok. They deserve it, Niall" Lilo menaikkan kedua alisnya. Dadanya terasa sesak begitu mengatakan bahwa mereka 'cocok'. Niall tersenyum tipis melihat raut wajah gadis itu.
"Jadi itu yang membuat kalian berdua bertengkar selain tugas tadi? Lagipula, Louis duluan kan yang memulainya"
"Kau tahu kan waktu itu ia tidak masuk. Jadi aku mengerjakan sendirian?"
"Uh-huh. Biar Tuhan yang tahu"~
"Niall.." Lilo menengadahkan kepalanya sedikit. Mata biru dan coklat mereka bertemu, "Tetaplah disampingku dan jangan pernah pergi. Jangan pernah meninggalkanku walaupun hanya sebentar. Jangan pernah meninggalkanku seperti yang Louis lakukan."
Niall tertunduk mendengar perkataannya. Itu semuanya tak tahan. Ia memalingkan tatapan darinya. Wajah merah redup terlihat sangat jelas di wajahnya, "Setiap manusia itu pasti mati, Lo" Ia mengangkat kedua bahunya, "Semuanya sudah diatur Tuhan."
"Kau mau kan? Kau berjanji?" Lilo menatap Niall dalam-dalam.
Mata biru itu kembali pada mata Lilo yang penuh harap, "Aku..."
"Uff, sial! Dimana mereka berdua sembunyi?!"
"Sstt.." Niall menempelkan telunjuknya. Perhatian mereka berdua teralih pada lelaki besar yang sedang mengejar mereka. Lilo semakin mempererat genggaman tangannya dan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Lelaki besar itu berdiri dan berkacak pinggang tepat di depan gang kecil tempat mereka sembunyi. Hanya saja pandangannya ke arah lain. Matanya menerawang ke sekitar.
Dan mungkin keberuntungan belum berpihak pada mereka berdua. Saat itu juga ponsel Niall berdering. Sebuah panggilan masuk dari.. Mrs.Greimas. Pria itu menajamkan pendengarannya dan perlahan berbalik menatap gang kecil tersebut.
Lilo terus menutup mulutnya dengan tangan walaupun rasa panik dan gelisah makin menghantui. Niall cepat-cepat mengangkatnya dan menjawab dengan suara pelan, "Ha.. halo?"
"Niall, kau sudah temukan Lilo? Kalian dimana?" Niall tidak menjawab lagi. Dia bahkan bisa mendengarkan degup jantungnya dengan jelas sekarang.
Pria besar itu sedikit demi sedikit melangkah maju mendekati bak sampah besar yang menyembunyikan mereka. Mendongakan kepalanya seraya menyipitkan mata.
"Halo? Niall! Niall!"
Lilo dan Niall semakin merundukkan kepalanya agar tidak terlihat. Tapi sayang, pria besar itu sekarang sudah berdiri di hadapan mereka. Mulutnya terhias dengan senyum licik penuh kemenangan, "Huh, dua anak anjing yang kehilangan induknya." Mulut mereka ternganga serta mendongak menatap wajah sangar itu.
"Ayo!"
Niall menarik tangan Lilo untuk bangkit dan lari jauh ke dalam gang tersebut. Namun saat mereka sudah di ujung, itu sebuah gang buntu.
"Sial! Aaargh!" Dengan kesal Niall menendang dinding berbatu bata merah.
Pria itu semakin mendekat pada mereka. Senyum kemenangan masih tertera di wajahnya. Apa mereka harus pasrah dan menyerahkan diri? Lilo sendiri sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia menempelkan punggungnya pada dinding tersebut.
Tapi tidak dengan Niall.
Karena jika mereka menyerahkan diri, dia tahu siapa yang akan celaka. Yaitu Lilo. Toh, dia sudah dari awal mengincarnya. Dan Niall tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Dengan penuh keberanian, dia meninjunya tepat di tengah wajah juga sebuah tendangan tepat di dada. Bukan tinju biasa karena pria besar tersebut sampai-sampai roboh memegangi wajahnya yang berdarah dan kesakitan. Darah pun keluar begitu saja dari mulutnya.
Niall cepat-cepat menarik tangan Lilo lagi melangkahi tubuh pria tersebut dan lari menjauh. Mereka tertawa puas saat melihatnya terkulai tak berdaya.
Kemenangan tak berlangsung lama. Tepat saat mereka akan keluar dari gang kecil, 2 pria besar lainnya menghadang dan langsung menangkap mereka.
"Niall! Keributan apa itu? Kau dimana! Jawab! Uff"
Tuut.. tuut.. tuut..
Telepon mati begitu saja.
Dengan tangan yang sama-sama diikat, Niall dan Lilo digiring masuk ke sebuah ruangan gelap. Hanya satu lampu yang menerangi ruangan itu. Dan lampu itu tersorot pada sebuah meja kayu antik dengan kursi yang membelakangi mereka. Kursi dengan bersandaran sangat tinggi. Mereka berdua saling bertatapan begitu berhenti tepat di depannya. Sama-sama menelan air ludah menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Mata gadis itu membesar begitu melihat fotonya tertempel di sebuah papan permainan sasaran dan sebuah panah kecil menancap tepat di tengah-tengah wajahnya.
"Kami sudah membawanya kesini" Salah satu pria besar yang menangkap mereka melapor. Sebuah tangan tak lama muncul dari salah satu sisi kursi. Mengkodekan mereka untuk menyerahkan Niall dan Lilo. So, pria-pria besar itu mendorong mereka begitu saja agar lebih dekat dengan meja. Keadaan hening sejenak sampai Lilo sendiri yang memecahkannya,
"Siapa kau!" serunya.
Tidak ada jawaban.
"Jawab aku!!"
Tetap tidak ada jawaban.
"Pecundang!" umpatnya kesal.
Saat itulah sebuah jawaban di dapatkannya, "Sudah lama sekali kita tidak bertemu." Lilo sedikit menyipitkan matanya mendengar suara itu. "Kau selalu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Kau tahu? Aku bahkan tidak bisa menolak perasaanku yang selalu ingin menangkapmu. Dan sekarang kita bertemu lagi. Jadi bagaimana?"
Dia masih bergeming dan dalam lubuk hatinya, sekuat tenaga berteriak 'tidak mungkin' karena dia percaya kalau perkiraannya seharusnya salah.
"Kehilangan seseorang sangat tidak enak, bukan? Kau sudah merasakannya. Dan itulah yang ku rasakan. Seorang gadis merebut segalanya yang sudah terencana baik dariku" Dia bangkit dari kursinya. Masih membelakanginya. "Kau merusak semuanya!"
Degup jantung Lilo semakin kencang dan cepat, "Kau.."
"Kau mau tahu siapa aku?" Dia mengulum senyum tipis dan mengangkat sebelah alisnya. Perlahan berbalik badan menghadap mereka semua, "Aku. Hanya seseorang yang kau rebut jodohnya!"
Mata Lilo membelalak sebesar-besarnya dengan apa yang dia lihat. Rahang bawahnya hampir lepas karena sebuah ketidak percayaan itu yang akhirnya terjadi. Seperti yang ia duga.
Dia. Dengan sebuah luka bakar—yang dulunya tidak ada—sedikit menghalangi wajah malaikatnya. Kulit putih bersih naturalnya. Rambut panjang berombak yang terurai sampai pertengahan punggung. Sebuah highlight khas yang masih menjadi khas di rambut oranye-nya terlihat jelas. Semuanya.
Lilo menggeleng pelan, "Tidak. Tidak mungkin. Aku tidak percaya! Aku pasti bermimpi sekarang! Seseorang bangunkan aku! Karena kau tidak mungkin disini. Kau seharusnya sudah mati..
Lucy Oliver.."
-bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top