Chapter 26: This Is The End?

Dengan kemeja rapi yang sudah melekat di tubuhnya, gadis ini duduk di sofa ruang tamu. Sudah lumayan lama ia berpaut dengan ponselnya. Menelpon satu per satu kontak yang ia punya. Perkataan peneror itu masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Lilo menggigit bibir bawahnya. Hatinya makin cemas dan khawatir jika beberapa dari kontaknya tidak diangkat, voicemail, atau tidak aktif. Kedua tangannya sampai-sampai berkeringat.

"Lily" Lilo menoleh pada ibunya yang juga sedang bersiap-siap memakai heels, "Semuanya sudah beres? Pakaian togamu? Topi? Kamera?"

"Sudah bu. Semuanya sudah ada di tasku" Kedua matanya kembali lagi pada layar ponsel.

"Bisa tolong betulkan dasiku?" Ayah datang dan menyodorkan dasi abu-abunya pada ibu. Sembari membuatkan dasi, ia melirik sekilas anaknya yang daritadi bolak-balik melekatkan ponsel di telinganya. "Ly, kau sedang apa?" tanyanya seraya menaruh dasi ke sekeliling kerah kemeja ayah.

"Sstt.." Lilo menempelkan telunjuknya di kedua bibir dan kembali meletakan ponsel ke telinganya.

Tak lama dari seberang telpon, terdengar suara serak-serak khas bangun tidur, "halo? Nyem.. nyem.. Who's this?"

"Halo? Niall, kau disana baik-baik saja kan?"

"Oh, Lilo. Ya, aku baik-baik saja. Kenapa--hoahhm--memangnya?"

Lilo mengelus-elus dadanya dengan lega. Untung saja sahabatnya yang satu ini tidak kenapa-napa, "Nope. Itu saja. Yasudah, daah~"

"Hey tunggu!" Niall cepat-cepat mencegat Lilo sebelum menutup telepon. "Kau merusak mimpiku kissing dengan Megan Fox hanya untuk menanyakan kabarku?!"

"Uh? Ya."

"Sungguh mengesankan! Huh! Padahal tadi kami hampir saja melakukan--"

"Niall, kau baru bangun ya? Cepat siap-siap! Hari ini kan hari istimewa!" Lilo cepat-cepat menginterupsi sebelum Niall berkata yang tidak-tidak.

"Hey, hey! Aku tercekik! Hkkh.." Ibu sampai-sampai tidak sadar mencekik ayah dengan dasinya. Saking fokus pada Lilo, "Oh, maafkan aku!". Ayah mengendurkan dasinya sendiri dan kembali masuk ke dalam kamar.

"Benarkah? Hari ini hari apa? Pemecatan kepsek cerewet itu?!" tanyanya semangat.

"Bukan," Lilo menggeleng cepat, "hari ini hari wisuda kita"

"APA--"

tuut.. tuut.. tuut..

Lilo langsung mengakhirinya karena masih banyak kontak yang harus dihubungi. Dia bersandar untuk menenangkan pikiran sebentar. Di hari sepenting ini, dia justru uring-uringan, gelisah dengan semua orang yang ada di dekatnya.

"Kenapa sih?" Ibu duduk di sisi bangku.

"Aku takut."

"Takut?"

"Takut terjadi apa-apa dengan orang sekitarku" Dia bertopang dagu pada sisi bangku yang satunya. Termenung menatap matahari yang terpantul dari jendela rumah.

"Kau cuma tegang. Nervous karena sebentar lagi wisuda"

Lilo diam. Kalau boleh jujur, perasaannya tercampur aduk saat ini. Tak lama, terdengar suara teriakan dari ayah—lagi, "Dimana kau taruh jas-ku!!"

 ***

"Selamat pagi tuan Tomlinson.." Seorang suster masuk ke kamar Louis dengan membawa tray makanan untuk sarapan Louis. Dia menaruhnya diatas meja samping tempat tidur kemudian berjalan ke arah tirai jendela.

"Kau tahu? Mentari sedang bersinar cerah-cerahnya. Diluar sudah musim semi" ujarnya seraya membuka lebar. Suster mengerutkan kedua alisnya melihat jendela yang terbuka, "Sepertinya kemarin aku menutupnya. Haha, aku semakin tua. Aku pikun" Ia menggeleng pelan sambil tertawa hambar.

Kini suster berjalan menghampiri tubuh Louis yang tertutup selimut sepenuhnya, kemudian berkacak  pinggang dan tersenyum, "Anda tidur lelap sekali ya" Tak lama selimut pun dibuka sampai sebatas bahu.

***

"Lilo!" Niall menyambutku histeris saat baru datang. Dia mengenakan kemeja putih dan celana hitam kain, sama sepertiku. Well, sebenarnya memang semua murid mengenakan pakaian ini. Dan baru beberapa yang sudah siap dengan pakaian toganya.

Dia menikam dan langsung memelukku. Aku membalas pelukannya sambil mengulum senyum tipis, "Hai Niall"

"Coba tebak!"

"Apa?"

"Sebentar lagi kita lulus!"

"Aku tahu itu-_-"

"Dan aku ada 2 berita bagus dan buruk untukmu"

"Apa itu?"

"Berita bagusnya, adalah.. kita sebentar lagi lulus!" Lilo kembali menekuk wajahnya dan mendorong wajah Niall, "aku tahu itu!"

Tak lama, senyum dan keceriaan Niall pudar. Lilo meliriknya dengan tatapan biasa saja karena berpikir Niall pasti akting lagi. Niall menunduk menatap kedua sepatunya, "Dan berita buruknya.."

"Apa? Ijazah untukmu belum selesai diproses?"

"Bukan! Tapi aku--"

Lilo's Pov

"LILY!!" 

Pandangan kami berdua teralih pada ibu yang lari tergopoh-gopoh. Sambil mencoba untuk mengatur nafasnya yang memburu, dia mengulurkan ponsel kepadaku, "Kau.. hh.. harus.. mengetahuinya sendiri.. hh.."

Mengetahui sendiri? Serius sekali. Ada apa? Apa jangan-jangan si peneror menelpon lewat ponsel ibu?

"Ada apa memangnya?" tanyaku ikut panik. Begitupun dengan Niall.

"Telepon KHUSUS untukmu.. hh.."

Khusus untukku. Ada yang tidak beres. Dengan ragu dan sedikit tegang, aku menerima telepon itu. Melirik ibu dengan takut-takut sejenak kemudian embasahi kedua bibir dan akhirnya menjawab penuh keberanian, "Ha-halo? Siapa ini?"

"Good morning, this is Dr.Mary Evans" Dr.Mary Evans, dokter yang merawat Louis. Syukurlah bukan si peneror. Wait--apa? Dokter Louis?!

"Y-ya?"

Ibu dan Niall saling bertatapan penuh dengan cemas dan khawatir. Aku berharap semoga tidak terjadi apa-apa padanya. Telepon dari pihak rumah sakit itu bukan main-main. Biasanya sebuah berita bagus seperti sang pasien mengalami kemajuan atau sudah boleh pulang. Atau juga.. sebuah berita buruk. Tapi ini..

PRAANG.. 

Untuk yang kedua kalinya sebuah ponsel jatuh dari tanganku. Air mata yang sudah tidak bisa ku bendung lagi akhirnya pecah. Ini sungguhan? Aku bermimpi?

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik dan lari keluar gedung itu. Masa bodoh dengan teriakan ibu juga Niall. Aku terus berlari menyebrangi jalan tanpa melihat ke kanan dan kiri. Berlari menuju rumah sakit yang jauhnya 3 kilometer dari gedung tempat wisuda digelar.

~Aku langsung loncat dan mendarat di atas kasur Louis. Hey, wallpaper home screen-nya sudah berbeda. Itu fotoku dan dia saat sedang gila di bioskop. Di foto itu kami memakai kacamata 3D.

"Okay.. so, kau masih menyimpan foto memalukan ini?" tanyaku menunjukkan foto.

"Hey! Kembalikan!" Dia buru-buru menghampiriku dan berusaha meraih iPhonenya. Namun terus ku jauhkan dari jangkauan tangannya. Dan alhasil kami malah rusuh berdua sambil sesekali memukul dengan guling.~

Aku tidak peduli dengan hari yang seharusnya istimewa sekarang.

~"TEBAK SIAPA YANG DADDY-NYA SUDAH PULAAANG??!!" 

Perkataanku terpotong begitu mendengarnya. Suara itu tidak asing lagi. Suara yang menghilang selama seminggu. Dan sekarang sudah kembali.

"DADDY!!!" Jeritku.

Louis sudah pulang! Dia sudah pulang dari Hawaii. Dia akhirnya kembali. Aku sangat merindukannya.

"Come to daddy, kid!!"

Aku bangkit dari bangku dan berlari ke arahnya. Lompat kepelukannya dan mendekap erat-erat. Pelukannya masih sama. Masih sehangat yang lalu.

"Ya Tuhan, aku sangat rindu padamuu! AKH!!"

"Daddy juga rindu padamu!"

Kami melepas pelukan dan saling bertatap mata. Mata birunya masih berbinar terang tapi.. kulitnya lebih coklat dibanding yang lalu.

"Kulitmu terlihat lebih coklat!"

Louis hanya tertawa. Dia berbalik dan merendahkan badannya, "Ayo! Naik ke punggungku! Pesawat tidak bisa menunggu lama!"

Aku tersenyum girang menyambut tawaran itu. Dan tanpa berkata apapun lagi, dengan sigap aku naik ke atas punggungnya.~

Aku tidak peduli jika sang kepala sekolah belum sempat memindahkan tali topi togaku.

~"Kau berbohong! Justru kau yang tidak mau berkerja sama denganku!!" Aku menunjuk-nunjuk wajahnya. "Akulah yang bekerja sendiri!!"

"Louis, Li--" Mr.Brown berusaha menengahi kami.

"Really? Kalau begitu buktikan! Mana tugasmu!" Ia memotong perkataan Mr.Brown. Wajah murka Louis semakin mendekat.

"Tentu saja masih di laptopku!!"

Mulanya, ia memasang smirk dan tiba-tiba mengambil sesuatu dari tasnya. Astaga.. TUGAS!!

"See? Sekarang siapa yang menang? Huh?"~

Aku tidak peduli jika tidak lulus sekali pun dan harus mengulang sekolah kembali.

~"Tapi kenapa kau menurutinya!!!" Aku berteriak kesal. "Kau tahu kalau permintaannya itu tidak baik!"

"Karena aku hanyalah 'MANTAN SAHABAT'!! Got it?" Louis tak kalah keras.

Dia sakit hati? Dia tidak terima kalau aku menyebutnya mantan sahabat? Seharusnya Louis introspeksi diri. Kenapa aku bisa menyebutnya sebagai mantan sahabat!

Aku menggeleng sambil sesekali menyeka air mata, "Tidak Lou! Kau yang tidak mengerti! Bukan aku!!! Uggh!!" Saking kesalnya, untuk pertama kali dalam hidup, aku memukul wajah Louis.~

Tapi yang aku tidak inginkan adalah,

~"Bbb--because.. I keep it for you.. Just-for-you."

Aku bergeming. Masih tidak percaya kalau Louis punya perasaan yang sama selama ini. Entahlah aku harus senang atau sedih.

Tiba-tiba saja, Louis menyibak rambutku yang terurai menutupi wajah. Wajahku yang merah dan redup karena menangis. Tapi ku coba untuk memberanikan diri menatap mata biru Louis. Matanya semakin bersinar terkena cahaya dari jendela kamar. Tangannya yang lembut tiba-tiba meraih dan menggenggam tanganku erat. Penuh arti.

Kemudian, Louis menyentuh daguku dengan ujung jemarinya. Ia menyeka air mataku dengan ibu jarinya sejenak dan membuatnya mendekat.. mendekat .. tak butuh waktu lama, bibirnya pun bertemu dan lumat dengan bibirku. Bertemu untuk yang pertama kalinya bagi masing-masing.

First Kiss.~

Kehilangan dia dan semuanya untuk selamanya.

BRAAK..

Dengan kasar dan cepat, aku membuka pintu kamar rawat Louis. Keringat yang bercucuran deras di pelipis kanan-kiriku, kakiku yang lelah karena telah berlari jauh, serta nafas habis yang tak teratur tidak bisa mengubah semua ini. Di atas kasur putih itu, yang ku temuka tetaplah..

Tubuh Louis yang tak bernyawa.

"LOUIS!"

Aku cepat-cepat menghampirinya. Mengguncang-guncangkan tubuhnya berharap ruh-nya dapat kembali saat merasakan sentuhanku. Tapi dia tetap tidak bergerak. Warnah putih pucat mewarnai wajahnya. Nadi di pergelangan tangannya yang sudah tidak berdenyut ku genggam dan dekap erat, berharap kembali berdenyut setelah merasakan air mata yang mengenainya.

Tapi semua sudah terlambat.

Rasanya seperti ada bagian yang menghilang. Dan takkan pernah kembali.

Aku terus menangis memeluk jasad Louis.

Tubuh yang tadinya terasa hangat, kini menjadi sedingin es.

Namun tak lama, ada sebuah tangan yang membekap mulutku dari belakang. Membuatku terkesiap dan debaran jantungku makin menjadi-jadi..

"Diam, tutup mulutmu, dan jangan bergerak. Ini aku."

-bersambung-

Huwaa.. Goodbye Louis :'(

Maafin aku yaa :(

Btw, baca fanfic Harry Styles ku juga yaa hehe: Give Your Heart A Break. Buat yang suka Narnia, ada Georgie Henley juga disitu ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top