Chapter 25: It's Getting Worse
**Lilo's Pov**
Matahari semakin bersinar cerah, dedaunan kembali tumbuh diranting pohon yang kering, kelopak-kelopak bunga bermekaran, kupu-kupu dan sekelompok burung juga mulai terbang kesana kemari.
Musim semi telah dimulai.
Mungkin orang lain senang akan hal ini, apalagi hari-hari kelulusan sekolah akan digelar sana-sini.
Tapi tidak denganku.
Semakin lama, teror untukku semakin menjadi-jadi. Dan semuanya berisi sama bahwa, dia terus mengawasiku dan bersumpah akan melakukan sesuatu yang lebih buruk jika aku terus macam-macam. Macam-macam apanya? Mengenal si pelaku saja tidak. Apa yang telah aku perbuat dengannya?
"Uff.." Aku meremas dan langsung membuang kertas itu ke tempat sampah yang sudah penuh dengan ancaman teror. "This is suck!" Ku rebahkan tubuhku ke kasur. Sembari memijat-mijat pelan kepala, aku berpikir-pikir. Siapa yang kira-kira mengirim ini semua padaku.
"Atas dasar apa dia menerorku? Iissh"
Rasa gelisah mulai menghantuiku, tubuhku selalu bergidik tiap memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin dia akan menculikku, menyekapku, atau bahkan membunuhku.
"Arrgh!!" Dengan kesal, ku lempar semua bantal yang ada di atas kasurku. Tapi tentu saja rasa aneh ini tidak hilang juga. "Kelulusan tinggal sebentar lagi, apa lagi yang akan dia lakukan?! Ugh"
"Hey" Louis menepuk pundakku dengan tiba-tiba. Aku kembali mengangkat kepalaku setelah bertopang dagu lumayan lama. Menatap mata birunya yang penuh keheranan, kedua alisnya saling bertaut, "Apa?" tanyaku tak semangat.
"Akhir-akhir ini kau sering melamun," Ia menaruh tangannya ke belakang kepalaku dan mengusapnya lembut, "Ada apa sih? Masalah?"
"Masalah?"
"Dengan Niall lagi?" Raut wajahnya semakin menunjukkan rasa penasaran. Aku memindahkan posisi tangan Lou dan mengapitnya diantara pipi dan genggaman tanganku. "Bukan" jawabku pendek.
"Jadi kenapa?"
"Aku.." Kataku terpotong untuk menghela napas berat sejenak, "Kepikiran dengan hari kelulusan. Itu saja." Mata sayuku menatap raut wajah tidak percayanya. Dia memang tahu benar kalau aku sedang berbohong. Atau memang aku yang tidak pintar berbohong?
"Bohong."
"Memang." Jawabku pasrah. Sungguh, aku benar-benar tidak semangat hari ini. Entah kenapa rasanya aku ingin menghentikan hari kelulusan yang akan datang itu-jika aku bisa. Aku lagi-lagi bertopang dagu dengan sikut bertumpu pada kasur rumah sakit ini. Menatap benda-benda di kamar ini dengan kosong.
"Mau cerita padaku?"
"Aku malas bicara, Lou. Maybe later"
"Oh, ayolah" Louis mulai merengek padaku layaknya seorang anak kecil meminta mainan baru pada ibunya. Apakah sebaiknya aku menceritakan ini semua padanya? Aku takut itu akan memperburuk keadaan kepalanya jika dia terlalu khawatir memikirkanku. Tapi.. dia pacarku. Sebaiknya akan ku beri tahu.
"Aku diteror, Lou"
"APA" Dia langsung bangkit dari posisi bersandarnya. Matanya membelalak kaget akan kenyataan pahit ini. "Diteror siapa?" Benar kan. Raut wajahnya langsung khawatir.
"Kalau aku tahu, mungkin sudah ku geret dia kantor polisi. Bagaimana sih" ucapku pelan seraya memutar kedua mataku. Lagi-lagi menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan berat. "Tapi jangan teralu mencemaskanku, Lou. Aku masih baik-baik saja."
"Siapa yang mencemaskanmu? Wee" Louis menjulurkan lidahnya dengan wajah meledek.
Sialan dia.
"Jadi kau membiarkan pacarmu diteror? Hah?" Ku cubit saja punggung tangannya.
"Auuw, Louis bercanda! hhaha" Tawanya langsung membludak. Aku menyipitkan mataku padanya dengan sebal, dan kembali menaruh dagu ke atas punggung tanganku. "Lo, sebaiknya kau cepat lapor polisi"
"Itu yang kupikirkan daritadi."
"Lalu?"
"Aku masih beranggapan kalau dia salah meneror orang. Haha.." Aku tertawa renyah mengucapkan pengakuan konyolku. Rahang Louis turun saat itu juga. Mungkin dia beranggapan kalau aku masih bercanda padahal tidak. Aku serius.
"Aku tidak sedang bercanda, Lo"
"Aku juga, Lou"
Ia mengusap-usap dagunya seperti sedang berpikir, "Orangtuamu tahu?"
"Entahlah," jawabku seraya mengangkat kedua bahu, "Sepertinya ibu tahu. Soalnya dia yang menerima surat teror itu di depan pintu tiap hari" Aku memain-mainkan jemari Louis dengan bosan, tapi 5 jari itu berpindah ke bawah daguku, menariknya dengan lembut ke dekat wajahnya. "Huh?"
"Kau harus cepat melaporkannya, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan pacarku. Okay?" Louis mengusap-usap pipiku dengan ibu jarinya. Wajahnya semakin mendekat perlahan dan mencium sudut bibirku dengan cepat. Mungkin semacam steal a kiss.
"Aduh, Lou, kau ini apa-apaan"
"Hey, itu legal kan? Aku pacarmu!"
"Euh, iya sih." Aku buru-buru memalingkan wajah merah redupku ini.
Dengan penerangan hanya lampu meja saja, aku termenung memperhatikan boneka di atas kotak musik yang berputar-putar. Besok adalah hari H, dan malam ini rasanya ada yang mengganjal di hatiku. Mungkin lebih condong ke perasaan tidak enak.
Aku menggigit bibir bawahku, mengusap-usap dada berusaha untuk lebih tenang. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi aku belum mengantuk.
"Lilo.." Pandanganku berpaling pada Daisy yang membuka pintu kamarku, "Kau belum tidur?"
Aku menutup kotak musik dan menaruhnya di atas meja belajar, kemudian menghampirinya, "Kau sendiri juga belum?" tanyaku seraya menggandengnya masuk ke dalam.
"Aku.. boleh aku tidur denganmu?"
"Tidur denganku?"
"Ya" Ia mengusap-usap kedua mata sayunya. "Jangan bilang kau menginginkan Louis yang mengatakan ini" Ia menyipitkan matanya dengan ambigu. Astaga. Anak ini masih kecil dan sudah bisa berbicara ambigu?
"Bukan begitu haha, ya, kau boleh tidur denganku"
"Asiik" Daisy langsung membanting tubuhnya ke kasurku, "thanks"
"Yep," Aku berbaring di sebelahnya dan mematikan lampu, "Good night"
"Lo, Lilo!" Samar-samar aku mendengar ada yang memanggil namaku. Aku membuka mata perlahan dan langsung melirik jam. Bagus, siapa yang bangun di pukul 3 dinihari begini?
Ternyata itu hanya Daisy. Tapi tunggu, kenapa wajahnya seperti ketakutan begitu?
"Ada apa?" Aku langsung bangkit dan Daisy memelukku erat. Dia menangis dan matanya terpejam kuat. "Daisy, kenapa?" tanyaku seraya mengusap-usap punggungnya.
"Aku takut"
"Takut?" Aku mengerutkan kedua alisku dengan bingung, "takut kenapa?" Aku terus memeluknya erat agar dia berhenti menangis.
"Saat aku keluar dari kamar mandi tadi, aku melihat.."
"Melihat apa?!" Pencuri? Kalau iya, pasti dia sudah menangkap Daisy. Hantu? Tidak mungkin.
"Aku takut.."
"Cepat katakan! Buka matamu!" seruku tak sabar sampai-sampai reflek mengguncang bahu Daisy. Astaga, aku khilaf.
"Dari jendela itu.." Ia menunjuk jendela kamarku dengan masih terpejam, "Aku melihat bayangan laki-laki sedang merunduk. Dan kedua matanya.." Tangannya makin erat memelukku. "Sempat melirikku.."
Bayangan laki-laki? Dari jendela ini? Apa jangan-jangan.. pelaku itu sedang mengawasiku? Ini semua membuatku gila!
"Sebentar ya" Aku melepas kedua tangan Daisy yang melingkar di pinggangku dan langsung bangkit mendekati jendela. Tanpa ragu-ragu, aku membukanya. Tapi tidak ada apa-apa. Hanya ada halaman depan rumahku dengan rumput yang bergoyang tertiup angin malam.
Aku memutar kepalaku menghadapnya, "Tidak ada siapa-siapa"
Daisy memberanikan diri untuk membuka mata dan sedikit menengadahkan kepalanya melihat keluar jendela. Aku tahu, dia pasti tidak percaya 'bayangan' itu tidak ada dan yakin benar kalau dia melihat sesuatu dibaliknya.
Bzt.. bztt..
Okay, apa ini malam tahun baru hingga semua orang terbangun? Bahkan sampai-sampai menelponku.
"Sebentar ya"
Aku kembali menutup jendela dan bergegas meraih ponselku. Dan saat aku melihat ke layarnya, itu adalah..
Nomor tak dikenal?
Sambil berpikir-pikir, aku menggigit bibir bawahku. Ragu untuk mengangkatnya. Lagipula tumben-tumbennya ada yang menelponku sepagi ini. Apalagi setelah kejadian Daisy tadi. Aku melirik Daisy sekilas. Dia terlihat bingung menungguku mengangkat ponsel yang terus bergetar ini.
"Angkat tidak ya.." Jari telunjukku terus menepuk-nepuk ujung ponsel dengan bimbang. Tapi.. akhirnya aku pilih untuk mengangkatnya, "Ha-halo?"
"Katakan kau tidak akan macam-macam." Suara berat seorang pria terdengar di 'seberang' sana.
"A-apa? Wait.. who's this?!"
"Katakan kau tidak akan macam-macam setelah 'calon adik ipar'-mu itu melihat salah satu dari kami!"
"Jadi kau orangnya?! Dan apa maksudmu dengan 'kami'? Kau berjumlah banyak, seperti itu? Hah?"
"Katakan saja kau tidak akan macam-macam! CEPAT"
"Kau pikir aku akan melakukan apa? Aku bahkan tidak mengenalmu! Dan asal kau tahu, aku akan segera melaporkanmu."
"Begitu ya? Kau tidak takut dengan teror kami selanjutnya?"
"Tidak," Aku mengulum senyum sinis. "Kau--maksudku kalian, bahkan hanya bajingan yang salah meneror orang. Haha"
"Dan dengan ini, kau resmi merelakannya seutuhnya untuk kami"
Senyumku memudar. Wajahku menegang setelah mendengar itu, "Maksudmu?"
"Sayang, kau merelakannya begitu saja pada kami. Terimakasih. See you soon, honey!"
"Apa?! Tidak! Maksudmu apa?!"
tuut.. tuut.. tuut..
Terlambat. Orang itu sudah mematikannya. Aku mengacak-acak rambutku sendiri dengan frustasi. Karena kesal, aku membanting ponsel ke lantai hingga hancur berantakan, terduduk lemas di atas kasur, dan menutup seluruh wajah dengan kedua tangan.
"Lo, ada apa? Tadi itu siapa?" Daisy beranjak dari tempat tidur dan menggucang-guncangkan bahu kiriku. Aku.. benar-benar tidak tahu siapa maksudnya. Mungkin sebentar lagi, dia tidak hanya menerorku. Tapi juga orang-orang terdekatku.
**Author's Pov**
"Lihat?" Lelaki bertubuh besar itu kembali menaruh ponselnya ke saku. Di wajahnya, terhias senyuman licik penuh kemenangan. "Aku sudah memberi tahumu. Dia tidak mencintaimu. Bahkan rela membuangmu begitu saja pada kami"
"No way! Dia tidak mengetahui kalau yang kau maksud adalah aku! Uughh" Pemuda itu berusaha melepaskan kedua tangannya yang ditahan kuat oleh 2 pria besar lainnya.
"Dia bahkan mengucapkannya sebelum aku mengatakan untuk merelakanmu. Cukup niat, bukan, gadis itu?"
"Diam kau!! Ugh!"
"Hey," seseorang yang baru memasuki ruangan berjalan menghampirinya. Dengan jari-jarinya, ia mengangkat pelan dagu pemuda ini. Menunjukkan wajah memarnya dengan jelas.
"Kau lagi! Kau yang membuatku masuk kesini! Aku kira--"
"Yeah, sudah lama tidak bertemu. Waktu itu kita hanya sekali bertemu, kan? Apa kabarmu? Merindukanku? Hm?"
"Jangan pernah menyentuhku!" Ia menyingkirkan tangan tersebut dari dagunya, "Dan jangan ganggu dia! Kenapa kau begitu membenci kami?!" Matanya membesar karena geram.
Dia duduk di atas sofa dan tersenyum sinis. Menganggap enteng pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, "Tidak. Aku tidak membencimu.. dulu. Kenyataannya adalah, aku membencinya. Aku telah lama menyimpan dendam ini. Kau tahu?"
"Lagipula dia tidak pernah melakukan apa-apa!"
Lagi-lagi senyum sinis terhias di wajahnya, "Dendam itu tidak lain, tidak bukan adalah.. kau! Dan aku ingin dia ikut merasakannya! Jadi..." Saat itu juga, semua pria besar yang ada di ruangan itu, menondongkan pistol ke pemuda tak berdaya ini. "Ada kata-kata terakhir?"
Ia menunduk. Menghela nafas berat dan pasrah. Ia benar-benar lemah dan yang ada di pikirannya saat itu hanya satu. Tak bisa terucapkan dengan kata-kata, dia terlalu dan selalu menyayanginya. Sosoknya tidak akan pernah lepas dari pikiran dan hati terdalamnya. Itu semua berat.
"Kau-terlalu-lama-Tomlinson" Dia bangkit dan mengkodekan pada semua pria besar itu. Mereka mengangguk. "Good-bye."
-bersambung-
Kenapa lama-lama jadi Misteri-Horor gini ya? -_-
Maaf kalo ada typo :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top