Chapter 19: You?

TOK.. TOK.. TOK..

 

"Permisi..." ucapnya pelan.

Tepat disaat itu juga, terlihat tangan orang itu berubah menjadi kepalan sampai-sampai urat tangannya cukup terlihat. Lilo menyesali hal itu! Ia baru menyadari kalau yang baru saja ia lakukan adalah hal bodoh! Sekarang, mungkin saja ia akan menjadi salah satu korban si pasien depresi ini.

 

"GRRR..." Suara murkanya terdengar cukup keras. "SUDAH KU BILANG!!! AKU TIDAK MAU MAK--"

 

Lilo's Pov

Pria yang memakai masker hijau kebiruan itu langsung diam begitu menatapku. Matanya menatapku dari bawah sampai atas.

"Oh, sorry for bother you. Aku hanya mau mengembalikan ini"

Aku menaruh salah satu mangkuk yang tadi dilemparnya. Karena mangkuk ini satu-satunya benda plastik dan barang yang 'selamat', aku pun memilih untuk mengembalikan.

"Err.. Itu saja" Aku menggaruk leher belakangku. "Um, yeah, k-k-ku rasa aku harus pergi. Get well soon"

Awkward? Memang. Bagaimana tidak? Sekarang aku sedang berdiri di depan orang yang depresi walaupun jaraknya tidak dekat. Bisa saja aku ikut dibanting seperti suster tadi. Dan aku tidak mau sampai terjadi.

Aku melangkahkan kakiku keluar kamar sampai akhirnya mendengar teriakan pria itu.

"WAIT!!"

BRAAK..

Mendengar suara jatuh, cepat-cepat ku balik badan. Mangkuk tadi? Bukan. Tapi dia. Sepertinya pria ini bangkit dari kursi rodanya dan ingin mengejarku. Ia jatuh dengan posisi telungkup. Layaknya anak bayi yang gagal berjalan sendiri. Dia mencoba untuk bangkit sekali lagi, namun kembali jatuh.

"UGGHH!!!! DASAR KAKI TERKUTUK!!!" jeritnya sembari memukul-mukul kaki sendiri.

Aku yang sedikit iba melihatnya memutuskan untuk menghampiri dan membantunya. Semoga tidak terjadi hal-hal yang mengerikan..

"A-Are you okay, sir?" Aku berlutut di depan tubuhnya yang jatuh. "Ada yang sak--"

Tepat saat mata kami saling bertemu, mata biru berliannya itu menyadarkanku sesuatu. Sesuatu yang daritadi tidak ku sadari dan duga. Keadaan hening seperti ini membuatku mengerjap mata tak percaya. Yang memiliki mata seperti ini hanya...

"..Lou..? Lou, is this you?"

Aku menyentuh kedua pipinya dan perlahan membuka masker yang menutupi wajah.

Wajah yang selama ini ku tunggu-tunggu untuk datang di hadapanku. Wajah yang masih menunjukkan memarnya karena tinjuku di belakang sekolah. Wajah yang selalu ada di kala ku sedih... sekarang benar-benar nyata di depanku.

Nafasku tercekat. Sekali lagi, aku mengerjapkan mata begitu melihat wajah penuh luka dan memar Louis di balik masker tadi. Tanpa ku sadari, air mata turun begitu saja.

"Y-Yes.. this is me. Louis."

God.. mungkin aku hanya bermimpi!! Aku pasti masih terbaring karena pingsan setelah menyilet tanganku!! C'mon! Bangunkan aku! Bangunkan aku! Mataku terus terpejam hingga aku merasakan 2 buah ibu jari berada pada pipiku.

"Don't cry.." Aku menatap senyum kecilnya. "Kau jadi jelek"

Baru menangis semenit saja, ia mengatakan kalau aku jelek. Bagaimana kalau dia lihat wajahku di hari-hari kemarin?

"I thought you were dead.."

"Tapi aku disini sekarang, kan?"

"Yea.."

"Kalau begitu jangan mena--"

Dengan sigap, aku memeluk Louis dan mendekapnya erat-erat. Tidak ingin kehilangannya lagi. Untuk yang kedua kalinya. Ia memelukku balik sembari mengusap-usap kepalaku. Pelukannya masih sama seperti dulu. Masih sehangat yang dulu. Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan melayang di pikiranku.

"Lou" Aku melepas tanganku dari punggungnya. "Bagaimana kau bisa sel--"

"Ssstt..." Saat aku hendak melepas pelukan, ia justru makin mendekap. "Jangan hancurkan suasana! Kau pasti merindukanku kan?"

Aku hanya tersenyum. Memang benar. Aku merindukannya. Mungkin aku menyimpan pertanyaan ini saja dulu. Dan sepertinya, ia membaca pikiranku. 

Singkat cerita, Uncle Si ikut menangis bahagia begitu tahu Louis masih hidup dan selamat. Tiap hari, pagi-pagi sekali, aku selalu pergi ke rumah sakit menjenguknya. Tiap aku masuk ke kamar rawat, ia pasti joget-joget atau melakukan 123.. flick di atas kursi roda dan kasur. Hm-_-

---

"Makan siang siap.."

Seorang suster datang disaat kami berdua sedang mengobrol. Tangannya membawa makanan untuk Louis. Mungkin suster ini salah satu 'korban' Louis, karena dari tatapannya, ia seperti takut dan ragu-ragu dihadapannya.

"Oh, okay"

Aku menerima makanan itu dan menaruhnya di pangkuan Lou, kemudian membalasnya dengan senyum ramah. Louis justru menatap suster ini dengan tatapan sinis dan jengkel.

"Hhh... makanan ini lagi! Huh" Ia memalingkan wajah.

"Lou, seharusnya kau berterimakasih padanya!"

"Thanks. Sudah"

Aku hanya menghela nafas dan membuka plastik yang menutupi semua makanan itu, lalu membuangnya.

"Nah, sekarang makan"

"Err.. menurutmu aku benar-benar harus memakannya?"

"Yep"

Ia melirik suster yang menatap Lou dengan penuh harap sekilas kemudian memutar bola mata birunya.

"Okay, I will. Tapi karena pacarku saja yang memintanya"

Hah? Pacar?

"Awas saja kalau rasanya menjijikan. Karena semuanya sudah terlihat dari penampilannya. Euw"

Ia menyendokkan sedikit sup dan menyiumnya sebelum dilahap, kemudian mengernyitkan hidung. Tidak sopan.

"HUUEKK.." Tanpa peduli dengan keberadaan suster, ia langsung melempar sup ke arah seragamnya. "TERRIBLE!! HORRIBLE!! AND DISGUSTING!!"

"No, Lou--"

"Pergi sana!!! Melihatmu disini, makin terasa menjijikan!" Kini ia mendorong suster kencang. Dengan tatapan antara takut dan kecewa, sang sustye pun pergi meninggalkan kamar ini. Ada apa dengan Louis! Kenapa jadi pemarah begitu?

"LOU!! Kau tidak boleh seperti itu!"

"Kenapa memangnya?! Masakannya hambar! Dan aku tidak suka!"

"Tapi hargai ia sedikit!! Lagipula ia sudah baik mengantarkan ini padamu!"

"Itu memang pekerjaannya! Babu sang dokter!" Mataku membelalak kaget begitu mendengar bentakannya. "Kau pikir selama aku disini, mereka semua menghargaiku?! TIDAK!"

"Tidak bagaimana?"

"Dokter yang menyebalkan itu menyebutku depresi, padahal tidak! Terlebih para suster menyebutku psikopat! Itu yang harus ku hargai dari mereka?"

"Mereka menyebutmu begitu karena kau hobi marah-marah dan kasar pada mereka"

"Itu karena--argh..." Ia meremas rambutnya sendiri. Tapi tiba-tiba saja ia menggenggam kedua tanganku. "Kau tidak tahu betapa tersiksanya aku tanpamu?!"

"K-Kau.. tanpaku?"

"Kau tidak tahu kan kalau aku mati-matian menahan sakit untuk sampai kesini? Padahal keluargaku saja tidak tahu dimana! Kau tidak tahu kalau aku hampir gila saat divonis lumpuh oleh dokter? Padahal aku berniat untuk kembali ke Doncaster jika aku baik saja! Kau juga tidak tahu kalau siang dan malam aku terus menatap jendela dengan kosong berpikir sedang menunggumu untuk datang! Kau tidak tahu kalau itulah penyebab mereka menganggapku gila!"

"Lou, stop--"

"Kau juga tidak tahu betapa bencinya aku pada mereka hingga aku kasar begini!! They deserve it!!"

"Louis, stop that!" Aku memejamkan mata untuk sementara dan kembali buka suara. "Kau juga tidak tahu betapa tersiksanya kau tanpamu kan?!"

"Hah?"

"Saat mendengar berita-berita di tv, tidak ada hari tanpa tangisan! Aku bahkan tidak nafsu makan! Mimpi-mimpi buruk selalu datang tentangmu! Terlebih halusinasiku tentangmu!"

"Halusinasimu? Tentangku?"

"Ya! Bayanganmu selalu menghantuiku! Aku terlalu stress dengan itu hingga akhirnya.." Berusaha untuk membesarkan nyali untuk mengatakan yang selanjutnya. "Setan berbisik padaku untuk melakukan ini"

Aku menggulung lengan baju hingga sikut dan menunjukkan bekas-bekas siletan yang masih ada. Sangat jelas. Diperjelas dengan nama Louis diatasnya. Terbuat dari kulit-kulit yang luka.

"Gosh.."

"See?"

"You shouldn't have to this!"

"But I did! Dan kau juga tidak seharusnya melampiaskan semua itu pada mereka"

"Lo, listen to me, I'm so--"

"No, it's okay. I'm fine" Aku kembali menurunkan lengan bajuku.

"It was my fault, right?"

"I said, It's okay!" Ia sekarang diam dan tertunduk. Terlihat kecewa dan menyesal.

"Aku punya satu permintaan untukmu, Lou"

"What is it?"

"Tolong jangan kasari mereka lagi. Okay?"

"Um.."

"Please.. for.. ehm.. your--your g-g-girlfriend..?"

Kini matanya membesar. Aku bisa baca pikirannya. Sepertinya ia baru sadar apa yang ia katakan sebelum-sebelumnya.

"W-Well.. I guess.." Wajahnya jadi redup memerah. Tampangnya jadi lucu! Tanpa bicara terlebih dulu, aku mencubit kedua pipinya kencang-kencang.

"Ooohh~ Tomlinson!! Kau imut sekali!! Umumu.."

"Hey!! Jangan kira aku sudah tidak bisa bersenang-senang ya!! AHAHAH!!" 

Sekarang gantian ia menyubitku. Nah. Ini yang paling ku tunggu-tunggu dan rindukan! Candaan dan tawanya! Bukan marah-marahnya! Ahaha

----

Walaupun dingin, segar udara pagi tetap saja terasa. Dan udara pagi bagus untuk kesehatan. Itu juga sebabnya aku membawa Louis jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Ya, masih dalam kawasan rumah sakit. Beruntung hari ini tidak sedang hujan salju.

"Lou, agak dingin juga ya.. kenapa kau membawaku jalan-jalan?" Aku memeluk diriku sendiri.

"Hoy.. kau yang membawaku jalan-jalan!"

"Oiya ya"

"Bokongku beku, Lo"

"Lalu aku harus apa! Memanaskannya dengan hairdryer seperti dulu?!"

"Whatever bocah cilik" Ia menjitak kepalaku pelan. "Jangan durhaka pada daddy yang sedang kedinginan"

"Huft.." Awalnya, berniat membalas jitakan, namun ku pendam. Hanya meniup poni saja.

"Oh ya, anyway, maafkan aku belum memberimu hadiah.. hiks.." Mulai.. Louis mulai kembali overacting.

"Makanya, jangan jadi daddy yang durhaka pada anaknya! Huuh"

"Iya maaf" Wks. Pasrah? "Oh ya, omong-omong, kau dapat hadiah dari siapa saja?"

"Err.. Uncle Si. Hanya Uncle Si"

"Cuma Uncle Si? Lho? Orangtuamu?"

"Bodoh, aku kan ulang tahun saat sedang liburan. Mungkin belum"

"Mm.." Ia mengangguk mengerti layaknya orang waras *eh jahat banget*. Aku menggosok-gosokkan kedua tanganku walaupun agak percuma.

"Oh iya!"

"What?" Kepalaku kembali terarah padanya.

"Kau tidak dapat hadiah dari Niall?" DEG. Pertanyaan itu-sukes-membuatku-jantungan. "Apa kabarnya dia?"

-bersambung

Naahh... Louis-nya ga meninggal kaan, jadi jangan gusur rumahkudong-_- haha canda deng ;9

Anyway, kayanya alur cerita yang tengah-tengah rada awkward ya? Haha..

Makasih banyak udah baca! Inget ya! Masih bersambung lho :-)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top