Chapter 15: Move On, Lo!
N.B.: Seribu maaf kalo chapter ini mirip sama Twilight Saga.
Terus, kayanya chapter ini garing+aneh banget ya? Haha
xxx
Happy Reading~
-----------------------------------------------------
**Lilo's Pov**
TOK.. TOK.. TOK...
"Lilo!!! Cepat buka pintu!!"
"Kau harus sekolah!"
"Guuk.. gukk.."
Argh.
Ayah dan ibu daritadi terus memaksaku untuk keluar kamar. Bahkan Pony pun ikut-ikutan menggonggong. Sedangkan daritadi, aku masih saja berada dalam pelukan selimutku. Belum mandi atau apapun segala macamnya. Padahal ini masih hari sekolah, tapi aku tidak peduli.
Maksudku, c'mon! Kebanyakan murid datang ke sekolah hanya untuk teman-teman. Bukan belajar. Dan sekarang temanku satu-satunya sudah pergi dari kota ini. Bahkan negara ini. Walaupun ia belum pergi dari hatiku (eaa).
"LILY, KAU BUKA PINTU ATAU AYAH MENDOBRAKNYA!!"
Argh. Dobrak saja. Aku tidak peduli. Toh, kalau rusak diganti bukan dengan uangku. Tetap uang ayah juga. Whatevs. Aku memeluk gulingku dan membalas seruan ayah,
"DOBRAK SAJA KALAU AYAH TIDAK MAU RUGI"
Justru yang ku dapati adalah hening. Mungkin ayah berpikir ulang dengan niatnya itu. Baguslah. Itu artinya aku tidak usah ke sekolah. Nilai A-Level-ku lumayan bagus. Bolos beberapa hari tidak masalah sepertinya.
Aku meraih ponselku dan melihat wallpaper lock screen. Great. Jadi teringat Louis kembali. Dengan rambut setengah kering sambil memegang hairdryer milikku, ia berfoto seaneh-anehnya.
Did you know? Di ponselku banyak video-video dan fotoku dengan Louis. Terlalu banyak malah. Aku membuka salah satu video.
"Hey~"
Wajah Louis paling pertama muncul. Ia masih memakai piama teddy bear dan rambut khas bangun tidur.
"So, hari ini aku, adik-adikku, dan keluarga Greimas akan merayakan ulang tahun Lilo yang ke-17! Kami sengaja datang kesini malam-malam untuk membuat surprise untuknya! Sstt...dia masih tidur dan aku diam-diam mengambil ponselnya! HAHA"
Tak lama Phoebe dan Daisy datang dan bergabung dengan Louis.
"Hey hey! Lihat adik-adikku ini! Tidakkah mereka mirip?"
Phoebe dan Daisy melambaikan tangan mereka.
"Oh iya ya! Mereka berdua kembar! Haha... Hmm.. jam berapa ini?"
Louis pun menatap jam dinding rumahku.
"Owh, 11.59! Kita harus bersiap! Ikuti aku!"
Louis berlari kecil ke tempat ayah&ibu, Lottie, dan Felicite berkumpul. Diikuti Phoebe&Daisy di belakangnya. Lottie membawa plastik-plastik yang menggembung seperti balon, sementara Felicite membawa kue ulang tahun dengan lilin '17' di atasnya. Dengan headband ala-ala Rambo, Louis menyuruh mereka semua memindik-mindik masuk ke kamarku. Dia mengambil salah satu plastik yang ada pada Lottie dan mendekatkannya pada telingaku.
"Hitung sampai sepuluh ya.." bisiknya pelan.
"1... 2... 10!!"
DOOOR!!!
"WOOAA" Louis memecahkannya dan suara itu mempengangkan telingaku. Aku pun terbangun.
"SURPRISE!! Happy birthday Lilo... Happy birthday Lil--"
Sebelum video itu selesai, aku langsung mematikannya. Terlalu indah untuk diingat lagi. Aku pun bangkit dan keluar dari selimutku. Pintu lagi-lagi digedor oleh ayah dan ibu. Namun aku bangkit bukan untuk mandi atau membukakan pintu, justru berdiri di depan cermin. Aku menatap bibirku dan lagi-lagi teringat hal 2 hari yang lalu. Hal yang takkan ku lupakan seumur hidupku.
First Kiss. Dengan Louis Tomlinson...
"Because.. I keep it for you.. Just-for-you."
"I keep it for you.."
"Just-for-you."
Kata-kata itu masih terus berputar-putar di pikiranku. Kenapa dia baru mengatakannya disaat ia harus pergi? Dan kenapa aku tidak menyadari kalau ia berperasaan sama? Argh..
"Lilo! Hey Lilo!! Keluarlah!!! Aku disini!!"
Tiba-tiba suara seseorang yang memanggilku memecah lamunan. Tidak. Bukan dari pintu kamar. Tapi dari luar jendela kamarku! Aku buru-buru mengintip keluar dan ASTAGA... Itu.. itu..
LOUIS??!!!!!!
"HHH!!" Aku terkesiap dan menutupi mulutku dengan tangan. Bukannya dia sudah berangkat kemarin? Kenapa sekarang dia di depan pagar rumahku? Dengan berseragam sekolah lengkap?! IMPOSSIBLE!
"LOUIS!!!" seruku tak percaya.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil mengerjap mata dan ku pukul pipiku sendiri. Sakit. Itu artinya ini bukan mimpi. Atau saat dia berangkat ke Belfast adalah mimpi? Ku harap begitu.
Sekali lagi aku menatapnya dari bawah sampai atas. Kakinya berpijak pada tanah. Dan tinggi badannya masih sama.
"Hey! Cepat ganti baju!! Kita berangkat ke sekolah bersama!!" serunya sambil melambaikan tangan.
Alright, entah ini mimpi atau bukan, yang pasti aku tidak akan menyia-nyiakan waktu untuk bertemunya [lagi].
Aku menatap diriku. Ya Tuhan.. berantakan sekali. Aku harus cuci muka!! Tidak ada waktu untuk mandi!
"Oke!! Tunggu aku!" seruku balik.
Ia mengangkat ibu jarinya. Dengan terbirit-birit, aku berlari ke kamar mandi yang ada di kamarku. Mencuci muka, gosok gigi, rapikan rambut, ganti baju, dan VOILA! Aku siap!
Aku membuka kunci kamarku dan masa bodoh dengan ekspresi bahagia ayah, ibu, dan Pony. Aku berlari ke meja makan dan mengambil roti secepat kilat. Memilih untuk memakannya di jalan bersama Louis.
KLEK..
"Louis~ Aku si--"
Namun saat membuka pintu rumah, Louis tidak ada. Bekas jejak sepatunya di tanah juga tidak ada. Yang aku lihat justru dedaunan gugur berterbangan.
"Lily!" Ibu cepat-cepat menghampiriku dan langsung merangkulku.
"Akhirnya kau keluar kamar.."
"Bu.."
"Hm?"
"Lll.. Louis mana?"
"Kau ini bicara apa? Dia kan sudah berangkat ke Belfast"
"Tidak!!" jeritku. "Tadi aku lihat dia di depan pagar! Aku melihatnya dari jendela kamar! Bahkan ia memanggilku!"
"Mungkin itu suara ayah dan ibu. Kau salah dengar"
"Aku jelas-jelas melihatnya!!!" Aku bersikeras meyakinkannya. Air mataku bahkan keluar.
Hingga akhirnya ku rasakan angin berhembus yang menyadarkan pikiranku.
Aku berhalusinasi.
"Nak, memang susah merelakan sahabat terdekat pergi begitu saja.." Ibu mengelus-elus pundakku. Aku hanya diam bergeming menatap pagar rumahku. Yang seharusnya ada Louis disitu.
"Tapi itulah yang harus kau terima. Lagipula masih ada Niall, bukan?"
"JANGAN SAMAKAN LOUIS DAN NIALL!!!" Sergahku kesal.
Tentu saja! Louis? Orang sebaik dan berharga seperti dia disamakan dengan Niall? Yang menyebalkan dan (maaf ya) mun*fik itu? Iishh..
"Alright! Alright! Calm down! Ibu minta maaf. Lebih baik sekarang kau berangkat dengan ayah saja ya"
Aku menyeka air mataku dan mengikuti ibu masuk ke dalam rumah.
--------------------------------------
Aku melangkahkan kaki ke dalam kelas. Mataku langsung tertuju pada bangku Louis di belakang bangkuku. Dengan berat hati, aku menurunkan tasku dan duduk diam. Ya. Diam. Diam saja. Siapa memangnya yang harus ku ajak bicara?
Argh.. aku memang berharap kalau Lucy Oliver tidak akan pernah muncul lagi di depanku. Dan ya. Ia tidak muncul, begitu juga Louis. Grr..
"Hey, Lilo bolo!"
Tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang. Mataku membesar dan napasku terhenti.
"Aku boleh pinjam pr-mu tidak? Aku belum mengerjakannya!"
Ah! Suara ini ku kenal! Kenal sekali! Itu pasti milik Louis!! Aku buru-buru mengambil buku pr-ku dari tas dan berniat memberikannya pada Louis.
"Ini, Lou--"
Saat aku berbalik, tidak ada siapa-siapa. Bangku Louis tetap kosong dan di belakang kelas hanya ada sekumpulan anak perempuan sedang bergosip dan membenahi make-up mereka. Aku mengacak-acak rambutku dan membaringkan kepalaku di atas meja.
Tuhan.. ada apa denganku pagi ini!! Apa kepalaku tak sengaja terbentur saat tidur? Atau jangan-jangan Louis.. no no no no!! Tidak mungkin! Jangan sampai terjadi! Lilo.. kau jangan berpikir macam-macam!!
Uuh.. Semoga hari ini cepat berlalu! Aku ingin segera pulang!
-------------------------------
Aku sedang memperhatikan penjelasan guru di depan kelas sampai akhirnya ada yang menarik-narik rambutku di belakang.
Sret.. sret.. sret..
Awalnya ku fine-fine saja dengan itu, namun lama-lama itu mengganggu. Aku memutar kepala untuk melihat siapa yang menarik rambutku. Ternyata itu pemilik bangku di belakangku. Louis.
"Lou! Hentikan menarik-narik rambutku!" bisikku.
"Haha.. sorry! Louis sedang jenuh! Haha" Tawanya pecah.
Aku memutar kedua mataku. Saat aku berbalik ke depan, entah kenapa Niall menatapku dengan tatapan aneh dan heran dan bingung.
"Apa lihat-lihat!"
"Um.. kau.. berbicara pada siapa?"
Aku membalas tatapannya dengan aneh juga.
"Kau ini bicara apa? Tentu saja Louis! Ya kan Lou--"
Aku menatap ke belakang lagi dan seperti biasa. Kosong. Dia tidak ada. Lagi-lagi halusinasiku.
"Louis?" tanya Niall mengangkat satu alis.
"Erm... Sudahlah! Tidak usah tanya-tanya lagi! Bukan urusanmu" Aku mendorong kepala Niall agar berpaling ke depan kelas. Astaga.. hentikan ini semua. Ini membuatku gila, ya Tuhan! Aku memijat-mijat kepalaku sendiri.
----------------------------------
Di halte bus, hanya ada aku sendiri. Sudah lumayan lama aku duduk disini. Namun bus belum juga kelihatan. Lebih baik aku membaca buku saja sembari menunggu.
Semakin lama, angin makin berhembus lumayan kencang. Dapat membuatku menggigil sedikit. Blazer sekolah yang menurutku cukup tebal pun sudah tidak berguna dan bisa dibilang, terasa seperti baju biasa. Bukan blazer lagi. Aku menutup buku dan memasukkannya ke dalam backpack-ku. Sejenak melihat ke kanan dan kiri berharap ada bus yang lewat.
"Lilo!!! Hey!!"
Dari seberang jalan di sana, ku dengar ada yang memanggilku. Aku mencari-cari orangnya dan lagi-lagi.. ku lihat Louis sedang melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Aku membalas lambaian tangannya.
"Heeyy Louis!!!"
Seiring dengan angin yang berhembus, tubuhnya seperti hendak ikut menghilang. Ia melambai-lambaikan tangannya.
"Daaah Lilo~"
Mataku membesar. Tidak. Aku tidak boleh kehilangannya. Aku tidak mau Louis pergi.
"Louis!!! Jangan pergi!!! Aku akan kesana!" jeritku.
Aku mulai melangkahkan kaki ke jalanan yang bukan zebra cross dan berlari kecil ke arahnya sebelum ia menghilang. Semakin lama, tubuhnya semakin samar-samar. Aku mempercepat langkahku tanpa melihat ke kanan dan kiri.
Sampai akhirnya, tanpa ku sadari, sebuah bus di kejauhan, melaju cepat menuju ke arahku. Aku memalingkan wajahku dari Louis dan menatap bus itu dengan perasaan panik.
Diin.. diin..
Bus itu mengklakson dan terus melaju. Entah kenapa lututku mendadak lemas untuk berlari menghindar. Aku diam di tempat dan memejamkan mataku. Oh tidak, tamatlah riwayatku!
Aku mendengar suara mesin bus itu semakin mendekat... mendekat.. dan...
"AWAAASSS!!!"
"Aaaaakhhh!!!!"
Aku refleks menjerit begitu ku rasakan ada seseorang yang menarik tanganku menuju belakang. Yang ku rasakan setelah itu adalah, aku tidak lagi berpijak pada tanah dan serasa terlempar kemudian jatuh. Tidak. Bukan ke tanah. Tapi ke pelukan seseorang.
Aku membuka mata dan menyadari kalau aku sekarang berada di trotoar lagi. Tepatnya di samping halte tempat ku menunggu tadi. Di sekelilingku juga ada tangan berkulit putih pucat. Aku menatap ke belakang. Ini orangnya. Orang yang menolongku sedang tersungkur di bawah tiang halte. Sepertinya punggunya terbentur.
"NIALL?"
"Hhh.. hh.. hhh.." Napasnya tidak teratur. Mungkin masih shock dengan apa yang terjadi tadi.
Aku menyingkirkan tangannya dengan paksa dan bangkit. Cepat-cepat mataku tertuju pada sisi seberang jalan. Great. Louis sudah tidak ada.
Niall ikut bangkit dan membersihkan seragamnya sejenak.
"Urrghh!!" Aku mendorongnya dengan kesal hingga ia menabrak tiang halte lagi.
"Apa-apaan sih!!!"
"Kau yang apa! Karenamu, Louis sudah tidak ada! Seandainya kau tidak tarik tanganku, aku pasti sudah bertemunya di seberang sana!!"
Ia menatap trotoar di seberang sekilas.
"Dan kalau tidak ada aku, kau sudah tewas tertabrak bus! Konyol!"
"Tapi Louis jadi menghilang!!!"
"Aku sudah tahu semuanya, Lo"
Apa? Apa maksudnya? Ia tahu kalau Louis akan menikah dengan Lucy?
"Kau harus merelakan Lucy dengan Louis!" Ia menatapku dalam-dalam. "Louis yang ada di kelas tadi dan Louis yang di seberang jalan itu hanya halusinasimu saja!"
"Tapi Lou benar-benar ada di seberang sana!!"
"Lo, kau har--"
"Aku lihat Louis tadi!"
"Lil--"
"Louis masih disi--"
"LILO! Just--argh.. kau harus move on! Yang kau butuhkan adalah move on! Okay?"
Tak terasa air mataku mengalir begitu saja.
Move On?
Dengan mudahnya Niall menyuruhku Move On? Aku sendiri kurang yakin kalau dia sudah bisa move on dariku. It's hard.
"Aku tidak bisa, Niall! Jangan mudahnya berkata begitu!"
"Setidaknya kau tidak membayangkannya lagi. Karena dengan kau membayangkannya, itu hanya jadi pengaruh buruk bagimu"
Aku membelalak kaget. Apa yang barusan ia katakan? Pengaruh buruk? Louis pengaruh buruk katanya?!
PLAAK...
Sebuah tamparan dari tanganku mendarat empuk di pipi kemerah-merahannya itu. Tentunya tambah merah karena tamparanku.
"Louis bukan pengaruh buruk!! Kau yang pengaruh buruk!" Aku berteriak sekencang-kencangnya di depan wajah shock Niall. Ia memegangi pipinya.
"Kau menyuruh Louis untuk menjauhiku, dan voila! Selamat! Kau berhasil! Ia pergi jauh dariku untuk selamanya!"
"Lo, kau salah paham"
"Aku sangat paham"
"Tidak"
"Ya"
"Tidak"
"Whatevs, terserah kau berpikir aku paham atau tidak! Aku pulang saja"
Aku berbalik badan dan mulai melangkahkan kakiku ke jalan beraspal. Namun aku hampir tertabrak lagi begitu ada motor melaju kencang di depanku. Untung saja Niall menarik tanganku lagi. Masih dengan degup jantung yang tegang, aku menatap Niall.
"Whatevs, terserah kau berpikir aku jahat atau tidak! Biar aku yang antar kau pulang. Hm?"
Ia membalas kata-kataku dan menaikkan satu alisnya. Agak berat hati juga. Namun terpaksa daripada aku mati tertabrak kendaraan.
---------------------------------------
"Lily.." Ibu duduk di sebelahku yang meringkuk di atas tempat tidur. Menatap kosong ke arah jendela.
"Niall sudah cerita pada ibu"
"So?" Aku tetap menatap keluar jendela kamar.
"Kau berhalusinasi Louis di kelas dan jalanan, bukan?"
"Uh-huh"
"Mungkin kau harus refresh-ing dari penatnya kesibukan sekolah. Otakmu terlalu lelah"
Aku diam. Entah harus jawab apa. Yang ku tahu, perkataan ibu itu benar. Lelah dengan sekolah.
"Jadi.. ibu memanggil Uncle Si kesini untuk menjemputmu"
Mataku membelalak. Saat itulah mataku berpaling pada wajah ibu. Uncle Si? Akan menjemputku?!
-bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top