Chapter 14: The Truth (Part I)

Ini chapter kesukaanku! Dari kemarin-kemarin ga sabar nunggu buat nulis chapter ini! Akhirnyaa~

N.B.: Sengaja saya bikin 2 part soalnya ini bakal panjang banget.

---

Author's Pov

"Hello?"

"Ha.. halo, Louis?"

"Oh.. itu kau Niall.."

"Lou, aku ingin bertanya padamu"

"Hhh.." Louis menghela napas panjang sejenak. "Apa?"

"Jujur padaku, kau telah melanggar janjimu?"

"Janji mana?"

"Setelah kau pulang dari bioskop"

"..."

 

Sementara itu di rumah Lilo, ia sedang meringkuk memeluk kedua lututnya di atas kasur. Memandangi daun-daun berguguran dari jendela kamar. Sambil mengenang persahabatannya dengan Louis dan Niall. Mengenang. Ya, kenangan. Tinggal kenangan.

Louis  yang konyol, Niall yang jealous.

Saat digendong Louis karena kakinya terkilir, nonton basket berdua dengan Niall, main sepeda tandem bertiga.

Semuanya lengkap ada di pikirannya sekarang.

Mengingat mereka dulu rasanya nyaman dan indah. Sampai bisa membuatnya senyum-senyum sendiri.

Namun begitu melihat persahabatan mereka sekarang. Air mata bisa tumpah begitu saja.

Persahabatan mereka telah pecah.

Louis sibuk dengan pacar barunya, dan ia juga tak menyangka Niall bisa sejahat itu. Ia ternyata masih tak berhenti mengejar Lilo. Andai saja dia bisa memutar balik waktu semudah membalikkan jam pasir. Kembali ke masa-masa indahnya. Dan kalau bisa, ia juga akan berpikir ulang untuk menyukai Louis.

Entah kenapa sekarang Lilo teringat saat ia memukul Louis kemarin. Itu adalah pukulan asli pertamanya yang dilayangkan ke Louis. Seumur hidup. Padahal Louis dulu baik sekali dan peduli padanya.

"Hhh.. jadi merasa bersalah.."

"Apa aku harus minta maaf?"

"Ah, tidak.. tidak! Ku rasa itu pantas untuknya"

"Tapi..."

Ia menatap fotonya dan Louis yang terpajang di atas meja. Tak lama Lilo langsung bangkit dan memakai jaketnya.

"Jawab!" Seru Niall menunggu jawaban Louis.

"Oh.. yang itu"

"Kau benar-benar melanggarnya?"

"Hm.. entahlah"

"Lou!! Aku kan sudah bilang jangan sampai kau melakukan itu! Kemarin kau membuatnya menangis dan marah!"

"Tapi itu semua sudah terjadi, mau bagaimana lagi?"

"Ck, Lou--"

Tut.. tut... tut...

 

"Halo? Louis, kau masih disitu? Lou!?"

Namun tidak ada jawaban. Louis mematikan teleponnya. Niall mencoba untuk menghubunginya lagi namun tidak aktif.

"Aaargghh!!!!!"

PRAAK...

Saking kesalnya, ia membanting ponsel ke karpet. Ia meremas-remas rambut pirangnya itu, kemudian terduduk lemas di atas kasur. Entah kenapa Louis bisa setega itu padanya. Dan kenapa persahabatan mereka selalu 'naik-turun'.

TING... TONG...

Lilo sampai di rumah Louis dan langsung menekan bel. Beberapa detik setelahnya, pintu merah yang terbuat dari kayu itu terbuka.

"Oh, hey Lilo!!" Itu Phoebe Tomlinson, adik Louis.

"Hey, Phoebe!" Mereka langsung berpelukan. Phoebe pun menarik tangan Lilo untuk masuk ke dalam. Hm.. sudah lama ia tidak kesini. Sepertinya ada yang berbeda dari rumah Louis. Barang-barangnya menjadi sedikit sekali.

"So, dimana Daisy, Lottie, Felicite, dan lainnya?"

"Daisy dan Felicite sedang jalan-jalan, Lottie sedang kencan"

"Oh, haha.. kenapa kau tidak ikut?"

"Aku sedang sakit.. hehe"

"Owh, semoga cepat sembuh ya" Lilo mengusap-usap kepala Phoebe.

"Hey! Itu ibu!" Phoebe menunjuk Mrs.Tomlinson yang keluar dari ruang keluarga. Ia (Mrs.Tomlinson) dengan wajah berseri-seri menghampiri Lilo dan membuka lebar kedua tangannya. 

"Oh-hey! Lily anakku!" Lilo diberi pelukan hangat.

"Hey, Mrs.Tomlinson! Long time no see. Haha"

"Ya, kau jarang main kesini"

"Oh.. um.. aku sedikit menjadi anak rumahan sekarang.."

"Owh, pantas kulitmu terlihat lebih pucat"

"Seriously? Urgh, aku harus cepat-cepat ke pantai setelah ini"

"Ahah.. alright, kau kesini pasti untuk mencari Louis, ya? Dia ada di kamarnya"

"Okay, aku ke atas" ujar Lilo ramah.

Ia mulai menaiki satu persatu anak tangga yang terbuat dari kayu itu, sambil berharap Louis akan memaafkannya setelah peristiwa pukulan kemarin. Sesampainya di lantai atas, Lilo berjalan menuju kamar Louis. Pintu kamar berwarna hitam itu sedang terbuka lebar.

Namun sepertinya Louis sedang sibuk. Ia membungkuk membelakangi pintu kamarnya. Lilo memijakkan kakinya pada perbatasan lantai.

Tunggu! Ada apa ini? Kenapa banyak koper dimana-mana? Lemari baju Louis terbuka lebar dan kosong. Sama sekali tidak ada baju di dalamnya. Foto-foto, poster, serta lukisan Marilyn Monroe yang harusnya terpampang di dinding juga diturunkan.

"Lou?"

Louis tersentak begitu mendengar suara Lilo. Ia berbalik dengan memegang sebuah kaos di tangannya. Bisa dipastikan, kaos itu akan di masukkan ke dalam koper.

Sambil berjalan menghampiri Louis, Lilo menatap sekelilingnya. 

"Ada apa ini?"

Louis masih diam dan bergeming melihat kedatangan Lilo yang mendadak.

"Kau mau mendekor ulang kamarmu?"

Louis menggeleng pelan.

"Lalu? Kenapa ada koper begini? Baju-baju di lemarimu mana?"

Louis menunduk.

"Ja--jangan katakan ada sesuatu yang tidak ku ketahui" Lilo menaikkan satu alisnya.

"Lou, jawab!"

"We are moving, Lo"

Louis menjawab dengan napas yang berat. Ia terkesiap. Matanya membulat.

"Kau bercanda"

"Tidak"

"Ya, kau pasti bercanda"

"Nope"

"Aku tahu kau bercanda"

"LILO!"

Ia berhenti begitu Louis menegaskan namanya dan berusaha percaya. Walaupun, kau tahu, itu susah.

"Kemana?"

Louis menatapnya. Bukan. Bukan tatapan sinis seperti yang biasanya ia lihat. Semua terganti dengan tatapan pasrah dan menyesal. Ia terduduk lemas di atas kasurnya.

"Belfast"

"APA?!"

Suara Lilo meninggi, ia ikut duduk di sebelah Louis. Tak menyangka sahabatnya akan pergi sejauh itu. Langit dan bumi serasa runtuh di hati Lilo.

"Kenapa?!" Matanya mulai berkaca-kaca.

Louis menggeleng pelan. Kedua sikutnya bertumpu pada lututnya. Ia menunduk.

"Jawab, Lou!" Lilo mengguncangkan tangannya.

"Aku tidak bisa"

"Ayolah"

"No. Ini tidak akan baik untukmu"

"Kalau itu yang terbaik untukku?"

Louis menggeleng. Sejenak Lilo berpikir sebentar dan baru sadar akan sesuatu.

"Belfast itu.. Irlandia, bukan?"

Louis melirik Lilo dengan gelisah seperti membaca pikirannya.

"Ada hubungannya dengan.. Lucy Oliver?" tanyanya pelan berusaha memastikan.

"Ck.. Aarrghh.. ALRIGHT!!!" Louis bangkit sambil meremas rambutnya sendiri.

"AKAN KU BERITAHU KAU YANG SESUNGGUHNYA!!"

Dengan sedikit rasa mual, Louis turun dari mobilnya. Perutnya sekarang kosong setelah  semua 'dikeluarkan' di toilet mall itu.

"Hhh.. kurang ajar Lilo dan Niall! Huh~"

Ia berjalan pelan ke arah pintu rumah, namun ibunya membuka duluan sebelum ia menyentuh gagang pintu. Mungkin dia mendengar suara mobil Louis tadi.

"Louis! Akhirnya kau datang!" Mrs.Tomlinson menepuk pundaknya. Tangan Louis cepat-cepat digandeng ke dalam.

"Wah.. ada tamu rupanya"

Terlihat 3 orang tamu duduk di sofa saat ia masuk. Sepertinya mereka satu keluarga. Mereka semua langsung menyungging senyum begitu melihat Louis datang.

"Lou, kau duduk sini ya"

Ibunya menempatkan Louis di sofa kecil sebelah ayahnya. Berhadapan dengan seorang tamu perempuan muda. Entah kenapa dia tak henti-henti tersenyum dan menatap Louis. Louis justru membalasnya dengan tatapan heran.

"Nah, Lou" Mr.Tomlinson angkat suara. "Kau mengenal mereka?"

Louis menatap satu-satu wajah mereka. Ia menggeleng.

"Mereka ini tamu jauh dari Irlandia" Ia merangkul pundak Louis. "Mungkin ada baiknya kau berkenalan lagi"

"Lagi?" tanya Lou tak mengerti.

"Hahaha.." Mr&Mrs.Tomlinson dan 2 dari tamu itu tertawa.

"Kau sebenarnya kenal. Pernah bertemu juga. Namun itu saat umurmu masih 3 bulan"

Argh.. tentu saja Louis tidak ingat. Ia dulu masih berstatus bayi 3 bulan. Namun ia cuma mengangguk mengerti. Bersikap layaknya anak baik. Ia bangkit dan menjabat tangan mereka satu-satu. Yang pertama tamu wanita paruh baya.

"Louis Tomlinson"

"Lou, aku Mrs.Oliver. Sudah lama tak bertemu" 

Louis hanya tersenyum tipis dan menjabat tamu laki-laki berbadan tinggi namun tambun.

"Louis Tomlinson"

"Mr.Oliver. Sudah besar, ternyata kau tampan ya! Hohoho"

Ia sedikit tersipu malu mendengar pujian itu. Hingga akhirnya ia berhadapan dengan tamu yang daritadi memperhatikannya. Orang ini dengan semangat bangkit dan duluan menjabat tangan Louis.

"Lucy Oliver, Louis" ucapnya sambil tersenyum manis.

"Oh, kau sudah tahu namaku. Nice to meet you, Lucy. I like your accent"

"Really?! You.. you like m--"

"Your accent" Louis meralatnya sebelum ia berkata tidak-tidak.

"Oh yeah, accent. Indeed. Hihi.. Thank you, Louis" Pipi Lucy bersemu merah.

Saat Louis ingin menarik tangannya kembali, Lucy masih menjabat tangan Louis. Cukup erat genggamannya. Sedangkan yang lain, bukannya membantu justru senyum-senyum ambigu.

"Uuh.. tangan?" Louis mengingatkannya.

"Owh" Pada saat itulah ia baru melepasnya. "Sorry"

"It's okay"

Mereka berdua kembali duduk. Tak sengaja melirik Lucy, dia masih tersenyum menatap Louis. Wanita aneh. Bahkan sekarang ia melambaikan tangannya. Louis membalas dengan senyum kecil juga.

"So, apakah bisa dimulai besok?" tanya Mrs.Tomlinson.

"Kenapa harus besok kalau bisa sekarang? Hoho"

"Ya, lebih cepat lebih baik"

"Yeah"

Louis kebingungan mendengar itu. Ia tidak mengerti apa yang sedang di bicarakan.

"Sorry, aku menginterupsi kalian, but, what are you talking about?"

Mrs.Tomlinson tersenyum dan merangkul anaknya ini.

"Kau sudah menemukan jodohmu, Lou"

"Huh? Maksudnya?"

Ibunya tersenyum sambil melirik-lirik sesuatu. Ia ikut menatap apa yang ibunya lihat.

 

Lucy Oliver?

 

"Maksudmu dia?" tanyanya pelan sambil melirik Lucy sekilas.

"Ahahaha"

Mereka sedang berbicara berdua saja, sedangkan yang lainnya membahas topik berbeda.

"But, mom.. aku tidak kenal dia. Bagaimana bisa dia jadi jodohku?"

"Otakmu sudah cukup matang untuk mengolah pesan tersirat, bukan?"

DEG.. jangan bilang.. Louis akan..

 

"Dijodohkan?"

-(Next to Part II)-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top