Bab 5 | Sangat Polos

Aku mendengar bel pintu berdering dari kamarku ketika aku sedang membaca sambil berbaring di tempat tidurku. Ingatan tentang diriku yang belum menyentuh PR sama sekali seketika terlintas di benakku, tetapi aku menghapusnya dengan segera.

Aku benar-benar sedang asik dengan buku yang kubaca saat ini. Apa kau tahu rasanya ketika sebuah buku yang sedang tergeletak di samping tempat tidurmu seakan-akan sedang memanggil namamu, memohon agar kau membacanya dan tersesat di dunia lain? Tidak? Tidak.  

Aku tersenyum pada diriku sendiri mengetahui bahwa Ever lah yang berada di balik pintu dan kehadirannya spontan menghidupkan suasana hatiku. Aku semakin dekat dengannya dalam beberapa hari terakhir ini.

Aku bergegas turun dengan sepatu putih. Sayangnya, ternyata itu bukan Victoria dan Ever imut yang akan aku sambut, tetapi seorang laki-laki dengan kulit kecokelatan, rambut acak-acakan dan mata biru cerah yang terlindungi oleh kacamata berbingkai hitam yang terlihat begitu asing.

"Tolong," erangnya, mendorong tumpukan buku ke depan wajahku, 'Ever sedang bersama dengan Ibuku."

"Apa yang kau inginkan?" aku menggeram. Berusaha bersikap baik, tetapi kemudian dia memandangku sayu dengan setumpuk buku teks.

"Tenang, beruang panda," katanya geli, menyentuh ujung hidungku dengan jarinya.

Aku mencoba menepis jarinya dengan susah payah, tetapi dia malah mengabaikanku dan terus berbicara, "Aku butuh bantuan dengan PR-ku."

Sejenak aku terdiam dan aku hanya menatapnya, sambil mengangkat sebelah alis. Lalu aku tertawa, benar-benar tertawa hingga terbahak-bahak di depannya sementara dia menatapku seolah-olah ada kepala lain tumbuh di kepalaku. "Apa?" tanyanya, dengan ekspresi canggung di wajah.

"Kacamatamu keren," candaku, menahan tawa saat aku menunjuk wajahnya.

"Apa?" tanyanya lagi, lebih bingung. Dia meletakkan tangan di pipinya, menggerakkannya ke atas sampai dia menyentuh kacamata berbingkai hitamnya. Dia lantas memaki pelan.

"Hei, aku pikir kau terlihat manis," aku mengakui, dengan nada sarkastis. Memang benar sih; orang ini dapat melakukan apa saja, dan masih terlihat sangat menarik.

"Yang benar?" tanyanya, suaranya dalam dan sempurna.

"Tidaaak, aku hanya bercanda," kataku, menggoda egonya yang tinggi. Dia mengabaikan komentarku sebelumnya dan kemudian mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku, napasnya yang lembut menerpa wajahku.

"Akui saja, Little Red. Kau pasti menganggapku menawan."

"Bukankah kau tadi bilang kau membutuhkan bantuan tentang sesuatu?" tanyaku spontan, dalam upaya mengubah topik pembicaraan. Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Untung saja aku tidak bisa merona, kalau tidak aku pasti sudah menjadi tomat matang sekarang.

"Ya," jawabnya. Aku menghembuskan napas lega ketika dia memutuskan untuk meninggalkan topik pembicaraan sebelumnya. Lucunya, dia tidak juga melepas kacamatanya. "Aku butuh bantuan dengan PR-ku. Aku tidak tahu hal sialan apa yang harus dilakukan."

"Jadi karena itu kau muncul di rumahku?" tanyaku, mengabaikan penggunaan bahasanya yang sangat bagus.

"Kau orang terpintar yang kukenal," dia mengedikkan bahu.

"Oke, aku juga belum memulai mengerjakan PR Matematikaku, jadi tunggu sebentar, aku akan mengambil barang-barangku dulu."

Aku menghembuskan napas, menyerah pada mata birunya yang kini memohon. Siapa juga yang bakal mengira bahwa aku akan menjadikan Asher Reed sebagai teman belajarku? Aku mengeluarkan penaku, yang berwarna putih dan dihiasi bintik-bintik merah muda pastel. Di bagian atas pena itu ada bunga kecil. Mungkin agak kekanak-kanakan, tetapi yang seperti ini bisa memuaskan obsesiku terhadap alat tulis.

"Penanya bagus," komentar Asher; matanya berbinar menggoda. Aku mengabaikannya, lagi.

Kami menghabiskan sebagian besar sore hari itu dengan menyelesaikan PR. Dia duduk di sebelahku, dan aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak terpengaruh akan kehadirannya. Tekankan kata 'berusaha'.

"Jadi," aku menjelaskan, "Setiap kali kau berbicara tentang lingkaran sempurna pada permukaan Euclidean, maka phi, yang akan mewakili rasio keliling lingkaran dengan diameternya, adalah konstan⁠—"

Aku berhenti. Sejak aku berbicara tadi, mata biru Asher terfokus pada wajahku, seulas senyum juga bermain di bibirnya.

"Apa?" aku tersentak, waspada.

"Bagaimana kau tahu semua ini tanpa membuka buku teks?" dia menunjuk ke buku teks tertutup di atas meja. Aku menatap buku itu, menyadari bahwa dia sebenarnya sangat akurat dengan pengamatannya.

Aku memandangnya, menggigit bagian dalam pipiku, "Aku mungkin memiliki obsesi pada simbol phi atau mungkin saja tidak."

Tatapannya tak tergoyahkan, dan meskipun aku agak mengharapkan dia tertawa, dia tidak sedikit pun nampak tergelitik. Sebaliknya dia berkata, "Aku tidak ingin berbohong, tetapi itu agak aneh. Ada apa dengan simbol cinta tak alami dalam Matematika ini?"

"Tidak semua simbol Matematika, hanya phi."

"Kenapa?" tanyanya, tertarik.

"Aku tidak tahu. Sekalipun aku baru membangun semacam obsesi pada phi belakangan ini, aku sudah menyukainya sejak kita mempelajarinya di tahun pertama. Tidak seperti seseorang, phi bersifat abadi, tidak mati, dan tidak akan berakhir begitu saja. Dia konstan tapi di saat yang bersamaan tidak ada pola untuk itu, phi berbeda dan tidak dapat diprediksi."

Dia menjilat bibirnya dan mempertimbangkan kata-kataku.

"Tidak ada yang abadi," katanya akhirnya, dengan bisikan lirih, matanya bertemu mataku dan kali ini aku tidak memalingkan wajah.

"Aku tidak akan memercayai kata-katamu untuk yang satu ini."

● ● ●

"Aku punya ide," kata Asher, "Bagaimana kalau kau mengerjakan PR-ku?"

"Ide bagus," jawabku, dengan sinis.

Namun kemudian dia mengerjakan PR-nya. Aku hampir selesai dengan PR Matematikaku ketika aku melihat dari sudut mataku, Asher menatapku dan tersenyum.

"Cepat kerjakan PR-mu!" kataku, nada bicaraku terdengar agak memerintah,

Dia memandangku dengan tatapan ingin tahu dan menjawab, "Oke, Bu."

Dengan senyum tertahan, aku kembali menuliskan beberapa persamaan. Lalu aku mendengar rintik-rintik air dari luar. Itu hujan! Aku suka hujan. Mereka membawa kembali kenangan yang tidak akan pernah bisa kukembalikan. Aku menatap ke luar jendela, gerimis di luar jatuh dengan tempo sedang.

"Aku akan segera kembali," kataku pada Asher, yang kemudian mengangguk kecil padaku.

Aku membuka pintu translusen ke taman luar. Aroma familiar segera saja saja menyentuh indraku. Tetesan air hujan jatuh di hidungku, dan satu yang lain mendarat di pipiku. Aku tertawa kecil, lantas membuka ikatan rambut cokelatku yang panjang dari kuncirannya.

Rintik hujan membasahi wajahku dengan mutiara-mutiara kecil dan memandikan aku dengan sutra. Aku memicingkan mata untuk menantang hujan yang berderai semakin deras, seketika aku merasakan bendungan air mata di sudut mataku, yang kemudian jatuh dan berbaur dengan tetesan air lain di wajahku yang sudah basah kuyup.

Rintik itu sungguh memiliki kekuatan mistis; mereka menghilang di antara cabang-cabang yang merengkuh galaksi, dan kemudian mencair ke dalam tanah yang lembab. Entah mengapa sering kali mereka mampu mengenyahkan rasa sakit.

Tidak ada yang abadi.

Aku menjulurkan jemariku dan bermain dengan air. Rambutku menjadi hitam karena bersentuhan dengan bersentuhan dengan kelembaban. Pakaianku kini basah kuyup. Aku duduk di hammock, di bagian belakang rumah kecilku, ketika air mata diam-diam mengalir di pipiku.

Tiba-tiba hammock-nya menjadi lebih rendah, dan aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku. Aku menoleh ke arah Asher. Dia menatapku balik, dan aku merasakan mata birunya menjelajahi wajahku. Dia tidak akan tahu kalau aku baru saja menangis, alasan lain mengapa aku menyukai hujan.

Kau dapat menangis di antaranya tanpa ada yang akan memerhatikan.

Sangat tidak menyenangkan, ketika pertanyaannya kemudian mengejutkan aku. "Apakah kau menangis?" tanyanya.

"Tidak!" kataku, terlalu cepat, meskipun suaraku teredam oleh suara derai hujan yang jatuh ke tanah. Dia mengabaikanku, memunggui aku. Lalu, dia berdiri dengan tiba-tiba. Aku kira dia ingin pulang. Perasaan putus asa seketika menyergapku dari dalam. Namun, sekejap kemudian dia menghadap ke arahku. Dia berlutut dan mengulurkan tangannya, memiringkan kepalanya ke samping.

"Mau menari bersamaku?"

Aku menatapnya dengan tatapan kosong, "Tidak ada musik, bodoh."

"Terus kenapa?"

Pada titik ini sejuta emosi menerpaku. Setelah sekian waktu, aku menerima tangannya. Aku terlalu banyak memikirkan sesuatu. Tangan hangatnya yang kasar ada di tanganku, dan kulitku terasa tergelitik ketika kehangatan asing itu menyebar ke seluruh tubuhku.

Tangan kami rasanya sempurna saat bersatu. Perlahan, dia menarikku ke dalam hujan, membasahi kami berdua. Menempatkan tanganku yang kosong di bahunya, kami sedikit berdansa di tengah hujan, dan senyumku merayap ke wajah ketika dia memutar tubuhku dengan gaya seperti anak kecil.

Dia mengangkat tangannya untuk menyentuh rambut basahku yang menempel di wajah dan menyelipkannya ke belakang telingaku. Aku tidak protes.

Aku dapat merasakan kehangatan dari kedekatan kami mengalir di sekujur tubuhku seperti api, membuat atensiku beralih ke titik sensoris begitu cepat. Kulitku terasa hangat karena sentuhannya, meskipun aku telah basah kuyup dan kedinginan karena hujan yang turun. Aku lantas menjauh darinya, dan tersenyum.

"Asher," panggilku.

"Ya?"

"Kau harus berhenti hujan-hujanan, kau mulai ingusan," aku menyeringai, menarik lengan rampingnya.

"Apa?" matanya menyipit, "Ya, baiklah, ayo pergi," jawabnya sambil mengerutkan kening.

Aku merasa sangat senang karena Asher tidak bertanya kepadaku mengapa aku menangis.  Semua yang dia lakukan hari ini tampak sangat berbeda dari apa yang aku perkirakan akan dia lakukan. Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, sebelumnya, dia selalu menjadi lambang dari seseorang yang sombong dan sulit dipahami. Sekarang aku tahu bahwa dia justru sebaliknya; dia mengenakan kacamata bak kutu buku, mengerjakan PR denganku, menari denganku di tengah hujan, dan bisa ingusan seperti anak berusia 4 tahun. Aku tersenyum memikirkan semua itu.

Begitu kami berada di dalam rumah, aku menyuruh Asher untuk menunggu di bawah sementara aku mengambilkannya handuk. Itu semua aku lakukan karena dia jadi akan sakit begini karena aku, aku merasa tidak enak. Aku mengambil handuk terbesar dan terlembut yang bisa kutemukan, dan bergegas turun untuk memberikannya padanya. Aku menemukan Asher tengah berdiri dengan tenang menatap salah lukisanku di dinding.

"Hei," kataku. Dia berbalik menghadapku.

"Apa kau yang melukis ini?" dia menunjuk potret sebuah bunga yang perlahan layu buatanku beberapa tahun lalu. Di bagian bawah kanvas, tertulis dalam kaligrafi, 'Karena siapa juga yang akan memilih bunga aster di taman penuh mawar?'.

"Ya." Aku mengangguk, menyerahkan handuk padanya.

"Kau tidak pernah bilang kalau kau melukis," balasnya.

"Soalnya tidak terlalu bagus. Lagi pula aku sudah berhenti melukis."

"Ini luar biasa." Dia tertawa, "Aku bahkan tidak bisa menggambar anu dengan benar." Dia melihat ke bawah—ke handuk putih lembut di tangannya, lalu mengangkat sebelah alis.

"Yang ini kesukaan, hei, jadi beruntungkah aku mau berbagi," kataku padanya, membalas tatapan geli yang tergambar wajahnya.

"Nah, kalau begitu, ini suatu kehormatan," katanya, sambil sedikit membungkuk, membuatku tersenyum.

Tiba-tiba, dia meletakkan handuk di atas kursi, dan mulai melepas bajunya yang basah, memperlihatkan otot-otot torso dan perutnya yang terpahat sempurna. Aku merasakan napasku tercekat, dan nadiku seketika berdenyut semakin cepat.

"Um, apa yang kau lakukan?" tanyaku dengan gugup.

"Tenang, baju ini benar-benar basah, aku hanya akan mengeringkan diriku dan kau bisa meminjamkan salah satu kemeja ayahmu atau sesuatu." Ya Tuhan, bernapas Wren. Apa yang harus aku katakan padanya?

"Ayahku sebenarnya akan keberatan!" seruku, sayangnya terlalu cepat untuk membuatnya tampak lebih natural. Dia menatapku curiga dan dia pasti tahu ada yang salah. Oh sial! Aku sebaiknya segera memberinya salah satu baju Ayah. Aku berlari dengan cepat, dan menerobos masuk ke kamarku dengan panik. Membuka kotak kulit besar, aku lalu menggenggam salah kemeja Ayah. Aku hanya punya lima dan sebenarnya aku agak enggan ketika harus memberikan salah satunya kepada Asher.

Ketika aku sampai di depan Asher, aku berusaha sebaik mungkin untuk mengalihkan pandanganku dari tubuhnya yang sempurna, aku spontan melemparkan baju bodoh itu kepadanya. Dia terkekeh, jelas melihat ketidaknyamananku saat memandangnya.

"Kau sangat polos, birdie."

"Birdie?"

"Ya. Wren artinya burung gelatik—sebuah burung kecil, karenanya kau adalah birdie."

"Hmm. Kau lebih pintar dari yang kau perlihatkan, kau tahu, kan?" kataku, memberinya pujian untuk pengetahuannya tentang nama hewan peliharaan itu.

"Memangnya apa lagi yang bisa aku katakan? Aku harus memenuhi standar tertentu." Dia menyeringai, akhirnya berpakaian lengkap. Dia mencondongkan tubuh ke depan, sangat dekat, lengannya bahkan menyentuh pinggangku. Mataku melebar, dan sesuatu seakan tengah berterbangan di dalam perutku.

Namun, ternyata dia baru saja hendak meraih tas punggungnya.

Saat dia menarik tas itu, beberapa lembar kertas terjatuh. Aku mencondongkan tubuh ke depan, mengambilnya dengan jemariku, dan menatapnya sekilas.

Trigonometri AP Level, adalah judul halamannya, ditulis dengan rapi dengan tinta biru. Di bawahnya adalah serangkaian penjumlahan dan persamaan. Tidak tahu apa ini? Kertas ini adalah salah satu tingkatan materi tersulit di Matematika. Jika Asher dapat melakukan Trigonometri tingkat ini, mengapa dia harus mengeluh tentang sesuatu yang sederhana seperti Kalkulus dan Geometri?

Dia segera mengambil lembar itu dari tanganku, dengan mudah. Aku menatapnya datar, mengabaikan fakta bahwa kunjungannya hari ini adalah untuk sesuatu yang tersembunyi. Dia tahu cara mengerjakan PR-nya! Tetapi kemudian mengapa dia memintaku untuk membantunya? Dia balas menatap tajam untuk beberapa waktu, lalu tersenyum, mematahkan ketegangan.

"Aku pulang," katanya singkat, dan langsung berjalan ke pintu depan.

Jadi... apa artinya itu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top