26: Gather

All routes, 20XX

Keheningan mengisi ruangan, suara detak jam terdengar nyaring, tidak ada jawaban dari orang tua Ruby membuat gadis itu menatap lurus tidak berpaling. "Apa yang telah kalian lakukan?" tanyanya mengepalkan kedua tangan, dia menggelengkan kepala tidak percaya, matanya berkaca-kaca menyorot nanar. "Kalian bajingan."

"Jaga mulutmu itu!" teriak sang ayah mengangkat tangan, Ruby menengadah tersenyum tipis, mengejek. Dia sudah kebal, terlalu sering pukulan mendera tubuhnya dia sudah tidak takut lagi. Bahkan tanpa menurunkan kepala dirinya menatap nyalang, menengadah tidak bergerak. "Pukul saja! Pukul aku! Hanya itu yang bisa kalian lakukan, 'kan?!" 

"Ruby!" Ibu sudah bersimbah air mata, wajah cantiknya dibasahi air mata yang mengalir ke kedua pipi menggelengkan kepala histeris. Wanita itu menggenggam kedua bahu Ruby berkata dengan lirih. "Maafkan, Ibu. Ini pilihan yang terbaik, Ibu mohon kau mengerti ... Ibu mohon ...." Wanita yang dipanggilnya ibu terisak, mengeratkan remasannya semakin kuat membuat Ruby merintih. "Kau harus mengerti ... kau harus ....

Ruby bisa merasakan atmosfir menjadi semakin berat. Gadis itu tertawa hambar, menarik perhatian kedua orang tuanya. Apakah mereka pantas dipanggil orang tua? Dia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, bagaimana mungkin kedua orang terkutuk ini bisa menjadi orang tua? Mereka tidak pantas dan sekarang dia baru menyadari hal tersebut. 

Tanpa menunggu hal buruk terjadi, dia menubruk kedua orang tuanya dan pergi dari apartemen, dia terus berlari keluar tidak memedulikan jika dirinya tidak memakai alas kaki. Dia tak percaya begitu keji orang tuanya mengaborsi sang adik. Langkahnya terus menyusuri pemukiman kumuh hingga sampai di depan pabrik tua. 

Untuk apa dia sekarang ke sini? Ruby terengah-engah memegangi lutut, pikirannya kacau dan tidak beraturan. Dia jadi tak dapat berpikir jernih. Tapi, mengapa orang tuanya tak mengejarnya? Ruby tertawa kecil, menyugar rambut menyorot lurus ke depan. Benar, mau lubang hitam atau orang tuanya tak ada pilihan paling baik, keduanya ialah pilihan yang terburuk.

Masih sibuk dengan pikirannya perlahan ada mobil yang melaju dan berhenti tepat di depan Ruby, gadis itu kebingungan sebelum jendela perlahan turun menampakkan teman menyebalkannya hadir. "Andrew?"

...

"Ini panti asuhan!" Olive dengan riang berlari menarik tangan satpam yang membungkuk, setengah tergusur oleh gadis kecil itu. Mereka sampai di depan panti asuhan, waktu sudah sore menunjukkan jam empat. Tunggu, tunggu. Kau tak perlu terburu-buru." Satpam memperingati lantas ikut masuk.

Olive tertawa. Dia punya rencana yang bagus, dia akan menunjukkan betapa bobroknya panti asuhan ini pada orang dewasa. Dengan begitu satpam yang dibawanya bisa melaporkan pada pihak berwajib, dia hanya perlu membawanya di momen yang tepat. Seperti saat ini, tepat di mana anak-anak pulang dari berjualan bunga maupun koran.

"Jangan berisik ...."

"Apa yang kau maksud-"

Perkataan satpam terhenti, setelah berlari dan masuk ke panti asuhan mereka mengendap-endap melalui lorong dan muncul di aula luas berdiameter persegi. Di belakang salah satu lemari piring mereka bersembunyi kemudian saling lirik sebelum Olive menyeringai menunjuk ke depan sembari berbisik. "Lihat dengan seksama dan dengarkan, Pak Satpam."

"Kenapa hanya segini uang yang bisa kalian kumpulkan?!"

"Ma- maaf, Bu."

Seorang wanita berumur tiga puluh tahunan bicara nyaring, suaranya menggema di aula membuat banyak anak panti yang tertunduk tidak berani melawan. Ibu itu mendesah panjang, menghitung uang di tangannya yang tidak seberapa. Lagi-lagi dahi sang ibu mengerut, menandakan dia kembali marah. "Kalian ini di sini hanya menumpang. Setidaknya kalian harus membayar kami dengan pantas, biaya makan dan tempat tinggal."

"Baik, Ibu." Anak-anak panti menjawab kompak, masih tertunduk takut-takut pada wanita itu. Sang satpam terdiam mengamati, dia cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya. Olive semakin menyeringai, tinggal satu bumbu tambahan lagi maka rancangan ini sempurna. Dari balik salah satu ruangan gadis-gadis dengan riasan tebal hadir, mereka mengenakan pakaian pendek, memamerkan bagian tubuh mereka, tampaknya mereka sendiri tak cukup nyaman dengan hal itu.

"Nah, kalian lama betul. Sekarang kalian harus melayani klien baru, mobil sudah di depan siap mengantar kalian ke club. Jangan kecewakan saya!" 

Dengan engan gadis-gadis berpakaian mini mengangguk berjalan lesu. Sang satpam yang mendapati hal itu tak berdiam diri, dia mulai sadar dengan kejanggalan yang ada. Panti asuhan ini tidak berjalan dengan semestinya, mereka mengeksploitasi anak-anak untuk kepentingan pribadi. "Kalian!"

Satpam keluar dari tempat persembunyian, Olive mengekori di belakang. Wanita itu tampak terkejut dengan seseorang yang hadir secara tiba-tiba. Para gadis pun terhenti langkahnya menatap penuh harap, begitu pula dengan anak-anak panti. Ketegangan memenuhi ruangan, satpam melangkah mendekati sang ibu yang dipanggil oleh anak-anak. "Kalian telah melakukan penyelewengan. Saya akan laporkan ke pihak berwajib."

Ibu itu tampak panik mendengar hal tersebut, Olive tersenyum semakin lebar sebelum kepala panti, seorang pria tambun dengan perut besar memukul kepala satpam hingga tak sadarkan diri. Dengan kasar dia menarik lengan Olive yang masih bersembunyi di balik lemari melotot penuh amarah. "Kau anak tidak tahu diuntung!" Sial. Rencananya gagal total, Olive memejamkan mata ketika pria paruh baya itu mengangkat tangan tinggi-tinggi hendak memukulnya.

Tok, tok, tok!

Suara pintu diketuk menginterupsi, bapak panti meletakan satu jari di depan bibir memerintah agar tidak ada yang berisik. Ketika pintu dibuka pria dengan jas memakai kacamata hitam hadir, tanpa basa-basi dia angkat suara. "Selamat sore. Maaf mengganggu waktunya, saya ke mari mencari anak berambut biru dan bermata hijau," katanya, dia menunduk membaca catatan kecil kembali melanjutkan. "Namanya Olive, Anda dipanggil oleh Yang Mulia Raja dan Ratu."

...

Bing sibuk membuka situs internet, berselancar di dunia maya dan mencari soal lubang cacing, pikirannya penuh dengan spekulasi juga berbagai teori. Jika lubang cacing adalah lubang hitam, maka ada pemantik yang membuat lubang itu muncul, lubang cacing memiliki materi yang memungkinkan mengendalikan lubang itu, tapi apa?

Dia masih sibuk berpikir kemudian diinterupsi dengan suara dari luar. "Apa yang kalian inginkan?" Samar-samar percakapan terdengar, Bing turun dari kursi berjalan ke luar kamar. Mendengarkan banyak suara membuatnya tidak fokus belajar, biasanya sang ibu tahu betul akan itu dan tidak menimbulkan kebisingan. "I- Ibu?" 

Bing melebarkan mata, di depan pintu terdapat dua orang anak kecil dengan pria dewasa yang tampak familier. Dia menerobos melewati sang ibunda dan berdiri di pintu depan. Senyumnya rekah semakin lebar melihat siapa yang datang. "Ka- kalian!"

...

Taher yakin dia tidak berhalusinasi. Kini dari helikopter dia melihat Olive dan satu pria berjas yang mendarat berdiri di hadapan Taher. Pemuda itu terkejut bukan main, entah bagaimana rasa lega membanjiri perasaannya lantas dia beranjak langsung memeluk Olive, gadis kecil itu tertawa membalas pelukan Taher. 

"Ini semua ulah Andrew." Olive menjelaskan, menarik Taher masuk ke dalam helikopter, mereka kembali terbang tinggi, membuat Taher menegak ludah. Mereka terbang bebas di angkasa, langit malam terlihat jelas. Keduanya duduk bersisian sementara orang berjas itu mengendarai helikopter, fokus pada pekerjaannya. "Apa maksudmu itu ulah Andrew?"

Olive tersenyum, setelah hampir dipukul oleh kepala panti. Mendengar pernyataan pria berjas, kepala panti ketar-ketir tanpa paksaan mendorong Olive untuk segera mengikuti perintah Yang Mulia. Walau begitu Olive tidak mau pergi begitu saja, dengan polosnya secara disengaja dia berkata, "Mereka hampir memukul Olive, membuat pingsan satpam bandara dan mengirim kakak-kakak ke club."

"Benarkah begitu?" Pria berjas bertanya, menatap penuh selidik. Belum sempat  membuat alasan, satpam terbangun, menyerobot tempat kepala panti, masih sedikit pusing dia membenarkan. "Itu benar."

"Tu- tunggu!"

Kepala panti dilanda kepanikan, melihat peluang anak-anak panti dan para gadis saling berebut keluar panti asuhan. "Itu benar! Itu benar!" Berbondong-bondong mereka bicara membuat kepala panti semakin kelimpungan, melihat kericuhan yang ada orang berjas itu menelpon polisi setempat, lantas menggandeng tangan Olive. "Tak perlu khawatir, tempat ini akan segera dibereskan. Kita harus segera pergi, Pangeran Andrew menunggu."

Olive terpukau ketika melihat helikopter yang berada di lapangan panti. Sebelum beranjak dia melambaikan tangannya pada teman-teman di sana juga pada para gadis. Dia menyeringai melihat kepala panti yang menatapnya penuh emosi. "Sampai jumpa lagi, kalian sekarang akan baik-baik saja." Kini dia berhasil membuat suatu perubahan, Olive memejamkan mata lega, duduk di salah satu kursi helikopter sebelum kembali terbang. Para anak-anak melambaikan tangan, Andrew ya? Olive tertawa, anak itu tampaknya hendak mengumpulkan mereka semua.

Sekarang dia benar-benar yakin jika bocah manja itu punya kuasa. Dia melirik Taher sekali lagi dan menggenggam tangan pemuda tersebut. "Andrew ingin mengumpulkan kita semua, itu yang dikatakan Kakak berjas." Taher terpaku, dia kira pangeran itu hanya kebohongan belaka, dia hampir tidak percaya. Lantas menatap ke depan, di mana langit berada membuatnya semakin tenang. "Begitu ya?"

"Petualangan kita baru saja dimulai."

Bersambung ....

07 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top