23: Stop

Pantai, Pelosok Cosmin 20XX

Hutan dengan pohon-pohon menjulang menyambut kedatangan mereka, udara terasa tebal dan hangat membuat temperatur semakin bersahabat. Suara bising kicauan burung dan hewan lainnya bercampur menenangkan, di balik  lebatnya hutan yang ada terdapat aliran sungai juga air terjun mengalir, gemericik deras memenuhi indra pendengaran. 

Mereka melewati lebatnya hutan, sesekali nyamuk menghinggapi mereka, menyatakan hutan ini seperti hutan normal lainnya. "Aduh!" Olive memukul lengannya yang digigit nyamuk, dia mengaduh sekali lagi menepuk nyamuk yang berterbangan di dekat wajah. "Banyak nyamuk sekali sih. Olive kan jadi gatal-gatal." 

"Oh, ayolah." Andrew memiringkan wajah, merundukan badannya menyamai tinggi Olive lantas menyentil dahi gadis berambut biru itu. Olive meringis mengepalkan tinju, melotot ke arah Andrew yang tertawa, menyeringai lebar. "Pendek, cerewet, hidup pula." Tak terima dengan ejekan yang dilontarkan. Olive dengan mata hijaunya yang menyala-nyala melemparkan tanah kotor ke tubuh pemuda di depannya.

"Hey, anak kecil!"

"Kau juga anak kecil Andrew!"

Olive menggembungkan kedua pipinya, dia melirik ke arah lain membuang wajah. Andrew sendiri membersihkan tanah yang mengenai pakaiannya. Sudah sekitar lima belas menit berjalan dan yang mereka dapati hanyalah hutan rimbun tebal. Mereka berempat mencari keberadaan Ruby tapi sekali lagi mencari semakin dalam tidak ada tanda-tanda keberadaan Ruby. 

Taher mendesah menghapus sudut matanya yang membengkak karena terlalu banyak menangis. "Kita harus segera menemukan Ruby," katanya mengusap wajah dan menatap lurus ke depan. Tampaknya wajah itu semakin lelah, dia sadar bahwa Ruby tidak seburuk yan dikira, mereka telah melakukan kesalahan besar. Bing sendiri terdiam lama, memilin ujung pakaian sembari terkadang meneteskan air mata, merasa bersalah sudah mengusir Ruby pergi.

Tepat ketika mereka mengangguk satu sama lain, suara gemerisik semak-semak terdengar. Mereka saling mendekat dengan posisi melingkar melihat ke segala arah, pandangan mereka mengedar melirik sekeliling lantas dengan cepat suara gemerisik itu semakin jelas. Berpindah-pindah dari satu semak-semak  ke semak-semak lain. "Berhati-hati kaian semua, kita tidak tahu apa yang mengintai." Taher memperingati.

Ketika mereka semakin melangkah mundur, orang-orang dengan topeng keluar dari pepohonan, selanjutnya dari semak-semak juga atas rimbunan pohon. Mengenakan topeng menutupi seluruh wajah, topeng itu berwarna putih dengan corak dan motif yang berbeda, mereka menghunuskan tombak mengepung mereka. 

"Ta- Taher."

"Sssttt ...."

Taher mengingat-ingat apa yang tengah mereka hadapi. Dia ingat di mana ada satu daerah terpencil yang diwanti-wanti oleh tetua desa, tempat di mana orang terbuang Negeri Philia tinggal. Orang-orang pedalaman di mana menolak pemerintahan Negeri Philia maupun teknologi. Mereka orang-orang dari sekte sesat yang mengorbankan nyawa manusia, pun tempat pembuangan sampah masyarakat---para kriminal tingkat tinggi, wilayah bebas hukum. Dan itu berada di pelosok Cosmin. Astaga! Ini berbahaya!

"Kabur!"

"Hah?"

"Kita harus kabur!" Taher berseru menubruk orang-orang bertopeng hingga jatuh terpental ke tanah. "Kalian pergi!" serunya meninggikan suara. Kini orang-orang bertopeng meringkus Taher agar tertunduk dengan ancaman tombak di sisi leher. Andrew dan Bing sudah kabur meninggalkan Taher di belakang sementara Olive terpaku tidak mau beranjak. Mustahil Olive meninggalkan temannya, karena itu dengan gemetar dia mendekati mereka mengangkat kedua tangan di atas, tanda menyerah. "Kalian mau apa dari kami?"

Orang-orang bertopeng berlari mengejar Andrew dan Bing. Sementara orang dengan topeng memiliki motif  garis hitam satu mendekati Olive. Dia menunduk dan berlutut menyentuh wajah kecil itu lantas tertawa. "Kalian akan menjadi tumbal yang bagus. Anak-anak dan masih segar." Kata-kata itu menggema diiringi tawa orang bertopeng lain, membuat bulu kuduk berdiri. "Bawa mereka semua!"

"Siap!"

... 

"Ah, kenapa kau tidak biang dari tadi?" 

"Mana sempat, aku tidak sadar."

Mereka saling berbisik, setelah ditangkap akhirnya mereka dijebloskan di sebuah gubuk tua kecil, tempat reot yang kotor dan sesak. Ada debu di segala sisi dengan tikus-tikus yang berkeliaran membuat Andrew mengeluh sedari tadi. Pangeran itu pun berusaha melepas tali yang mengikat tangannya.  

"Ini sulit." Andrew terus melerai tali yang mengikat, berusaha dan berusaha tapi tak berhasil membuatnya frustasi. "Tidak begini kalian memperlakukan pangeran!" teriaknya berusaha agar terdengar tapi sia-sia, tak ada gunanya. Olive mencibir Andrew, mengejek dan berguling tertidur di tanah. "Jika ada Ruby pasti kita sudah ke luar." 

"Ma- maaf."

"Tidak ada yang menyalahkanmu Bing." Taher menundukkan kepala melipat kedua kakinya mendesah panjang. Sunyi mengisi tempat itu lantas dari luar pintu dibuka. Masih sama semua orang memakai topeng, bahkan orang tua yang memakai tongkat dengan rambut yang sudah putih mendekati mereka, meneliti wajah mereka satu persatu. 

"Jangan takut, mereka hanya bercanda menjadikan kalian tumbal." Suaranya ramah, terdengar halus dan hangat. Tapi, itu membuat mereka semakin curiga, selama ini tidak ada yang baik-baik saja. Kebanyakan orang yang berkata begitu adalah pengkhianat, penjahat, orang tidak berperikemanusiaan."Maafkan mereka, mereka hanya senang bercanda."

"Lalu apa yang akan kalian lakukan pada kami?" Taher angkat suara, di setiap desa di pesisir pantai selalu memiliki tetua, itu adalah sebuah budaya yang menyebar di Negeri Philia.  Maka bisa disebut orang dengan rambut putih yang memakai topeng tanpa corak adalah tetua para sekte tersebut.

"Kami hanya ingin kalian bergabung. Tidak ada yang bisa pergi setelah datang ke tempat ini, pun datang semau mereka. Kalian anak-anak spesial." 

"Mak- maksudmu kita ha- harus tinggal di mari?" tanya Bing menggeser duduknya agar berhadapan dengan tetua. Pria tua itu mengangguk, mengusap kepala Bing. Sikapnya terlampau ramah membuat mereka skeptis. "Kami sedang mencari anak dalam ramalan." Anak dalam ramalan? Apa maksudnya?  Belum sempat memberikan penjelasan, secara tiba-tiba dari arah luar mereka mendapati kebisingan. 

Salah seorang pria dengan telanjang dada mengenakan topeng dengan motif dua garis hitam memanggil-manggil tetua. Pria tua itu lantas berdiri, memberikan kode agar mereka berempat dibebaskan pada penjaga lantas pergi. Ketika akhirnya mereka bebas, maka keempat anak kecil itu mengikuti langkah penjaga. Di sana mereka bisa melihat kebakaran besar yang melewati gubuk-gubuk kayu dari jerami.

"Tangkap anak itu!"

Mereka menoleh pada sumber suara. Dari celah padat juga ricuhnya penduduk lokal yang berhamburan mengungsi. Ada apa ini? Mereka bertanya-tanya, di tengah rumah-rumah penduduk mereka berempat melihat lapangan kecil dengan api yang menyala tinggi, langit sudah menjingga menunjukkan waktu sudah banyak berlalu setelah mereka ditahan. Ada banyak orang yang berusaha memadamkan api, yang lain mengejar sumber kebakaran.

Dan sekarang di tengah kerumunan mereka bisa melihat api yang menyebar ke seluruh gubuk-gubuk di desa. Sekelebat bayangan berwarna merah terlihat, penyebab dari kebakaran yang menyebarkan api, semakin dilihat itu tidaklah asing. Hingga di depan mata mereka bisa melihat Ruby yang dikejar banyaknya orang dewasa lantas dengan obor di tangannya membakar rumah penduduk.

"Ruby!"

Ruby menoleh, langkahnya menjadi terhenti lantas tersungkur karena tersandung batu. Obor terlepas dari tangannya tergeletak ke tanah. Orang-orang dewasa itu berhasil menarik Ruby, menghentikan penyebab kebakaran. Ruby meringis ditarik beberapa orang dewasa yang menariknya menuju api besar yang menyala di tengah lapangan. "Berhenti!" Olive berteriak, merangsek maju membelah kerumunan, lantas merentangkan tangan di depan api menyala.

"Jangan sakiti Ruby."

Ruby merintih menengadah menatap Olive, matanya melotot menggeleng cepat. "Kalian harus pergi dari sini!" Olive yang mendapatkan bentakan tersentak lantas melihat cairan ungu yang menetes dari tangan Ruby. Secara tiba-tiba orang-orang di sana terkejut lantas berondong-bondong menyerobot mengambil cairan ungu itu. Situasi semakin tak terkontrol, perapian besar yang berada di tengah lapangan roboh, mereka semua tertimpa dan terbakar. Dan sekali lagi lubang hitam hadir, menelan mereka dalam kegelapan.

Dan ketika Ruby membuka mata dia sudah berada di pabrik tua, Ruby sudah muak dengan permainan hidup-mati ini. Maka kali ini ketika penjepit menangkapnya dan dihadapkan pada Nenek Tua dia berteriak kencang. "Bawa aku saja ke lapas anak. Aku sudah muak. Aku berhenti di sini!" 

Bersambung .... 

4 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top