13: Perfect Boy
Perumahan, Gemma 20XX
Bing mengenal satu-satunya yang sempurna di dunia, sangat dekat dan terlihat. Bersinar cerah layaknya bintang. Di hadapannya kakak membawa piala emas tinggi, senyumnya cerah memasuki rumah kemudian disambut dengan ibu yang datang tergopoh-gopoh, tak lupa senyumnya mekar. "Astaga sayang! Apa ini?"
"Piala, Bu. Ibu tahu olimpiade kemarin Alva menang, 'kan?"
"Ah, benar, benar! Ibu ingat. Indah sekali."
Tawa ibu sungguh manis, tatapannya melembut memegang piala putra sulungnya, sedang Bing hanya bisa ikut tersenyum kemudian menghampiri sang kakak. "Kakak keren! Sungguh!"
Alva mengusap kepala Bing kemudian mengangguk, melepas topi, Alva memasangkan topi di kepala Bing. Umurnya saat itu delapan dan kakak adalah bayangan dia di masa depan. "Kau akan sepertiku nanti. Kau tahu itu." Bing mengangguk, Ibu sudah menaruh piala di lemari kaca, hampir setengahnya sudah penuh.
"Bu aku mau berjalan-jalan dengan Bing. Aku jenuh."
"Tentu saja kau sudah berusaha keras!"
Ciuman mendarat di kedua pipi Alva. Remaja itu menggelengkan kepala kemudian melirik Bing, bocah itu matanya sudah berbinar-binar. Tak apa jika ibu tak seperhatian itu padanya, tapi kakak memang yang tebaik dan satu-satunya yang pantas mendapatkan cinta. "Yeay! Jalan-jalan bersama kakak."
Ibu tak banyak berkomentar dan hanya melirik Bing, kakak pergi berjalan ke kamar mengganti pakaian. Sedang dia berdua bersama ibu yang menatapnya, mendesah panjang. Bing melirik takut-takut karena dia langsung menunduk, tahu apa yang dikatakan selanjutnya. "Kau seharusnya seperti kakakmu, Bing. Lihat, lemari hampir penuh dengan penghargaan kakakmu."
"Maaf, Bu."
"Maaf, maaf. Kali ini tak apa kau tidak mengerjakan PR. Temani saja kakakmu pergi berjalan-jalan. Lagi pula belajar atau tidak nilaimu tak pernah berubah."
Sakit, hatinya nyeri mendengar penuturan ibu. Jelas jika kakaknya memiliki ekspektasi tinggi, Bing tidak pernah memiliki ekspektasi dari orang lain yang berarti dia tak berguna. Kepalanya tertunduk semakin dalam dengan satu tangan memilin ujung pakaian. Mau bagaimanpun perkataan ibu benar, Bing tidak akan pernah bisa melewati kakak, bahkan hingga nilainya. Mau belajar atau tidak nilainya hanya pas-pasan. Tidak sempurna seperti kakak.
"Ayo, berangkat!" Alva turun dari anak tangga, bersamaan ekspresi ibu melembut lagi. Semuanya hanya tentang kakak, seakan terbalut luka tapi bukan pada fisik, yang bisa dilakukan Bing hanya ikut tersenyum. Tersenyum. Tersenyum. Tersenyum. Setidaknya jika tidak sempurna Bing harus menjadi yang anak baik. Adik penyayang.
"Ayo, Kak."
Mereka berdua berjalan keluar rumah, dari sudut matanya dia bisa melihat orang-orang menatap kagum. Beberapa gadis saling berbisik, tidak hanya pintar wajah itu tampan. Rambutnya yang coklat sedikit berantakan, mata itu tajam dengan senyum manis. "Bolehkah kami meminta nomormu?"
Gadis yang tadi saling berbisik kini di depan mereka, wajah-wajah itu bersemu merah mengulurkan ponsel. Alva tampak tak terkejut, ini adalah hal yang biasa. "Tentu saja." Bing bisa melihat kakaknya menekan nomor kemudian berlalu pergi. "Kak?"
"Shhttt ... aku tadi tidak memberikan nomorku. Itu nomor tukang listrik."
Keduanya tertawa, Bing tahu bahwa itu mustahil jika kakak yang pintar memberikan nomornya. Tapi, dia berharap diam-diam menjadi seperti kakak. "Kau juga tampan, nanti para gadis akan mengerumunimu," kelakar Alva hingga akhirnya mereka sampai di mini market terdekat.
"Kau putra Nyonya Adrien bukan? Astaga, saya sudah dengar kau memenangkan olimpiade. Itu sungguh menakjubkan."
Bahkan kakaknya itu terkenal.
Seorang wanita berumur tiga puluhan memberikan selamat. Bing mengenalnya sebagai teman ibu, jelas ibu sudah menyebarkan berita baik pada semua orang. "Kau jelas menakjubkan. Kalau begitu saya permisi ya." Sentuhan di lengan Alva hangat, bahkan dia tak perlu repot-repot melirik Bing dan berlalu pergi.
"Bing kau tak apa?"
"Tak apa. Aku tak apa, Kak."
Alva terlihat jelas merasa bersalah, adiknya memang tidak sepertinya. Dia terlalu terang hingga membuat Bing menjadi bayangan. "Es krim?" Bing mengangguk, tidak menggunakan senyuman sopan atau terpaksa, senyuman kekanakan yang manis. Kakak mendesah lega membuat mereka memakan es krim dan berjalan-jalan di taman.
"10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1!"
Alva menahan tawa, kini mereka sedang bermain petak umpet. Sudah jelas keduanya sangatlah dekat. Bing mulai menelusuri taman mencari di sela-sela pohon, kemudian menemukan sang kakak dan menangkapnya. "Astaga, aku tertangkap!"
"Kena!"
Alva kemudian melirik sang adik, membawanya mendekat, terguling di tanah membuat keduanya terjatuh di rereumputan kemudian tertawa lepas. Alva menggelitik perut Bing, bocah itu tergelak higga air matanya keluar. "Sudah, sudah cukup."
Benar. Bahkan jika dia tak sempurna, menjadi bayangan kakak. Setidaknya ini tulus, dan Bing tidak mau kehilangan momen ini. Bing mendesah lega menghapus sudut mata yang berair, pipinya yang kemerahan menunjukkan seberapa banyak dia tertawa.
Alva kembali menjatuhkan diri di rumput, menatap langit dengan tangan dilipat sebagai bantalan kepala. "Indah sekali." Bing mengangguk setuju, mengikuti gerak Alva.
"Bing ...."
"Iya, Kak?"
"Kakak minta maaf. Karenaku kau dimarahi Ibu."
"Aku tidak apa-apa."
Alva terdiam, memandangi adik kecilnya. Dan itu terlihat sangat hangat dan lembut, mudah hancur, rapuh. "Kakak berjanji tidak akan meninggalkanmu dan membiarkan hal seperti tadi terjadi lagi. Kakak berjanji."
.
.
.
"Kakak berbohong. Kakak bohong."
Bing jatuh terduduk di depan nisan, celananya kotor karena tanah kuburan. Sementara di sisi lain orang tuanya menangis, terlebih ibu. "Putraku ... putraku Alva ...." gumaman ibu menyayat hati para pelayat yang ikut menitikkan air mata. Semua orang bersedih, termasuk Bing.
Setelah kebakaran di High School, Alva adalah salah satu korban yang tewas, orang tuanya menuntut sekolah hingga akhirnya High School ditutup, menyisakan bangunan kosong habis terbakar, kotor dan tak terpakai.
"Bing ...."
Bing melirik ibu yang masih bersedih, tak dapat ditahan tatapan ibu berubah. Bukan tatapan merendahkan sebelumnya tapi juga sorot gelap penuh ambisi. Kedua bahu Bing diremas kuat, membuat bulu kuduknya berdiri, suara ibu parau kembali berkata. "Kau bisa seperti kakakmu, kau bisa."
"Bing tak bisa, Ibu-"
"Kau bisa! Wajah kalian mirip, lahir dari gen yang sama, kau bisa! Bisa, bisa, bisa!"
Bing tersentak, tubuhnya mulai gemetar, sembari air matanya terus berjatuhan. Kontras sekali dengan penghinaan seperti biasa, tanpa ekspektasi. Kini Ibu memberikan dia tanggung jawab, beban yang besar, harus seperti kakak. Meniru Alva.
Itu adalah awal neraka baginya.
Penampilannya berubah, harus seperti kakak.
Belajarnya berubah, harus seperti kakak.
Sikapnya berubah, harus seperti kakak.
Lambat laun bahkan jika sudah meniru, menjadi karya imitasi, tiruan. Itu tak sempurna, bocah manis itu rusak, terus ditekan dan dituntut. Dua tahun berlalu, dan dirinya benar-benar rusak, dia memang bisa mengejar belajar bahkan jika harus menangis sepanjang malam, dia bisa meniru penampilan kakak, akan tetapi sikapnya tidak. Seorang pecundang, karena bayangan tak bisa mengalahkan cahaya.
Dia menjadi gagap, penakut, pendiam.
Hingga pada akhirnya dia melakukan hal terkutuk, melakukan ritual pembangkit orang mati lantas mulai jatuh dalam lubang hitam, kegelapan yang membunuhnya berkali-kali. Akan tetapi dia bisa pergi, tak teriksa lagi, jadi apakah ini hukuman dari Tuhan atau anugerah-Nya?
Bersambung ....
21 Desember 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top