07: Flower Scattering Festival
Taman, Dulce 20XX
Pepohonan rimbun di sisi jalan setapak, matahari meninggi di atas kepala. Sudah siang, akan tetapi riuh suara anak muda terdengar bising memenuhi taman. Festival Tabur Bunga katanya, di mana para pemuda-pemudi mencari jodoh di hari libur nasional.
Bunga-bunga dijual sepanjang jalan, makanan dan jajanan juga terhidang, banyak sekali orang-orang bersorak sorai. Kelopak bunga bertebaran sepanjang jalan. "Aku tidak mengerti kenapa kita di sini sekarang."
"Olive juga."
"Me- memangnya salah?"
Ruby mendesah, memandang sekitar akhirnya berjalan ke salah satu pohon rimbun untuk berteduh, diikuti dua bocah di belakangnya. Seperti anak ayam mengikuti induk. "Maksudku, ah, sudahlah." Ruby memilih diam, menyipitkan mata. Baru sekarang dia bisa ke tempat indah seperti ini. Dia belum ke tempat ini sebelumnya.
"Jadi Bing. Kita selama ini kalau pindah seringnya ke tempat yang menyeramkan. Dari pabrik tua asal Ruby, bandara penuh zombie asalnya Olive, dan juga sekolah terbakar asalnya Bing. Karena itu Olive dan Ruby tidak habis pikir."
Ruby menutup mulutnya yang hendak tersenyum mendengar penjelasan ringkas dari Olive. Sedangkan Olive sendiri serius, wajahnya ekspresif penuh semangat, bahkan berdiri memperagakan semua tempat menyeramkan. Bing mengangguk-angguk sebelum terkejut.
"Zombie?!"
"Yup, zombie!"
Ruby membiarkan kedua anak itu mengobrol, matanya menelisik seluruh penjuru. Sekarang lubang hitam masih bersembunyi, malu-malu, menunggu mereka mati atau menemukannya. Seperti harta karun terkutuk yang minta ditemukan. Ruby berdecih.
Ruby pada akhirnya bisa mendengar suara perutnya kembali keroncongan. Aroma dari jajanan sekitar menggugah nafsu makan, dia berpikir cepat, bagaimana caranya mendapatkan makanan-makanan itu. Sebelum memilih untuk mencuri saja, dia terpaku ketika pandangannya terkunci pada remaja yang berdiri di sudut lain taman.
Dia ditemani satu pengawal, berpakaian hitam-hitam. Pasti orang kaya. Simpulnya. "Ruby! Ruby!" panggil Olive. Ruby menoleh menepuk kepala gadis manis itu. Sebelum akhirnya Olive bicara, "Benar kan? Kita mau tahu kenapa Bing ada di sekolah tua itu? Kenapa dia bisa ikut masuk ke lubang hitam?"
Ruby menaikkan sebelah alis, dia cukup penasaran. Hanya saja, dia sendiri masih ragu jika menceritakan dia terjebak di lubang hitam karena mencuri. Tapi, tak ada yang perlu dirisaukan. Lagipula anak-anak ini tidak akan memukulnya seperti orang tua atau korban yang dia copet.
"Benar."
Satu kata singkat dapat membuat wajah Bing tertunduk dalam. Wajah putihnya kian pias sedangkan dia memilin ujung pakaian seperti hendak menangis. "Ma- maaf." Olive bersedekap dada. Kemudian menepuk-nepuk punggungnya. "Olive tidak akan marah kok. Janji. Pinky promise!"
Olive menjulurkan jari kelingking ke hadapan Bing yang menangis, akhirnya Bing menceritakan kisahnya yang berniat membangkitkan kakaknya yang mati menjadi abu di sekolah terbakar untuk hidup kembali. Juga bagaimana tuntutan orang tua miliknya. Kedua gadis itu terkejut, tapi tak ada yang menghakimi, benar kata Olive. Mereka berdua hanya mendengar. Bing sedikit lega menghapus air mata di kedua pipi.
"Begitu ...."
Olive terlihat ikut sedih, kemudian memeluk Bing dari samping. Bocah itu cukup terkejut, melirik ke arah Olive. Mata Olive berkaca-kaca. "Bing pasti sedih sekali ya ... Olive sangat sedih mendengarnya," tutur Olive begitu perhatian hingga membuat Bing tersenyum mengangguk. "Tapi, karena aku ... monster dan hantu itu keluar. Seharusnya mereka tak ada di dunia kita. Seharusnya ...."
"Tidak ada seharusnya."
Ruby menatap lurus ke depan, pikirannya terbang mengingat sebagian kisah hidupnya, sementara dua bocah mendengarkan tak berkutik. "Kau memiliki alasan kenapa berbuat itu. Jadi tidak perlu disesali. Itu salah, ya, benar. Tapi, jika kau tidak melakukan itu. Apakah kau bisa menyesal seperti sekarang? Kau mempelajari kesalahan itu, kau tidak berbuat lagi. Manusia seperti itu. Hanya saja jika tetap diulangi, kau harus memiliki alasan lebih kuat."
"Seperti untuk bertahan hidup," lanjut Olive yang kemudian terkekeh menginterupsi kata-kata Ruby. Mereka bertiga tertawa, Olive maupun Bing tidak tahu jika Ruby bisa bicara panjang lebar. Biasanya dia selalu diam, lebih sering bertindak dibanding berkata-kata.
"Hoi, kalian!"
Ketiganya menoleh sumber suara, Ruby sudah berdiri membelakangi Bing dan Olive. Mengerutkan dahi, di depannya remaja yang tadi dia sangka orang kaya sudah ada di depan mereka. Kenapa dia menghampiri mereka? Ruby bingung, jadi dia tetap diam, menatap tajam.
"Anak-anak tidak boleh di sini. Hek, kalian. Dan ... warna merah di wajahmu itu menggangguku." Ruby tersadar, itu bekas darah monster. Jadi dia mengelapnya dengan jaket membuat remaja kaya itu menampilkan wajah jijik.
"Kalau jijik tidak perlu lihat-lihat!" geram Olive mencibir tidak senang. Begitupula Bing yang masih di belakang menatap kesal.
"Okay, okay. Aku hanya ingin bilang aku ingin kalian menemaniku di sini. Karena kita sesama anak kecil, jadi tidak masalah 'kan? Apa itu namanya, berteman?"
"Orang ini tidak bisa bersosialisasi ...," bisik Olive ke telinga Ruby. Ruby menahan tawa, tersenyum miring mendengar cemoohan anak-anak. Kemudian Ruby menengadah, menatap remaja itu. "Maaf, anak manja. Tidak seperti itu meminta teman. Kami akan pergi."
Olive tertawa lepas, sementara Bing menutup mulut menahan tawa. Remaja itu semakin kesal, wajahnya menggembung merah, dari pakaiannya jelas dia orang kaya. "Baiklah! Tapi, aku punya uang! Aku akan membayar kalian jika kalian mau menemaniku!"
"Tidak u-" perkataan Olive terpotong sebelum Ruby berbalik mengulurkan tangan. "Kami akan menjadi temanmu."
"Hey!"
"Ru- Ruby!"
Remaja itu tertawa, seolah mengejek pada dua anak kecil di belakang Ruby. Asal punya uang, kau punya kuasa, itu jelas tertulis di jidat menyebalkan remaja di depan mereka. Menjabat tangan Ruby dia tertawa, kemudian mengeluarkan uang. "Aku akan membayar kalian 300 Ceta. Bagaimana? 100 perorang."
Ruby tersenyum licik, menaikkan sebelah alis. "150 Ceta perorang. Baru deal." Keduanya kembali bertatapan sengit, sebelum akhirnya menjawab, "125 Ceta perorang!" Ruby tertawa, dia sudah ingat bagaimanapun uang sangat diperlukan. "150 baru deal!"
Bukan dia mata uang, tapi betul saja bahwasanya dia ingin makan. Dia juga memikirkan dua bocah yang mengikutinya seperti anak ayam. "Memangnya di sini ada anak kecil lain? Tidak 'kan? Wajar kalau membayar teman itu mahal jika memakai cara instan."
Berpikir serius dia mendesah, kemudian mengangguk. Memberikan 112,5 Ceta dia menyeringai lebar. "Namaku Andrew. Ini seperempat dari bayarannya. Sekarang kalian harus menemaniku!" perintahnya tertawa lepas. Ruby mengangkat bahu, mengambil uang kemudian mengangguk. "Baik, ayo pergi."
Mereka berempat melangkah dari kursi taman menuju pedagang kaki lima. Andrew didampingi pengawalnya terus berjalan di depan, dia sedikit terheran ketika melihat Ruby membeli banyak makanan untuk dirinya sendiri dan dua bocah itu. "Apa? Kenapa? Kau mau juga. Beli sendiri anak manja. Kau punya uang"
"Namaku Andrew! Dasar bocah tak sopan!"
Mereka bertiga terkikik, kemudian berkeliling ke satu kedai, melihat-lihat taman sementara berjalan pergi menuju danau di taman. Sesekali mereka melihat Andrew yang terbatuk, wajahnya pucat, dia bahkan minta banyak beristirahat. Tentu saja karena mereka dibayar, mereka langsung menurut.
"Andrew sakit?" tanya Bing khawatir, tampaknya bocah gagap itu memiliki empati yang besar. Dia meminum air putih yang dibeli Ruby. Andrew yang mendengarnya tertawa, tawa songong menyebalkan. Mungkin tidak ada yang mau berteman dengan anak manja itu sampai harus membeli teman. Ya, membeli teman seperti mereka.
"Iya, tapi tak masalah. Kakakku mengajak keluar itu adalah hal yang jarang."
"Terus Kakak Andrew ke mana?" Olive menyembul dari pundak Ruby, menatap Andrew yang menyeringai, walau diam-diam mereka bisa melihat matanya yang sedih. "Dia ke sini untuk mengenang kekasihnya yang sudah meninggal. Perempuan itu sangat baik, karena itu Kakak sampai sekarang tidak pernah bisa melupakannya."
Mereka bertiga mengangguk, memakan makanan mereka kemudian sampai di dekat danau. Wajah Andrew terlihat cerah, seolah pertama kali melihatnya. "Andrew! Danaunya bagus ya?" Andrew terkekeh mengangguk, sikapnya masih menyebalkan. Akan tetapi sudah lebih baik dari sebelumnya
Ruby ikut menatap ke danau, dia pernah melihat itu. Akan tetapi sudah lama sekali, mungkin saat umurnya lima. Suasana begitu damai sebelum Olive bercanda dengan jahil. "Kenapa Andrew harus punya penjaga? Memangnya Andrew pangeran?"
Candaan itu membuat mereka tertawa selain Andrew dan pengawalnya. Terdapat jeda panjang sebelum mereka bertiga melirik Andrew serius. "Andrew benar-benar pangeran?" Andrew menaikkan sebelah alis, senyuman narsisnya timbul kembali. "Iya. Karena itu kalian harus hormat padaku."
"Ta- tapi. Setahuku Raja dan Ratu hanya punya dua anak. Pu- Putri Seline dan Putra Mahkota Martin. Tidak ada yang nama- namanya Andrew."
Bing menjelaskan, dia sudah banyak les dan belajar. Jadi mengetahui hal-hal soal Raja dan Ratu ialah pengetahuan dasar, termasuk mengetahui keturunannya. Andrew mengerucutkan bibir, mendelik. "Itu karena mereka menyembunyikanku!"
"Jangan berimajinasi terlalu tinggi, Andrew. Tidak apa-apa. Kau masih terlihat seperti pangeran kok."
Olive tampaknya senang sekali menjahili Andrew. Kini semua orang tertawa termasuk penjaga. Andrew hanya semakin kesal, wajahnya memerah walau dalam hati dia membatin, Oh, begini rasanya memiliki teman.
Bersambung ....
12 Desember 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top