02: Undead

Bandara, Ines 20XX

Ruby terbangun mendapati dirinya di ruang sempit, tempat yang dingin pun kecil. Dia mendesah, mulai merangkak di tempat yang tidak nyaman. Dia tidak tahu ke mana lorong kecil ini membawanya, seingatnya hanya satu, ada gumpalan hitam yang menggerayangi tubuhnya kemudian dia tak sadarkan diri. Samar-samar dia bisa melihat cahaya buram dari ujung lorong.

Segera dia mendekati sumber cahaya, matanya sakit tapi tidak lagi berkunang-kunang. Ketika sampai dia mendapati penutup lorong berbentuk kotak seperti ventilasi udara. Apakah ujung dari lorong ini adalah tempat akhir dari pembuatan bubble warp? Ruby tak tahu. Jadi dia segera menendang penghalang itu menemukan dirinya terjatuh ke atas meja.

"Apa ...?"

Ruby mengalihkan pandangan ke sekitar, ketika tidak ada penghalang dirinya jatuh mengenai meja. Tapi, bukan itu yang membuat dia terkejut, sekelilingnya berubah, jelas sekali ini bukan pabrik. Ruangan putih luas, di sebagian tempat terdapat banyak kantong jenazah di sekitarnya yang berwarna oranye. Hati-hati sekali dia menurunkan kaki menghindari mayat-mayat.

Semakin berjalan jauh dia menemukan banyak kursi, lalu terdapat papan juga jendela besar, terdapat pesawat di luarnya. Ini bandara! Dia mengangguk kemudian semakin bingung. "Kenapa aku bisa di sini ... lalu mayat-mayat ini?" Dia kebingungan terus berjalan.

"Co ... Coro ... Corona!"

Astaga! Ruby menutup mulutnya dengan jaket, mayat-mayat ini ialah salah satu dari sekian banyak korban wabah corona ketika dia masih sangat kecil. Semakin berjalan dengan tenang dia menemukan sinar mentari perlahan turun dari langit, bandara menjadi gelap dan tidak menerangi ruangan.

Ruby menghela napas, dia harus keluar. Setelah kelaparan dan dibuang ke tempat antah berantah oleh Nenek Tua. Dia tak mengerti lagi apa yang harus dilakukan. Sampai akhirnya Ruby menemukan satu ruangan yang mendapati Vending Machine, ada banyak jenis makanan dan minuman di dalamnya.

Ruby menegak ludah kemudian menyeringai lebar. Memecahkan benda pemadam kebakaran darurat, dia memecahkan kaca penghalang kemudian mengambil kapak. Punggung tangannya perih, tapi tak masalah. Satu kali dia melambungkan kapaknya ke udara kemudian menghantam mesin itu, dua kali, tiga, terus hingga suara bisingnya menggema ke seluruh ruangan.

Prang!

Keringat menetes dari tubuhnya, dia tersengal-sengal kemudian kembali menghantamkan kapak ke jendela mesin. Sudah retak satu, dua, juga semuanya sebagian pecah. Rakus dan tidak sabaran Ruby mengambil makanan dan minuman, kelaparan setengah mati wadah bekas makanan berhamburan. Ruby mengelap wajahnya dengan tangan, masih makan, mengambil sekian banyak.

Brak!

Ruby tersentak mendengar gedoran dari pintu, kemudian menatap ke layar terdapat banyak makhluk. Apa? Dia melotot, jantungnya berpacu cepat segera dia mengambil kapak melihat ke layar lagi. Bukan manusia, itu seperti mayat-mayat, sebagian tubuh mereka tertutupi kantong jenazah oranye. Seperti zombie.

"Sialan! Ini tidak masuk akal!"

Bukankah ini karena Corona? Yang benar saja corona bisa mengubah mayat jadi hidup! Ruby menggenggam kapak semakin kuat merasakan gedoran pintu yang bising. Pintu bahkan sudah dikunci tapi tak ada yang bisa menghentikan rombongan makhluk aneh yang ingin membunuh. Ketika situasi semakin sulit, dia kembali mendapatkan ide melihat tempat sampah.

"Argghh...!" raungan terdengar bising dari para monster, pintu sudah terbuka, sedangkan Ruby sudah bersembunyi di tong sampah. Dia ingin muntah, bau dan busuk sungguh menyengat. Dia mengintip dari balik penutup tempat sampah bahwa mereka mulai memakan satu sama lain, itu alasan sepanjang jalan terdapat noda darah.

Ruby menutup hidung, sudah hampir pasrah jika saja tidak mendengar suara musik mengalun dari speaker. Suara raungan semakin keras, berhamburan menuju sumber suara, dia mengintip hingga menghela napas lega, segera keluar dari tempat sampah. Yang pertama dia lakukan adalah mengambil makanan dan minuman yang tersisa kemudian memasukkan ke kresek dari sakunya.

Ruby harus ke tempat semula. Tempat dia keluar dari ventilasi udara. Cepat-cepat memasukkan makanan, dia menyimpan kapak di sampingnya untuk berjaga-jaga.

"Permisi ... Ha-"

Ruby sudah menebas sumber suara, jika saja tidak menghindar sasarannya pasti akan mati di tempat. Ruby meringkuk ke sudut menatap waspada, kini orang yang menyapanya terjatuh di lantai--- menghindar, kemudian melirik sekitar sebelum tersenyum menatap Ruby. "Jangan takut ... Olive bukan zombie ...." bisiknya kemudian menutup pintu.

Ruby masih skeptis lantas mengacungkan kapak siap kembali menebas. "Hey! Tu- tunggu. Olive serius ... lihat, tidak ada gigitan." Di depan Ruby terlihat gadis kecil yang menyebut dirinya Olive tersenyum khawatir, mengulurkan tangan ramah, masih setengah berbisik. Ruby masih ragu, pakaian Olive itu sangatlah ... kekanakan dengan kaos warna-warni dengan kepala poni di tengah kaos. Dia juga mengenakan sepatu warna-warni yang akan berkilauan jika melangkah. "Ayo ... kita pergi."

Ruby mengangguk akhirnya mengikuti langkah anak kecil itu. Dia tak percaya akan mengikuti Olive. Jika saja Ruby bisa menebak usianya, Olive berusia kisaran delapan sampai sembilan tahun. "Shut ...." Langkah Ruby terhenti ketika Olive menutup bibirnya dengan satu jari. Kemudian menatap Ruby lagi. "Jangan berisik ...."

Ruby mengangguk, masih berusaha berjalan lagi kemudian mengikuti langkah Olive. Ruby dengan seksama menatap sekeliling yang kian kosong. Musik masih mengalun, bersuara menarik perhatian zombie. Ruby mengerutkan dahi semakin dalam, tangannya sudah bersiap mengayunkan kapak jika itu dibutuhkan. Setelah melewati lorong, pada akhirnya mereka sampai di salah satu lift. Olive mulai memencet tombol, kemudian tersenyum menatap Ruby. "Nama kau siapa?" bisiknya. Suara itu sangatlah ceria, antusias, tak menyembunyikan apa pun.

Ruby mendesah, kemudian menengadah menatap angka di lift yang terus turun. "Aku Ruby." Olive tersenyum lebar, menggenggam tangan Ruby yang terperanjat menepis tangan Olive yang hanya tersenyum lebih lebar. "Ruby tahu? Kalau anak kecil tidak boleh di sini." Ruby menggeleng, kembali diam, lagipula siapa juga yang mau kemari.

Obrolan mereka terhenti tatkala suara denting lift terdengar. Hanya saja kemudian pintu terbuka dan kawanan zombie sudah siap menyerang. Ruby menarik lengan Olive kemudian berlari, secepat kilat napas mereka tersengal-sengal. Berlari ke lorong berbelok lagi, raungan kembali terdengar, Olive menggeleng melepaskan tangannya dari Ruby.

Mata Ruby membelalak melihat Olive hanya terdiam sementara dia terus berlari, segera saja Olive menjadi santapan lezat oleh para zombie kelaparan. Ruby menginggit bibir bawahnya melihat kulit yang tercabik, sedangkan lagi-lagi darah keluar dari pembuluh darah Olive. Menggelengkan kepala berusaha kabur, di ujung lain sudah ada zombie yang menunggu, lantas dengan cepat mengigit, mengoyak-ngoyak tubuh, Ruby bisa merasakan dirinya akan mati.

Ketika Ruby bisa merasakan kulitnya terlepas dari daging, semuanya menjadi buram, perlahan dia merasakan tubuhnya tersentak beberapa kali. Gumpaln hitam menyerapnya, begitu juga yang dia lihat samat-samar dari Olive yang tidak berdaya. Ruby lagi-lagi menarik napas, langsung tersadar dari rasa sakit. Dia melirik sekeliling, terdapat ruang kotor dengan gulungan bubble wrap besar. Dia kembali ke pabrik tua. Tepat ke pemberhentian akhir pembuatan bubble wrap.

Keringat membasahi tubuh. Dan di sana dia menemukan peralatan pencurian masih utuh. Kresek besar dan gunting, beberapa potongan bubble wrap. Ruby terdiam, shock, apakah itu semua hanya mimpi?

Bersambung ....

2 Desember 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top