Love Between Us by @bieruliu1
Tahun 1896, Peristiwa Eulmi yakni terbunuhnya Ratu Myeongseong—Ratu Min—keadaan Korea menjadi tidak tenang. Terjadi desakan dari rakyat atas kematian wanita berpengaruh tersebut. Sentimen publik terus menyudutkan Jepang atas peristiwa itu. Raja Gojong yang berduka atas kematian sang istri menjadi seseorang yang hidup segan mati pun tak bisa. Puncaknya adalah, ketika Jepang meminta Raja menandatangani surat kuasa agar Ratu Min segera diturunkan menjadi rakyat biasa. Akan tetapi, Raja menolak dan malah memilih untuk mengungsi ke Rusia.
Perginya Raja dari istana, membuat keluarga kerajaan yang tersisa menjadi semakin terdesak. Jepang yang ingin meredakan sentimen rakyat berusaha menyebarkan rumor, sehingga dapat memberikan perlindungan bagi keluarga kerajaan di Korea. Namun, bukan itu yang dirasakan oleh keluarga Pangeran Yoon-Duk, karena mereka merasa terpenjara di dalam kediaman mereka sendiri—tentara Jepang selalu menjaga ketat kediaman mereka dan mengawasi gerak-gerik mereka.
Pangeran Yoon-Duk yang berperan aktif di Korea membuat Jepang khawatir, yang akhirnya membuat Jepang segera mengirim Pangeran Yoon-Duk menjauhi Korea untuk menjadikannya Duta Besar di Jepang—tetapi sebenarnya bukan itu maksud Jepang, mereka hanya tidak ingin semakin terdesak atas gerakan-gerakan revolusi yang dapat merepotkan mereka ke depan nanti.
—Keijyo, setahun setelah kematian Ratu Min—
Di kediaman Pangeran Yoon-Duk, sarapan pagi terasa begitu menegangkan setelah adu mulut terjadi di antara ibu dan anak. Wajah menyebalkan Soo-Yeon tak bisa tertutupi oleh kecantikannya. Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada, menatap tajam sang ibu yang sedang menyantap makanan dengan lahap.
"Kenapa tidak menyentuh makananmu?"
"Aku tidak lapar! Bagaimana bisa Ibu tetap makan dengan lahap saat keadaan kita menyedihkan seperti ini?"
"Apa yang kau sedihkan dari keadaan kita? Kau hidup dengan layak bahkan tak kekurangan apa pun."
"Kapan mereka akan memulangkan Ayah? Sampai kapan kita akan terkurung di rumah kita sendiri, Bu?"
"Soo-Yeon–ah...."
"Apa mereka akan terus menawan Ayah? Apa mereka baru melepaskan Ayah saat dia sudah menjadi mayat seperti Paman Jang?" Ia menatap ibunya lekat dengan mata yang menyorotkan kemarahan.
"Soo-Yeon!" sang ibu membentak. "Ayahmu sedang melakukan tugasnya sebagai Duta Besar Korea, Ayahmu–" intonasi suaranya melemah, sang ibu berusaha meredakan emosinya.
"Ibu, aku bukan lagi gadis berusia sebelas tahun yang bisa Ibu bodohi dengan cerita seperti itu. Aku tahu Ayah diasingkan karena tidak menurut dan kita...entah kapan kita akan menyusul Ayah untuk diasingkan juga...jauh dari negara kita, jauh dari tanah kelahiran kita atau mungkin–kita akan dibunuh seperti mereka membunuh Jungjeon-mama!" Gadis itu tak bisa mengontrol emosinya lagi.
Braaakkk!
Sang ibu meletakkan sumpitnya di atas meja dengan keras, membuat gadis itu sedikit terkejut diam tak bersuara.
"Pelankan suaramu, kau bukan lagi gadis kecil dan harusnya lebih mengerti. Posisi kita bukanlah posisi yang bisa memberontak dengan segala keputusan mereka. Jusang Jeonha belum kembali dari Rusia dan kita hanya harus menunggu. Ayahmu...memutuskan untuk mengikuti mereka demi keamanan kita sekarang, agar Jepang tidak bisa menyentuh kita sampai Raja kembali dan membawa kemerdekaan bagi Korea." Sang ibu memelankan suaranya kemudian menatap erat putrinya. "Nikmati makananmu, kita tak akan tahu kapan kita tidak bisa makan. Tidak makan pun, tak akan mengubah keadaan kita. Makanlah...ayahmu pasti akan sedih jika tahu kau tidak menyentuh makananmu." Sang ibu kembali mengangkat sumpit, lalu meletakkan sepotong daging di atas nasi sang putri.
Huhhh!...Soo-Yeon mendengkus kesal lalu ditatapnya kalung rubi berwarna merah di dalam kotak kayu yang terletak di atas meja ruang tamu. Bagai jatuh tertimpa tangga adalah nasibnya—sudah dikurung di dalam rumah, ia juga harus menikahi seorang Kapten Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dengan terpaksa.
Lee Soo-Yeon—dirinya—adalah putri tunggal Pangeran Lee Yoon-Duk. Kevokalan ayahnya menyuarakan hak rakyat, membuat Jepang kebakaran jenggot. Sehingga membuat Jepang mencari cara agar Pangeran Yoon-Duk bisa dijauhkan dari politik Korea dengan menjadikannya sebagai Duta Besar Korea. Hal itu sangat berdampak besar pada kehidupan Soo-Yeon dan ibunya karena pergerakan mereka selalu diawasi, bahkan jika bukan sesuatu yang penting, tentara Jepang sangat sulit memberikan mereka izin untuk meninggalkan kediaman mereka.
***
Di pelabuhan Korea, terlihat satu lagi kapal perang Jepang yang bersandar kembali di lautan Korea. Beberapa batalion pasukan tampak turun dari kapal, bergantian dengan kapal yang lebih kecil untuk merapat ke pelabuhan.
"Kapten Takagawa Naoki?" Seseorang menyapanya.
Pemuda berbadan tegap dengan seragam kebangsaan kekaisaran Jepang berbalik untuk menatap pria yang memanggilnya tadi. "Anda?"
"Kapten Takagawa, saya Haneda Yoshio, penanggung jawab tempat ini." Lelaki berkepala plontos tersebut kemudian membungkuk 90 derajat kepadanya.
"Mohon kerja samanya, saya Takagawa Naoki dari pasukan 9." Pemuda itu ikut membungkukkan badan untuk membalas bungkukkan lelaki itu, kemudian mengembangkan senyum di wajah tampannya—Kapten Takagawa Naoki, berusia 20 tahun, dari kesatuan militer utama Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, yang mengemban tugas menggantikan pasukan 12 yang telah lama bermukim di Korea.
Didampingi oleh Haneda Yoshio, Naoki segera menuju markas Kemiliteran Kekaisaran Jepang untuk melapor. Tak berapa lama kemudian, dia pun keluar dari kantor sang paman, Jenderal Kitagawa, lalu menutup pintunya perlahan sembari mengembuskan napas berat, Heehmh!
Siang ini langit masih saja terlihat mendung, awan hitam terus bergelayut di langit kota Keijyo, dan sepertinya tak ingin beranjak pergi. Soo-Yeon tampak sudah bersiap dengan menyelipkan sebuah payung di belakang punggung. Hari ini, ia memutuskan untuk pergi ke kantor pos karena ingin mengirimkan surat-suratnya ke Jepang. Mengirimkannya kepada Kang Hyojin, pemuda yang ditunggunya selama ini—tunangannya yang dua tahun lalu berangkat ke Jepang bersama keluarganya.
Didongakkannya kepala menatap ujung pagar beton belakang rumahnya yang begitu tinggi. "Orabeonim pasti akan segera datang dan pemuda Jepang bodoh itu akan tahu akibatnya!" gerutunya. Dipandanginya sekeliling, memastikan bahwa tak ada tentara Jepang yang akan menciduknya di sana. Soo-Yeon lalu mengangkat sedikit chima-nya, memijakkan kaki pada sebuah kotak kayu yang ia seret dari gudang agar bisa melompati pagar rumahnya itu. Soo-Yeon tampak tak kesulitan meskipun ia adalah seorang gadis yang memakai hanbok saat memanjat tembok.
Dengan susah payah, akhirnya ia berhasil duduk di atas pagar rumah. Fiuuhhh!...Gadis itu terlihat begitu senang bahkan sempat menghirup dalam-dalam udara kebebasannya. Sebelum melompat turun, Soo-Yeon terlihat berusaha menyesuaikan keseimbangannya agar tidak jatuh, ia juga mulai menghela napas untuk mengusir kegugupannya.
"Oooiii...," sebuah suara yang agak tajam membuatnya terkejut, yang mengakibatkan keseimbangannya menjadi agak sedikit goyah. Untungnya dia bisa cepat berpegangan, Soo-Yeon menoleh ke arah suara dan tampak seorang pemuda berseragam tentara Jepang memandang ke arahnya.
"Ahh...sial," katanya seraya memalingkan wajah.
"Ojou–San, apa yang sedang kau lakukan di sana?" tanya pemuda itu dengan bahasa Jepang.
"Bukan urusanmu!" jawab Soo-Yeon ketus dengan bahasa Korea kasar.
"Hee?" Pemuda itu sepertinya tidak mengerti apa yang diucapkannya.
Soo-Yeon akhirnya memutuskan untuk turun, dengan berusaha meraih-raih kotak kayu memakai sebelah kakinya yang masih berada di pagar bagian dalam.
"Ojou-san...apa ada yang bisa aku bantu? Kau akan terjatuh kalau seperti itu," kata pemuda tersebut tampak cemas.
"Tidak bisakah kau diam? Kau akan membuatku jatuh jika terus mengoceh," gerutu Soo-Yeon yang sedang berusaha bertumpu pada kedua tangan untuk memindahkan tubuhnya, tetapi dasar Soo-Yeon yang sedang sial, pijakan tangannya tiba-tiba tergelincir dan ia pun terjatuh. "AARRRGGGHHH!"
Soo-Yeon memekik sambil memejamkan mata, tak lama kemudian merasakan sesuatu menekan dadanya, yang membuatnya membuka mata kembali, dan ternyata—pemuda itu telah menopang tubuhnya dengan tangan yang berada tepat di dadanya. "AAKKKKHHHHH!" Soo-Yeon berteriak melengking untuk kedua-kalinya, segera menegakkan tubuh, dan langsung menampar pemuda yang menolongnya itu.
Soo-Yeon berteriak histeris sambil mengumpat. Kata-kata yang bisa jelas didengar adalah; 'Dasar Jepang mesum!', 'Sialan!', 'Mati kau!', dan yang lainnya yang tidak begitu jelas karena pengucapannya begitu cepat. Sementara itu, pemuda di depannya terlihat bengong sambil memegangi pipinya yang sudah merah. Soo-Yeon menatap pemuda itu dengan tatapan tajam menghunjam.
***
Mereka pun akhirnya menyelesaikan masalah tersebut di dalam rumah, dan ternyata pemuda itu adalah Kitagawa Naoki, calon suami Soo-Yeon yang dipaksakan Jepang kepadanya. "Huhh! Dasar mesum," umpat Soo-Yeon dalam bahasa Korea.
Naoki terus saja membungkuk meminta maaf berkali-kali, karena ia benar-benar tidak ada maksud dan niat melecehkan gadis itu.
"Agissi, apakah Anda terluka?" tanya pelayan Soo-Yeon.
"Oohhh–kehormatanku yang terluka!" ucap Soo-Yeon ketus.
"Sudahlah, dia hanya berniat membantumu. Lagi pula, dia calon suamimu."
"Aku tidak peduli dia calon suamiku atau bukan. Aku membencinya!"
"Soo-Yeon...."
Soo-Yeon memalingkan wajah kesal.
Naoki tersenyum setelah memperkenalkan diri dengan sopan. Sikapnya yang ramah dan santun, tak terlihat beringas seperti tentara Jepang lainnya. Setelah itu, Naoki pun akhirnya pamit karena ia hanya berkunjung untuk melihat calon istrinya dan sekali lagi meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi tadi. Saat sudah berada di depan rumah itu, beberapa kali Naoki mencuri pandang ke arah jendela di lantai atas di mana Soo-Yeon mengawasinya—yang membuat senyumnya merekah.
***
Di Konsulat Jepang, Ibu Soo-Yeon keluar dengan wajah menegang. Entah apa yang terjadi, ia merapatkan mantel lalu berjalan cepat dan beberapa kali ditolehkannya kepala ke belakang, memastikan tidak ada yang mengawasinya. Langkahnya kemudian berbelok ke sebuah gang sempit sambil ditutupnya wajah dengan saputangan sutra di tangan. Gerakan kakinya berhenti di depan sebuah bangunan, yang sebagian besar telah runtuh. Dengan mantap, ia pun masuk ke dalam. Di sebuah ruangan rahasia yang berada di bawah tanah, sudah ada beberapa orang yang telah menunggunya—empat diantaranya adalah perempuan yang memakai seragam sekolah.
"Yang Mulia." Mereka memberi salam kepadanya.
"Duduklah." Ibu Soo-Yeon melepas sarung tangannya, lalu duduk di depan mereka semua yang wajahnya terlihat tegang.
"Saya sudah mendengarnya dan membaca telegram yang dikirim. Lalu...apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?" tanya seorang pemuda di dekat pintu masuk.
"Hhmm...Pangeran Yoon-Duk sudah bergerak, maka kita juga harus bergerak sekarang. Tidak ada waktu lagi! Kita tidak bisa menunggu Putra Mahkota lagi, keadaan semakin genting," kata Ibu Soo-Yeon yang mengeluarkan sebuah surat dari dalam saku bajunya dengan wajah murung. "Terus lakukan pergerakan lewat surat kabar. Aku akan segera membawa Soo-Yeon untuk bergabung dengan kita. Tunggulah sebentar lagi hingga Yang Mulia Raja kembali."
Wajah penuh semangat terlihat begitu terpancar di dalam ruangan, harapan untuk menghirup udara kebebasan yang dirindukan selama ini seakan kembali datang.
***
Naoki berada di markas kemiliteran dan tengah membenahi berkas-berkas di ruang kosong. Tumpukan kardus yang sangat banyak, harus segera disingkirkannya untuk menciptakan ruang di ruangan kerjanya. Tiba-tiba kardus yang diangkatnya terbuka di bagian bawah, yang membuat isinya berhamburan keluar banyak sekali. "Ooh, surat," katanya.
Naoki membaca nama pengirimnya. "Kang...Ho...Jin? Oohh–Kang Hyojin?" Dibacanya lagi huruf Jepang yang berada di samping nama pertama. "Lee...Soo-Yeon...Oohh–nona itu."
Karena penasaran, Naoki meminta salah satu bawahannya menerjemahkan surat-surat tersebut, yang ternyata, semua surat yang ditemukannya berisi tentang pesan kerinduan. "Hhmm–ini pasti sulit," gumamnya seraya memandang langit yang gelap tanpa bintang malam itu.
***
To be continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top