Kratzig Memoar by cherly997

Jiwa yang mati masih bersemayam di dalam jasadnya. Jantungnya masih menderu dan napasnya masihlah hangat di tengah musim dingin yang hampir mematikan. Judith tengah terlelap di bangsalnya, terkulai dalam sekarat. Tubuhnya mengejang karena dingin menusuk tulang belikatnya, tetapi ia masih mampu merasakan detak jantung yang berdegup meskipun terasa melambat.

"Wstawàch," teriak para SS dengan kencang, membuat jantung Judith kembali terhenti.

Judith membuka matanya—mata sayu yang menyiratkan ketakutan, kelaparan, dan kesakitan. Ia tidak tahu kondisinya hari ini, mungkin saja ia akan mati karena kerja paksa, atau mungkin ia didaftarkan untuk menjadi kelinci percobaan hari ini, atau yang paling seram, ia akan masuk ke dalam kamar gas.

Judith berusaha menghilangkan ketakutan-ketakutan itu, baginya...mati nanti ataupun sekarang itu sama saja—ia tetap akan mati dengan cara yang brutal dan jauh dari kata manusiawi. Sehingga lebih baik baginya untuk tetap merasa sekarat, bila perlu...ia harus bisa mematikan jiwanya sebelum para Nazi mematikan jasadnya.

***

"Aku akan mandi hari ini," ujar Neimar, gadis Yahudi yang baru saja sembuh dari penyakit pura-pura tifus. Judith mengangguk, tidak ada lagi iba di hatinya—mungkin ada, tetapi hanya sedikit. "Haruskah aku melarikan diri?" tanya gadis itu.

Judith terdiam, tak sanggup menjawab meski hanya untuk mengatakan ya atau tidak. "Mandi akan lebih baik, daripada menjadi kelinci percobaan seperti anak kembar Nyonya Grogery," hiburnya yang pernah melihat dua anak kembar dijahit menjadi satu oleh para ilmuan psikopat itu.

Neimar menggeleng, menyesali perbuatannya karena telah berbohong kepada para penjaga tahanan. "Bisakah kau menceritakan kepadaku, bagaimana kematian itu?" tanyanya yang membuat Judith terdiam lagi.

Judith lalu tersenyum, meskipun tampak getir. Kematian adalah jawaban bagi semuanya. Tidak bisa ditentang, juga tak bisa dihindari. Para Nazi layaknya pencabut nyawa berseragam yang siap menembakkan senapan di kepala-kepala Yahudi. Ah, tidak-tidak—dia enggan berspekulasi. Akankah lebih baik bila dirinya meninggalkan otaknya, juga akal sehatnya di kamar. Yah–setidaknya, agar para tentara Nazi tidak melihatnya seperti seonggok jasad yang sedang sekarat.

***

Judith sedang menyerok salju dengan sekopnya. Badannya yang terlalu kurus seperti tengkorak tenggelam di antara salju-salju. Di antara kabut yang memuai, sebuah truk pengangkut tahanan memeleset hampir menabrak tahanan yang sedang bekerja. Di dalamnya, Rudolf yang setengah mabuk, mentertawakan para tahanan yang diserempetnya. "Minggirlah, Babi-Babi Dungu," teriaknya sambil mengarahkan senapan kepada siapa pun yang tengah melintas di hadapannya—lelaki Arya berparas tampan itu berkendara bagaikan orang gila.

Rudolf menembaki dan menabrak semuanya, terutama para pekerja Yahudi. Aksinya seperti parade yang disorak-sorai oleh tentara Jerman, yang seolah ikut mendorong para tahanan agar menjadi korban kegilaan pria itu.

Rudolf menghentikan mobilnya tepat di depan ruangan seleksi tahanan, di mana para tahanan baru akan digunduli, ditato, dan diperiksa kesehatannya. Mereka yang masih sehat akan dikirim ke kamp. Sedangkan mereka yang sakit, akan segera dihanguskan di dalam ruangan Genosida. Beberapa di antara para tahanan ada pula yang menjadi stok penelitian.

"Rudolf," panggil seorang perwira Schutzstaffel.

Dia adalah Ivanka—gadis berwajah malaikat dengan mata biru yang lugu. "Aku merindukanmu," ungkapnya sambil memeluk tubuh tegap pria itu.

Rudolf dengan beringasnya memeluk kembali Ivanka, meremas pantat besar wanita berjuluk Si Serigala dari Belsen itu. "Bagaimana hari-hari indahmu di Auschwitz?" tanya Rudolf sambil menggandeng pacarnya menjauh dari binatang-binatang Yahudi.

***

Di bawah pagi yang bersalju, di mana matahari pun takut akan kekejaman para tentara elite Nazi. Rudolf dan Ivanka berteduh di bawah pohon Oak sambil berbagi ganja agar pikiran mereka bisa sedikit lebih tenang. Seperti biasanya, Ivanka akan menceritakan pengalaman menakjubkannya untuk mengambil hati pria itu yang sulit ditaklukan. "Kau tahu, Ru...aku menemukan banyak kulit bertato dengan desain yang indah," katanya antusias.

"Wow, itu hebat. Apakah desain tas yang kau ceritakan kemarin sudah jadi?" tanya Rudolf.

"Aku belum menemukan kulit yang pas. Mereka...orang-orang Yahudi, memiliki kulit yang terlalu lentur, juga terlalu pucat dan tampak sakit," ungkap Ivanka.

"Sayang, aku yakin kau akan menemukannya," ujar Rudolf memegang pipi wanita itu, mengecup bibirnya kasar, tetapi juga penuh kasih sayang kerinduan. Yah, dialah Rudolf Hermann— seorang perwira muda yang memiliki hubungan paling dekat dengan Himmler. Wajahnya adalah pesona lain dari Auschwitz, semua perempuan bisa begitu tergila-gila kepadanya, baik tentara maupun para tahanan kamp. Hanya saja, Rudolf lebih memilih berhubungan dengan wanita berdarah Arya murni yang bermata biru dan berambut pirang. Dengan ras lain, terutama Yahudi, ia merasa alergi bahkan bila itu hanya berjarak beberapa meter saja.

***

Hari itu Dokter Linch akan mengadakan percobaan kepada seorang tahanan, tugas Rudolf adalah menculik tahanan itu. Dokter itu memintanya untuk fokus memukuli bagian tubuh sebelah kanan saja. Rudolf pun segera menarik korbannya yang sedang makan. Orang Yahudi berbadan terlalu kurus yang menjadi targetnya pun melakukan pemberontakan, sedangkan tahanan lainnya, dengan biasa melanjutkan makan siang mereka.

Di lapangan, Rudolf memukul korbannya hingga sekarat, tetapi tidak mengizinkannya mati. Dia memperhitungkan tenaga yang digunakan untuk memukul tubuh lelaki Yahudi itu yang memiliki tato kecil bergambar naga di atas dada—yang membuat Rudolf jadi begitu menginginkan kulit tahanan itu, yang sudah memerah karena pukulannya. Setelah puas, dia mulai mengeret tahanan Yahudi itu masuk ke ruangan Dokter Linch.

"Kerja bagus, Rudolf," ujar dokter itu yang mengetahui apa yang diinginkan perwira muda tersebut—ya, Rudolf adalah tentara yang terobsesi dengan tato di kulit manusia. Oleh karena sudah paham, hal pertama yang dilakukan oleh dokter itu adalah mengambil tato di tubuh tahanan tersebut sebelum jasadnya membeku. Operasi kemudian dilakukan tanpa anestesi, teriakan menahan sayatan itu terdengar parau tak bertenaga dari tahanan tersebut—ya, yang tentu saja itu adalah hari terakhirnya.

Rudolf dengan santai mengiris tipis kulit pria itu, sementara Dokter Linch membuka perut korban untuk dapat menyuntikkan cairan metana di bagian lever. Saat tato itu sudah diambil dari tubuh korban, Rudolf merasa harus mempertahankan warna merahnya dan tidak ingin tato itu membeku. Sebelum cerutunya habis, dia pun sudah selesai memformalin kulit tipis tersebut.

"Dia masih bernapas?" tanya Rudolf sambil mengamati jantung tahanan itu yang masih berdetak, sedangkan paru-paru, usus, dan ginjalnya masih terlihat berdenyut. Dengan santai ia ikut mengamati proses malapraktik itu, tetapi segera meninggalkan ruang percobaan itu sebelum proses tersebut usai.

Rudolf berjalan seperti tak berdosa, melewati orang-orang yang sedang antre untuk masuk ke ruang mandi Genosida. Seorang kopral memberikannya karung yang berisi uang dan perhiasan, yang merupakan sitaan dari para tahanan. Rudolf merogoh beberapa lembar uang lalu memberikannya kepada kopral itu. Dia kembali merogoh isi karung dan sebuah kalung rubi berwarna merah marun tampak begitu indah berhasil ditemukannya—batu itu begitu jernih menyilaukan. Rudolf menggantungkan kalung batu rubi itu di tangan. Tampak kilauan keluar dari batu permata itu ketika cahaya memantulkan sinarnya. Para tahanan menatap Rudolf dengan penuh amarah, dia membalasnya dengan senyuman yang paling manis yang dimilikinya, sebelum menembakkan peluru tepat di atas pelipis Yahudi yang menatapnya itu.

Tentara lain yang melihat, hanya tersenyum dengan kegilaannya, karena Rudolf selalu bisa memberikan teror bagi para tahanan bahkan di menit-menit terakhir mereka hidup. Ruang Genosida adalah ruangan yang berbentuk kamar mandi lengkap dengan pancuran air, dan mungkin juga tempat sabun. Para tahanan dibohongi dengan dalih bisa mandi. Ketika mereka masuk ke ruangan itu, tempat itu kemudian dikunci dari luar, dan gas beracun kemudian keluar dari atap-atap ruangan itu. Teriakan para tahanan menjadi hiburan tersendiri bagi tentara SS yang menjaga, mereka seperti kecanduan mendengar suara pembinasaan. Dari semua itu, Rudolf adalah orang yang paling kecanduan mendengarkan suara-suara kematian.

Ivanka yang entah sejak kapan hadir, langsung memeluknya dari belakang. Selain darah Arya yang kental mengalir di tubuh wanita itu, aroma Ivanka adalah aroma kematian yang membuat Rudolf bertekuk lutut kepada perempuan itu—yang sudah dikencaninya selama enam bulan terakhir. "I want to do sex, please," pinta Rudolf, yang diiyakan oleh Ivanka.

***

Di akhir petang, Rudolf dan Ivanka kembali ke penginapan lebih awal. Mereka memadu kasih di dinginnya temaram musim salju. Bulan yang bersinar seperti menjadi saksi akan nafsu-nafsu yang tak terkendali. Mereka saling memuaskan. Saling berbagi kehangatan. Setelah hari yang gila juga melelahkan, Rudolf membelai rambut pirang wanita itu. Ivanka berwajah manis dengan pipi tembem berlesung, matanya sebening rembulan, kulit wajahnya berpigmen dan berwarna kemerahan. Rudolf tidak pernah merasakan rasa secinta ini kepada seseorang.

Ivanka menikmati setiap belaian Rudolf—seorang pria yang memenangkan hatinya. Rudolf yang terkadang berperangai gila juga bengis, malam ini tampak begitu mengayomi. Wajahnya terlalu rupawan dengan bibir menawan yang juga menggairahkan. Ivanka pun segera terlelap di pelukan Rudolf yang hangat.

***

Judith memulai harinya dengan rasa kesepian. Neimar tidak kembali lagi ke biliknya—mungkin tidak akan pernah lagi. Dalam kehilangan memori, memaksa Judith mengulik hari ke belakang, di hari sebelum para Nazi memorak-porandakan hidupnya. Dia waktu itu adalah seorang remaja berumur 16 tahun, yang pernah tumbuh dalam bahagia bersama keluarganya—yang entah sekarang berada di mana. Ayahnya adalah seorang penulis berita di sebuah perusahaan berita, sedangkan ibunya adalah seorang penjahit. Ia juga memiliki seorang adik perempuan yang berbeda tiga tahun darinya. Keluarga mereka adalah keluarga Yahudi bersahaja yang memupuk kebaikan dalam asas ke-Tuhanan.

Pada suatu hari, dalam kampanye anti Yahudi yang dilakukan Hitler. Satu per satu orang Yahudi diringkuk tanpa terkecuali, termasuk keluarganya. Judith, ibunya, dan Juan berpindah ke sebuah Ghetto yang mengerikan, sedangkan ayahnya entah ditaruh di mana. Pada suatu malam yang begitu menegangkan, Judith dan adiknya dipindahkan lagi ke Dachau. Nahas adik perempuannya tidak mampu bertahan. Juan meninggal karena TBC, sepuluh hari setelah berpisah dari ibu mereka.

Duka itu terlalu dalam bagi Judith. Sejak hari itu, dia tidak ingin lagi merindukan atau menginginkan apa pun. Tidak ingin lagi mengingat ayahnya atau ibunya ataupun adiknya, karena hal itu hanya akan membuatnya terisak seperti pagi ini—saat dirinya entah untuk yang keberapa kali menangisi kematian seseorang.

Judith menutup matanya ketika seseorang sedang dipukuli secara kejam oleh seseorang berpakaian tentara. Ia tidak berani menatap kekejaman itu dan tetap melakukan pekerjaannya, karena apabila berhenti, ia hanya akan disiksa sampai setengah sekarat—mereka tidak akan membiarkan para tahanan sedikit pun, setidaknya untuk bernapas.

"20891F!" teriak seorang lelaki.

Judith melihat lengannya yang bertatah tato tahanan, seketika ia langsung bergetar hendak berlari tetapi kakinya mematung tak bergerak. 

***

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top