HEIWA by Brain Washer
"Zingiber Offcinale Roscoe," ucapnya membuat teman laki-lakinya itu tertawa terbahak karena logat Indonesianya begitu kental ketika membacakan sepenggal kalimat yang berada di salah satu baris buku yang ia pegang.
"Aku tidak mengerti kenapa tanaman pun harus diberikan nama latin. Karena pada dasarnya, bukankah pada tiap negara berbeda penyebutannya?" Anak laki-laki itu membenarkan posisi duduknya sejenak sebelum akhirnya melanjutkan keluhan. "Di Indonesia disebut sebagai jahe, sedangkan orang-orang Inggris menyebutnya ginger. Lantas kenapa harus dibuatkan nama latin? Apa untuk menyamakan seluruh bahasa di dunia?"
Banu Aswadi namanya, merupakan anak dari seorang buruh tani yang lahannya disewa oleh pihak Belanda. Hari-harinya diisi dengan membantu kedua orangtuanya di ladang, bermain bersama teman-temannya, dan belajar bersama Pieter—anak petinggi yang tengah menempuh pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau yang berarti pendidikan yang lebih luas, tentunya lebih luas dari sekolah yang mendasar yaitu HIS (Hollandsch-Inlandsche School).
Meskipun terdapat sekolah-sekolah partikelir selain sekolah-sekolah yang didirikan kolonial Belanda, tetapi orangtua Banu enggan menyekolahkan sang anak dikarenakan permasalahan diskriminasi. Ayahnya tak ingin dirinya mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari anak-anak lain, terutama anak-anak berkebangsaan Eropa. Semenjak pertemuan Banu dengan Pieter dua tahun yang lalu, mereka hampir setiap hari belajar bersama di ladang dekat rumahnya, sembari menjaga kambing-kambing peliharaan Ayah Banu yang memakan rerumputan di sana. Saat sore hari barulah mereka pulang.
"Pemikiran yang menarik. Seperti halnya suku-suku di Indonesia yang punya beragam bahasa dan menyatukannya dengan bahasa Indonesia. Tetapi sebenarnya, nama latin atau nama ilmiah digunakan oleh para peneliti supaya bisa menemukan kedekatan dari tiap spesies makhluk hidup. Agar bisa diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok atau rumpun," jelas Pieter yang menanggapi keluhan itu. "Sungguh, kau sama sekali tidak cocok dengan ilmu pengetahuan. Kau lebih pintar berbicara."
"Apa anak-anak yang memiliki kelebihan ilmu pengetahuan alam sepertimu tidak pintar dalam berbicara? Apa pun bidangnya, kurasa seseorang harus pintar untuk berbicara. Itu bisa menyelamatkan mereka di beberapa situasi yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah." Banu melanjutkan membaca buku yang sengaja Pieter pinjamkan hari ini kepadanya. Ia gemar sekali membaca, apa pun itu; buku, koran, papan penjualan, brosur iklan—semua dibaca dan sebisa mungkin ia hafal. Buku adalah sesuatu yang jarang sekali bisa ia dapatkan. Dari hasil panen ladang keluarganya pun, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar sewa. Sementara untuk kebutuhan lain, keluarganya dapatkan dari beternak kambing.
"Banu, apa cita-citamu?" tanya Pieter tiba-tiba yang membuat Banu seketika mengalihkan pandangan dari buku ke arah temannya yang tengah berbaring memandang langit.
"Entah. Mungkin memiliki perpustakaan sendiri," jawab Banu mengangkat kedua bahu.
Pieter mendengus mendengar jawabannya. "Bedakan antara keinginan dan cita-cita. Mempunyai perpustakaan sendiri dengan banyak buku di dalamnya hanyalah sebuah keinginan. Aku pikir, cita-cita itu lebih mengarah kepada sebuah profesi yang akan kaujalani ketika menjadi orang dewasa."
Banu terdiam sebentar lalu bergumam sembari mencubit dagu lancipnya. "Tetap saja aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku tak ingin menjadi seorang petani seperti ayahku. Dia bekerja setiap hari mendapatkan uang, lalu mengeluh setiap saat. Kau tahu, aku sudah sering menceritakannya kepadamu, dia kerap kali marah-marah tak jelas dan yang menjadi sasarannya ialah ibuku beserta anak-anaknya." Banu memiliki tiga orang adik perempuan dan hanya dia seorang laki-laki. Adik bungsunya masih berumur tiga tahun dan baru bisa bermain kelereng, tetapi ibunya mengatakan ingin menambah anak lagi.
"Tadi ketika aku belajar pelajaran etika, guruku menanyakan hal tersebut pada setiap murid." Pieter memejamkan mata, seperti mengingat-ingat kejadian yang baru saja ia alami siang tadi. "Teman-temanku ada yang bercita-cita menjadi raja, guru, pedagang...."
"Lalu apa cita-citamu?" tanya Banu penuh nada antusias.
Pieter mengembuskan napas panjang. "Sudah jelas, ilmuan. Menemukan teori dan juga rumus baru yang bermanfaat untuk bidang sains."
"Oh, itu bagus." Banu memiringkan kepalanya lalu menambahkan, "mungkin aku akan menjadi seseorang yang pintar berbicara."
"Kau bisa menjadi pengacara bila kau mau."
"Apa itu pengacara?"
Sudah hampir tujuh tahun Pieter hidup di Indonesia. Dengan waktu selama itu, sudah membuatnya fasih berbahasa Indonesia atau bahkan menggunakan bahasa daerah lainnya. Akan tetapi, untuk mendefinisikan pekerjaan seorang pengacara, dirinya masih memerlukan waktu berpikir; kata mana yang lebih cocok dipakai untuk menjelaskan hal tersebut. "Pengacara merupakan orang yang akan membelamu di pengadilan jika kau dihukum atau menghukum orang lain," jelasnya yang masih kurang dapat dicerna si pendengar sepenuhnya—maklum, Banu tidak bergaul dengan banyak orang karena itu pengetahuannya pun minim.
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara ledakan dari arah Timur. Ledakan itu menimbulkan nyala api cukup besar disertai suara yang membuat telinga siapa pun yang berada di sekitar merasa sakit. Seketika Pieter langsung bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan tanpa sadar. "Di sana...Timur, adalah rumahku–" ucapnya sembari terus melangkah.
"Tunggu dulu, Pieter!" Banu ikut bangkit lalu mengejar langkah temannya itu yang semakin lama semakin lebar, ia meninggalkan kambing-kambing milik ayahnya begitu saja yang tengah mengunyah rerumputan, dan juga ikut bergerak cukup panik setelah suara ledakan terdengar.
***
Pieter berlari sangat kencang ke arah rumahnya yang terletak di daerah tempat ledakan tadi. Banu yang merupakan pribumi asli dengan tinggi tujuh senti meter di bawah Pieter, tentu saja kewalahan mengejar tempo berlari temannya itu. Sambil terus mengejar, dia meneriaki kawannya untuk segera berhenti, tetapi sayangnya hal tersebut tidak dihiraukan Pieter yang terus berlari, hingga seseorang dari arah depan mengadang, membuat anak itu mau tidak mau harus berhenti.
Dengan napas tersengal, Banu mengurangi kecepatan berlarinya dan perlahan berdiri tepat di belakang Pieter. Dalam sekejap mereka berdua berdiri kaku. Degup jantung anak-anak itu yang bertempo cepat seusai berlari, kini semakin cepat bahkan makin tak terkendali saat menyadari seseorang bersenjatalah yang mengadang langkah mereka saat ini. Orang itu tidak terlihat seperti pribumi, juga bukan koloni. Matanya sipit, tetapi tidak sesipit bangsa Tionghoa yang juga terdapat di Indonesia. Kulitnya kuning dan tinggi badannya setara pribumi.
Pieter mulai mundur satu langkah, pandangannya tak terlepas dari orang bersenjata dengan baju tentara di depannya. Laras panjang yang semula ada di lengan orang itu, kini berpindah posisi siap membidik. Moncong senjata tersebut tanpa ragu mengeluarkan pelurunya, menembus dada Pieter sangat cepat. Anak laki-laki itu pun segera tergeletak lemas dengan darah membanjiri kemeja putih berlengan panjang yang dipakainya.
Banu tak berkedip sedetik pun. Bila tadi jantungnya seperti terpompa lebih cepat, kini jantungnya seolah berhenti berdetak. Dia mendengar suara senapan disetel ulang dan kini melihat ujung senapan itu mengarah padanya pasca-kematian Pieter.
"Dame yo," ucap tentara lain yang memiliki ciri-ciri hampir sama dengan tentara yang menembak Pieter tadi. "Ano otoko wa Indonesia-jin." Senapan yang mulanya tertuju kepada Banu kembali digantungkan pada lengan. Kedua tentara itu kemudian pergi begitu saja dengan langkah kaki santai tanpa penyesalan.
Air mata Banu pun bercucuran, ia terduduk lemas di sebelah tubuh Pieter yang tak berdaya. Berulang kali ia menggoyang-goyangkan tubuh temannya itu seraya memanggil namanya.
"Banu!" Sang ayah berlari menghampiri putranya dan segera menggandeng penuh paksa. "Banu, tinggalkan dia! Bangsa Jepang datang! Jangan dekat-dekat dengan Belanda, kau akan ikut diserang!" pinta ayahnya dengan terus menarik anaknya menjauhi jasad Pieter.
"Tidak! Mereka membunuh Pieter!" teriak Banu histeris, lalu tangisnya pecah dengan seluruh tubuh bergetar hebat.
"Tapi mereka telah menyelamatkan kita dari para penjajah itu! Mereka sebelumnya sudah sampai di Borneo dan membebaskan Borneo dari tangan Belanda. Kini mereka datang untuk menyelamatkan kita semua, Banu." Melihat anaknya yang tidak dapat dipaksa, Jaka mulai berlutut untuk memberi anaknya pengertian. "Kita akan segera merdeka. Bangsa Jepang berjanji untuk membebaskan kita. Tidak ada lagi pajak, tidak ada lagi kerja paksa, tidak ada lagi lahan yang dikuasai oleh tangan penjajah. Kita akan hidup sejahtera."
***
Banu masih menangis dan tangisan histerisnya berubah menjadi tangisan pilu. Jaka memeluk anaknya erat-erat mencoba menenangkan.
"Dia teman terbaikku di saat seluruh orang menertawakan mimpiku untuk mengejar ilmu, TERMASUK AYAH!" Banu tahu hal itu tidak sopan, tetapi dalam pelukan ayahnya, ia pun membentak.
Dahulu ketika dirinya kerap kali dimusuhi teman-teman pribuminya karena lebih menyukai buku pelajaran dibandingkan berlatih militer, Pieter-lah yang datang dan memberi mereka ultimatum untuk tidak lagi memaksa kehendak Banu. Hanya Pieter yang mau menemaninya di ladang sembari bertukar ilmu pengetahuan. Pieter yang muak dengan teman-teman sebangsanya karena bersekolah hanya untuk main-main dan Banu yang juga haus akan ilmu pengetahuan untuk mengubah nasibnya, sangat cocok dipertemukan.
Tak hanya Jaka, ibunya, Ayu pun menghampiri seraya membawa beberapa kambing yang tadi ia tinggalkan. Kedua orangtuanya membantu Banu berdiri dan mengajaknya pergi, meninggalkan Pieter bersama cita-citanya yang menjadi seorang ilmuan sains berakhir tragis.
***
To be continue
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top