Bab VIII : Stepping Forward
"Jadi pindah tugas yang Dokter maksud itu di sini?" tanya Zach pada laki-laki berbaju putih di depannya. Dia duduk di ujung sofa panjang dengan lengan yang yang diambil alih sepenuhnya oleh sang dokter.
"Ya, Kepala Sekolah yang menawarkan. Beliau bilang dokter sekolah yang sebelumnya ingin suasana baru jadi memutuskan pindah kota, " jawab dokter ber-name tag Marvin Angelos itu santai.
Tangannya tengah sibuk memasang tensimeter di lengan kiri Zach, memastikan mansetnya terpasang dengan benar dan meletakkan lengan pasien langganannya itu di atas pegangan sofa yang rata.
Zach berusaha bersikap santai saat Dokter Marvin menekan tombol start dan memulai pengukuran tekanan darahnya. Dia melihat bagaimana manset yang mulai mengembang itu menekan lengannya yang terkulai, menyisakan rasa kebas untuk beberapa saat sebelum manset mengempis dan hasil pengukuran terlihat di monitor.
Dari sudut matanya, Zach melihat bagaimana Dokter Marvin mengangguk singkat pada orang-orang dewasa di dalam ruangan itu. Entah apa maksudnya, Zach tidak ingin tahu.
"Ingin suasana baru atau dipaksa menikmati suasana baru?" tanya Zach penuh selidik. Mengedarkan pandang pada orang-orang di sana.
William memalingkan wajah. Joan, manusia favorit Zach bahkan melebihi kakaknya sendiri, menanggapi dengan mengangkat bahu acuh. Charles, adik ayahnya yang menjabat sebagai Kepala Sekolah, tersenyum santai.
Belum genap 24 jam berada di Torac--sebutan tidak resmi yang pelajar Tora Academy gunakan untuk mempersingkat pelafalan nama sekolah mereka--Zach sudah merasa dijebak.
Kepala sekolahnya adalah sang paman, Dokter sekolah adalah dokter pribadi kakeknya, dan Joan yang merupakan sahabat dekat Martin juga mengajar di sana. Dia seolah ingin mengucapkan selamat tinggal pada kebebasan lebih awal jika seperti ini.
"Jangan berpikir macam-macam. Dokter sebelumnya memang mendapat tawaran penempatan yang lebih dekat dengan keluarganya. Jadi sekalian saja Paman meminta Dokter Marvin pindah ke sini," ucap Charles meyakinkan.
Anak bungsu Raja IX itu adalah paman favorit Zach dulu saat masih di istana. Pembawaannya yang tidak sekaku ayahnya membuat Zach betah berlama-lama di dekat sang paman. Namun, sudah lama berlalu sejak mereka terakhir kali bertemu. Jarak tentu saja terlihat, tapi sepertinya Charles berusaha mengikis itu.
"Bukannya seharusnya kita masuk ke bagian paling penting? Zach harus segera tidur jika kalian lupa, " ucap Marvin mencoba menengahi.
"Nah, Dokter Marvin benar, saatnya masuk ke inti. Segala penjelasan tentang peraturan sekolah akan kau terima besok, sekarang dengarkan peraturan dari kami khusus untukmu, " ucap Charles sambil bersedekap. Menekan dua kata terakhir karena tahu seberapa aktif keponakan bungsunya ini.
"Kita sudah sepakat untuk menyembunyikan identitasmu seperti yang kau inginkan. Paman setuju karena itu akan lebih aman. Jadi, kau juga harus bekerja sama. Sedekat apapun hubunganmu dengan seseorang nanti, jangan pernah mengungkap apapun, mengerti?"
Zach mengangguk patuh. Dia tidak sekeras kepala itu untuk menentang batasan-batasan yang memang sudah mereka sepakati.
"Kalau dariku sebagai dokter pribadimu, kau boleh mengikuti kegiatan yang tidak menghabiskan banyak energi, hindari olahraga yang berpeluang menyebabkan luka fisik dan benturan, dan perhatikan apa yang kau makan. Datang padaku kapanpun kau merasa kurang baik. Aku mengawasi dari dekat, ingat?"
"Tambahan dariku," kata Joan ikut berbicara. "Kendati ini adalah sekolah internasional terbaik di Tora, kami tidak bisa menjamin bahwa segalanya akan sempurna. Kau akan menemui anak-anak yang dibesarkan dengan tidak tepat oleh lingkungannya dan merasa lebih superior dari yang lain, pesanku, jangan terpancing, jangan membuat keributan, keep play on the save side so you don't get hurt. "
Lagi-lagi Zach hanya bisa mengangguk. Selain karena memang tidak ingin membantah, energinya sudah berkurang banyak karena perjalanannya hari ini. Dia hanya ingin bertemu dengan kasur dan bantal empuk saat ini. Menutup mata dan masuk ke alam mimpi sebelum menyiapkan energi untuk bertemu banyak manusia esok hari.
"Kurasa cukup. Joan, antarkan Zach ke kamar asramanya. Akan mengundang banyak tanya jika ada yang melihatnya menginap di rumah Kepala Sekolah. "
Zach otomatis berdiri saat mendengar kamar asrama disebut. Dia tidak sepenuhnya sadar saat memutuskan berkeliling dan memeluk semua orang yang ada di sana. Kantuk rasanya sudah mendominasi seluruh tubuhnya.
"Selamat tidur, Paman Charles. "
"Selamat tidur, Dokter Marvin. "
Terakhir, dia menghampiri William dan memeluknya cukup lama. Dia tidak tahu kapan mereka akan bertemu lagi, tapi jika sesuatu yang buruk terjadi dan membuatnya harus meninggalkan tempat ini lebih awal, Owlsville dan kakeknya akan selalu menjadi tempat pulang untuk Zach.
"Jangan berpikir banyaknya peraturan yang kami berikan ini berhubungan dengan apapun taruhan yang kau lakukan dengan ibumu. Kami tidak sedang mempersulitmu. Kami mendukungmu sepenuhnya. Keluarlah dari cangkangmu dan buatlah cerita baru, tapi jangan pernah lupa bahwa kau berbeda. Ada batasan-batasan yang memang tidak bisa kau lewati."
"Aku mengerti. "
"Bertemanlah dan lakukan banyak hal dengan teman-temanmu. "
"Ya, ya, ya. Kakek pasti ingin aku membuat banyak kenangan agar bisa pulang dengan tenang, kan?"
Zach merasakan tubuh kakeknya yang tiba-tiba menegang. Dia bahkan langsung terjaga dari kantuknya saat menyadari atmosfer di sekitarnya berubah. Suasana malam yang sudah sangat sepi menjadi semakin senyap karena kata-katanya. Bodoh, batinnya. Dia pasti mengucapkan sesuatu yang sensitif untuk orang-orang dewasa ini.
"A-ah... maksudnya pulang ke Owlsville. Hahaha. Nah, sebaiknya aku tidur. Sampai bertemu lagi semuanya, bye, Kakek. "
Zach bergegas keluar dari ruangan Kepala Sekolah yang merangkap sebagai tempat tinggal itu. Di belakangnya Max menyusul dengan koper dan ransel kecilnya. Joan yang diberi tugas untuk mengantarnya ke asrama bergerak cepat di sampingnya untuk menunjukkan arah.
Joan memimpin mereka melewati jalan setapak yang menghubungkan kantor Kepala Sekolah dengan bangunan-bangunan di sekitarnya. Di kanan kirinya, deretan cemara pensil yang tidak terlalu tinggi masih mendominasi. Saat menemui pertigaan, Joan membelok ke arah kanan, menjauhi gerbang dan masuk lebih dalam menuju bangunan bertingkat tiga yang mulai Zach lihat bentuknya.
"Kau tidak ikut tour sekolah dua hari ini, akan kuberikan peta biar tidak tersesat. "
"Aku tidak bisa membaca peta jika Kakak lupa, " ucap Zach kesal. Itu adalah rahasia umum yang semua orang terdekatnya tahu. Zach bahkan sering tersesat dulu saat masih di istana.
"Hahaha. Tidak benar-benar seperti peta, hanya denah lokasi saja. Di sini murid yang harus mendatangi ruangan gurunya, jadi kau harus tahu di mana letak kelasmu jika tidak ingin ketinggalan pelajaran. "
"Astaga, merepotkan sekali, " keluh Zach tanpa sadar.
Joan dan Max tidak dapat menahan tawanya. Zach tidak pernah berubah. Dia tidak suka hal-hal yang terlalu merepotkan dan membutuhkan tenaga lebih jika dia tidak benar-benar suka. Mereka jadi ragu apakah anak ini benar-benar ingin sekolah melihat sikapnya yang seperti ini.
"Malam ini mungkin kau akan tidur sendiri, tidak apa-apa? Hanya ada beberapa kamar yang sudah terisi karena mereka berasal dari tempat yang jauh sama sepertimu. Tapi sebagian besar masih kosong. Besok pagi mereka mulai menempati asrama."
"Tidak masalah. Jika ada hantu, aku akan mengajaknya berkenalan."
Joan mendengkus. Tapi memilih untuk tidak menanggapi dan melanjutkan perjalanan mereka. Suasana di sekitar mereka benar-benar sangat sepi.
Bangunan berbentuk persegi panjang itu sudah ada di depan mereka, dipisahkan oleh pagar yang tidak terlalu tinggi dan menjadi pembatas antara asrama dan area sekolah. Di dekat pintu pagar, Zach melihat ada dua orang berpakaian hitam yang salah satunya segera membuka pintu saat melihat Joan mendekat.
"Mengantar murid baru, Mr. Felton? Kenapa malam sekali?"
"Dari perbatasan Hega, Rex. Kau sendiri tahu Tora sangat sibuk di awal-awal tahun ajaran, jalanan penuh."
"Ah, Anda benar. Silakan masuk, Sir. "
"Terima kasih," ucap Joan sopan sebelum berbalik ke arah Zach. "Zach, beri salam. Mereka Rex Barnett dan John Muller, penjaga asrama. Jangan sekali-kali keluar asrama di luar jam biasanya tanpa izin, kau akan berurusan dengan mereka. "
"Salam kenal Mr. Barnett, Mr. Muller, saya Zach Lautner. Mohon bimbingannya. "
"Wow, ini Zachary Lautner si anak baru yang terkenal itu? Pantas saja diantar langsung oleh Mr. Felton. Panggil kami Rex dan John saja, kami tidak terlalu tua. "
Zach yang bingung dengan apa yang diucapkan penjaga asrama itu menatap Joan penuh tanya. Mereka mengangguk singkat sebelum meninggalkan pintu gerbang menuju pintu-pintu kamar yang semuanya dalam keadaan tertutup.
"Bagaimana bisa mereka bilang namaku terkenal? Aku bahkan baru menginjakkan kakiku hari ini di sini, " bisik Zach pelan. Menuntut jawaban memuaskan bisa keluar dari laki-laki di depannya ini.
"Kau bisa menemukan jawabannya sendiri besok di forum sekolah. Sudah terlalu malam untuk mengeceknya sekarang. Tidurlah, " tegas Joan sambil mendorong tubuh Zach ke depan pintu dengan nomor 2 berwarna emas di tengahnya. "Masukkan pin yang kau dapat tadi."
Zach menuruti Joan tanpa protesan lagi. Jujur saja tubuhnya sudah meminta diistirahatkan. Saat pintu itu berhasil dibuka, Zach hanya mengedarkan pandang sebentar ke arah kamar tidur bertingkat yang disusun berhadapan dengan sebuah meja panjang sebagai penyekat berada di tengahnya. Di ujung meja, ada pintu kayu bercat coklat yang Zach duga sebagai kamar mandi.
Sejajar dengan pintu masuk, empat buah lemari pakaian berdiri bersisian. Masing-masing untuk satu anak.
"Satu kamar berisi empat anak. Ada kamar mandi bersama di sana. Pilih saja tempat tidur yang bawah. Cuci dulu wajahmu sebelum tidur. Aku dan Max akan membantu menyusun barang-barangmu. "
Zach mengacungkan jempolnya senang. Menerima handuk kecil yang disodorkan Max dan bergerak menuju pintu coklat di ujung meja. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, mereka bertiga dikejutkan oleh suara pintu yang terbuka.
Max membeku dalam keadaan berjongkok. Tangannya menggantung di udara dengan beberapa pakaian Zach di tangannya. Joan yang harusnya menerima pakaian itu justru menangkap udara kosong karena perhatiannya juga teralihkan ke arah pintu coklat. Anak laki-laki dengan kaus putih, celana pendek berwarna hitam dan handuk di kepalanya itu ikut terkejut melihat banyaknya orang di depannya.
"Oh, hai! " ucap Zach memecah keheningan.
*******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top