Bab V : His Deepest Desire
Jika insiden berkuda dan panahan membuat Zach harus istirahat seharian, maka pendakian bukit yang dia lakukan membuatnya harus istirahat total selama beberapa hari.
Bukan karena kondisinya yang menurun drastis, tapi sang kakek yang memaksa demikian melihat bagaimana memar di kakinya yang semakin membiru dan mimisan singkat pada malam di hari pertama.
Zach sendiri tidak merasa keberatan dengan hukuman yang kakeknya berikan. Dia justru merasa senang karena itu berarti tidak harus menghadiri kelas-kelas privat-nya setiap pagi dalam beberapa hari ini.
Dan nilai tambahnya, dia bisa membuat jadwal kunjungan orang tuanya dimajukan. Dia yakin kedua orang tuanya atau setidaknya salah satu dari mereka akan ke Owlsville dalam waktu dekat.
Kabar tentang kondisinya yang menurun dan satu pesan provokatif yang sengaja Zach kirim dengan meminjam ponsel kakeknya kemarin malam adalah alasan keyakinan itu berasal.
Sungguh sesuatu yang sangat menguntungkan walau konsekuensinya harus terbaring di tempat tidurnya tanpa bisa berkeliling Owlsville untuk sementara waktu.
Ini pagi di hari ketiga saat dia yang bangun kesiangan meminta tolong pada Sam untuk membawanya ke ruang santai yang terletak di bahu timur bangunan.
Ruangan dengan jendela berbentuk lingkaran sempurna yang menghadap langsung matahari terbit itu adalah tempat favorit keduanya setelah perpustakaan.
Tanaman-tanaman hias kakeknya yang jumlahnya tidak sedikit mendominasi banyak tempat-- beberapa sudah Zach singkirkan saat mendekor ulang ruangan ini dan mendeklarasikan tempat ini sebagai miliknya satu minggu setelah kedatangannya ke Owlsville, beberapa yang lain ada juga yang digantung pada jendela dan langit-langit.
Satu sofa berbentuk lingkaran diapit dua kursi panjang berlengan yang masing-masing dilapisi busa empuk dan dibungkus kain beludru berwarna coklat muda yang hangat juga ada di sana.
Beberapa rak kecil yang diletakkan agak jauh dari jangkauan cahaya matahari Zach gunakan untuk menyimpan buku-buku yang malas dia kembalikan ke perpustakaan.
Tambahan lampu hias di bawah jendela juga idenya. Zach membanggakan pada siapapun yang mau mendengar bahwa ruangan itu lebih layak pakai setelah campur tangan darinya.
Sepiring sandwich dengan telur mata sapi dan keju slice di tengahnya sudah terpotong sempurna, segelas susu hangat rasa vanila favoritnya, segelas besar air putih dan tidak ketinggalan satu toples kue kering coklat sudah ada di meja kecil saat Zach sampai di sana.
Sarapan yang memang kesiangan tapi Bibi Ann jelas berharap Zach menghabiskan semuanya mengingat anak itu bahkan tidak banyak mengisi perutnya beberapa hari ini.
Zach menusuk satu potong sandwich dengan garpu kecil dan memasukkan ke mulutnya dengan enggan. Berusaha melawan rasa mual yang membuatnya malas untuk makan apapun.
Dan jika biasanya dia akan lebih bersemangat jika makan bersama kakeknya di meja makan, kali ini dia harus sarapan sendirian karena bangun kesiangan.
Zach lebih memilih menghabiskan sarapannya di sini dari pada di ruang makan tanpa kakeknya, sepinya lebih terasa jika harus sendirian di sana, dan dia tidak suka.
"Apa tinggal jauh dari istana membuatmu lupa tata krama? Apa yang ibu bilang untuk selalu makan di meja makan, Pangeran Andrew?"
Zach mengalihkan tatapannya dari jendela ke arah seseorang yang kini berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk.
Tanpa sadar pandangannya menyendu dengan jari-jari yang melepas pelan sendok garpu dalam genggamannya. Mata bulat dengan iris berwarna coklat itu memandang pada sepasang mata yang memiliki warna yang sama sepertinya.
Ada perasaan kecewa yang mati-matian dia coba sembunyikan. Setelah sekian lama tidak bertemu, justru itu kalimat pertama yang ia dengar dari ibunya.
"Keadaanku sudah lebih baik, Ibu. Terima kasih sudah bertanya. Bagaimana perjalanan kemari? Paman Hans tidak mengemudi terlalu cepat 'kan?" tanya Zach memutus kesunyian di antara keduanya, menyingkap selimut tipis yang membungkus bagian bawah tubuhnya dan beranjak mendekati sang ibu.
Direntangkannya kedua lengannya untuk memeluk wanita yang melahirkannya itu dengan erat.
Sybil Windsover, ratu kerajaan Tora, merupakan anak tunggal William dan Serena dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja V itu tumbuh dengan standar diri yang tinggi.
Menjadi Putri Mahkota sejak usia muda membuat sang ratu terbiasa dengan didikan yang keras dan menyukai kesempurnaan.
Cerdas dan tegas. Dua hal itu bahkan dipercaya sebagai alasan dibalik cemerlangnya kepemimpinan raja yang sekarang menjabat dan kedua keturunan mereka yang penuh prestasi.
Bukan berarti Raja Andreas tidak memiliki kemampuan, tapi solusi-solusi cerdas yang selalu Sybil berikan membuat kombinasi keduanya sangat sempurna.
Zach sadar betapa luar biasanya ibunya. Dan juga cantik. Wanita yang sudah memasuki usia 47 tahun itu bahkan tampak seperti kakak adik dengan Selena kakaknya.
Tubuhnya yang tinggi, rambut berwarna hitam legam yang selalu tertata rapi, kulitnya yang putih, kelopak mata ganda dengan iris coklat yang sama seperti miliknya.
Pasti banyak di luar sana yang menjadikan ibunya sebagai standar wanita mapan dan mandiri yang mereka inginkan.
Namun, terkadang Zach berharap sebaliknya, dia ingin ibunya adalah orang biasa-biasa saja yang bisa menghabiskan banyak waktu dengannya. Yang tidak perlu luar biasa tapi bisa membuatkan kue coklat favoritnya saat dia ingin.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Ibu tidak main-main saat mengatakan untuk tidak pernah lupa dengan akarmu, Drew. Di mana pun kau tinggal, kau tetaplah anggota kerajaan. Makan di meja makan, bicara dengan sopan, jangan pernah lupakan tata krama yang sudah diajarkan."
Zach tertegun dengan posisi masih memeluk ibunya. Dia bisa membayangkan betapa mengerikannya wajahnya sekarang.
Kekecawaannya pasti terlukis jelas. Rindunya yang menumpuk seolah-olah tidak begitu berarti di depan ajaran tata krama sang ibu.
"Aku tidak pernah melupakan dari mana aku berasal, Ibu. Kalian yang menjauhkannya." kata Zach pelan, tanpa bisa dia cegah. Seolah tersadar dengan kekeliruannya, Zach mencoba mengalihkan dengan bertanya hal yang lain. "Bagaimana kabar, Ibu?"
"Apa maksud pesan yang kau kirim semalam?" tanya Sybil tanpa menjawab pertanyaan anak bungsunya.
Dia membalas sekilas pelukan Zach dan memisahkan diri. Dengan tangan yang masih berada di kedua lengan sang anak, dipandanginya sepasang mata yang mirip dengannya itu penuh selidik.
Zach mengangkat kedua lengannya acuh. "Seperti yang tertulis di sana dengan jelas. Aku ingin sekolah biasa, Ibu. Sekolah yang ada gedungnya, yang ada teman-temannya."
"Kau sadar dengan apa yang kau katakan?"
Zach mengangguk yakin. Ya, dia sudah memikirkannya belakangan ini. Dia ingin merasakan apa yang remaja seusianya rasakan.
Walau mungkin akan sedikit terlambat untuk belajar cara berteman di usianya sekarang, tapi dia akan mencoba. Setidaknya ini lebih baik daripada tetap di kondisi saat ini dan tidak pernah mengenal dunia luar selamanya.
"Sekolah biasa tidak hanya akan membuatmu menulis di buku saja. Ada banyak kegiatan yang melibatkan fisik juga. Dan kau pasti tahu keadaanmu tidak memungkinkan untuk hal-hal seperti itu."
"Belum pernah dicoba bagaimana kita bisa tahu? Aku janji tidak akan membuat ulah dan mematuhi semua aturan, Ibu, jadi tolong beri izin."
Sybil memijit dahinya perlahan, tiba-tiba pusing menderanya mendengar permintaan anak ketiganya yang tidak pernah banyak menuntut selama ini. Kepasrahan yang anak itu selalu tunjukkan membuat Sybil sulit untuk berkata tidak kali ini.
Tapi dia benar-benar tidak bisa menyetujui begitu saja. Ada banyak hal yang harus dibicarakan dengan sang suami dan jika disetujui, beberapa pihak harus diberitahu dan ikut bekerja sama untuk menjaga bungsunya.
"Ibu perlu bicara dengan kakekmu. Habiskan sarapanmu dan minum obat jangan lupa, " ucap Sybil terakhir kali sebelum beranjak dari sana, meninggalkan Zach dengan tatapan yang semakin menyendu.
"Padahal aku masih rindu."
******
"Pikirkanlah lagi, ini pertama kalinya dia meminta sesuatu, " William duduk di depan putrinya dengan kaki bersilang rapat. Keduanya sedang berada di ruang kerja William saat ini.
"Ayah lihat bagaimana kondisinya? Bahkan dalam dua minggu terakhir anak itu harus mendapat suntikan intravena 2x lebih banyak dari biasanya. Juga memar-memar itu, bukannya itu pertama kali terjadi?" Sybil mengusap wajahnya kasar. Tidak pernah dia menunjukan sikap tidak tenang seperti ini di depan siapapun kecuali ayahnya.
"Marvin bilang dia sudah mengambil sampel darahnya dan akan dia uji kembali. Tenanglah, semua akan baik-baik saja. " William sama tidak tenangnya dengan kondisi cucu bungsunya, tapi saat ini dia harus menjadi sosok yang menguatkan untuk putrinya yang selalu terlihat tangguh itu.
"Tapi ini tidak sesederhana itu, Ayah. Di luar sana terlalu berbahaya. Aku tidak yakin untuk melepaskannya sendirian."
"Kau bisa mengirimnya ke sekolah Charles. Ada banyak yang kita kenal di sana. Selena juga berada di Akademi yang sama. Ku dengar Joan juga mulai mengajar tahun lalu."
William selalu tahu bahwa Zach adalah kelemahan terbesar keluarga kerajaan. Bukan karena ketidaksempurnaannya, tapi karena dia tahu bagaimana mereka semua menyimpan kasih sayang yang begitu besar untuk anggota termuda kerajaan itu.
Dia juga menyadari tentang sikap tegas yang selalu Sybil tunjukkan pada anak-anaknya tidak lain agar mereka semua tumbuh menjadi sosok yang percaya diri dan kuat secara mental.
Majunya teknologi membuat pujian dan hujatan bisa diucapkan dan diterima dengan mudah saat ini, dan Sybil memastikan anak-anaknya tumbuh sesuai dengan zaman di mana mereka berada.
Namun, berbeda untuk Zach, sepertinya Sybil terlalu mengekangnya sampai membuat anak itu sulit untuk bergerak.
"Aku tahu maksudmu hanya ingin melindunginya. Tapi menggenggam terlalu erat juga bisa menyakiti jika kau lupa."
TBC
*******
The Queen of Tora
Sybil Lilian Windsover
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top