Bab 1 : The Last Prince
Seorang anak laki-laki berumur lima tahunan melangkah cepat di sekitar taman belakang istana yang sepi. Dia baru saja melarikan diri dari jadwal berlatih Aikido pagi ini. Sesekali dia menoleh ke kanan dan kiri untuk melihat para pengejarnya yang tertinggal di belakang. Saat tidak mendapati siapapun di sekitarnya, anak laki- laki bermata bulat besar dengan iris berwarna coklat cerah itu tersenyum lebar. Lega karena akhirnya bisa mengelabui para pengawal yang menurutnya memberi terlalu banyak larangan dan sangat berisik.
Bocah itu terus berlari tanpa memperdulikan sekitar. Tanpa sadar dia sudah berada di ujung taman dan masuk ke area Cristal Palace—tempat keluarga inti kerajaan tinggal—yang memang dihubungkan oleh taman tersebut dan termasuk area terlarang untuknya.
Saat menyadari sudah melakukan kesalahan, bocah yang memakai atasan kemeja dan celana pendek selutut itu bergerak semakin panik. Dia memutar tubuhnya ke berbagai arah, mencoba mengingat jalan untuk kembali ke Kastil Windshire yang terletak di kawasan paling belakang istana dan menjadi tempat tinggalnya selama ini.
Kepanikannnya bahkan membuatnya tidak menyadari jika ada orang lain yang sedang bergerak ke arahnya. Seorang laki-laki muda yang juga sedang mengelilingi istana tanpa melihat arah jalan sama seperti dirinya.
Jarak keduanya semakin dekat. Dengan kecepatan yang tidak menurun sedikitpun, dua laki-laki berbeda usia itu pasti akan bertabrakan sebentar lagi.
Dan benar saja. Bunyi benturan dua tubuh berbeda ukuran terjadi di dekat kolam taman kecil yang dikelilingi bebatuan. Gerakan menghindar yang reflek dilakukan oleh yang lebih tua membuat si bocah jatuh terjerembab dengan lutut dan telapak tangan yang menabrak bebatuan. Bocah itu meringis saat merasakan lutut dan telapak tangannya tergores di beberapa tempat.
"Hei, Bocah, kau tidak apa-apa?" tanya laki-laki yang lebih tua. Dia menunduk untuk menyamakan tinggi badannya dengan bocah yang menolak mengangkatwajahnya sejak mereka bertabrakan tadi.
Bocah itu terus menunduk dengan jantung yang berdebar cepat. Ini adalah salah satu peringatan keras dari keluarganya yang selalu dia ingat. Jangan pernah menunjukkan wajahnya pada siapapun yang tidak dia kenal. Dan jika mendengar suaranya yang asing, bocah itu yakin bahwa laki-laki muda di depannya belum pernah dia temui sebelumnya.
"Hei, Nak, aku bertanya padamu. Kenapa diam? Kau baik-baik saja?"
Bocah itu berharap segera ada yang datang dan membuatnya terhindar dari orang asing ini. Dia menoleh ke sana ke mari dengan masih menyembunyikan wajahnya. Matanya membulat sempurna saat dari arah belakang si laki-laki, dia mendengar suara seseorang yang belari tergesa ke arah mereka. Dari suara langkahnya yang kecil, anak itu tahu siapa yang datang. Dalam hati bocah itu merasa lega, setidaknya ada seseorang yang dia kenal sekarang.
"D-drew?" bisik anak yang baru datang itu pelan saat sudah sampai di dekatnya. Di liriknya laki-laki muda yang sudah berdiri tegak itu dan anak yang dipanggil Drew bergantian. Seolah paham dengan situasi yang terjadi, sang anak langsung mendekap tubuh yang lebih kecil darinya itu untuk membuat wajahnya semakin tidak terlihat.
"It's okay. Ada aku di sini. Tetap tundukan kepalamu. Aku akan berputar dan kau naik ke punggungku, mengerti? Kita akan kembali ke kamarmu."
Saat merasakan Drew mengangguk pelan dalam dekapannya, anak bernama Daniel itu segera melakukan apa yang diucapkannya. Memutar tubuhnya dan menarik tubuh Andrew untuk naik ke atas punggungnya. Sebelum beranjak dari sana, Daniel yang sejak awal sedikit curiga dengan laki-laki muda di dekat mereka ini mengernyitkan kedua alisnya.
"Apakah Anda seorang tamu kerajaan? Setahu saya ini bukan area umum yang bisa dikunjungi siapa saja. Anda bisa mengikuti jalan ini dan kembali ke istana depan."
"Dan, setahuku ini bukan tempat bermain anak- anak juga."
"Orang tua kami sedang ada urusan di istana. Adik saya sepertinya bosan dan tersesat sampai ke sini. Kami akan segera pergi dari sini, sebaiknya Anda juga."
Daniel melihat beberapa pengawal yang mulai bergerak ke arah mereka. Dia memberi isyarat dengan matanya untuk membawa orang asing ini keluar. Pengawal yang mengerti maksud Daniel segera mengambil alih keadaan agar kedua anak itu segera pergi dari sana. Setelah memastikan si orang asing sudah menghilang di tikungan, dia segera berlari ke Kastil Windshire sekuat yang dia bisa. Tubuh keduanya yang tidak berbeda jauh membuat Daniel cukup kepayahan. Namun, dia tidak punya waktu untuk mengeluh. Luka pada lutut dan telapak tangan Andrew harus segera ditangani.
Daniel menghela napasnya lega. Dari kejauhan dia melihat dua remaja laki-laki yang dia kenali tampak sedang berdiskusi serius : Putra Mahkota Martin dan Joan Axel Felton, cucu mantan perdana menteri yang juga teman dekat Martin sejak kecil. Anak laki-laki yang baru berusia delapan itu bergerak semakin cepat. Keringat sebesar biji jagung sudah memenuhi pelipisnya dan dia mengabaikan itu.
"Pangeran Martin, Senior Joan! Tolong aku, Andrew terluka!"
Dua remaja yang baru menyadari kehadiran bocah- bocah itu membelalak terkejut. Martin bahkan langsung menyerahkan kertas di tangannya ke tangan Joan dan berlari mendekat. Dia lantas mengambil alih Andrew dari gendongan Daniel, mengangkatnya di kedua lengan dan meneliti seluruh tubuh adik bungsunya.
Martin mengerang frustasi saat melihat ada luka di lutut Andrew. Luka itu bahkan sudah mulai mengeluarkan darah. Membuat remaja berusia enam belas tahun itu semakin panik. Dia bergerak ke arah Kastil Windshire sambil memberikan perintah.
"Joan, panggil dokter dan beritahu untuk segera ke kamar Andrew sekarang juga. Daniel, cari ibuku."
"Tidak perlu memberitahu ibu!" ucap Andrew kesal. "Tidak ada tawar-menawar. Kalian berdua, cepatlah!"
Joan dan Daniel segera bergerak mengikuti instruksi dari Martin setelah sebelumnya melihat dengan khawatir ke arah Andrew yang kini justru memasang tampang bosan. Bocah lima tahun itu seolah sudah hapal dengan reaksi berlebihan orang-orang sekitarnya saat dia terluka.
"Hanya luka kecil. Kakak bahkan bisa mengobatinya sendiri. Kenapa harus melibatkan dokter dan Ibu," ucap Andrew kesal. Mulutnya merengut tanda tidak terima. Jika sang ibu sudah tahu, jumlah larangan untuknya pasti akan bertambah.
Martin melihat ke arah Andrew dengan tatapan sengit. Cukup kesal dengan cara adiknya mengabaikan larangan yang selama ini keluarganya berikan. Mereka saling melotot selama beberapa saat sebelum Andrew mengdengkus dan berpaling. Dia tidak pernah suka bertatapan terlalu lama dengan lain, Martin tahu itu.
"Tidak ada yang namanya luka biasa jika itu terjadi padamu, Drew. Tidak bisakah kau lebih berhati-hati setelah ini?"
"Siapa juga yang tidak hati-hati. Orang itu saja yang berjalan tidak lihat sekitar." Andrew mungkin baru lima tahun, tetapi jika berhadapan dengan Martin dia akan menjadi lawan sepadan. Mereka bahkan tidak pernah kehilangan bahan perdebatan. Martin sempat bertanya- tanya dari mana adiknya belajar semua kosa kata itu di usianya yang masih belia.
"Orang siapa yang kau maksud?" Martin menghentikan langkahnya dan memandang Andrew yang kini menyandarkan kepalanya pada bahu sang kakak. Tubuh Martin sempat menegang saat Andrew menyinggung tentang keberadaan orang asing di sekitar tempat tinggal keluarga inti kerajaan. Dia tiba-tiba bersiaga, mengedarkan pandangan pada setiap sudut yang bisa dijangkaunya.
"Tidak tahu. Kakak bisa bertanya pada Dan nanti. Aku tidak mengangkat kepalaku saat kami bertabrakan."
Keduanya sampai di Kastil Windshire dengan disambut banyak pengawal yang melihat khawatir. Martin yang sebelumnya memasang wajah tegang kini berubah semakin dingin saat melihat ke arah pengawal dan pelayan yang menyambut mereka.
"Tunggu sampai kalian mendapatkan hukuman karena kelalaian kalian. Akan kupastikan ayahku mendengar tentang ini."
"Kakak!"
"Diam dan bersandarlah. Jangan lipat lututmu dan luruskan," ucap Martin tegas saat mereka sampai di ruang santai di kastil itu.
Martin mengatur bantal agak lebih tinggi agar Andrew bisa bersandar. Selanjutnya, dia mengambil kain lembut dan air hangat yang sebelumnya dia minta siapkan oleh pelayan. Membersihkan luka sang adik yang darahnya tidak mau berhenti lalu menutupnya sementara. Kepalanya dipenuhi harapan semoga orang-orang yang lebih menguasai bidang ini segera datang dan mengambil alih. Pasalnya, Andrew yang sejak tadi berusaha mendebatnya tiba-tiba terdiam dengan kepala yang nyaris terkulai sempurna, entah karena lemas atau mungkin hanya mengantuk.
Andrew yang hampir menutup mata mendengar langkah beberapa orang yang bergerak mendekat. Joan dengan seorang laki-laki berjas hitam berada paling depan. Di belakangnya, berjalan tergesa Ratu Sybil dan Putri Selena—kakak kedua Andrew—dengan Daniel yang mengikuti dari belakang. Semuanya berhenti di sekeliling ranjang Andrew dan melihat sang dokter yang mulai menangani lukanya.
Andrew memiliki kelainan genetik bawaan yang mengganggu kemampuan tubuhnya untuk melakukan proses pembekuan darah. Hal itulah yang membuat luka sekecil apa pun bisa berdampak sangat fatal untuknya. Penyakit ini sudah terdeteksi oleh dokter kerajaan sejak Andrew masih bayi. Membuat penjagaannya semakin diperketat dan keluarga sepakat untuk menyembunyikannya dari dunia luar.
Namun, kadang mereka lupa bahwa di masa pertumbuhannya, Andrew kecil pasti sangat penasaran dengan dunia luar selain Kastil Windsover yang sepi. Kejadian hari ini adalah buktinya. Anak itu pasti bosan berada di kastilnya sendiri dan ingin melihat suasana baru. Walau begitu, Ratu Sybil yang terkenal dengan ketegasannya tentu mencari seseorang untuk disalahkan. Dan sialnya, kali ini Daniel kecillah yang menjadi sasarannya.
"Berapa kali kubilang untuk tidak mengalihkan pandanganmu darinya, Nak? Apa kau mulai bosan berada di istana."
"Tidak, Yang Mulia. Maafkan saya."
"Kalau begitu lakukan tugasmu dengan benar. Aku tidak akan menolerir kesalahan seperti ini lain kali."
"Ibu, sudahlah," ucap Martin menenangkan. Anak sulung dari pasangan Raja Andreas dan Ratu Sybil itu melirik ke arah Andrew yang sejak tadi memilih untuk berpura-pura memejamkan matanya saat rombongan itu datang. Menghela napasnya kasar karena menyadari adik bungsunya seperti sengaja menghindari interaksi apa pun dengan sang ibu. Membuatnya bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka di masa depan.
"Ada hal lebih penting yang harus kita bicarakan. Dan, bisa ikut aku sebentar?" ucap Martin lagi sambal menggiring Daniel keluar dari sana. Dia harus segera mencari tahu siapa orang asing yang kedua anak itu temui tadi.
TBC
*******
Terima kasih sudah mampir. Let's meet ma boy here!
- The King's Youngest Son
- 15 tahun
- Disembunyikan dari dunia karena mengidap penyakit langka
- Kata-kata andalannya : Tidak ada yang benar-benar putih dan benar-benar hitam. Kita semua abu-abu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top