Chapter 05

"Pacaran yuk, Mon!"

"Hah?!" dia tampak kaget mendengar itu. "Ceritanya lo nembak gue?"

"Kenapa?" tanya gue.

Dia malah menggeleng-geleng maklum. "Cil, cil. Lo masih kecil ngerti apa soal pacaran, sih?" tanya Aamon yang hampir terkekeh. Dia lagi-lagi menepuk ubun-ubun gue sambil menghapus spasi di antara kita.

"Gue udah tujuh belas tahun, Mon! Napa masih dibilang bocil, sih?!" gerutu gue. "Lagian apa salahnya? Temen-temen gue juga pada pacaran semua, kok."

"Oke, sebelum lo ngajak pacaran, gue mau kasih tau dulu sama lo. Pacaran bukan cuma soal cinta atau 'gue mau sama lo'. Ada beberapa hal yang bakal ngikutin itu selanjutnya. Apa lo siap pas berantemnya? Apa lo siap ngeluangin waktu berharga lo buat nemenin pasangan lo? Dengerin keluh kesah pasangan lo, ngasih solusi, dan lain sebagainya." Pandangannya menerawang ke malam yang pekat. "Intinya, ngajak pacaran artinya ngajak komitmen juga. Ya meskipun di usia lo sekarang jarang ada yang mikir sampe ke sana, cuma di  sini gue ngasih tau biar lo nggak nyesel nantinya."

Gue memperhatikan nasehat Aamon yang ada benernya juga.

"Nggak sedikit kan orang yang gagal dalam percintaannya, malah diumbar di sosial media dan seolah dirinya tersakiti?" tanya Aamon. "Itu bisa jadi mereka kurang siap dan mikir matang masalah yang tadi gue omongin."

"Iya, suhu. Lo emang jauh lebih ngerti soal itu," kata gue menduduk sambil kembali mengaduk kopi yang mulai dingin. "Gue cuma mau ngerasain aja. Keliatannya mereka happy banget pada punya pacar. Apalagi Floryn udah jarang banget bareng sama gue semenjak pacaran sama Ling. Kayak happy aja punya temen di segala keadaan."

"Lo baru liat senengnya. Lo pernah liat nggak mereka pas berantem?"

Gue memutar memori yang tertanam di otak gue tentang beberapa hal. Termasuk pertengkaran. Seinget gue, ada dua pertengkaran hebat yang disaksikan dengan mata kepala gue sendiri hari ini. Di mana Ling dimarahi habis-habisan sama Floryn ketika dia kedapatan berantem. Kedua, Beatrix dengan teganya ninggalin Granger di saat tersulitnya. Ketika Granger sakit, Beatrix malah mentingin temen-temennya daripada Granger.

Dan pikiran gue baru terbuka malam ini berkat Aamon. Sebelumnya gue belum pernah mikir sejauh itu. Punya seseorang yang selalu ada memang menyenangkan, tapi beberapa hal yang dijelasin Aamon barusan belum siap gue alami.

Gue mesti banyak belajar memahami perasaan orang lain dulu. Meskipun memang benar kalau Aamon menjadi salah satu alasan gue degdegan setiap waktu.

"Udah nggak usah dipikirin. Gue cuma belajar dari pengalaman aja," sahutnya. "Jadi, kita jadi pacaran?"

Gue menengok ke samping, menatap mata Aamon yang meminta kepastian. Alih-alih menjawab, gue buang muka sambil meneguk habis sisa kopi di cangkir gue.

"Nggak jadi, deh. Ribet!" Gue bangkit sambil mengibas dedaunan kering yang nempel di rok seragam gue. "Balik, yuk. Udah setengah sembilan, nih."

"Loh?"

Gue mengabaikan protes yang dilayangkan Aamon di belakang gue. Mungkin selanjutnya, gue harus muter otak nyari tempat tinggal buat gue tidur malam ini. Nggak mungkin gue gedor-gedor rumah Floryn jam segini.

Entah tertinggal beberapa langkah, gue berhenti untuk menunggu Aamon agar langkah kita kembali sejajar. Kayaknya, pilihan termasuk akal gue bakal tidur di mana malam ini, jawabannya adalah sekolah.

"Mon, gue nginep di sekolah, ya," kata gue ketika kami berhadapan.

"Loh? Ngapain?" herannya.

"Gue nggak diizinin pulang hari ini sama Beatrix. Temen-temennya nginep di rumah katanya."

Aamon menganga, merasa tindakan bodoh Beatrix sudah keterlaluan. "Lagian, apa hubungannya sih temen-temen dia mau nginep? Lo beda kamar kan sama dia?"

Gue hanya mengangkat bahu. Nggak tau. "Dia malu kali kalo gue serumah sama dia."

"Yaudah, lo tidur di tempat gue aja."

***

Dibantu Aamon, gue melompati saluran air yang memisahkan antara jalan dengan pintu masuk belakang SMA Azrya. Biasanya, pintu besi ini menjadi akses khusus untuk Aamon jika ingin pergi-pergi di malam hari.

Sinar yang langsung menyorot ke mata kita bikin kita menjerit berbarengan.

"Aaaaa!"

"Heh kalian mau ngapain?!" Pria bertubuh tegap dengan brewok super lebat itu mengagetkan kami.

"Ini saya, Pak," kata Aamon menunjuk dirinya sendiri.

"Ngapain kamu bawa cewek?!"

"Masa Pak Sun nggak kenal Silvanna?" herannya.

"Iya saya tau. Terus ngapain ajak dia ke tempatmu malem-malem?!"

"Saya izin nginep di sini dulu ya, Pak. Malem ini aja," mohon gue sama Pak Sun, penjaga Azrya sejak dua puluh tahun yang lalu.

"Orang tuamu nggak nyariin? Alesannya apa mau nginep di sini?"

Mampus. Gue kasih alesan apa, ya? Ya kali gue jujur.

"Keluarganya keluar kota. Sayangnya, kunci rumahnya kebawa. Jadi Silvanna nggak bisa masuk." Aamon bantu gue jawab. Thanks.

"Kok kamu yang jawab, Mon?"

"Emang itu alesannya, Pak." Gue segera menimpali. "Saya mohon ya, Pak. Malam ini aja." Gue mepertemukan kedua telapak tangan gue.

Pak Sun tampak berpikir. "Oke cuma malam ini," katanya bikin gue berjingkrak ria. "Tapi sebagai gantinya, Aamon tidur di pos satpam malam ini. Sekalian temenin Bapak main catur."

"Asyiikk... Makasih banyak, Pak Sun."

"Lo langsung ke kamar gue aja. Jangan kaget. Berantakan." Aamon menepuk ubun-ubun gue seraya tersenyum tipis. Lalu, dia mengikuti Pak Sun untuk berpatroli sekolah sebelum keduanya main catur.

***

Ruangan dengan dimensi empat kali empat meter ini memuat satu buah kasur singlebad yang menggelar di lantai, lemari pakaian plastik, gantungan di belakang pintu, kipas angin, serta satu kamar mandi sederhana di dalam.

Tak ada aroma-aroma aneh di sekitar sini. Ruangannya cukup bersih dan wangi. Ini sebagai bukti kecil kalau Aamon termasuk cowok yang telaten.

Tak hanya ruang tidurnya, kamar mandinya pun sangat jauh dari kata kotor. Nggak ada cucian piring atau baju yang numpuk di sana.

"Mananya yang berantakan?" gue heran sendiri dengan kebohongan Aamon barusan.

Ada satu handuk hijau yang menggantung di belakang pintu. Kebetulan badan gue juga udah lengket semua. Mandi adalah jalan terbaik buat gue sekarang.

.

Selesai mandi, bodohnya gue baru inget kalau nggak bawa baju ganti. Gue panik. Masa iya tidur pake seragam sekolah? Mana underware juga udah gue cuci. Lagi gue keringin pake kipas angin di kamar mandi sekarang.

Berbelit handuk di badan, gue menyambar ponsel di dalam tas bermaksud untuk menghubungi Aamon dan meminjam bajunya.

Untungnya, dia fast respons. Nggak lebih dari dua menit, Aamon mengetuk pintu kamarnya yang letaknya di dekat loker GOR Azrya.

"Lo masuk kamar mandi dulu. Biar gue ambilin."

Mendengar instruksinya dari luar, gue bergegas masuk ke kamar mandi. Beberapa detik setelahnya, pintu itu terbuka. Terdengar pintu lemari juga terbuka. Mungkin Aamon lagi milih baju buat gue pake malam ini.

Tapi tiba-tiba, kenapa kaki gue geli, ya?

"Astaga!!!!" gue melompat-lompat nggak jelas pas ada kecoa hampir naik di kaki gue. "Mon, ada kecoa!!" jerit gue lompat ke sana ke mari.

"Pasti lo buka lobang airnya ya?"

"Iya, soalnya tadi airnya ngegenang." Tahu-tahu, kecoanya terbang dan hinggap di punggung gue. "Aaaa Aaamooonnnn tolong!!" Kecoa itu terbang lagi dan hinggap di tembok kamar mandi.

"Sil, lo ngadepin lawan kek badak nggak takut. Lawan kecoa jerit-jerit!"

Hinaan gue tadi siang buat Ling dibalas sama Aamon malam ini.

"Geli! Jijik!"

"Yaudah lo keluar dulu. Gue usirin kecoanya."

"Gila lo, gue lagi pake anduk. Ya kali disuruh keluar!"

"Terus gimana? Lo bisa ngusir kecoanya sendiri?"

"Ogahhh!!" 

"Yaudah, lo tutup mata dulu. Ngadep dinding. Jangan liat ke mana-mana dulu!" pinta gue pada Aamon.

"Iya buruan. Nanti Pak Sun nyangka yang enggak-enggak lagi ke kita."

Gue membuka pintu sedikit, memastikan Aamon sudah menutup matanya. Benar saja, tubuhnya menghadap tembok dan menyediakan sedikit ruang untuk gue lewat.

Buru-buru Aamon masuk dan menutup pintu kamar mandi. Gue buru-buru pake baju yang udah disediain Aamon di atas kasurnya. Meski kegedean, yaudah lah buat malam ini doang.

Kayaknya Aamon masih perang di kamar mandi sama kecoa menyebalkan itu. Biarin aja. Hingga beberapa saat kemudian suara air menyala, mungkin dia lagi mengusir bangkai kecoa yang berhasil dibunuhnya.

Tapi tunggu. Rasa-rasanya gue lupa sesuatu di kamar mandi. "Oh my God!"

"Sil, lo punya gede juga!" celetuk Aamon dari kamar mandi.

"Heh anjrit!" jerit gue. Awas aja kalo dia keluar kamar mandi. Mau gue tinju, gue hajar, gue tonjok. Aargghh cowok itu! "Menjauh dari sana!"

***

Mengakhiri drama kecoa dan insiden kamar mandi, gue memutuskan untuk tidur aja. Toh Aamon udah kembali ke pos satpam.

Gue menarik selimut. lalu memiringkan badan ke kiri. Nampak beberapa foto polaroid di menempel random di sana. Ada foto dirinya dari zaman SMA mungkin. Kebanyakan potret dirinya lagi main basket. Tapi ada satu foto yang menarik perhatian gue. Ada foto gue sama dia lagi sama-sama pegang piala Provinsi. Ternyata, dia udah sempet cetak foto itu. Gue aja belum sempet liat.

Aamon begitu sayang sama basket. Nggak heran dia jago dan bisa jadi pelatih tim basket Azrya sekarang. Meskipun dia kadang galak dan menyebalkan pas ngajarin, dia nggak lupa kalo semua hasilnya adalah buah dari kerja keras kita. Dia nggak pernah maki-maki kita segagal apapun atau sejelek apapun pertandingan kita. Dia selalu minta riset, lupakan kekalahan, mari menang sama-sama. Begitulah cara Aamon mendidik kita.

Tiba-tiba tersadar, ternyata gue lagi mengusap foto gue sama Aamon. Gue lekas menarik jari gue dan menyembunyikannya di balik selimut. Nggak mau terbayang-bayang sesuatu, gue berbalik badan dan mulai tidur.

***

Di waktu istirahat itu, gue nyamperin Edith, sekretaris kelas gue. Kayaknya, dia punya buku data siswa di kelas ini. Seenggaknya, gue bisa tau di mana alamat rumah Granger.

"Dith, gue ganggu enggak?" tanya gue memaksa Edith berhenti membaca komiknya.

"Enggak. Kenapa, Sil?"

Tanpa disuruh, gue menarik kursi ke sebelahnya. "Gue boleh liat buku data siswa kelas ini?"

"Buat?" Edith keliatan kebingungan. Pasalnya, gue memang nggak ada urusan soal data-data siswa begitu.

"Gue perlu tau alamat rumahnya Granger."

Edith mengangguk. "Tujuannya?"

"Disuruh Beatrix."

"Pacarnya kok nggak tau." Edith menggeleng seraya mengeluarkan sebuah buku tebal dari kolong mejanya.

Bergegas gue mencari data-data tentang Granger di sana. Takut lupa, gue foto aja semua data tentang Granger.

"Thanks, Dith." Gue menutup buku itu dan menyerahkan kembali pada yang punya.

***

Terbiasa jalan kaki, jadi bukan masalah gue nyamperin rumah Granger sesuai alamat yang gue dapat dari Edith. Namun rumah itu tampak sepi. Bahkan, pagar keemasannya juga dikunci rapat.

Gue menengok ke sekeliling, tak ada satu orang pun yang lewat di sana. Apa mungkin karena perumahan, jadi orang-orang lebih memilih di dalam rumah daripada kelayaban di luar.

Seorang petugas kebersihan baru berbelok dari jalan yang lain berpapasan dengan gue. "Mmm permisi, Pak."

Akibat panggilan gue, petugas kebersihan yang sudah separuh baya itu menghentikan pekerjaannya. Mata sayunya menatap gue sambil memegang sapu lidi setinggi dada itu.

"Maaf, Pak. Saya mau tanya, pemilik rumah ini pada kemana ya, pak?"

"Rumah Nyonya Rafa memang sudah lama sepi, Dek."

Jawaban bapak-bapak itu mengagetkan gue.

"Sudah lama nggak ditinggali maksudnya?"

"Saya ketemu Nyonya Rafa sekitar satu tahun yang lalu. Dan anak lelakinya mungkin baru lihat kemarin."

Mungkin anak lelaki yang dimaksudnya adalah Granger.

"Ada perlu apa, Dek?"

"Kebetulan saya temen satu kelasnya Granger, anak pemilik rumah ini. Soalnya, dia udah nggak masuk beberapa hari ini." Gue terpaksa berbohong daripada ditatap curiga atau bilang terlalu jujur pada orang yang baru gue kenal ini.

"Setahu saya, Nyonya Rafa menikah lagi dan ikut suaminya. Sementara anaknya memang tinggal di sini."

"Kalau rumah suaminya, bapak tahu?"

Pria paruh baya itu menggeleng. "Saya kurang tahu, Dek."

Gue menatap pria itu lesu. "Ya sudah, makasih banyak ya, Pak." Gue melepas pandangan dari pria itu untuk menatap rumah tak terawat itu lagi. Setelahnya, gue berjalan mundur untuk keluar dari area perumahan itu.

Untuk tujuan selanjutnya, gue masih belum tau. Nggak mungkin kalo gue nginep di tempat Aamon lagi.

***

Angin membawa gue ke rumah sakit tempat Granger dirawat. Setelah menatap bangunan itu, gue memantapkan hati untuk masuk sekadar mengetahui keadaan Granger hari ini. Dia sadar apa belum?

Di depan ruang rawatnya, gue liat tak ada siapapun di dalam yang menemaninya. Beda jauh dengan pasien lain di ruang sebelah yang gue lalui barusan. Dengan penuh rasa simpati, gue duduk di kursi samping brangkarnya. Kalau gue perhatikan, tabung infusnya sudah diganti yang baru.

Menenangkan diri sejenak, gue mengambil ponsel untuk kembali menghubungi Beatrix. Sama dengan hari sebelumnya, dia sulit dihubungi. Tapi tahu-tahu dia mengirim pesan.

"Gue minta lo di sana dulu jagain Granger. Gue sibuk mau ujian tengah semester! Soal baju nanti gue kirim via ojek. Awas kalo lo hubungi gue lagi!"

Mungkin, gue bakal tidur di sini beberapa malam ke depan.

Wajah Granger masih tampak pucat. Luka di keningnya sudah diperban. Napasnya sudah mulai teratur. Masih jadi rahasia Tuhan kapan Granger akan sadar.

Sambil menunggu baju ganti, gue cari kantin buat cari makan di sana. Semoga jatah mingguan gue dari Tante Valentina masih cukup. Meskipun cuma dapet mie instant, tapi lumayan buat ganjal perut sampe besok pagi.

Perasaan gue nggak enak sepanjang menjelajah kantin. Lebih mahal dari yang ada di sekolah ternyata. Hzzz..

Nggak mau lama-lama. Sebotol air mineral dan mie instant dalam cup gue beli dan langsung bawa ke kamar.

Baru membuka pintu, gue lihat Granger yang lagi berusaha mengambil air putih di meja samping brangkarnya.

"Gran..."

Gue bergegas masuk, menaruh barang-barang gue dan mengambilkan gelas itu untuk Granger.

Kayak orang kecapean, segelas air putih itu langsung ditenggak habis.

"Syukurlah lo udah sadar."

Gue lihat napas Granger lagi gusar-gusarnya. Tubuhnya bersandar ke hulu brangkar.

"Kenapa bisa gue masuk sini lagi?" protesnya sambil meninju keningnya sendiri.

"Gran... lo masih belum sehat betul. Jangan banyak gerak dulu."

Setelah meninju keningnya, ia baru sadar kalau ada luka di sana. Alhasil, perban yang tadi masih tampak baru, kembali berwarna kecokelatan akibat darah dari dalam.

"Mau gue ambilin air lagi?" tanya gue setelah Granger tenang dan kembali tertidur di sana.

Dia menggeleng. "Beatrix mana?"

Gue menunduk. Kalopun dia mau, pasti dia udah ada di sini.

Kali ini gue yang menggeleng. "Dia nggak mau ke sini, Gran."

"Anak itu..." Granger tampak menanggung beban kala melontarkan kalimat terakhirnya. "Cuma gara-gara gue nggak mau diajak jalan."

"Lo jangan banyak mikir dulu, Gran. Lo masih masa pemulihan."

"Gue nggak akan pernah pulih, Sil. Asal lo tau itu."

"Gue udah tau, Gran. Dokter sendiri yang bilang. Dan lo masih punya harapan buat hidup."

"Gue sendiri aja nggak yakin, Silvanna!"

"Itu karena lo udah kehilangan semangat hidup. Cari alasan kenapa lo harus tetap hidup!"

"Udah nggak ada! Udah hilang sekarang!"

"Gran..."

"Sil, stop!" Granger menampakkan kelima jarinya di depan gue untuk mengerem perkataan gue.

Kali ini gue mengalah, membiarkan Granger melakukan apa yang diinginkannya, termasuk membuat gue diam.

"Gue tau, gue cuma temen sekelas lo, Gran. Tapi apa salah kalo gue peduli sama lo?"

"Peduli? Bukannya lo cap gue sebagai cowok tukang bolos dan tukang bikin onar, ya?"

"S-sorry, karena sebelumnya gue nggak tau keadaan lo, Gran. Tapi kali ini, gue memaklumi itu."

Kita semua terdiam, hanya bunyi alat elektrokardiogram yang berani hadir dalam kesunyian. Lamanya jeda di antara kita bikin gue berpikir dua kali. Mungkin Granger nggak bersedia gue ada di sini. Apa mungkin gue pamit aja?

"Gran, kalo lo nggak mau ada gue di sini. Gue pamit, ya. Biar lo gue titipin ke dokter dan suster di sini. Dan kalo lo butuh temen, nomor gue aktif 24 jam." Gue bangkit dan mendorong kursi itu agar memasuki kolong brangkar Granger. Gue segera membereskan barang-barang gue di sana dan bersiap keluar ruangan itu.

"Gue mau air putih," kata Granger secara tidak langsung menghentikan gue keluar ruangan itu. Gue kembali berbalik. Granger menatap gue. Dengan senyum penuh penyambutan, gue taruh kembali barang-barang gue untuk mengambilkan Granger segelas air putih dari galon.

"Lo mau apa lagi? Biar gue ambilin."

"Ada apel?" tanya Granger.

Gue tampak berpikir sejenak. Ada di kantin. "Yaudah, gue cariin dulu, ya." Syukurlah, akhirnya Granger bersedia gue di sini.

- Bersambung -



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top