Chapter 03
"Baik anak-anak, tugas minggu lalu dikumpulkan, lalu taruh di meja Ibu."
Perkataan Ibu Pharsa mendadak membuat anak-anak kelas dua belas tersebut berdengung random. Mungkin mereka menganggap kalau tadi Ibu Pharsa melupakan tugas mereka karena sepanjang pelajaran tadi dia tidak menyinggung soal tugas.
Tapi nyatanya, tugas itu tetap dikumpulkan kali ini.
"Silvanna, kumpulkan tugas teman-temanmu dan taruh di meja Ibu, ya!" Ibu Pharsa bersiap untuk keluar dari kelas itu. Sepertinya, beliau akan mengajar di kelas lain lagi.
"Baik, Bu." Silvanna mengode ke beberapa temannya untuk mengumpulkan tugas.
"Pake acara inget segala, lagi!" gerutu salah satu anak kelas itu yang berambut cepak. Teman-temannya biasa menyebutnya si tua sebelum waktunya. Dia membanting buku tugasnya ke meja depan Silvanna.
"Yaudah lah, kumpulin aja seadanya," timpal salah satu gadis berbando kelinci yang melakukan hal yang sama.
Di antara riuh rendah dan kesibukan kelas itu, hanya Granger yang tetap diam di tempat. Toh, dia mau mengupulkan apa?
Gue menengok sedikit. Tak ada reaksi apapun dari Granger. Gue merapikan buku-buku itu dan lekas mengumpulkannya ke meja Ibu Pharsa.
***
Waktu istirahat ini kayaknya gue mau habiskan di GOR aja. Kayaknya, Aamon belum pulang kuliah, jadi gue bisa leluasa di sini. Mainin bola basket, mencoba trik-trik baru yang dikasih Aamon pas latihan. Ditambah, gue nggak perlu takut kena buli si pelatih basket putri itu kalau-kalau ada gerakan gue yang salah.
Namun, rencana yang udah gue susun secara matang itu buyar ketika seseorang memanggil gue dari pintu GOR.
"Sil!"
Siluet seorang cewek yang melambai menyapa indera penglihatan. Gue menengok berbarengan dengan tubuh rampingnya berlari ke arah gue.
"Makan, yuk!" ajaknya sambil menarik gue.
Terpaksa, gue menjatuhkan bola basket yang gue mainkan sebelumnya.
"Gue bawa bekel, Flo. Barusan banget gue abis makan."
"Pasti cuma mie goreng, kan?" Tebakan dia benar, dan selalu benar. "Kalo lo makan itu tiap hari, dari mana asupan gizi, lo? Lo harus makan sehat. Lo satu-satunya atlet putri terbaik di sekolah ini."
Tarikan Floryn begitu kuat. Bukannya gue nggak bisa melawan, hanya saja gue tau ukuran tenaga gue sama Floryn segimana. Dia bakal kesakitan kalo gue melepas tarikannya.
"Lo nggak makan bareng, cowok lo?" tanya gue.
"Dia lagi ngumpul sama geng-nya. Susah." Floryn menjawab sambil melambaikan tangan ke petugas kantin.
Ya, semenjak dia pacaran, gue jarang banget jalan sama Floryn lagi. Palingan kita ketemu pas istirahat, atau pas gue lagi tanding aja. Itupun cuma sebentar. Jadi menurut gue, ini pertama kalinya setelah sekian lama gue nggak makan bareng sama salah satu cewek idola sekolah ini.
"Lo pesen aja yang banyak, ya. Gue bayarin!" kata Floryn mantap sambil mengetuk buku menu di depan gue.
Kalo bisa sih, buat makan malem juga. Tapi ya nggak mungkin lah. Gengsi. Biarpun Floryn sahabat gue sendiri.
***
Keluar dari toilet cowok, Granger menyapu rambut lembabnya dengan jari. Penampilannya sudah lebih segar kali ini. Dia menyadari waktu istirahat tinggal lima belas menit lagi. Lumayan buat mampir ke kelas Beatrix dulu sebelum pulang ke kelasnya.
Namun, niatnya urung ketika seseorang menyeretnya kembali masuk ke area toilet. Di seberang cermin besar itu, Granger didesak seorang cowok bermata sipit. Dia mengajak dua temannya yang sama-sama memasang mata menantang pada Granger.
Granger tampak tenang meskipun dirinya sudah dikepung oleh tiga preman sekolah ini. Granger hanya membuang napas kasar.
"Apa lagi?" kata Granger datar. Bahkan dari raut wajahnya ia tak menampakkan kepedulian sedikitpun.
"Udah lama gue nggak bikin perhitungan sama lo." Cowok sipit itu tersenyum miring.
"Tiga lawan satu? Cemen banget lo." Nada bicara Granger terdengar meremehkan. "Satu-satu lah, Ling. Masa nggak berani?"
Ling yang sudah berada di puncak amarah, menarik kerah Granger. "Lo denger ya, anak pelakor! Sampe sekarang gue nggak rela nyokap lo rebut paksa bokap gue!"
"Bokap lo yang ngejar nyokap gue."
"Halah, kalo nyokap lo nggak keganjenan, bokap gue juga bakal baik-baik aja!"
Granger hanya mendecih. "Lo mana paham urusan orang dewasa. Termasuk gue."
"Gara-gara nyokap lo, nyokap gue hampir bunuh diri! Nyokap lo emang brengsek! Sama kayak anaknya!" amuk Ling sambil mencengkram lebih kuat kerah seragam Granger.
Tak terima ibunya dikatain, Granger mendorong Ling sekuat tenaga. Giliran Ling yang bersandar di tembok berkaca itu.
"Anjrit! Lo boleh hina gue, lo boleh katain gue, tapi jangan harap lo bebas hina nyokap gue!" Granger tak kalah mengamuk di sana.
Bahkan, keributan mulai terjadi. Granger sudah di luar kendalinya. Dua teman Ling pun tak bisa menahannya.
Tatapan marah keduanya beradu.
"Nyokap lo pantes dibilang sialan!"
Bug!!
Granger tak ragu lagi menghantam bibir Ling yang sudah lancang menghina ibunya. "Sekali lagi lo hina nyokap gue, gue robek mulut lo!"
Dua teman Ling menahan tangan Granger, namun keduanya kewalahan karena tenaga kemarahan Granger begitu mengerikan. Granger bahkan sanggup menahan leher kedua teman Ling di tembok hanya dengan rentangan tangan kanannya.
Bug!!
Ling membalas tinjuan Granger. "Lo dan nyokap lo pantes dapet hukuman ini!"
Keributan itu memancing perhatian murid-murid untuk mendekat. Karena terjadi di toilet cowok, maka cuma anak cowok yang berani masuk.
***
"Ribut apaan, ya?" tanya gue kala melihat kerumunan di area toilet cowok.
Floryn mendadak gusar. "Jangan-jangan..." Floryn lantas berlari. Dia pasti punya perasaan yang nggak enak.
"Flo!" Gue mengejar Floryn yang udah lari duluan.
Mungilnya tubuh Floryn, dan juga kelihaian gue mencari celah, kita berhasil menembus kemuruman murid-murid yang udah mirip sarang semut kalau dari luar.
"Ling, STOP!" jerit Floryn. Ia lantas menarik Ling yang sedang memukul Granger. Tak ayal, cowok itu mengurungkan pukulannya.
Gue membantu Granger berdiri. "Kalian kenapa, sih? Berantem terus!" Rasa peduli gue pada keduanya membakar keberanian gue buat melerai. Gue memutar tubuh Granger biar berhadapan sama gue. "Lo lagi, kenapa sih, Gran? Bikin onar terus!" amuk gue.
"Lo nggak bakal ngerti, Sil!" balasnya tak kalah keras. Bahkan gue sampai terlonjak karena dibentaknya.
"Kalian bisa ngomong baik-baik, kan?"
Granger yang udah di puncak amarah menggeser tubuh gue. Dia kembali menghampiri Ling untuk menghajarnya.
Di sana, Floryn menjerit ketika tinjuan Granger hinggap di pipi pacarnya.
Merasa tak terima, Ling membalas untuk memukul Granger. Sayangnya, pukulan Ling salah sasaran.
Bug!!
Salah apa gue? Kenapa gue kena hajar? Sialan!
"Silvanna!" Floryn membantu gue berdiri. Mukanya khawatir.
Selembut-lembutnya Floryn, dia bisa marah juga. Buktinya, dia ikut andil untuk melerai perkelahian ini.
"Kalian berdua jangan kayak anak kecil deh!" suara tipisnya mulai melengking. Ada isak yang ditahannya saat itu. "Kalo kalian mau berantem, biar gue siapin ring. Jangan di sekolah!"
Gue tau, Floryn itu anggota OSIS bidang kedisiplinan. Sangat disayangkan sih dia jadian sama cowok tukang onar kayak Ling. Atau mungkin, Floryn lagi bertekad buat ngubah sifat Ling jadi lebih baik lagi. Yang jelas, enam bulan mereka pacaran, belum ada perubahan signifikan dari Ling. Ini sih emang cowoknya yang bermasalah!
"Sekarang gimana? Mau gue siapin ring tinju?!"
"Flo."
Di tengah amarah Floryn, kerumunan anak-anak lain terbuka seperti menyediakan akses pada seseorang yang mau masuk.
"Sudah saya duga, pasti kalian lagi!" Guru berbadan kekar dan terkenal galak itu masuk. Suaranya menggema di seluruh ruang toilet yang nggak seberapa ini. "Ling, Granger, ikut ke ruang BK sekarang!"
Ketika kedua cowok tukang onar itu ditegur, gue cuma merasakan perih di sudut bibir gue. Arghhh pasti ada bekas kebiruan ini sih!
"Silvanna, kenapa sudut bibir kamu?" tahu-tahu Pak Gatot ngomong sama gue. "Kamu ikut berantem?"
"E-enggak pak. Saya cuma..."
"Silvanna nggak ikut berantem, Pak. Dia cuma kena hajar aja tadi." Floryn bantu menjelaskan.
"Kamu jangan membela dia, Floryn. Harusnya, kamu bisa menegur teman-temanmu juga kalo mereka melanggar aturan. Bukannya kamu seksie kedisiplinan?"
"Baik, Pak. T-tapi Silva--"
"Sudah, tiga-tiganya ikut saya!" Keputusan Pak Gatot nggak bisa diganggu gugat. "Yang lain BUBAR!" gertak Pak Gatot membuat semua yang berkerumun mendadak bubar jalan.
"Sil." Floryn terlihat merasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Flo. Gue bisa jelasinnya kok." Gue menenangkan Floryn. "Lo balik ke kelas aja, ya."
Dengan tak rela, Floryn melepaskan gue dan kedua cowok bengal ini untuk ikut ke ruang BK.
***
Alih-alih dapat membela diri, alasan gue ditolak mentah-mentah sama Pak Gatot. Beliau masih yakin kalo gue juga terlibat dalam perkelahian ini. Malahan ada fitnah darinya kalau perkelahian ini gara-gara memperebutkan gue. Ihhh mending gue cari cowok lain daripada kedua cowok bikin onar ini!
Hasilnya, kita bertiga dijemur di lapangan.
Ya, terbesit di otak gue kalo gue bisa liburan sebentar di pantai. Berjemur biar kulit jadi eksotis. Tapi nggak di lapangan juga. Apalagi konteksnya lagi dihukum.
"Anjrit lah, gue ikutan kena! Sialan kalian!" gerutu gue setelah lima belas menit hormat ke tiang bendera.
"Suruh siapa lo lerai kita?" kata Granger dari sebelah kanan gue.
"Harusnya lo biarin kita berantem sampe salah satu di antara kita ada yang mati, Sil!" Ling menimpali dari sebelah kiri gue.
"Emang kalian mau mati konyol? Amal perbuatan lo pada udah menjamin bisa masuk surga? Belum kan?"
"Diem lo, Sil!" ujar Ling. "Untung lo temennya Floryn."
"Tampang doang sok preman. Sama Floryn takut."
Gue mendengar decihan dari Ling.
Saat gue mau membalas Ling, tiba-tiba Granger mepet ke arah gue. "Eh, Granger?!" gue kaget sekaligus kebingungan.
Tubuh Granger melemas. Dia hampir aja jatoh kalo aja gue nggak nahan dia.
Ketika kami berhadapan, gue lihat kedua lubang hidungnya mengeluarkan darah.
"Gran, lo mimisan!" kata Gue.
Granger udah merasakan itu, ia lekas menyeka darah dari hidungnya itu.
"Kita ke UKS aja, ya!" tawar gue udah mulai panik. "Ling, bantu gue bawa Granger."
"Lo bawa aja sendiri. Gue nggak peduli."
Ling malah melengos meninggalkan kita berdua di lapangan.
Kekhawatiran gue terjadi. Granger ambruk di tengah lapangan. Sayangnya, nggak ada orang lain di sini karena memang ini jam pelajaran berlangsung.
"Gran!" gue berusaha memapahnya. Namun apa daya, badan dia nggak sepadan sama badan gue. Gue coba berbagai cara buat mapah dia. Nggak peduli darah dari hidungnya nempel ke seragam gue.
Pucuk dicinta ulam tiba, ada Aamon lewat lapangan menuju GOR. Dia liat gue yang lagi susah payah memapah Granger.
Aamon langsung memberikan bantuan suka relanya sama gue buat bawa Granger ke UKS. Tanpa banyak tanya, dan tanpa lama-lama.
***
Rasa pengen ketawa ngakak menggebu ketika melihat kedua lubang hidung Granger disumpel tisu. Namun, itu salah satu cara untuk menghentikan mimisan di hidungnya.
"Lain kali lo jangan sok jago deh, Gran!" celetuk gue ketika dia ditangani salah satu petugas PMR sekolah kami.
"Lo juga jangan sok jadi pahlawan pelerai, Sil!" celetuk Aamon. Oke, kali ini dia belain Granger.
"Berisik!" keluh Granger.
"Kamu istirahat dulu aja di sini. Jangan banyak gerak, apalagi berantem!" sahut petugas PMR yang menangani Granger.
Setelah melihat keadaan Granger membaik, gue memutuskan buat pamit aja dari sana. Barangkali ada Beatrix ke sana, gue bisa-bisa jadi sasaran amukan dia lagi.
"Gue cabut, Gran. Beatrix juga mau ke sini kayaknya. Lo ditungguin dia aja, ya," pamit gue begitu juga Aamon.
Ketika kami melangkah berdampingan, Aamon menyentil area luka gue yang membiru. "Lo juga ikut berantem, kan?!" tuduhnya. Aamon kayak nggak peduli gue meringis kesakitan.
"Gue tadi mau ngelerai, Mon. Cuma kehajar Ling!" bosen banget gue jelasin kasus gue ke orang ini.
Terdengar suara percakapan manis namun tegang di sekat brangkar yang lain. Kayaknya, gue kenal suaranya.
Dengan isengnya, gue mau nyapa Floryn dulu di sana. Sekalian mau tau keadaan Ling selanjutnya.
"Flo, si Ling gima--"
Apa?
Apa yang gue liat barusan setelah menyibak tirai penyekat antar brangkar?
"Oow!" sahut Aamon langsung menutup kedua mata gue pake telapak tangannya. "Sori," kata Aamon kemudian sebelum tirai itu lenyap dari genggaman gue.
Gelap. Gue cuma ngerasa Aamon menggiring gue ke luar UKS. Setelahnya, dia baru membuka telapak tangannya dan bikin pandangan gue buram seketika.
"Sialan lo, Mon!" gue mengucek mata agar pandangan gue kembali normal.
"Mata lo masih terlalu suci buat liat orang cipokan di UKS, Sil," celetuk Aamon kemudian.
"Emang kenapa? Gue udah tujuh belas tahun!"
"Bukan masalah itu. Nanti lo mau, haha." Aamon terkekeh.
"Sialan ih beneran lo!" Mata gue memicing sambil menunjuk ke arahnya.
Gue memajukan bibir ketika dia tertawa lepas di lorong antara GOR dan deretan ruang kelas.
"Sil, gue mau ngucapin selamat nih buat lo. Karena lo udah berhasil menang kemaren."
"Lo kan udah ngucapin selamat beberapa kali, Mon. Belum cukup?"
"Kali ini beda, Sil. Gue mau ajak lo jalan. Gimana?" tanya Aamon.
"Ke mana?"
"Ya bukan ke tempat yang mahal, sih. Tapi seenggaknya sekalian refreshing."
"Gaya lo!" kata gue nyengir sambil menyenggolnya..
Aamon menunjukkan amplop cokelat yang dipegangnya. "Gue abis gajian. Ada bonus juga yang cair. Luamayan lah bisa buat ngopi santai."
Gue mendadak khawatir. "Diizinin nggak ya sama Tante Valentina?"
"Pasti diizinin. Nggak akan lebih dari jam sepuluh malem. Gue janji!" Aamon mengangkat telapak tangannya.
"Oke. Nanti malem?"
Aamon mengangguk dan menepuk ubun-ubun gue. "Gue kasih obat. Kemaren baru ketampar kawat nyamuk, sekarang kena palu nyasar," celetuknya menganalogikan berbagai kekerasan yang gue terima akhir-akhir ini.
***
Beberapa langkah lagi, gue sampai di depan gerbang. Gue menengok ketika lengkingan suara yang gue kenal memanggil gue dari belakang.
Ada Floryn mendekat. Wajahnya menunjukkan rasa yang campur aduk. Dia menarik napas dulu sebelum bicara sama gue.
"Atas nama Ling dan gue pribadi, gue minta maaf sama lo, Sil." Floryn berkaca-kaca saat mengatakan itu. "Tadi beneran Ling nggak sengaja nonjok lo. Katanya lo tiba-tiba ngalangin--"
"Flo, udah gue maafin. Gue tau kok kalo Ling nggak sengaja. Dia lagi emosi."
"Kedua, gue juga minta maaf karena gue nggak bisa belain lo di depan Pak Gatot."
"Oke, gue tau kok alesan pak Gatot hukum gue juga. Dia nggak mau liat gue terlibat pertengkaran lagi."
"Sama yang terakhir--" kali ini Floryn tampak ragu-ragu, bahkan sampai dia menunduk.
Ada niatan gue buat menggodanya. "Soal yang di UKS? Hmm, gue ngerti." Gue cengir-cengir melihat muka Floryn yang memerah akibat malu meskipun dia menunduk. "Terkadang, lo jangan terlalu cepet dewasa, Ryn. Apalagi hal ini. Kita masih SMA. Dan gue juga tau Ling anaknya gimana. Lo harus lebih hati-hati biarpun dia pacar lo."
Floryn mendengarkan gue dengan saksama. Dia mengangguk kemudian.
Pandangan kita mendadak mengarah ke sebuah pertengkaran kecil lainnya. Drama ABG labil yang nggak ada malunya berantem di parkiran motor. Rasanya pengen banget gue nyamperin terus ikut ngomong.
Tapi kebetulan itu Beatrix, dan Granger.
Nggak tau apa yang mereka ributin. Yang jelas, Beatrix keliatan BT dan ninggalin Granger gitu aja di parkiran motor.
"Kalo lo berantem sama Ling, jangan sampe begitu. Oke!" kata gue pada Floryn yang langsung salah tingkah.
"Kita bukan mereka, Sil," sahutnya malu-malu.
"Balik gih. Gue mau nunggu Aamon dulu." Gue beralasan biar nggak diajak balik bareng sama Floryn, karena gue kehabisan alasan buat nolak ajakan dia.
***
"Nggak habis pikir gue sama ABG labil zaman sekarang! Nggak ada malunya berantem di depan umum."
Gue menggerutu sendiri di tengah perjalanan gue menuju rumah keluarga Beatrix. Angin lembut mengiringi langkah gue yang sesekali menendang kerikil-kerikil yang nggak sengaja hadir di depan gue.
Di jalan yang hanya cukup dilalui dua mobil berjajar itu gue berhenti sejenak. Menatap senja yang udah bersinar malu-malu. Langit juga terlihat lebih cerah dari biasanya.
Biarpun jalan ini tergolong jalan kecil, tapi di sini termasuk jalur cepat. Cuma orang-orang bermobil mewah yang gue lihat tiap kali lewat jalan ini. Entah, apakah mereka menyadari sebuah hidden gem di area ini atau enggak.
Yang jelas, dari ketinggian dan jarak yang lumayan jauh, gue bisa melihat telaga di ujung pandangan gue. Dibingkai dengan ladang ilalang di sekitarnya. Meski cuma satu--dua menit gue berdiam di sini, gue ngerasa lebih tenang dari biasanya.
Namun, suara tarikan rem yang berdenyit memekakkan telinga gue seketika. Disusul suara gesekan dengan aspal kemudian.
Oh Tuhan, seorang pemotor jatuh di tikungan sana. Gue segera menghampiri pemotor itu untuk membantunya menepi. Khawatir kalau ada kendaraan lain yang melaju cepat setelah ini.
Motor dan pengendaranya berhasil menepi. Kini gue membuka helm fullface itu. Sesaat dia menatap gue sebelum akhirnya dia tak sadarkan diri.
"Granger?!"
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top