4.2 Salah Satu Alasan
"Ina, lo pulang aja, deh. Ternyata sudah malam banget," kata Sagara sambil memperlihatkan penunjuk waktu di layar ponsel. "Malam ini gue nggak balik ke rumah."
"Perlu diantar ke mana dulu?"
Sagara menggeleng sebagai balasan. "Gue bisa sendiri."
Inasa ganti menatap Zaki. Dua bulan belakangan, produser resmi The Heroes itu jarang sekali pulang ke rumah bersama. Entah apa yang dia lakukan di luar sana. Untungnya, hingga saat ini Inasa tidak mendengar kabar miring tentang Zaki.
"Gue?" Zaki yang paham arti tatapan Inasa bersuara dan menunjuk diri sendiri. "Gue juga nggak balik rumah."
"Jalan sama Firman?"
Sebab namanya disebut, pria berkacamata yang asyik bergumul dengan panel-panel pengolah suara menoleh. Firman menatap bergantian pada Inasa dan Zaki, sebelum menimpali, "Nggak. Gue bakal stay di sini sampai lagunya selesai."
"Jangan terlalu sering keluyuran malam-malam!" ujar Inasa memberi peringatan. Jari telunjuknya teracung pada Sagara dan Zaki. "Tur kita belum selesai. Kalau ada yang sakit, semuanya bakal repot."
Gertakan sejenis itu biasa Inasa layangkan pada Manggala dan Dipta, anggota The Heroes yang relatif sulit dikontrol. Maka dari itu, saat mendengarnya, Zaki justru tertawa kecil. Sagara pun mendengus geli. Keduanya segera mengiakan sebelum memberi imbauan agar Inasa lebih relaks mengatur jadwal mereka semua.
Bukannya pulang seperti yang Sagara sarankan, Inasa malah melajukan kendaraannya ke suatu tempat. Bangunan berlantai empat ini selain berfungsi sebagai tempat tinggal anggota The Heroes, juga merangkap sebagai kantor administrasi dan studio rekaman. Sejak timbul perpecahan internal perusahaan, Joel dan ibunya sepakat menyelamatkan The Heroes dengan cara memisahkan catatan keuangan dari buku besar Abraham Record & Artist Management. Apa pun yang berurusan dengan uang, pasti bersifat rahasia. Tak ayal, gedung ini menjadi area eksklusif bagi orang-orang yang berkepentingan saja.
Singkat cerita, di tengah badai permasalahan internal perusahaan, Inasa lagi-lagi ditunjuk menjadi orang kepercayaan untuk mengontrol pekerjaan divisi manajemen khusus band ini. Joel enggan mencampuradukkan urusan The Heroes dengan urusan artis lainnya, meskipun secara de jure masih berada di bawah naungan agensi yang sama. Alhasil, rumah ini menjadi tempat bermain Inasa. Tidak akan ada yang curiga bila Inasa memutuskan untuk bermalam di sini, bahkan masuk ke ruangan-ruangan yang sebenarnya sangat privat.
Inasa berlari-lari kecil menaiki anak tangga menuju lantai tiga. Hamparan kolam yang airnya tenang memantulkan cahaya lampu-lampu kecil yang tergantung di area terbuka. Wanita itu menyipitkan mata, memandangi tempat langganan Dipta mabuk-mabukan seorang diri. Dia baru bisa bernapas lega saat menemukan kekasihnya itu tertidur di tempat duduk santai pinggir kolam renang, meringkuk menahan gigil.
"Dipta," panggil Inasa. Dia tepuk-tepuk pelan pipi si pria. "Bangun. Di sini dingin."
"Ina?"
Inasa mau tak mau tersenyum. Wajah bantal Dipta sangat menggemaskan baginya. Belum lagi senyum lebar Dipta yang terkesan bodoh terpampang di sana saat menyebut nama Inasa.
Namun, anggapan itu buyar sedetik berikutnya. Dipta justru kembali meletakkan kepala di kursi. Sepertinya dia menganggap kehadiran Inasa sebagai bunga tidur belaka.
Panggilan Inasa tak lagi mempan. Dengan guncangan pun, Dipta tak kunjung membuka mata. Tinggal tersisa satu cara terakhir: menggusurnya secara paksa.
Inasa menyingsingkan lengan baju, lantas mulai merangkulkan lengan Dipta di bahu. Proporsi tubuh mereka sangat tidak berimbang. Akan tetapi, Inasa seakan sudah terbiasa menyeret tubuh orang mabuk begini. Tenaganya terlatih meladeni tuntutan pekerjaan untuk mengurus lima orang dewasa yang terkadang bertingkah seperti bayi besar.
Perlahan dan pasti, Inasa memapah Dipta menaiki tangga demi tangga menuju lantai empat, di mana kamar para anggota The Heroes berada. Inasa tidak perlu khawatir ada yang memergokinya melewati batas privasi para artis. Toh, anggota band lainnya tidak sedang berada di tempat.
Dengan menekankan sikunya ke gagang pintu, kamar Dipta pun terbuka. Inasa langsung melempar tubuh Dipta ke kasur. Namun, dia salah perhitungan. Dipta malah ikut menariknya hingga tubuh Inasa jatuh menimpa si pria.
"Aduh!" keluh Inasa sambil mengusap hidung. "Kamu, ih! Jangan tarik-tarik!"
Dipta justru bergumam tak jelas. Rangkulannya pada tubuh Inasa mengendur. Efek alkohol rupanya membius Dipta dari rasa sakit akibat kejatuhan beban tambahan, yaitu Inasa.
Inasa segera meluruskan punggung, mengamati ruang kosong tempat tidur yang tidak terisi tubuh kekasihnya. Napasnya berpacu dengan detak jantung yang meningkat. Niatnya untuk segera pergi buyar. Inasa justru memilih menjatuhkan tubuh ke kasur, tak peduli kaki Dipta masih menggantung karena salah posisi berbaring.
"Numpang tidur, ya, Dip," pamit Inasa.
"Bang Gara," igau Dipta.
Sontak Inasa langsung membuka mata kembali karena sebuah pikiran berkelebat. Dia segera menarik ponsel dari saku. Demi menghindari Sagara, Inasa harus bangun ekstra pagi. Inasa tidak mau siapa pun menangkap basah dirinya keluar dari kamar Dipta.
"Thanks, Dip," balas Inasa asal. Alarm bangun pagi telah terpasang dan ponselnya diletakkan di nakas.
"Nyebelin."
Inasa memiringkan kepala. Dipta masih meracau beberapa kalimat tak jelas. Kantuk Inasa terkalahkan oleh rasa penasaran. Dia merangkak mendekati kekasihnya. Setelah mengetahui bahwa Dipta tengah mengatai Sagara karena telah mencuri waktu kencan, Inasa langsung tertawa.
"Aku di sini, hei!" kata Inasa sambil menepuk-nepuk pipi Dipta yang asyik terpejam. "Ya sudah, kita pacaran sambil tidur aja, ya."
Dipta tak lagi menggigau dalam pelukan Inasa. Biarpun agak tak nyaman oleh bau alkohol yang cukup kuat, Inasa tak mau momen ini buru-buru berlalu. Kesibukkan The Heroes adalah kesibukkan Inasa. Dengan kata lain, tak ada waktu untuk bermanja-manja dengan bebas, meskipun sebenarnya sering bertemu.
"Kapan, ya, Dip, kita bisa pacaran benaran?" tanya Inasa setengah mengeluh.
Dipta melenguh panjang. Kepalanya bergerak-gerak mencari tempat yang pas di dalam dekapan Inasa. "Besok," ucapnya lirih agak tak jelas.
Inasa menarik senyum. Pacaran dengan Dipta tidak pernah tidak seru. Mau sedang mabuk pun, Dipta sanggup menghiburnya. Dipta ialah salah satu alasan Inasa bertahan di pekerjaannya yang agak tidak manusiawi ini. Karena hanya dengan menjadi manajer The Heroes, Inasa bisa mencuri-curi kesempatan bertemu Dipta.
Wanita itu mengecup kening Dipta lama, kemudian ganti menempelkan bibirnya di bibir Dipta sekilas. Pelukan Inasa mengetat. "Selamat tidur, Sayang," bisik Inasa, supaya hanya Dipta yang bisa mendengarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top