33
"Bicara apa lo?" tukas Nawasena sedikit risih dengan kalimat Yolai. Ia lalu mengedarkan pandangan ke arah Kafin. "Soal racunnya, apa gadis bernama Airin itu yang melakukannya?"
"Dia yang melakukannya," sahut Kafin. "Kenapa? Lo seolah gelisah dengan gadis itu. Apa kalian saling mengenal?"
"Tidak." Nawasena menggeleng. "Tapi ... gue mengenalinya. Gue tahu itu."
Kafin mengerutkan kening. Tidak paham apa yang dimaksud oleh Nawasena. Dibanding itu, mereka harus mengurus sesuatu yang lebih penting.
"Besok pagi, kita harus membawa Magma kepada David. Lo punya ide? Bocah itu pasti tidak akan mau," ujar Kafin skeptis. Dia sangat yakin, Magma pasti menolak keinginan Nawasena.
"Besok pagi ya?" gumam Nawasena. Padahal, dia merasa bahwa hari telah berlalu sangat lama. Nyatanya baru 24 jam sejak ia terkena racun.
"Racun itu." Nawasena kembali berujar. "Racun apa itu?"
"Racun Leak," jawab Yolai dengan napas berat. "Racun yang cukup berbahaya dan sangat ditakuti. Kita beruntung, Airin punya penawarnya."
Tanpa sadar, Nawasena menoleh menatap Kafin. Diam-diam, dia ingin meminta Lembuswana itu untuk membawanya bertemu Airin kembali. Tidak sekarang, namun setelah urusannya berakhir.
"Soal Magma. Gue pastikan, dia tidak punya alasan untuk menolak. Yolai, lo tahu tentang pesan yang bisa dikirim cepat?"
...
Pesan lontar. Adalah pesan yang ditulis di dalam daun lontar. Tintanya adalah tinta emas. Lontar adalah daun siwalan atau tal (Borassus flabellifer atau palmyra) yang dikeringkan dan dipakai sebagai bahan naskah dan kerajinan.
Selembar daun tersebut, kini berada di tangan Magma.
Gue ingin Dewaguru datang ke warung prasmanan. Gue ingin dia menyembuhkan seseorang.
"Bagaimana Agha? Apa gue harus ke sana?" ujar Magma seraya menunjukkan surat tersebut pada Agha.
Pria yang sedari tadi duduk memandang langit, menerima surat tersebut dan bergumam lirih, "Sesuatu pasti terjadi."
"Memang, nyatanya pasti ada yang terjadi di pengikut Sapta Syam. Jika dia masih hidup, tidak heran jika ada permintaan seperti ini."
"Gue tidak yakin ini ide bagus. Jika identitas lo terbongkar di sana. Masalah tambah runyam. Bisnis gue sekarang tinggal di Sudra. Gue tidak mungkin menutupi tempat itu lagi jika sesuatu terjadi lagi."
Magma paham soal itu. Agha sudah mempertaruhkan Master Cafe untuk tutup sementara waktu. Itu adalah pengorbanan besar. Dan semua itu bukan semata-mata demi Nawasena.
"Kita perlu mengumpulkan pasukan," ujar Magma setelah sekian lama berdiam diri. "Menghancurkan kemaharajaan sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Jika Nawasena mampu mengambil hati pemimpin mereka. Kita berada di kapal yang sama. Tapi, lo benar Agha. Belum saatnya Dewaguru untuk muncul di permukaan."
"Ide bagus. Lagipula, dia tidak akan mati semudah itu. Nawasena bisa berjuang lebih dari yang ia pikirkan."
...
Sementara itu, pagi telah tiba. Dan David tampak tersenyum getir melihat Nawasena hadir tanpa sosok Dewaguru yang ia bicarakan. Dia juga tercengang melihat Nawasena yang berada dalam kondisi baik-baik saja.
"B- bagaimana bisa? Racun Leak itu sangat mematikan."
David rasa itu mustahil. Racun tersebut dia dapatkan dari pasar gelap dan penawarnya sama sulitnya untuk ditemukan.
"Gue Tucca. Ada darah Ahool dalam diri ini. Bukan tidak mungkin gue punya sesuatu yang istimewa, bukan?"
Nawasena tersenyum tipis. Walau ada kebohongan dalam kalimat itu. Dia tidak ingin menunjukkan bahwa Airin-lah orang yang menolongnya. Menurut Nawasena, jika David tahu. Mereka akan mengejar Airin dan Nawasena tidak ingin hal itu terjadi.
"Baiklah, anggap saja lo beruntung. Jadi, dimana sosok tetua itu?" seru David sambil memandang sekitar gimnasium. "Sepertinya dia masih bertapa?"
Tawa menggema di seisi gimnasium. Para pengikut Sapta Syam memandang Nawasena dengan tatapan menghina. Dugaan mereka benar, mustahil. Seorang Tucca mengenal Dewaguru.
"Dia mungkin terlambat," ujar Nawasena. Dia sangat yakin bahwa Magma akan datang. Walau bocah itu sama sekali tidak mengirimkan balasan.
"Dengar darah kotor. Lo punya lima menit untuk membuktikan perkataan lo." David mengancam sambil mengeluarkan kaditula. Tindakan ini pun diikuti oleh para pengikutnya.
Detik demi detik berlalu. Semua orang gelisah. Mereka menaruh harapan pada ucapan Nawasena. Apakah dia benar-benar berkata jujur atau sebaliknya?
Namun, karena tidak ada apa pun. Pertikaian kembali terjadi. Tiga lawan puluhan orang, sedangkan David menonton dari jauh sebagaimana pertarungan berlangsung.
Nawasena emosi. Karena Magma tidak memenuhi apa yang ia perintahkan. Kekesalannya itu, Nawasena lampiaskan pada pengikut Sapta Syam.
Seorang pria dengan gerakan yang begitu cepat mengincar leher Nawasena. Pemuda itu menunduk lalu menusuknya di perut hingga tembus ke bagian belakang, kemudian Nawasena bergeser ke samping, dan orang itu roboh degan wajah menghantam lantai gimnasium.
Sejauh ini, Nawasena mampu membaca setiap gerakan yang seolah lambat di mata kirinya. Belum juga bernapas lega. Seseorang mengincarnya dari samping. Ujung tombak itu menggores pakaian yang Nawasena kenakan.
Dengan gesit, Nawasena bergerak menyamping. Lalu menarik pergelangan orang tersebut. Memukul lengannya hingga terdengar bunyi retakan. Tombak dari tangannya terjatuh dan Nawasena memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menusuk jantung lawannya.
Di sisi lain, Nawasena merasakan ada embusan angin yang menyising dari arah belakang. Begitu ia menoleh, Kafin baru saja mematahkan anak panah yang terbagi menjadi dua.
Pria itu lalu berpindah tempat, merenggut busur dan panah si penyerang. Lalu menarik dan memutar tubuh tersebut untuk dijadikan tameng dari serangan yang datang tiba-tiba. Wanita itu menjerit histeris, saat ujung kaditula menembus dadanya. Berangsur-angsur, ia berubah menjadi abu dan lenyap ke dalam udara.
Di sisi lain, Yolai rupanya menyerang menggunakan dua buah belati yang berlumur darah. Gerakannya begitu rapi, belati Yolai berputar di udara dan mendarat pada titik vital tubuh manusia. Belati lainnya terbang dan melintasi gimnasium dan tertancap pada tenggorokan pengikut Sapta Syam yang malang.
Pertempuran pun berakhir dengan menyisakan David seorang diri.
"Pasukan kalian banyak. Tapi sayang, gerakannya berantakan dan tidak terlatih," sindir Yolai sambil menyeka darah dari pipi menggunakan punggung tangan. "Sia-sia saja berlatih di sini."
"Mereka orang rekrutan," kilah David yang tidak ingin malu. Sejak dia kalah melawan Nawasena. Statusnya di Sapta Syam diturunkan. Dan dia harus bersabar dengan melatih anggota baru di gimnasium.
"Sudah gue bilang. Pertarungan ini sia-sia," sela Nawasena. "Kenapa sih? Lo keras kepala. Prajurit kalian mati sia-sia di tangan kami."
"Halah! Mereka hanya anak baru. Tidak ada yang merugi soal itu."
Entah mengapa, Nawasena sedikit sakit hati mendengar itu. Tetapi, jika dipikir lagi. Dia sendiri yang membunuh orang-orang tersebut.
"Lalu, lo masih ingin membunuh gue?" tanya Nawasena penasaran. "Padahal dari awal gue udah menjelaskan tujuan gue ke sini."
"Kenapa ya?" David malah bertanya balik. "Rasanya seperti menyingkirkan hama."
"Hama yang lo sebut ini, udah membuat orang yang berbicara menjadi cacat."
Wajah David memerah. Dia naik pitam, dengan sedikit terpincang. Dia maju ke depan dan menunjuk wajah Nawasena.
"Pimpinan telah menaruh ultimatum bahwa gue yang akan membimbing loh. Jadi, kalau lo membunuh gue sekarang. Kesempatan lo akan hangus."
"Bagus," balas Nawasena tanpa khawatir. "Logika lo masih berjalan. Yolai?" Nawasena meliriknya. "Bantu dia. Kita menemui Magma sekarang."
___//___///___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top