3
Nawasena terbangun. Dia tidak ingat berapa lama sudah tertidur. Namun, saat ia sadar. Tubuhnya yang terluka sudah terbungkus perban. Cairan infus juga mengalir di pergelangan tangannya.
Di kanan dan kiri bad Nawasena. Terbaring beberapa pasien dengan kodisi serupa. Hal yang paling mengejutkan adalah, Nawasena baru tersadar. Bahwa mata kirinya pun ikut diperban.
"Mata gue," lirih Nawasena. Ada rasa ketakutan yang mendadak menyelimutinya. Ketakutan bahwa ia tidak akan bisa melihat seperti sedia kala.
"Sudah bangun?" Nawasena menoleh. Terbelalak akan kehadiran Magma yang begitu mengejutkan. Nawasena yakin, bocah itu tidak ada di sampingnya sejak tadi.
"Lo!" umpat Nawasena. "Pergi dari hadapan gue."
"Yakin, Bang?" seru Magma dengan nada bercanda. "Sekarang udah siang. Ahool udah enggak ada lagi."
Nawasena berusaha tidak mendengarkan ocehan Magma. Ia masih terbaring, menatap langit-langit IGD.
Suasana di IGD cukup sibuk. Pasien silih datang berganti. Para perawat hilir mudik memberikan pertolongan. Nawasena rasa, dia harus segera pergi dari tempat itu. Masih ada orang lain yang membutuhkan tempat guna mendapatkan perawatan.
"Hey! Jangan dicabut!"
Seorang perawat wanita mencoba menghentikan Nawasena yang menarik selang infus dari pergelangan tangannya. Tetapi percuma, Nawasena sudah berjalan pergi meninggalkannya. Ia meraih perban di dekat nakas untuk menutupi darah yang masih mengalir.
Perawat itu tidak bisa mengejar. Panggilan tugas membuatnya harus beralih pada pasien lain. Benar kata Magma. Matahari sudah di atas kepala dan kondisi depan IGD tidak jauh berbeda dengan di dalam.
Ada tenda-tenda darurat yang dipasang di luar. Ambulance silih berganti menurunkan pasien dan orang-orang yang hilir mudik. Di belakang Nawasena, ada Magma yang masih mengikuti.
Nawasena merogoh ponsel dari saku celana. Benda itu mati dan ada retak pada layar. Sekali dilihat, Nawasena sadar. Benda itu rusak saat insiden semalam.
"Magma bisa bantu Kakak mencari jalan pulang."
Nawasena mengabaikan kalimat Magma. Dia tidak mau dikira orang gila karena berbicara sendiri.
"Mau ke mana, sih?" tanya Magma. Dia melipat kedua tangan di belakang kepala sambil terus mengikuti Nawasena. Lalu, langkah Nawasena terhenti menatap sisa-sisa kerusakan semalam.
Ada tiang listrik yang roboh, trotoar yang hancur dan retakan-retakan jalan hingga menghancurkan aspal. Para pekerja sudah sibuk memperbaiki semuanya. Nawasena memegang perban di mata kiri. Ada rasa nyeri yang tiba-tiba berdenyut.
"Tampaknya ada sesuatu yang tertinggal dan membekas di sana. Kakak bisa ikut Magma ke suatu tempat. Ya, kalau Kakak mau."
Saat Nawasena menoleh. Magma telah berpaling ke arah suatu tempat. Nawasena menatap sekitar. Dia juga tidak tahu arah jalan pulang ke rumah Cetta. Dia juga tidak bisa menghubungi siapa pun. Satu-satunya cara untuk bisa tetap bertahan, ada di hadapannya.
Maka, dengan perasaan terpaksa. Nawasena mengikuti langkah Magma. Bocah itu sedikit menoleh dengan menunjukkan senyum khas menyebalkannya. Seolah senang, Nawasena mau menurut.
"Ngomong-ngomong, lo mati karena apa?"
Langkah kaki Magma tiba-tiba berhenti. Dia berbalik dan menatap Nawasena dengan sorot mata tidak suka.
"Kakak pikir, Magma makhluk astral? Coba lihat! Magma punya bayangan di atas tanah."
Arah pandangan Nawasena pun mengikuti telunjuk Magma. Memang benar, ada bayangan bocah tersebut akibat cahaya matahari. Dipikir-pikir, kedua kakinya berpijak di atas tanah. Noda-noda tanah dan darah masih membekas di sekitar sepatunya.
"Kalau lo belum mati. Orang tua lo di mana? Bocah seperti lo ini, enggak baik berkeliaran."
"Enggak usah mikirin Magma, Kak. Magma baik-baik saja. Sudah, Kakak ikut aja."
Magma kembali melangkah. Entah kemana bocah kematian itu membawa Nawasena. Dia juga berpikir, pedang yang semalam disebut Kaditula lenyap entah ke mana. Ada beragam pertanyaan di benak Nawasena. Namun, untuk sekarang. Dia akan fokus mengikuti Magma.
Bagi Nawasena, Magma bukan sekedar bocah kematian. Dia lebih dari itu.
...
Master Cafe, Nawasena membatin. Berdiri di depan sebuah ruko yang seluruhnya di cat warna hitam. Magma tanpa sungkan masuk ke dalam cafe. Meninggalkan Nawasena yang masih terpaku. Dia memang memiliki uang yang tersimpan di dalam kantung celana belakang. Tetapi memilih makan di posisi ini, Nawasena merasa seperti dimanfaatkan Magma.
"Masih enggak mau masuk?" Kepala Magma menyembul keluar dari balik pintu. "Buruan!"
Dengan berdecak kesal. Nawasena pun melangkah. Halaman depan ruko sepi oleh kendaraan yang terpakir. Dia juga tidak bisa melihat kondisi cafe dari luar. Saat tangan kanannya mendorong pintu, terdengar, suara gemerincing bel dibaliknya.
Mata hitam Nawasena mengerjab. Tempat itu sangat ramai oleh pengunjung. Magma sendiri telah duduk di salah satu meja bulat di dekat dinding. Tangannya melambai memanggil Nawasena.
Pria itu menatap sejenak desain interior cafe yang minimalis. Wallpapernya bercorak hitam polos bergaris-garis dan tanpa hiasan.
"Lo minta traktir makan?" Pertanyaan menohok terlontar dari bibir Nawasena.
"Makan adalah solusi pertama. Kita butuh makan. Kakak enggak perlu cemas, Magma punya uang kok. Nanti Magma jelasin. Apa yang sebenarnya terjadi semalam."
Nawasena tidak memberi komentar apa-apa. Ia menarik kursi dari bawah meja dan duduk. Seorang pelayan laki-laki datang membawakan dua mangkok soto ayam dan meletakkannya di atas meja.
"Master ada?" tanya Magma pada si Pelayan
"Ada. Kenapa? Lo kangen?" Pelayan itu membalas pertanyaan Magma dengan sedikit kesal, terlihat bahwa mereka berdua seperti telah saling mengenal satu sama lain. "Dia lagi di belakang. Kalau ada perlu. Gue bakal manggil dia."
"Oke," jawab Magma. "Tolong panggilkan saat kami selesai makan."
Pelayan itu mengganguk. Lalu melangkah pergi meninggalkan mereka. Tanpa membuang waktu, Magma segera menyantap soto ayam di hadapannya. Nawasena masih terdiam, memperhatikan bagaimana lahapnya bocah tersebut menyantap makanannya.
"Tempat apa ini?" tanya Nawasena setelah mengulur waktu.
"Master Cafe," sahut Magma. "Tempat orang yang memiliki kemampuan supranatural. Orang-orang Sudra menyebutnya sihir. Bukan hanya sihir, makhluk berdarah mitologi juga bisa masuk golongan ini."
"Apa? Sihir?" tanya Nawasena tidak percaya.
"Ya, sihir atau kemampuan supranatural. Kemampuan yang anomali dari manusia pada umumnya. Terserah, Kakak mau pakai pengertian yang mana."
Magma semakin lahap menyantap makanannya. Sesekali, dia meneguk minuman berwarna kuning yang berembun oleh es batu.
"Enggak mau makan?" Magma menunjuk dengan dagu pada mangkok soto milik Nawasena. "Mubazir loh."
Nawasena hanya terdiam. Dia menatap kepulan asap yang berasal dari mangkok soto ayam di depannya.
"Sekarang ini, dunia sedang tidak baik-baik saja. Makhluk mitologi telah bebas. Bukan hal yang baru. Setiap ribuan tahun, segel itu akan terlepas dan manusia yang berada di peradaban tersebut. Harus berjuang melawan mereka. Sekarang adalah waktu Kakak dan manusia masa kini. Kejadian kemarin, akan terjadi lagi malam ini. Mereka lemah terhadap cahaya matahari."
Penjelasan yang cukup panjang. Nawasena merasa seperti dibacakan dongeng dan hal paling menyebalkan adalah si Pendongeng adalah bocil kematian.
"Wajah Kakak seolah meremehkan cerita ini." Magma menyudahi santapannya. "Enggak jadi masalah. Kita lihat saja nanti malam. Ahool - Ahool itu akan kembali berburu. Kakak tidak punya banyak waktu."
"Akhhh!" Nawasena tiba-tiba menjerit kesakitan. Ia bahkan terpelanting ke lantai. Magma buru-buru menyelamatkan mangkok soto ayam milik Nawasena, sedangkan yang empunya sedang berteriak kesakitan.
"Ada apa?" Pelayan yang tadi melayani Magma datang menghampiri.
Beberapa orang yang mau mencoba menolong tampak kebingungan. Nawasena mengerang begitu keras. Seolah-olah ada rasa sakit yang begitu dalam. Perban di mata kiri Nawasena pun mulai merembeskan cairan berkoloid merah.
"Ahool melukai matanya kemarin."
Semua orang tersentak. Mereka menatap ngeri ke arah Magma dan Nawasena silih berganti. "Ahool itu meninggalkan kutukan. Tukang pukul—"
Kalimat Magma terpotong. Pria berbadan sangar dengan otot bisep pada kaos tanpa lengan, menyelinap di antara kerumuman. Tangannya berusaha menenangkan Nawasena.
"Agha. Apa dia baik-baik saja?" tanya salah seorang pengunjung.
"Dia akan mati." Magma menyela. "Kita harus meruwatnya."
__///__//___//__
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top