27

Nawasena sudah tidak tertarik menjelajah kemaharajaan. Tempat itu membuat emosinya mendidih, daripada disebut tempat tinggal. Nawasena lebih senang menggangapnya adalah penjara. Ya, penjara yang membelenggu Raksa Auriga.

Mereka kembali menuju Stasiun Bajangratu. Tempat itu tampak seperti sebelumnya. Langit gelap dengan kunang-kunang yang berterbangan. Nawasena punya firasat, Stasiun Bajangratu tidak terikat oleh waktu.

Senayan Express pun tiba tidak lama kemudian. Gerbong itu masih sama seperti sebelumnya. Lantai berkarpet rumput dan ikan-ikan koi yang berenang di udara.

Kafin dan Yolai jatuh tertidur di pundak Nawasena, begitu kereta melaju meninggalkan peron. Nawasena punya tebakan. Kedua orang ini akan selalu tertidur dalam perjalanan yang panjang.

Tiba di Stasiun Bendungan Hilir. Kafin sudah bangun lebih dulu, sebelum dibangunkan. "Jangan dulu keluar."

"Kenapa?" tanya Nawasena

"Gue merasakan sesuatu. Apa lo tidak merasakannya?"

Nawasena mencoba menajamkan indranya. Sejauh ini tidak ada apa pun. Maka dia berjalan meninggalkan Yolai yang terantuk di kursi gerbong. Di dekat pintu, samar-samar. Nawasena bisa menangkap sebuah bau.

"Sudah tahu?" tanya Kafin memastikan. "Bocah itu ada di sini. Entah ini sebuah kebetulan atau tidak."

"Gue siap bertarung."

"Tidak!" Kafin menggeleng. "Masalah akan runyam. "Ayo, ajak Manusia Ahool itu. Dia harus berjaga dari arah belakang."

Yolai sudah berdiri di sisi Nawasena dan dia mendengar semuanya. Tanpa perlu disuruh. Dia mundur selangkah ke belakang dan memberi ruang untuk mengawal Nawasena.

"Ayo pergi." Kafin berjalan memimpin, sedangkan Nawasena menatap setiap peron dengan teliti. Bau tubuh Magma tertangkap jelas di indra penciumannya dan itu berpindah-pindah tempat.

Memikirkan Magma, seperti membuka luka lama. Sejauh ini, ketiganya berhasil melewati stasiun. Tetapi Nawasena belum bisa bernapas lega. Dengan langkah terburu-buru. Mereka menaiki undakan tangga untuk segera keluar dari Stasiun Bendungan Hilir.

Sekonyong-konyong. Baik Nawasena, Yolai dan Kafin, terpental ke belakang oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Yolai mengeram, insting hewaninya telah menandai adanya ancaman. Sedangkan Kafin kembali ke wujud Lembuswana.

"Lama tidak berjumpa," sapa Magma dari depan pintu Stasiun Bendungan Hilir. Dia masih memakai ransel bergambar Minion yang sama seperti pertama kali Nawasena melihatnya.

"Dari mana lo tahu gue di sini?" tanya Nawasena dengan tangan memegang kaditula.

"Magma punya banyak mata."

"Oh, ya?" Nawasena tampak tidak percaya.

"Kakak jauh lebih berbeda. Sekarang, bagaimana jika Kakak kembali bergabung bersama Magma dan yang lain?"

Nawasena hanya tersenyum sinis. Jawabannya sudah jelas. Dia tidak akan kembali ke Master Cafe. Lalu, Nawasena mulai menyadari sesuatu.

Stasiun Bendungan Hilir tampak sangat lenggang. Hilir mudik Sudra dan Anomali seolah hilang tidak berbekas.

Mereka menciptakan salinan ruang dan waktu yang berbeda dengan dunia nyata. Suara Kafin terdengar di benak Nawasena.

Merasakan kehadiran seseorang. Nawasena sudah mengarahkan ujung Kaditula yang hampir merobek dagu Agha, jika dia tidak menghindar dengan cepat.

"Kalian semua di sini?" Tampaknya Nawasena tidak sepenuhnya terkejut. Jika Magma ingin membawa kembali dirinya. Bocah itu butuh bantuan.

"Nawasena, kita perlu bicara," ujar Agha yang tampak siaga menghadapi Nawasena. Mereka beruntung, tidak seorang pun bisa melihat Kafin.

Lembuswana itu sudah berdiri di dekat Magma. Siap menyerang kapan saja, sesuai perintah sang Majikan.

"Nawasena. Dengarkan Agha. Ini tidak seperti yang lo pikirkan."

Di lain sisi. Yolai dan dan Gayatri saling beradu kekuatan. Manusia Ahool ini pun tampak sangat senang berhadapan dengan Gayatri. Dia punya keinginan, untuk sedikit mencicipi darah dukun tersebut.

"Gue tidak ingin pertumpahan darah. Setidaknya, gue masih mengizinkan kalian untuk pergi. Mengingat hubungan kita di masa lalu."

Agha menggeleng. Bukan seperti ini rencananya dan mereka juga punya sebuah prinsip dan visi misi yang berbeda. "Kami juga tidak akan segan-segan."

Nawasena tiba-tiba melesat ke depan. Berniat menyerang Magma. Bocah itu lebih dulu menghindar. Tetapi, dia salah menebak. Nawasena bukan menyerangnya, melainkan sebuah dinding tak kasat mata di depan pintu Stasiun Bendungan Hilir.

Pelindung yang berlubang, perlahan-lahan retak dan hancur berkeping-keping.

Nawasena dan yang lain, kembali lagi ke dunia nyata. Orang-orang yang keluar masuk stasiun terlihat jelas. Tidak seorang pun yang sadar akan keberadaan tiba-tiba dari Yolai dan Nawasena.

"LARI!" Teriakan Yolai seolah memberi komando.

Kafin menarik Nawasena untuk duduk di punggungnya. Mereka melesat ke udara. Sihir Kafin berhasil menyembunyikan mereka dari mata Sudra.

Gayatri menghadiahi Yolai sebuah bogem mentah dan Yolai membalasnya dengan memelintir lengan Gayatri hingga wanita itu menjerit kesakitan.

Kesempatan itu dimanfaatkan Yolai untuk mencicipi sedikit darah Gayatri di sekitar tengkuk. Sebagai balasan, Agha menghajar wajah Yolai hingga pria tersebut terpental menghantam pintu pemeriksaan.

Karena keributan tidak bisa dihindarkan. Agha segera mengajak Gayatri berteleportasi, meninggalkan Yolai dengan hidung penuh mimisan.

...

Magma tidak menyerah. Dia berlari dan melompat dari satu atap ke atap lain demi mengejar Nawasena. Semangatnya ini membuat Nawasena semakin kesal.

"Berbalik!" titah Nawasena. "Mari habisi bocah itu."

Kafin menurut. Dia memilih berhenti di atap sebuah gedung yang memiliki landasan helikopter. "Lo ingin gue yang menghabisi dia. Atau lo ingin turun tangan sendiri?"

"Biar gue selesaikan semuanya."

Magma tersenyum puas. Senang melihat Nawasena berhenti melarikan diri.

Keduanya tidak mengeluarkan sepatah kata. Bersama-sama, mereka berlari ke depan dan mengarahkan dua bilah pedang yang saling berbenturan.

Magma tersenyum semakin lebar. Dia sedikit terdorong mundur ke belakang. Bocah itu tahu, Nawasena sudah berkembang menjadi sosok yang berbeda.

Nawasena pun menarik mundur pedangnya. Lalu mengambil serangan memutar untuk menyerang Magma. Gerakan Nawasena cepat dan Magma harus lebih cepat mengimbanginya.

Pipi bocah itu tergores sedikit, begitu pula Nawasena. Mereka bertarung imbang. Maju mendesak lawan, mundur saat merasa terpojok.

"Kakak memang memiliki pertahanan diri yang cukup baik dan bahkan lebih bagus dari perkiraan Magma. Tapi, Kakak tidak tahu apa-apa. Mari, Magma tunjukkan sesuatu."

Mendadak, Nawasena merasakan aliran udara di sekitar mereka berdenyut. Kaditula milik Magma mengeluarkan tornado angin kecil yang berputar-putar lalu membungkus seluruh bilah.

Dalam kedipan mata. Dia sudah melompat dan mengarahkan kaditula berbentuk pedang ke arah kepala Nawasena. Beruntung, Nawasena punya respon yang cepat. Tetapi dia tidak cukup kuat menahan desakan dari kaditula milik Magma.

Lalu, terdengar bunyi retakan dari kaditula milik Nawasena.

"Tidak, ini belum cukup," ujar Magma dengan seringai menyebalkan.

Tanpa bisa diduga. Magma memutar tubuhnya di udara dan menjadikan kepala Nawasena sebagai pijakan dan kembali menyerang dari belakang. Selanjutnya yang terjadi adalah kaditula di tangan Nawasena terlepas tanpa dia sadari.

Bilah hitam itu terpental jauh dengan urat-urat yang menghasilkan percikan listrik berwarna keunguan.

"Pernah dengar sebuah legenda?" tanya Magma dengan ujung kaditula menusuk leher Nawasena. Kafin berniat menolong, tetapi dicegah oleh Nawasena.

"Nawasena, jangan bergerak!" Agha tiba-tiba muncul bersama Gayatri dan mereka berdiri di belakang Magma. "Ilmu bela diri yang lo pelajari dari Ahool memang cukup terampil. Tapi, tidak seorang pun di kemaharajaan yang bisa mengimbangi seni berpedang Magma."

Nawasena menelan saliva susah payah. Lalu bertanya. "Maksud kalian apa?"

"Dialah Dewaguru," ujar Agha pendek. Bukan hanya Nawasena saja yang terkejut. Tetapi juga Gayatri.

"Hey! Apa yang kalian bicarakan? Bocil kematian itu Dewaguru? Mustahil," omel Gayatri sambil melepaskan rengkuhan dari tangan Agha.

"Gue serius," kata Agha kembali. "Magma adalah Dewaguru. Jadi, dengarkan dia Nawasena."

__//___/___
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top