17

Pemulihan kondisi Magma cukup pesat. Saat matahari terbit, dia tampak ceria menikmati jagung rebus dari Agha. Luka di pelipis sirna oleh ramuan mujarab pemberian Gayatri.

Master Cafe tidak lagi beroperasi. Keberadaannya pun telah disamarkan dari dunia luar, baik dari Sudra maupun Anomali. Insiden di parlemen membuat seluruh anggota menjadi buronan kemaharajaan.

Arya yang ditugaskan sebagai pelayan pun ikut diberhentikan. Tetapi, pria itu masih sesekali muncul, bila Agha butuh sesuatu. Gayatri juga pergi dengan urusannya, sedangkan Nawasena sedang tidur akibat kelelahan.

"Dia masih tidur?" tanya Magma saat melihat Agha yang muncul di dapur.

Agha mengganguk. Lalu berjalan ke arah kulkas dan mengeluarkan sekaleng minuman bersoda. Dia membuka tutup kaleng lalu meneguk hingga isi kaleng benar-benar kosong.

"Tidak buruk menguji Nawasena seperti itu," seru Agha sambil melempar kaleng kosong ke tempat sampah. "Tapi gue setuju dengan Gayatri. Kalian malah memperluas masalah kita dengan anggota Sapta Syam."

"Mau bagaimana lagi? Pelatihan baik, adalah membuat mereka terpojok. Nawasena masih terlalu lemah dalam bertarung. Tidak ada jiwa kesatria, kekuatan Tucca malah mendominasi. Setelah dia cukup terbiasa menebas Ahool. Baru Magma ajarkan teknik berpedang yang Magma miliki."

"Gue percayakan itu sama lo."

"Jangan khawatir. Setelah Nawasena sadar, Magma akan bawa dia pergi dari sini untuk memulai petualangannya. Lagipula, Kemaharajaan tidak akan menjadikan  Nawasena prioritas. Sapta Syam adalah prioritas mereka. Masih ada masalah yang harus diurus daripada mengejar buronan."

Magma pun meneguk air putih di gelas hingga tandas. Lalu melompat turun dari atas kursi. Agha yang sedang bersandar di depan pintu kulkas masih menatapnya tajam.

"Magma, Raksa Auriga pasti akan mendengar keberadaan Nawasena cepat atau lambat."

"Magma tahu," sahut si Bocil tanpa rasa takut. "Selama melatih Nawasena, Magma akan membawanya hati-hati. Seperti yang kita pikirkan. Nawasena bisa menjadi sekutu melawan kemaharajaan atau lawan yang berbahaya bagi kita."

"Kita harus membuatnya berada di pihak kita." Agha menegaskan. "Raksa Auriga tidak akan menduga, bahwa kita menemukan poin yang berharga.

...

Di salah satu tenda lalapan pinggir jalan. Magma dan Nawasena duduk bersama menikmati potongan ayam bakar yang dibalut sambal cabe hijau dan segelas teh dingin.

Di sekeliling mereka, berkumpul Sudra yang masih semangat membahas tentang insiden yang selalu terjadi di malam hari.

"Benar-benar mengerikan! Kami para pedagang udah enggak bisa jualan malam. Hewan mirip kera itu telah melukai punggung tetangga saya hingga bolong."

Si Ibu penjaga warung bercerita begitu heboh pada pembeli yang minta ayamnya dipisah dengan sambal. Pembeli lain pun bercelutuk.

"Tapi, gue pernah lihat ada orang-orang aneh melompat di atap bangunan loh. Ada yang pernah liat enggak? Mereka kayak bawa pedang untuk menghabisi Ahool. Sumpah! Gue sampai berjaga tiap malam untuk lihat. Sialnya pas gue mau merekam. Ponsel gue selalu mati."

"Apa mereka semacam penyihir? Hero? Kesatria?" Yang lain turut menimpali.

"Ayolah, kalian pernah dengar tentang cerita-cerita bertema novel fiksi, 'kan? Bila ada kekacauan. Pasti ada penyelamat? Maaf, bukan gue tidak bersimpati pada bencana ini. Tapi, bukankah itu keren? Dunia sihir benar-benar ada! Dunia Harry Potter juga ada!"

Kebahagian pemuda berjaket abu-abu dengan kacamata persegi dan tas punggung berkarakter anime Jepang, mendapatkan antusias pengunjung lain dengan tatapan layaknya menilai barang.

"Dek! Jangan kebanyakan nonton kartun. Ini dunia nyata."

Si Pemuda tampak memberenggut kesal dan Nawasena hanya diam mendengar pembicaraan tersebut.

"Setelah ini, kita akan pergi ke Senayan," seru Magma yang sudah menghabiskan ayam bakarnya hingga sisa tulang-tulangnya saja.

"Kita mau ke mana?"

"Berbelanja."

"Belanja? Bocil macam lo punya uang?"

"Tentu saja." Magma mengerucutkan bibir. "Magma udah pernah bilang, 'kan? Magma punya uang."

"Dan gue masih penasaran dengan orangtua lo," tukas Nawasena yang juga turut selesai menikmati makan siangnya.

"Itu bukan hal penting."

Nawasena mendapatkan sebuah ilham, bahwa Magma tidak ingin membahas hal itu lebih lanjut. Nawasena yang awalnya ingin membayar makanan mereka. Dibuat tercengang, karena Magma yang lebih dulu membayar untuk mentraktir.

Dompet bergambar Minion yang dikeluarkan Magma dari dalam ransel yang menampilkan wajah karakter Kevin dan Stuart. Membuat rasa penasaran Nawasena semakin besar.

Dia selalu bertanya-tanya tentang identitas Magma yang sangat ia rahasiakan. Agha dan yang lain pun tampak mengetahui sesuatu. Namun enggan untuk berbagi dengannya.

Selepas membayar. Nawasena melangkah, mengikuti Magma dari belakang. Keduanya akan melakukan teleportasi dari tempat sepi. Lalu muncul di dekat parkiran bangunan megah berwarna hijau tosca. Di antara taxi blue bird.

Tatapan Nawasena terpaku pada tulisan besar di atas bangunan, PLAZA SENAYAN. Nawasena ingat, Cetta berniat mengajaknya ke tempat ini. Mengigat tentang pria itu, Nawasena sempat menyempatkan diri membuka instagram dari ponsel Arya sekali.

Dia mencari akun Cetta untuk menanyakan kabar. Akan tetapi, Nawasena mendadak urung. Ia tidak ingin Cetta terkena masalah atau mengkhawartikan dirinya. Di tambah, Nawasena yang sekarang. Berbeda dengan Nawasena yang sebelumnya.

"Kakak sering melamun," komentar Magma dari arah samping. "Ayo, kita harus berbelanja."

Mata hitam Nawasena terbelalak. "Gue enggak ada niat buat belanja."

"Kita perlu benda-benda dan senjata untuk melawan Ahool, Senopati dan pengikut Sapta Syam. Kakak pikir, hanya dengan kaditula itu cukup?"

"Maksud lo bocah? Gue enggak punya banyak uang. Gue harus berhemat."

"Ck." Magma memutar bola mata malas. "Kakak tidak perlu khawatir soal uang. Magma akan mentraktir."

"Cukup," seru Nawasena yang mulai jengah. "Gue enggak mau dibayarin mulu oleh lo. Ayo masuk, gue akan beli satu, jika memang diperlukan."

Magma terkekeh, dia membiarkan Nawasena berjalan memimpin. Akan tetapi, tepat di pintu masuk. Nawasena tertengun.

Dalam sudut pandang seorang Anomali. Pintu di depan Plaza Senayan terdiri dari dua. Satu di jaga oleh satpam dan satunya di jaga oleh pria yang berpenampilan seperti kesatria bhayangkara.

"Mereka hanya prajurit biasa," ujar Magma yang kini berdiri di samping Nawasena. "Mereka tidak akan mengenali kita. Kita akan masuk ke pintu tersebut, pintu untuk orang-orang seperti kita."

Dengan menarik tangan Nawasena. Magma tersenyum bagai seorang malaikat ke arah prajurit. Menutupi, kesannya sebagai seorang bocil kematian.

Bagi Nawasena, melewati tempat tersebut tidak ada bedanya. Ruangan di dalam mall, tetap saja sama dengan mall pada umumnya. Gerai-gerai dengan bermacam barang dijual di beberapa sudut.

Namun, Nawasena baru menyadari satu hal. Orang-orang yang berlalu lalang beberapa di antaranya menggunakan beberapa armor di tubuh mereka. Ada yang masih memegang kaditula sambil berjalan dan yang mengejutkan adalah sebuah patung hewan putih keperakan dengan empat kaki, bermahkota, berbelalai, bergading dua dan bersayap.

Nawasena mencoba mengingat nama makhluk tersebut. Terapi, ia sama sekali tidak bisa mengingatnya.

"Magma, itu patung apa?" tunjuk Nawasena ke tengah ruangan.

"Patung? Patung apa?" Alis Magma bertaut.

"Patung makhluk mitologi itu." Nawasena memberitahu. Jari telunjuknya masih mengarah ke Lembuswana.

"Kakak gila ya? Di sini tidak ada patung. Memangnya siapa yang mau memanjang hal seperti itu di sini."

Nawasena terdiam. Dia menatap Magma dan patung Lembuswana silih berganti. Jika dia Anomali, wajar jika dia melihat hantu.

Namun, Nawasena tidak habis pikir. Masih ada sesuatu yang tidak bisa dilihat seorang Anomali. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

_//___/___//___
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top