Chapter 3 - Start Revenge
Kesunyian masih merebak di dalam ruangan Aula Sherin of Pherin.
Aula Utama di Istana Kerajaan Sinanese yang menjadi tempat untuk Raja berkuasa mengadakan pertemuan dengan para jajaran Menteri dan Jenderalnya.
Di ruangan itu, sudah ada Rudolf—Sang Perdana Menteri, Cedric—sebagai Panglima Perang Utama, Smeth—Jenderal Wilayah Barat dan juga Bardon—Jenderal Wilayah Timur. Mereka adalah para petinggi utama yang memastikan jalannya pemerintahan selama masa Raja Arthur.
Mereka kini tengah melakukan perundingan dengan beberapa Menteri kecil, juga Perwakilan Penduduk yang sengaja diundang untuk membahas pengangkatan Raja Baru.
"Apakah tidak ada pilihan lain untuk pemilihan Raja Baru?" Biram—perwakilan penduduk mulai buka suara. "Mengingat banyak rumor yang beredar mengenai Pangeran Mahkota ... sepertinya sulit kalau penduduk Sinanese untuk menerimanya sebagai Raja Baru." Pria itu kembali melanjutkan.
"Masalahnya adalah Raja Arthur telah menuliskan surat untuk pemilihan Raja Baru dan menyebutkan secara jelas bahwa dia menunjuk Pangeran Harvey sebagai penggantinya. Dan lagi, tidak ada kandidat lain. Setelah kematian Sepupu Raja dan keturunannya akibat pengkhianatan ratusan tahun lalu," ucap Jenderal Cedric.
"Yah, memang benar yang dikatakan oleh Cedric!"
Rudolf kini maju ke depan dan berjalan ke depan kursi tahta yang terlihat kosong. Dia memang terlihat tak rela jika Pangeran Harvey yang akan mengisi tahta kosong itu.
Tapi bukan berarti dia juga ingin merebut tahta yang ada.
"Tapi bagaimana dengan perangai Pangeran Mahkota? Bukankah itu pasti berpengaruh dengan caranya memerintah Kerajaan? Bagaimana juga, jika dia menyebabkan banyak perang terjadi setelah kepemimpinannya. Dan membuat rakyat Sinanese menderita?" tanya Biram.
Rudolf baru saja berbalik badan dan bersiap menanggapi ucapan Biram.
Saat pintu Aula Shiren terbuka lebar dan menunjukkan sosok Pangeran Harvey yang muncul bersama salah satu pengawal setianya—Dave. Seketika itu juga, seluruh yang ada dalam Aula terdiam. Terutama Biram yang sejak awal terus meneriakkan perlawanan terhadap Pangeran Harvey.
Dia menundukkan kepalanya sangat dalam saat Sang Pangeran berjalan melewati dirinya.
Tapi Pangeran Harvey berbalik badan lagi. Mendekati Biram yang masih menunduk untuk menatapnya sangat lekat.
"Berlutut!" perintah Harvey dengan suaranya yang berat dan mengerikan.
Biram terhenyak. Dia mendongak hingga tatapan matanya bertumbukan dengan tatapan mata Pangeran Harvey yang sangat dingin.
"Berlutut!" ulang Pangeran Harvey.
Dan Biram pun mengikuti perintah sang Pangeran dengan berlutut di tempatnya berdiri saat ini. Dia juga kembali menunduk sampai Pangeran Harvey melanjutkan langkahnya menuju ke kursi Putra Mahkota yang berada persis di samping Kursi Tahta mendiang Ayahnya.
"Aku merasa ... kalau di dalam ruangan ini banyak pengkhianat!" tukas Pangeran Harvey bahkan sebelum dia duduk di kursinya.
"Maafkan kami, Pangeran Mahkota!" Rudolf segera maju lebih dulu dan melirik ke arah Biram dengan ekor matanya. "Tidak ada satu pun yang berkhianat dan memiliki niat untuk menjadi pengkhianat. Kami hanya membahas tentang pelantikan Raja Baru setelah mangkatnya Raja Arhur," jelas Rudolf menutupi pembicaraan yang sebenarnya di antara mereka.
Tapi sorot mata Harvey yang terus mengarah pada sosok Biram, seperti mengisyaratkan kalau dia memang sudah mengetahui isi pembicaraan mereka.
Harvey memiringkan kepalanya dan menatap satu per satu yang hadir dalam Aula tersebut.
Dia memperhatikan ekspresi wajah, sorot mata, hingga tingkah laku mereka untuk memeriksa setiap kebohongan yang mungkin tersembunyi di dalam hatinya masing-masing.
"Jadi apa keputusannya?" tanya Harvey dengan suara yang masih terdengar berat dan mengerikan.
"Kita tentu akan melakukan pelantikan Raja Baru. Tapi karena hari dimana mendiang Raja meninggal adalah waktu Gerhana Bulan penuh, maka pelaksanaannya dilakukan 120 hari dari sekarang. Juga menurut surat wasiat mendiang yang sudah tertulis sejak ratusan tahun lalu dan tak pernah diubah, maka Pangeran Mahkota yang akan menjadi Raja Baru dari Kerajaan Sinanese," ucap Rudolf dengan tegas di hadapan Harvey.
Senyum di wajah sosok Serigala Alpha tersebut mirip seperti sebuah seringaian yang menunjukkan deretan gigi taring berukuran besar.
"Apa ada yang keberatan dengan keputusan itu?" tanya Harvey lagi.
Sekali lagi, setelah mengatakan demikian, Harvey mengarahkan tatapannya pada setiap orang yang hadir di sana satu persatu.
Biram yang sejak tadi belum berani berdiri dari posisinya, kini mulai mencoba untuk menguatkan tekad dan mengumpulkan keberanian di dalam dirinya.
Hingga pria yang sebenarnya berusia setara dengan Raja Arthur tersebut kemudian mulai maju. Dengan tetap memposisikan dirinya untuk berlutut di hadapan Harvey.
"Maafkan kelancangan saya, Pangeran Mahkota. Bukan maksud saya merasa keberatan, apalagi menentang ketetapan yang dibuat oleh Mendiang Raja untuk penunjukkan Raja Baru kali ini. Tapi saya hanya ingin menyampaikan aspirasi dari sebagian penduduk, yang merasa khawatir dengan munculnya peperangan setelah penunjukkan Pangeran sebagai Raja yang Baru." Biram akhirnya mulai bicara.
"Perang?" Kening Harvey mengerut cukup dalam.
"Benar, Pangeran ... sebab banyak rumor yang beredar di luar sana, kalau Pangeran Mahkota tidak disukai oleh banyak Raja dari Wilayah lain. Sehingga mereka sudah banyak yang bersiap untuk melakukan penyerangan!" Posisi Biram yang awalnya berlutut, kini berubah jadi bersujud di hadapan Harvey. "Ampuni saya, Pangeran ...! Tapi jika benar perang terjadi, maka penduduklah yang akan menjadi korban paling besar dan mendapatkan penderitaan. Oleh sebab itu, saya ingin menyampaikan aspirasi ini, untuk mendapatkan jalan tengah dalam keadaan kita saat ini, Pangeran!" tukasnya lagi.
"Aku akan membunuh mereka semua!" jawab Harvey dengan entengnya.
"P-Pangeran?" Rudolf tertegun.
Sementara para Jenderal yang mendengar jawaban itu, saling melempar pandangan satu sama lain dengan perasaan cemas luar biasa. Berbeda dengan Biram yang sepertinya masih bingung dengan maksud jawaban Harvey saat ini.
"Aku akan membunuh siapa pun ... yang berani melawan Sinanese atau mencoba melepaskan diri dari Kekuasaan kita! Siapa saja yang berani menginjakkan kaki di wilayah ini dengan mengangkat senjatanya! Atau mengangkat cakarnya di hadapanku ... maka aku akan membuat tubuh dengan kepalanya terpisah saat itu juga!" ancam Harvey yang terdengar bukan sekedar ancaman biasa.
Ucapan Harvey tersebut membuat seluruh yang hadir dalam ruangan terdiam.
Kini tak ada lagi yang berani meragukan dan memperdebatkan lagi soal bagaimana Harvey akan memerintah di Kerajaan Sinanese.
"Panjang Umur Pangeran Mahkota Harvey ...!" teriak Rudolf.
"Panjang Umur Pangeran Maahkota Harvey ...!" Diikuti oleh semua yang ada di sana.
**
[Wilayah Wailia, Sebelah Barat Daya Kerajaan Sinanese]
Untuk kali pertama Nicholas benar-benar memasuki wilayah Wailia melalui laut.
Jalur ini dipilih karena Nicholas menghindari pemeriksaan yang akan dia alami, jika melalui jalur darat. Mengingat Wailia yang terletak di paling ujung di Wilayah Dataran Southeast.
Sehingga untuk mencapai lokasi ini melalui jalur darat, Nicholas harus melewati perbatasan beberapa Kerajaan, seperti Chang dan juga Creham. Dan harus masuk ke Wilayah Paulakian lebih dulu. Sementara menurut petunjuk dari Gregory, Paulakian adalah lokasi terakhir yang harus didatangi oleh Nicholas jika merunut pada urutannya.
"Kau yakin akan turun di sini?" tanya salah satu anak buah kapal yang membawa Nicholas.
Dia menjadi penumpang terakhir yang menempuh jarak paling jauh diantara penumpang lainnya.
"Ya, aku akan turun di sini!" Nicholas turun dari sampan yang membawanya lebih dekat dengan pantai di Wilayah Wailia.
Anak buah kapal itu pun hanya bisa menarik napas melihat kenekatan Nicholas. Bukan tanpa alasan jika timbul pertanyaan semacam itu dari mulutnya. Hal ini berkaitan dengan beberapa legenda yang muncul di Wilayah Wailia, setelah berabad-abad ditinggalkan oleh para penduduknya karena sebuah wabah mematikan.
Tapi Nicholas tidak gentar.
Dia yakin kalau Gregory tak akan menyuruhnya ke tempat ini tanpa alasan yang kuat.
Lagipula, hati Nicholas semakin bertekad untuk mendatangi wilayah tersebut. Seolah ada yang memanggilnya untuk datang sejak semalam.
"Ibu ...!" Nicholas menunduk dan mengambil segenggam pasir pantai Wailia yang berwarna merah muda.
Warna dan bentuk yang sama, juga tekstur yang serupa dengan yang dirasakannya dalam mimpi semalam saat dia dalam perjalanan menuju tempat ini.
Dimana dalam mimpi tersebut, Nicholas juga bertemu dengan sang Ibu. Hingga melihat sebuah singgasana tahta yang berlumuran darah, dengan dirinya yang duduk di atasnya.
Pemuda itu pun mempercepat langkahnya. Dia mencari lokasi gua keramat yang letaknya ada di dalam hutan. Dan tertulis dalam buku yang diberikan sebelumnya oleh Gregory. Melalui peta yang tergambar dengan segala arahnya di dalam buku tersebut, Nicholas pun mulai menyusuri jalan setapaknya.
Yang semakin lama, semakin menghilang dan berganti dengan reruputan tinggi dan juga pohon-pohon kecil. Ranting tajam, bahkan tanaman yang bergerak sendiri seperti hidup dengan ajaib.
Di antara mereka, tiba-tiba ada sekelebat bayangan hitam yang muncul tak jauh dari tempat Nicholas berdiri.
Membuat pemuda itu tersentak dan membeku selama beberapa saat. Menatap ke arah bayangan hitam itu muncul dengan tangan yang memegang pisau kecil di bagian depan sabuk pinggangnya.
"Apa itu tadi?" Wajah Nicholas sedikit memucat.
Keringat yang sejak tadi sudah bercucuran dan membasahi sekujur tubuh pemuda itu, kini menetes semakin deras bersamaan dengan perasaan takut yang merambat di dalam hatinya.
Nicholas kini semakin waspada. Dia yang awalnya berdiri dengan tegak, kini langsung merunduk dan mencoba mengintip dari celah tanaman rambat di sekitarnya. Tusukan duri yang menorehkan luka di tubuhnya sudah tak dihiraukan lagi.
Dia memilih untuk tetap tenang hingga sedikit menahan napasnya.
Hingga kelebat hitam itu muncul kembali di tempat yang sama, tapi kini tak hanya satu. Melainkan beberapa bayangan hitam yang membentuk satu bayangan besar mengerikan.
Pemuda itu semakin kuat menahan napas dan menerka-nerka sendiri dalam hatinya, benda atau makhluk apa sekiranya yang melakukan hal tersebut.
"Pengendara hitam?" seru Nicholas dalam hati.
Ya, bayangan hitam yang sangat besar itu kembali memecah dan membentuk bayangannya sendiri-sendiri. Lalu bayangan itu berubah menjadi sosok mengerikan dengan jubah serba hitam yang mengendarai kuda berwarna hitam pula. Yang tak lain, adalah pengendara hitam.
Sosok yang selama ini dikejar oleh Nicholas.
"Kenapa mereka ada di sini?" gumam Nicholas tanpa sadar.
Gerakan tubuhnya yang menggerakkan tanaman rambat, sempat menarik perhatian para pengendara hitam. Mereka menoleh dan mendekati lokasi dimana Nicholas berada.
Namun kembali perhatian mereka teralihkan, dengan kemunculan kelinci yang berlari keluar dari dalam tanaman rambat itu. Dan kelinci itu, membuat para pengendara hitam menghentikan langkah kudanya untuk semakin mendekat. Bahkan berbalik arah, menghilang di antara pepohonan lebat di dalam hutan tersebut.
Kesempatan Nicholas sebenarnya cukup besar untuk menyerang pengendara hitam. Tapi dia memilih untuk menahan diri karena ingat misinya di Wailia.
Baru saja dirinya bernapas lega, Nicholas dikejutkan dengan suara kelinci yang kini sudah ada di dekat kakinya.
Kelinci itu menatap ke arahnya dengan sorot mata yang seolah mengatakan bahwa dia ingin Nicholas memperhatikan dirinya.
Tapi Nicholas yang kebingungan, hanya diam dan mengerutkan kening sejenak. Lalu berniat untuk melanjutkan perjalanan. Namun kelinci kecil itu kembali menghalangi jalan Nicholas untuk melanjutkan langkahnya, serta meminta Nicholas mengikuti dirinya.
Ya, dengan gerakannya Nicholas menyadari kalau kelinci itu ingin Nicholas mengikuti langkahnya.
Bahkan kelinci tersebut sampai menunggu, menoleh kepada Nicholas, ketika pria itu tak kunjung mengikuti dirinya seperti yang diinginkan.
"Apa kau ... ingin aku mengikutimu?" tanya Nicholas.
Bodoh memang bertanya seperti itu, kalau Nicholas tak ingat bahwa dia juga seekor serigala.
Kelinci itu kemudian mengangguk kecil. Membuat Nicholas terkesiap dan akhirnya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh si kelinci. Dimana kelinci tersebut rupanya menunjukkan jalan menuju ke pintu masuk tambang tua, yang tak lain adalah tempat di mana kunci penyimpanan mutiara tersebut disembunyikan selama ini.
Napas pemuda itu terasa sesak.
Dia tak menyangka kalau kelinci itu justru memberitahu arah yang benar dan lebih cepat dari peta yang ia bawa.
"Kau ... bagaimana kau tahu kalau aku sedang mencari tempat ini?" ucap Nicholas pada kelinci itu. "Terima kasih banyak! Aku tak akan melupakan kebaikanmu!" ujarnya lagi.
Semua terasa semakin aneh, karena kelinci yang menuntun Nicholas mendadak menghilang, bersamaan dengan pintu yang terbuka lebar.
**
Nicholas masuk ke dalam sana dan mulai mencari keberadaan kunci tersebut.
Tapi tambah tersebut ternyata sangat luas, bertingkat, curam, mengerikan dan juga gelap. Di dalamnya juga sangat pengap hingga penuh dengan udara panas yang terperangkap.
"Siapa saja yang masuk ke sini bisa mati di sini," ucap Nicholas pada dirinya sendiri.
"Kalau kau tahu akan mati di sini, lantas untuk apa kau masuk ke dalam tempat ini?"
Suara seseorang terdengar dan membuat Nicholas sontak mengedarkan pandangan. Mencari sumber suara dari berbagai arah. Tapi dia hanya menemukan dirinya saja di dalam sana.
"Siapa di sana!" teriak Nicholas.
Obor yang dibawa Nicholas diarahkan ke berbagai penjuru. Hingga tiba-tiba, ada sesuatu yang menarik kaki Nicholas dan membuat pria tersebut jatuh tersungkur. Obor yang dia bawa seketika lepas dari genggamannya. Dan pandangannya kini berubah menjadi gelap kembali.
Nicholas mencoba mencari ke mana obor itu jatuh dan menggelinding.
Tapi dia menemukan sepasang kaki juga yang menghentikan laju obor yang terjatuh itu.
Sepasang kaki dengan sepatu kulit khas Kerajaan, yang ukurannya sangat besar seperti kaki raksasa. Nicholas yang melihatnya sontak membelalakkan mata, dia juga sampai menelan salivanya sendiri melihat kaki tersebut.
"Kau masuk ke sarang para raksasa, Nicholas! Hahaha ...!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top